Melirik Kebijakan Energi Terbarukan di Jepang

Kenaikanhargaminyak dunia hingga saat ini merupakan momok bagi negara-negara di dunia, terutama negara yang memiliki ketergantungan yang besar pada minyak bumi sementara produksi minyak di bawah jumlah konsumsinya.
”Bom minyak” sebenarnya bukan hanya kali ini terjadi di dunia. Gelombang oil shock telah terjadi tiga kali. Pertama pada September 1973 saat negara-negara OPEC menahan produksi minyaknya hingga mencapai 19,8 juta barel per hari. Saat itu terjadi kenaikan harga minyak mencapai lebih dari 300% dari USD2,9 per barel menjadi USD11,65 per barel. Oil
shock kembali terjadi pada 1979 saat terjadi Revolusi Iran.
Meskipun suplai minyak hanya berkurang 3% dari total pasar minyak dunia, kekhawatiran akan terjadinya gejolak lebih jauh di Timur Tengah mampu menaikkan harga minyak mencapai 280% dari yang semula hanya USD15 per barelnya. Sebelas tahun kemudian, oil shock kembali terjadi saat terjadi invasi Irak ke Kuwait pada 1990 yang mengganggu 8% dari suplai ke pasar minyak dunia.
Oil Shock ini menyebabkan naiknya harga minyak dunia dari sekitar USD21,5 per barel menjadi USD28,30 dalam waktu hanya satu bulan pada Januari hingga Februari 1990. Gelombang oil shockyang disebabkan minyak sebenarnya merupakan suatu pelajaran berharga bahwa minyak merupakan komoditas yang sangat rentan bagi terjadinya krisis ekonomiglobal.Tidakanehjika sejak dua oil shock pada 1973 dan 1979 banyak negara melakukan perubahan secara
besar-besaran terhadap kebijakan energi nasionalnya.
Diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap suplai dari minyak bumi menjadi trenbaru dari kebijakan energi dibanyak negara di samping efisiensi energi (penghematan energi) yang dilakukan secara terstruktur. Penggunaan energi terbarukan menjadi salah satu kebijakan yang harus diambil jika suatu negara menginginkan terjaganya stabilitas perekonomiannya.
Energi terbarukan merupakan satu pilihan yang paling strategis mengingat sumber energi ini memiliki tren yang berlawanan dengan sumber energi konvensional yang berasal dari fosil seperti minyak, batu bara, ataupun gas bumi. Jika bahan bakar fosil memiliki tren harga yang terus naik, sebaliknya sumber energi terbarukan seperti tenaga air,tenaga angin,solar cell justru memiliki tren harga yang turun seiring dengan penemuan teknologi yang semakin efisien.
Dengan melihat pengalaman oil shock yang cukup membuat goyah laju ekonomi, beberapa negara nonprodusen minyak memberikanperhatianyangsangat serius pada pengembangan energi terbarukan. Jepang adalah salah satunya, dengan memberikan insentif yang sangat tinggi untuk dana penelitian energi terbarukan.
Selain karena ingin menghilangkan ketergantungan pada sumber energi fosil, terutama minyak, kebijakan pengembangan sumber energi terbarukan di Jepang juga didukung adanya keinginan untuk lebih memperhatikan permasalahan lingkungan.Kebijakan energi di Jepang memperhatikan bahwa kerugian ekonomi yang dihasilkan oleh perubahan iklim karena sumber energi fosil mencapai 5–20% dari total GDP.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan International Energy Agency (IEA), Jepang berada pada peringkat ketiga dalam jumlah energi yang berasaldarisumberenergiterbarukan, di bawah Amerika Serikat (AS) dan Prancis.Meski begitu, jika dilihat dari komposisi energi terbarukan pada pembangkit energinya, persentasenya berada di peringkat kedua dibawah AS.
Jepangmengalami kesulitan besar untuk mengurangi konsumsi minyaknya karena industrialisasi yang sangat pesat menghasilkan ketergantungansangattinggipadabahan bakar minyak.Hingga saat ini komposisi sumber energi terbarukan di Jepang masih sebesar 8–9% dan jika memasukkan energi nuklir mencapai 23%. Jepang menargetkan untuk menaikkan sumber energi terbarukan hingga 26% dari total kebutuhan energi negeri itu pada 2030.
Keseriusan Pemerintah Jepang untuk mendorong energi terbarukan juga ditunjukkan dengan mengeluarkan kebijakan revitalisasi diversifikasi energi pada 2003 yang berisi batas minimum komposisi energi terbarukan pada perusahaan pembangkit listrik.Pemerintah Jepang mewajibkan agar perusahaan pembangkit listrik yang di Jepang semuanya dikelola swasta,memiliki sumber energi yang berasal dari sumber terbarukan nonnuklir hingga di atas 1,35%.
Kebijakan yang disebut sebagai renewable portfolio standard (RPS) ini menargetkan sumber energi terbarukan menyumbang 12,2 miliar kWh kepada perusahaan listrik di seluruh Negeri Sakura itu pada 2010. Selain memberikan target pemerintah juga memberikan bantuan supervisi bagi perusahaan-perusahaan pembangkit listrik tersebut serta kemudahan pajak untuk berbagai keperluan yang mendukung penggunaanenergiterbarukan. Dari total energi terbarukan tersebut,11,5 miliar kWh berasal dari sumber energi terbarukan yang baru,sementara 0,7 miliar kWh berasal dari sumber energi terbarukan yangtelahlamaberkembangdi Jepang, yaitu medium dan mikrohidro.Kebijakan RPS ini juga menjadikan Jepang sebagai negara yang memiliki solar cellterpasangterbesardidunia, total tenaga angin terpasang mencapai sekitar 1.500 MW.
Untuk menyukseskan program ini, Pemerintah Jepang memberikan anggaran penelitian yang sangat besar dengan membangun center of execellent untuk pengembangan teknologi energi terbarukan, baik yang ada diuniversitas maupun lembaga penelitian. Pemerintah Jepang membuat pilot project penggunaan energi terbarukan dengan menjadikan Tokyo sebagai kota pusat pengembangannya. Sumber energi terbarukan telah menyuplai kebutuhan listrik di Tokyo hingga 2,7% pada 2003 atau sebesar 830.000 terra joule.
Dari total energi terbarukan tersebut, 63,4%-nya berasal dari sumber energi pengolahan sampah atau biomass, 15,8% dari solar power, 13,1% dari pembangkit tenaga air,dan sisanya adalah pembangkit energi terbarukan lain.Perkembangan yang pesat di ibu kota Jepang ini membuat Tokyo Metropolitan Government menargetkan hingga 20% listrik akan dibangkitkan energi terbarukan pada 2020. Berbagai kebijakan yang berlapis Jepang untuk mendorong perkembangan energi terbarukan menunjukkan betapa seriusnya negara miskin energi tersebut melepaskan ketergantungan pada sumber energi fosil. Kondisi harga energi fosil yang terus bergerak naik sudah selayaknya disikapi dengan adanya langkah konkret untuk melepaskannya.
Dr Brian Yuliarto Direktur Eksekutif Indonesia Energy Institute (INDENI) Sumber : Harian Sindo
sedangkan untuk pembangkit listrik tenaga angin berada di urutan keempat di bawah Jerman, Spanyol,dan AS dengan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEPADATAN POPULASI DAN PERTUMBUHAN KERANG DARAH Anadara antiquata L. (Bivalvia: Arcidae) DI TELUK SUNGAI PISANG, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor Faktor Penyebab Ketidak-Efektifan Penilaian Kinerja