Tingkat stres kerja dengan tingkat empati pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD

PENDAHULUAN
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa. Menurut Kariyoso (1994)1 di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998)2. Berbagai sumber menyebutkan bahwa penyampaian empati ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keluarga, jenis kelamin dan usia, akan tetapi penulis belum menemukan literatur yang menyatakan secara langsung hubungan antara tingkat stres kerja yang dialami oleh perawat dengan tingkat empati perawat dalam memberikan pelayanan keperawatannya.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kota Yogyakarta. Di dalam melaksanakan perannya di masyarakat, RSUD Kota Yogyakarta melakukan berbagai upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatannya, tetapi fenomena yang ada, masih dijumpai keluhan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diterimanya. Tercatat pada survei tentang kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta pada tahun 2003 diperoleh hasil bahwa 1 diantara 16 (6,25%) pasien yang dirawat menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan keperawatan yang diterimanya (Sumber:Data Sekunder RSUD Kota Yogyakarta, 2003). Kepuasan pasien salah satunya dipengaruhi oleh kinerja perawat. Salah satu aspek yang mendukung kinerja perawat adalah empati, dimana empati berkaitan erat dengan beban kerja yang menimbulkan stres kerja. Dengan kepuasan pasien yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat stres kerja dan tingkat empati serta untuk menguji secara empiris hubungan antara tingkat stres kerja dengan tingkat empati pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta. Pengetahuan sejauh mana tingkat stres kerja yang dialami perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta dalam bekerja serta hubungannya dengan tingkat empati diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan di masa selanjutnya bagi terciptanya suatu sistem pelayanan keperawatan yang lebih baik diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan terhadap pasien maupun keluarganya.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian jenis deskriptif non eksperimental. Metode yang digunakan adalah metode analitik. Pendekatan yang digunakan adalah secara cross sectional.Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta. Waktu pelaksanaan penelitian adalah mulai tanggal 17 Juli 2004 sampai dengan tanggal 17 Agustus 2004.Populasi penelitian adalah seluruh perawat yang bekerja di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta yang memiliki kriteria pendidikan D3 Keperawatan, bertugas penuh waktu, bekerja di ruangan tersebut sedikitnya selama 1 tahun, bersedia menjadi responden.
Jumlah Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah 41 perawat dan jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 perawat. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling.
Penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner untuk mengungkap tingkat stress kerja dan empati. Data dianalisis secara kuantitatif menggunakan rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara tingkat stres kerja dengan tingkat empati pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta.





HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Bangsal Perawatan, Umur, Jenis Kelamin, Masa Kerja Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2004

No Aspek Berdasarkan Jumlah Responden Prosentase (%)
1 Bangsal
a. Bangsal Vinolia
b. Bangsal Dahlia
c. Bangsal Bougenvile
d. Bangsal Anggrek
e. Bangsal Kenanga
f. Bangsal Perinatologi
TOTAL
6
6
6
6
3
3
30
20
20
20
20
10
10
100
2 Umur
20 – 25 tahun
25 – 30 tahun
30 – 35 tahun
35 – 40 tahun
Diatas 40 tahun
TOTAL
3
19
6
1
1
30
10,0
63,3
20,0
3,3
3,3
100
3 Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
TOTAL
28
2
30
93,3
6,7
100
4 Masa Kerja
1 – 5 tahun
5 –10 tahun
10 – 15 tahun
15 – 20 tahun
TOTAL
20
8
1
1
30
66,7
26,7
3,3
3,3
100

Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan kategori bangsal perawatan, pada 4 bangsal yang diambil sebagai responden sebanyak masing-masing 6 perawat (20%) dan 2 bangsal (Kenanga dan Perinatologi) masing-masing diambil sebanyak 3 responden (10%)
Berdasarkan kategori umur diketahui responden terbesar berasal dari usia 25-30 tahun (sebanyak 63,3%). Berdasarkan kategori jenis kelamin diketahui dari penelitian ini subyek perempuan sebanyak 28 orang (93,3%). Berdasarkan kategori masa kerja diketahui sebagian responden bekerja antara 1 sampai dengan 5 tahun sebanyak 20 responden (66,7%).
1. Tingkat Stres Kerja
Tabel 2
Frekuensi Kategori Tingkat Stres Kerja Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Secara Total Tahun 2004

Kategori Jumlah Responden
Prosentase (%)
Sangat rendah
Rendah
TOTAL 25
5
30 83,3
16,7
100

Tabel tersebut menunjukkan tingkat stres kerja perawat berada pada kategori sangat rendah yaitu sebanyak 25 responden (83,3%). Sedangkan pada kategori rendah terdapat 5 orang (16,7%). Berdasarkan perhitungan terlihat bahwa tingkat stres kerja perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta berada pada kategori rendah. Ini berarti bahwa perawat yang bertugas pada Instalasi Rawat Inap ini hanya sedikit sekali mengalami perasaan tidak nyaman, ketegangan serta kondisi psikologis yang negatif berkaitan dengan pekerjaannya.
Apabila dilakukan analisa lebih lanjut pada keenam aspek yang menyebabkan terjadinya kerja, maka diperoleh hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 7 berikut ini:
Tabel 3
Perhitungan Tingkat Stres Kerja Responden Berdasarkan Aspek Tugas, Peran, Behaviour Setting, Lingkungan Fisik, Lingkungan Sosial serta Karakteristik Individu

Macam Aspek Kategori Jumlah Responden Prosentase (%)
Tugas Rendah
Tinggi 18
12 60
40
Peran Rendah
Tinggi 14
16 46,7
53,3
Behaviour Setting Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi 6
20
4 20
66,7
13,3
Lingkungan Fisik Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi 3
26
1 10
86,7
3,3
Lingkungan Sosial Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi 14
14
2 46,7
46,7
6,7
Karakteristik Individu Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi 6
22
2 20
73,3
6,7
Melihat perhitungan mengenai tingkat stres kerja berdasarkan 6 stresor yang dijadikan parameter dalam penilaian ini, aspek Lingkungan Fisik menempati posisi pertama dalam urutan penyebab stres kerja yang dirasakan oleh perawat di RSUD Kota Yogyakarta. Hal ini berarti sebagian besar responden (sebanyak 27 perawat) menyatakan bahwa lingkungan fisik Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta merupakan stresor terbesar yang berkontribusi dalam terjadinya stres kerja disana. Lingkungan fisik yang dimaksud disini misalnya adalah pencahayaan yang kurang memadai (terlalu gelap atau terlalu terang), fisik bangunan bangsal ataupun tata letak ruangan yang kurang nyaman, peralatan yang kurang lengkap dalam menjalankan tugas keperawatan, suhu ruangan yang tidak nyaman sehingga mengganggu mereka ketika bekerja, keadaan ruangan yang pengap dan lembab, dsb. Selanjutnya, aspek behaviour setting menduduki peringkat kedua sebagai stresor penyebab stres setelah lingkungan fisik. Ini artinya sebagian besar responden masih menganggap behaviour setting di ruangan tersebut membuat mereka cukup stres. Yang dimaksud dengan behaviour setting disini adalah mengenai kemampuan para perawat untuk bisa memanfaatkan fasilitas yang ada, yang meliputi jumlah karyawan, apakah terlalu berlebihan atau sebaliknya, kurang dari yang diharapkan.
Pada aspek tugas, suara responden terbagi hampir sama untuk kategori tinggi dan rendah. Artinya, sebagian dari responden (60%) menganggap tugas yang menjadi tanggung jawab mereka cukup mudah dan menyenangkan untuk dikerjakan sehingga aspek tugas bukan merupakan stresor yang berat untuk terjadinya stres kerja.
Pada aspek peran, suara responden juga terbagi hampir sama untuk kategori tinggi dan rendah. Artinya, sebagian dari responden (46,7%) menganggap peran yang mereka jalankan cukup mudah dan menyenangkan untuk dikerjakan sehingga aspek peran bukan merupakan stresor yang berat untuk terjadinya stres kerja. Responden ini menyatakan bahwa mereka mampu melakukan peran mereka dengan baik, misalnya menjadi seorang perawat bagi pasiennya, menjadi seorang bawahan bagi atasannya di rumah sakit, menjadi isteri bagi suaminya, menjadi ibu bagi anak-anaknya, menjadi anggota masyarakat bagi kelompok sosialnya dirumah. Semuanya itu tidak mendatangkan beban yang berat bagi reponden ini. Sedangkan sebagian yang lainnya (53,3%) menyatakan sebaliknya. Mereka beranggapan bahwa peran yang mereka kerjakan cukup berat untuk dilakukan sehingga menimbulkan perasaan tertekan dan tidak nyaman di dalam bekerja. Hal ini berarti mereka memiliki kesulitan dalam menjalankan peran.
Pada aspek lingkungan sosial, suara responden terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama terdiri dari 46,7 % (atau 14 responden) menyatakan hanya mempunyai sedikit masalah dengan lingkungan sosialnya. Kelompok ini mempunyai persepsi bahwa aspek lingkungan fisik bukanlah stresor yang cukup kuat untuk terjadinya stres kerja. Bagian yang kedua sebanyak 46,7 % (atau 14 responden) menyatakan mempunyai masalah yang lebih banyak lagi terhadap lingkungan sosial mereka, dan mereka mempersepsikan bahwa lingkungan fisik merupakan stresor yang cukup tinggi pada terjadinya stres kerja yang mereka alami. Sedangkan bagian yang terakhir, sebanyak 2 responden (6,7%) menyatakan mereka bermasalah secara serius dengan lingkungan sosial mereka dan menganggap aspek lingkungan sosial ini memberikan kontribusi yang sangat kuat pada terjadinya stres kerja di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta.
Pada aspek karakteristik individu, suara responden terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok yang pertama sebanyak 6 reponden (20%) menyatakan bahwa sifat-sifat individual yang mereka punyai tidak memberikan kontribusi yang besar pada terjadinya stres. Kemungkinan responden ini memiliki kepribadian tipe B.Kelompok yang kedua sebanyak 22 reponden (73,3) menyatakan bahwa sifat mudah marah, mudah stres, mudah mengalami kecemasan, dsb memberikan pengaruh yang cukup kuat pada terjadinya stres kerja, lebih besar dari kelompok yang pertama tadi. Selanjutnya kelompok yang terakhir, ada 2 orang responden (6,7%) menyatakan bahwa mereka mempunyai persepsi bahwa sifat-sifat individual mereka memberikan pengaruh yang sangat kuat pada terjadinya stres kerja. Kemungkinan responden terakhir ini adalah mereka yang mempunyai kepribadian tipe A, yang dicirikan dengan sifat tidak sabaran, mudah marah/tersinggung, mudah cemas, mudah stres.


3. Tingkat Empati Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta
Tabel 4
Frekuensi Kategori Tingkat Empati Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Secara Total Tahun 2004


Kategori Jumlah
Responden
Prosentase (%)
Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi
TOTAL 6
22
2
30 20,0
73,3
6,7
100
Tabel tersebut menunjukkan empati perawat berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 22 responden (73,3%). Hal ini berarti perawat disana sudah mampu memahami apa yang dirasakan oleh pasien maupun keluarga pasien, mampu mengerti keadaan mereka, menyelami kondisi psikologis yang dirasakan pasien, serta sudah mampu menampilkan sikap yang empatik terhadap pasien maupun keluarga pasien.







Tabel 5
Perhitungan Tingkat Empati Responden Berdasarkan Aspek Perspective Taking, Fantasy, Empathic Concern dan Personal Distress
Macam Aspek Kategori Jumlah Responden Prosentase
(%)
Perspective Taking Tinggi
Sangat Tinggi 7
23 23,3
76,7
Fantasy Tinggi
Sangat Tinggi 16
14 53,3
46,7
Empathic Concern Tinggi
Sangat Tinggi 7
23 23,3
76,7
Personal Distress Rendah
Tinggi
Sangat Tinggi 1
11
18 3,3
36,7
60

Memperhatikan berbagai bidang aspek di dalam variabel empati masih dapat dilihat rata-rata semua aspek pada empati termasuk tinggi dan sangat tinggi. Namun masih ada salah satu aspek empati yang mempunyai responden termasuk kategori rendah yaitu personal distress, yang menunjukkan 1 orang responden (3,3%) menunjukkan kategori rendah. Ini berarti, ada sebagian kecil perawat yang memiliki kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan ketika bertugas di rumah sakit, sehingga hal ini akan berpengaruh pada bagaimana sikapnya dalam berempati kepada pasien serta keluarganya.
Lebih lanjut, pada aspek perspective taking, sebanyak 23 responden (76,7) yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Artinya kemampuan yang mereka miliki lebih baik dibanding dengan kelompok yang pertama.
Pada aspek fantasy, sebanyak 16 orang (53,3%) mempunyai kategori tinggi. Artinya mereka cukup baik di dalam kemampuan untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dan mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, sandiwara atau film yang dibaca atau ditontonnya.
Pada aspek empathic concern, yang merupakan perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain, sebanyak 23 responden (76,7) masuk kedalam kategori sangat tinggi, artinya kemampuan berempati mereka lebih baik dari ketujuh responden yang lainnya. Hasil ini bagus karena selain seluruh reponden memiliki tingkat empati yang tinggi sampai sangat tinggi, jumlah reponden yang termasuk dalam kategori tinggi berbeda cukup jauh dengan jumlah responden yang termasuk kategori tinggi (3 kali lipatnya).
4. Hubungan Antara Tingkat Stres Kerja dengan Tingkat Empati Perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta
Tabel 6
Tabulasi Silang antara Tingkat Stres Kerja dan Tingkat Empati Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2004

Tingkat Empati Responden
TOTAL
Tingkat
Stres Kerja Responden Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Sangat Rendah 5 19 1 25
Rendah 1 3 1 5
Total 6 22 2 30

Tabel 7
Hubungan antara Tingkat Stres Kerja dan Tingkat Empati Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2004

Tingkat Empati
Tingkat Stres Kerja Koofisien Korelasi Spearman
Signifikansi (2-sisi)
Jumlah Responden (N) -0.511
0,004
30

Dari analisis data juga diketahui hubungan antara tingkat stres kerja (X) dan tingkat empati (Y) dihasilkan nilai koefisien korelasi Spearman sebesar = -0,511. Tingkat signifikansi yang ada adalah 0,004 yang berarti lebih kecil dari 0,05. Hipotesis dalam penelitian ini diterima karena rs hitung sebesar -0,511 lebih besar dari pada rs tabel sebesar -0,361 pada uji r dua sisi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat stres kerja dan tingkat empati.
Keadaan dimana kondisi stres kerja yang berpengaruh pada kemampuan empati perawat ini sesuai dengan pendapat Robbins, 1998 yang menyatakan bahwa Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat3. Dengan kondisi psikologis dan emosional yang baik, perawat akan mampu untuk memberikan empati yang baik kepada pasien, dan kebalikan dari itu, perawat tidak akan mampu melaksanakan empati dengan baik karena kendali diri yang berkurang akibat stres kerja akan sangat mempengaruhi sikap empati yang mereka tampilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fontana (1990) yang menyatakan bahwa simptom stres dapat mempengaruhi emosi seseorang4. Efek emosi terhadap stres pada umumnya berupa kendali diri (self control) yang berkurang. Firth dan Britton (1989) yang menyatakan bahwa perawat yang mengalami stres cenderung “membuang” perasaan tidak menyenangkan yang dirasakannya kepada orang lain yang ada di sekitarnya, sehingga timbul sikap serta perilaku yang negatif5. Perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta memiliki tingkat stres yang rendah dan sangat rendah, artinya mereka sangat sedikit mempunyai emosi negatif yang bersumber dari pekerjaan mereka untuk dicurahkan kepada pasien, sehingga diperoleh hasil empati perawat yang berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi.
Walaupun secara umum perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta mempunyai kategori yang tinggi, akan tetapi masih saja ada responden yang mempunyai empati yang rendah yaitu sebanyak 6 responden. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pihak manajemen rumah sakit. Apalagi, bila dilihat dari data yang ada pada Tabulasi Silang yang disajikan dalam Hasil Penelitian terlihat sebagian besar (5 dari 6 perawat) yang mempunyai tingkat empati rendah memiliki stres kerja yang sangat rendah. Oleh sebab itulah perlu dianalisa lebih lanjut mengenai fenomena ini, dimana keenam responden tersebut mempunyai keadaan yang tidak seiring dengan teori mengenai hubungan stres kerja dan empati pada umumnya.
Berdasar tabel tabulasi silang juga dapat dilihat hanya ada 1 orang responden (3,3%) yang memiliki hasil terbaik, yaitu mempunyai tingkat stres kerja pada kategori sangat rendah serta tingkat empati yang berada pada kategori sangat tinggi. Sebagian besar responden memiliki tingkat stres kerja pada kategori sangat rendah serta tingkat empati yang berada pada kategori tinggi (19 responden).
Melihat karakteristik responden penelitian ini (93,3 %) yang sebagian besar berjenis kelamin wanita serta hubungannya dengan hasil penelitian bahwa kemampuan empati perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta tinggi, sesuai dengan pendapat Goleman (2002) yang menyatakan bahwa empati adalah merupakan ciri khas dari wanita6, serta sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tjahja (1996) bahwa wanita lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki7. Wanita lebih mampu berempati. Responden yang berjenis kelamin wanita dan laki-laki tidak seimbang dalam penelitian ini sehingga peneliti kurang dapat membuktikan mengenai kebenaran pendapat tersebut karena tidak bisa dilakukan analisa mengenai pengaruh gender ini terhadap kemampuan empati seseorang.
Pendapat yang mengatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan empatinya (menurut Corbett dalam Ellis dkk, 1995)8 juga tidak bisa digeneralisir untuk penelitian ini oleh karena terbukti dengan mayoritas responden yang berusia muda (25 sampai dengan 30 tahun) mereka mampu menampilkan kemampuan empati yang baik. Hal ini membuktikan pula bahwa ternyata perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta mempunyai derajat kematangan yang tinggi, oleh karena dengan usia yang masih tergolong muda, mereka sudah mampu menampilkan sikap yang empatik serta mampu memandang suatu hal secara proporsional dan baik. Pernyataan ini juga membuktikan kebenaran pendapat Gunarsa (1983) yang menyatakan bahwa derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.
Responden yang keseluruhannya mempunyai pendidikan D3 Keperawatan juga mempunyai kemungkinan berkontribusi pada hasil penelitian yang menyatakan empati perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta tinggi. Artinya, kemungkinan dengan pengalaman pendidikan pernah menempuh jalur pendidikan tinggi, perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta mengalami paparan ilmu pengetahuan yang akan meningkatkan kemampuan kognisi mereka dalam memberikan penilaian yang akurat dalam proses berempati kepada pasien. Pernyataan ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Lauster (1976)9 serta Thomas (1997) yang menyatakan bahwa orang yang terdidik memiliki kemampuan empati yang lebih baik10. Perawat dengan pendidikan D3 Keperawatan adalah termasuk golongan “yang terdidik” sehingga mereka akan memiliki tingkat empati yang lebih baik pula dibanding dengan yang belum pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Demikian pula bila melihat mayoritas responden yang memiliki pengalaman kerja antara 1 sampai 5 tahun, hal ini sesuai dengan pendapat Thomas dkk (1997) yang menyatakan bahwa masa kerja berpengaruh pada kemampuan empati seseorang11. Di saat awal memulai relasi (masa kerja awal) , perawat akan cenderung memperhatikan dan berempati kepada pasiennya secara lebih cermat, sungguh-sungguh dan menyeluruh. Namun selanjutnya semakin lama relasi dibangun, ada kecenderungan perawat merasa bahwa dirinya tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasien, sehingga perawat menjadi kurang memperhatikan pada pasiennya tersebut. Hal ini perlu diwaspadai, apakah tingkat empati yang tinggi ini karena masa kerja responden masih singkat dan perlahan akan menurun sejalan dengan bertambahnya masa kerja mereka.
Hipotesis alternatif dalam penelitian ini diterima, artinya melalui uji hipotesis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa antara tingkat stres kerja dengan tingkat empati mempunyai hubungan, dan hubungannya adalah negatif. Menurut Arikunto (1997) hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan/ korelasi tetapi lawan kesejajaran12. Korelasi negatif mempunyai maksud : semakin tinggi nilai X, semakin rendah nilai Y. Atau Kenaikan nilai X diikuti penurunan nilai Y.Bila stres kerja dipandang sebagai variabel X dan empati dipandang sebagai variabel Y maka implikasinya dalam penelitian ini adalah dengan tingkat sress kerja perawat (X) sangat rendah maka tingkat empati perawat (X) cenderung tinggi.
Bila ditinjau dari segi output institusi yang menyatakan bahwa hanya 1 dari 16 pasien menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan keperawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta, maka hasil penelitian yang menyatakan bahwa perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta memiliki kategori tingkat stres kerja yang sangat rendah serta tingkat empati yang tinggi tersebut adalah sejalan dengan teori mengenai stres kerja yang dikemukakan oleh Steers (dalam Lutfans, 1985) yang menyatakan stres dapat mempengaruhi kesehatan dan evektifitas kerja karyawan karena memiliki efek pada aspek fisik dan psikologis serta pendapat yang dikemukakan oleh Robbins (1998) yang menyatakan bahwa dampak dari stres kerja yang dialami oleh perawat secara tidak langsung akan berpengaruh pada efektivitas kerja serta produktivitasnya14. Kondisi perawat yang memiliki stres kerja minimal menimbulkan kondisi psikologis yang positif sehaingga mereka mampu menghasilkan kinerja yang baik, sikap penuh empatik, efektivitas serta produktivitas kerja yang optimal. Tingkat kepuasan pasien yang tinggi itulah yang menjadi parameter tingginya evektifitas dan produktivitas kerja perawat.




KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil peneliti

1. Tingkat stres kerja perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta adalah sangat rendah
2. Tingkat empati perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta adalah tinggi
3. Ada hubungan yang negatif antara tingkat stres kerja dan tingkat empati pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta
Saran.
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah:
1. Bagi perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta
1.1. Tingkat stres kerja perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta yang berada pada kategori sangat rendah hendaknya dipertahankan di kemudian hari.
1.2 Demikian pula dengan tingkat empati perawat yang sudah tinggi dan tingkat stres kerja berada pada kategori sangat rendah hendaklah dapat dipertahankan dikemudian hari, bahkan ditingkatkan.
2. Bagi Manajemen RSUD Kota Yogyakarta
2.1. Lingkungan fisik ternyata menjadi stresor utama bagi terciptanya stres kerja di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta. Demikian pula dengan behavioral setting yang menempati urutan kedua. Oleh karena itu kiranya pihak manajemen RSUD Kota Yogyakarta mempertimbangkan kembali mengenai penataan lingkungan fisik, pengadaan sarana dan prasarana yang menunjang tercapainya lingkungan fisik yang kondusif dalam bekerja.
2.2. Dari aspek behavioral setting, dapat dilakukan dialog terbuka dengan para perawat mengenai bagaimana suasana kerja yang diinginkan untuk tercipta, termasuk di dalamnya berbagai kebijakan mengenai kepegawaian dan pendayagunaan staf keperawatan.
2.3. Untuk variabel empati, hendaknya pihak managemen RSUD Kota Yogyakarta mewaspadai masih adanya perawat yang mempunyai tingkat empati rendah (sebanyak 20 %). Walaupun nilai ini tidak terlalu besar akan tetapi bila ada kemungkinan untuk bisa mengubah mereka menjadi lebih empatik, tentu akan lebih baik lagi. Pengguna jasa tentu akan lebih senang dan kepuasan pelanggan bisa lebih ditingkatkan lagi. Usaha untuk meningkatkan empati perawat dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya melalui pelatihan kemampuan EQ dan sebagainya.
3. Bagi kelanjutan penelitian selanjutnya
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres kerja yang rendah dan sangat rendah pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta dengan mempergunakan metode penelitian yang lebih lengkap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi