IMPLIKASI BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO.40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP KEBEBASAN PERS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bentuk dari hak publik jumlahnya banyak, salah satu diantaranya adalah hak publik untuk mendapatkan informasi dimana hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi adalah dari pers, oleh karena itu sudah sepatutnya apabila kemerdekaan pers dijamin melalui suatu undang-undang. Jaminan terhadap kemerdekaan pers yang merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, adalah juga jaminan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pertumbuhan dan perkembangan pers nasional korelatif atau memiliki hubungan satu sama lain, dengan laju pertumbuhan dan perkembangan pembangunan nasional secara keseluruhan. Di satu pihak, pers merupakan salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan, di lain pihak, pers banyak turut mengambil manfaat dari keberhasilan pembangunan. Keberhasilan dalam bidang pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat dan perluasan fasilitas perhubungan darat, laut dan udara, misalnya, sudah jelas besar manfaatnya bagi pertumbuhan dan perkembangan pers.
Adanya hubungan korelatif antara pers nasional dan pembangunan membawa konsekwensi bahwa bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Dengan lain perkataan, kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional.
Pers sebagai media pendukung keberhasilan pembangunan, perlu senantiasa menyadari tentang tujuan pembangunan nasional, ialah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, yang mementingkan pemerataan materiil dan spirituil, berdasarkan Pancasila, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, perlu juga menyadari tentang landasan pembangunan nasional yang bertumpu pada pokok pikiran untuk membangun Manusia Indonesia seutuhnya, dan membangun seluruh masyarakat Indonesia.
Pers sebagai sub-sistim dari sistim sosial yang ada, di mana pers itu diterbitkan, perlu menjaga adanya kesadaran tersebut, untuk memantapkan arah pengabdian pers nasional bagi kepentingan masyarakatnya. Suatu pengabdian yang akan turut menjamin keberhasilan pembangunan, yang pada gilirannya akan dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan pers itu sendiri.
Sudah barang tentu, pengabdian pers kepada masyarakatnya bukan hanya atas pertimbangan yang bersifat pragmatik semacam itu, yaitu pertimbangan yang mementingkan hasil-hasil yang praktis tanpa perlu mengkaitkannya dengan berbagai teori dan alam pemikiran, yang sebenarnya jauh lebih pokok. Hal ini dapat dipelajari dalam Pedoman Pembinaan Idiil Pers, yang menyangkut pers pembangunan.
Di dalam Pedoman Pembinaan Idiil Pers dijelaskan, bahwa pers nasional sebagai lembaga masyarakat yang mempunyai fungsi untuk mendukung kemajuan masyarakat lingkungannya, mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menyebar luaskan pesan-pesan kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada masyarakat pembacanya. Penyebarluasan pesan-pesan semacam itu sekaligus akan dapat menanamkan kesadaran, kepercayaan dan harapan yang wajar kepada masyarakat bahwa orang Indonesia itu sebenarnya mampu untuk merencanakan dan menyelesaikan pembangunan dengan baik; bahwa setiap keberhasilan pembangunan akan menempatkan kita dalam keadaan yang lebih baik, dan bahwa dengan demikian arah pembangunan yang kita anut itu dapat di pertanggung-jawabkan.
Pers pembangunan tidak diharapkan untuk menutup mata terhadap kesulitan, kekurangan ataupun kegagalan dari pembangunan. Tetapi yang penting untuk diperhatikan adalah perlunya turut menanamkan kepercayaan akan kemampuan sendiri dalam mengatasi segala macam problema. Kesulitan apapun yang kita alami dalam melaksanakan pembangunan nasional, perlu diambil hikmahnya dan dimanfaatkan untuk mengadakan koreksi dan penyempurnaan, tanpa mengganggu stabilitas nasional yang sangat diperlukan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara terencana.
Untuk itu, pers pembangunan bertugas turut menciptakan suasana batin masyarakat, agar dapat diliputi dengan rasa syukur, penuh harapan dan penuh kemauan untuk bekerja giat dan lebih tekun dalam membantu pelaksanaan pembangunan. Suasana batin semacam itu akan dapat membantu pengembangan iklim sosial yang menguntungkan bagi suksesnya pembangunan. Inilah juga yang disebut dengan istilah pembinaan sikap mental dan sikap hidup manusia pembangunan, ialah suatu sikap yang dalam taraf terakhir bersumber pada tata dasar dan falsafah hidup Pancasila. Di sinilah terkaitnya pers, sebagai salah satu media komunikasi massa, sebagai jalur yang diharapkan turut memasyarakatkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, Tentang Pers, istilah ‘pers’ berarti lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran tersedia .
Akhir-akhir ini, timbul kegamangan dalam dunia pers. Kegamangan itu merupakan akibat dari pelaksanaan kebebasan pers berupa kritik yang tak berperasaan, menyesatkan, dan sangat miring. Ada dua kasus utama yang diamati oleh peneliti, yang pertama kasus Djadja Suparman (DS) versus beberapa harian, antara lain Radar Bali, Sumatra Ekspres, Rakyat Merdeka, dan Jawa Pos, yang kedua kasus Tommy Winata (TW) versus majalah Tempo. Korban-korban pemberitaan pers telah berjatuhan, dan hal ini menunjukkan bahwa slogan selalu yang pertama dalam melansir sesuatu berita, betul-betul merupakan persaingan bebas dalam kebebasan pers. Persaingan bebas dalam kebebasan pers ternyata juga mengandung aspek negatif, sehingga diplesetkan menjadi kebablasan pers. Pencegahan kebablasan pers itu menyebabkan pers terbuka untuk dikontrol masyarakat. Selain itu, Undang-Undang Pers (UUP) juga sudah menyiapkan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat kebebasan pers dalam pemberitaan, lebih-lebih apabila korbannya para politisi atau konglomerat hitam.

B. Perumusan Masalah
Didasarkan atas judul penelitian dan latar belakang masalah di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini masuk dalam penelitian hukum yang mengatur bidang kegiatan pers. Masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimanakah implikasi berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Terhadap Kebebasan Pers?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implikasi berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Terhadap Kebebasan Pers.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan Hukum Tata Negara, khususnya yang berhubungan dengan Pers setelah berlakunya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
2. Memberikan sumbangan pemikiran tentang peran pers dalam pembangunan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pers

1. Pengertian Pers

Pers menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:[1]

a. Usaha percetakan dan penerbitan

b. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita

c. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio

d. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita

e. Medium penyiaran berita seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film.

Secara singkat pengertian Pers menurut Kurniawan Junaedhie adalah sebutan bagi penerbit/perusahaan/kalangan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan.[2] Dalam perkembangannya istilah ini diberi pengertian dengan penerbitan pers. Bahkan belakangan pengertiannya meliputi dua hal, yaitu pers dalam arti sempit (media cetak) dan pers dalam arti luas (semua barang cetakan yang ditujukan untuk umum sebagai pengganti istilah printed massmedia)

Istilah ini juga lazim untuk menyebut orang atau kegiatan yang berhubungan dengan media massa elektronik. Pengertian Pers berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah:

Lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalisitik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dari rumusan pengertian pers tersebut di atas dapat diketahui karakteristik pers meliputi:

1. Berupa kegiatan jurnalistik yang terdiri dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi;

2. Bentukya dapat berwujud tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya;

3. Menggunakan sarana atau alat media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Di dalam Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tersebut, ditegaskan bahwa Pers merupakan wahana sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Pengertian Pers menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Pers dan kemudian dinyatakan tidak berlaku sesuai ketentuan Pasal 20 Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999, disebutkan bahwa Pers adalah:

Lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat‑alat milik sendiri berupa percetakan, alat‑alat foto, klise mesin‑mesin stensil atau alat‑alat teknik lainnya.

Kemudian dalam Penjelasan Umum alinea kedua dan Undang‑undang tersebut ditegaskan bahwa Pers Nasional adalah alat perjuangan bersifat aktif dan kreatif, yang dalam perkembangan selanjutnya merupakan pelopor dan pelaksana Revolusi Pancasila. Pengertian penerbitan pers tidak termasuk dalam pengertian sebagai alat komunikasi yang tidak bersifat umum, seperti penerbitan‑penerbitan khusus keagamaan, keilmuan, kejuruan dan sebagainya. Karena untuk penerbitan pers yang bersifat khusus tersebut berpedoman pada peraturan perundang‑undangan tersendiri.

Dari dua pengertian rumusan pers sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 11 Tahun 1966 dan Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999 apabila diperhatikan secara seksama terdapat beberapa perbedaan, yaitu:

    1. Pada pengertian Pers menurut Ketentuan Pasal 1 butir 1 dari Undang‑undang Nomor 11 Tahun 1966 menyebutkan fungsi pers secara tegas, yaitu sebagai alat revolusi, dan tidak menyebutkan jenis kegiatan dari pers, namun menentukan jenis sarana penerbitan pers.
    2. Pada Pengertian pers menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan jenis kegiatan, serta sarana untuk penerbitan pers.

Sedangkan persamaanya terletak pada rumusan mengenai pengertian Pers sebagai suatu lembaga atau wadah sosial, serta merupakan media komunikasi massa.

2. Fungsi Pers dan Peranan Pers

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, dijelaskan bahwa Organisasi pers ialah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi media periklanan, yang disetujui oleh Pemerintah.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam pembangunan, maka pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat.

Hal ini berbeda dengan fungsi Pers, menurut pasal 3 Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang penting yaitu: sebagai media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers harus menerapkan prinsip‑prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para karyawan media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.

Di samping itu, pers juga berfungsi menyebarkan informasi yang objektif, penyalur aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Pelaksanaan fungsi pers tersebut sangat penting dalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. yang demokratis. Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas, dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.

Dengan demikian dapat kita lihat peranan pers sangat penting dalam memperjuangkan terwujudnya tatanan baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar golongan, dan intemasioal, khususnya di bidang pers. Dimana kegiatan pers ini dapat menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh kesatuan dan persatuan nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, Pers Nasional memiliki lima tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:

a. melestarikan dan memasyarakatkan Pancasila sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila;

b. memperjuangkan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat berlandaskan Demokrasi Pancasila;

c. memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab;

d. menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, mempertebal rasa tanggung jawab dan disiplin nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan; serta

e. memperjuangkan terwujudnya tata international baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar regional dan international khususnya di bidang pers.

Menurut pasal 6 Undang‑undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pers Nasional melaksanakan peranan sebagai berikut

    1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
    2. Menegakkan. nilai‑nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
    3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi. yang tepat, akurat dan benar,
    4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal‑hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
    5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.

Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu "adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan atau pekerja pers dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan, perundang-undangan yang berlaku".

B. Masalah Kebebasan Pers Di Indonesia

1. Kebebasan Pers Sebagai Prasyarat Penyiaran Instrumen Kontrol Dalam Negara Demokrasi

Dalam wawancara dengan The World Association of Newspapers berkaitan dengan hari Kebebasan Pers se-Dunia, sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa media massa dunia kini berperan utama dalam memajukan kebebasan dan pertukaran informasi dan gagasan dalam skala global. Kebebasan itu merupakan prasyarat utama bagi demokratisasi, pembangunan, serta perdamaian. Bahkan kebebasan informasi merupakan investasi melawan – dan mencegah lahirnya kembali-tirani.[3] Pernyataan Annan tersebut tersirat dengan jelas, bagaimana keberadaan lembaga Pers (yang akrab di sebut media massa) sangatlah penting bagi terwujudnya demokratisasi dalam kehidupan berbagai dan bernegara.

Kebebasan mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan atau cetak, merupakan salah satu nilai-nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui dan di jamin secara universal. Kebebasan mendapatkan informasi dan kemerdekaan menyatalam pendapat terkait erat dengan kebebasan dan kemerdekaan pers. Seringkali, kebebasan dan kemerdekaan pers merupakan salah satu pelaksanaan prinsip negara demokrasi. Dalam artian, pers merupakan pilar ke empat (the fourt estate) demokrasi.

Di masa berkuasanya rezim Orde Baru, otokrasi kekuasaan yang tampil dalam keseharian dapat terlihat dengan tidak terlaksanakannya Pasal 28 UUD 1945 secara sungguh-sungguh. Ketidak demokratisan sistem hukum ketatanegaraan yang di bangung Orde Baru menisbikan peran dan fungsi lembaga Pers. Pemberlakukan UU No. 21 tahun 1982, khususnya pada pasal 13 ayat (5) yang menyatakan bahwa :

Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat ‘SIUPP’, yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengarkan pertimbangan Dewan Pers.

Dari landasan hukum inilah, Orde Baru membangung kebijakan sensor dan pelembagaan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang mengekang bagi pemberhentian Pers yang bersebarangan dengan penguasaan. Dengan adanya Permenpen No. 01/Per/1984; tentang lembaga SIUPP, dalam praktek kehidupan ketatanegaraan terjadi (contoh kasus) pembreidelan Majalan Tempo dan Detak. Sehingga proses pembangunan dan pelaksanaan pemerataan hasil-hasil pembangunan selama 32 tahun, tidaklah dapat dikontrol secara transparan kepada publik melalui media massa.

Maka, dimana pemerintahan B.J. Habibie, memulai proses keterbukaan bagi lahirnya kran-kran demokrasi, salah satunya kebebasan dan kemerdekaan pers. Lahirnya Permenpen No. 01/Per/1998 sebagai pengganti Permenpen No.01/Per/1984 mempermudah pengajuan SIUPP dan berdampak lahirnya pers dalam jumlah yang sangat menakjubkan, baik media cetak maupun media elektronik. Sementara ditingkat aturan perundangan yang mengatur pers dengan diberlakukannya UU No. 40 tahun 1999, sebagai pengganti UU No. 21 tahun 1982, meletakkan jaminan kebebasan kemerdekaan bagi lembaga pers. Akan tetapi, sistem hukum ketatanegaraan dalam masa reformasi hingga tahun 2003 belumlah benar memberikan kebebasan dan kemerdekaan sepenuhnya bagi pers. Menurut Leo Batubara, tercatat masih ada terdapat 45 – dalam KUHP terdapat 35 pasal, di dalam UU No. 8 tahun 1999; tentang Perlindungan Konsumen terdapat 1 pasal, dan sembilan pasal dalm UU No.32 Tahun 2002; tentang Penyiaran pasal yang bisa mengekang kreatifitas atau ekstemnya memenjarah para komunitas pers.

Dalam masa reformasi perubahan yuridis atas keberadaan pers merupakan prasyarat terjadinya liberalisasi sistem politik sebagai upaya melahirkan media komunikasi sosial-politik dalam kehidupan bernegara. Masa-masa transisional yang ditandai dengan membuka ruang-ruang komunikasi publik (masyarakat) merupakan perwujudan hak-hak politik bagi setiap warga negara atau kelompok-kelompok sosial mengenai kebebasan mendapatkan informasi dan hak kemerdekaan atas menyampaikan pendapat/gagasan secara lisan maupun tulisan atau cetak.

Akan tetapi, euphoria politik dalam era reformasi sepanjang kebebasan dan kemerdekaan pers ini tidaklah serta-merta memiliki persoalan di kemudian hari dengan begitu saja. Keberadaan lembaga pers terkadang terkesan masuk dalam situasi pro dan kontra dalam setiap dinamika peristiwa-peristiwa politik yang sedang berkembang, 1998-2002. Kesan pro-kontra inipun, dalam waktu seketika membangkitkan sikap kontra demokratis sebagai pendukung kekuatan politik yang merasa dirugikan atas pemberitaan Pers. Kasus pendudukan dan penyegelan ilegal kantor SKH Jawa Pos pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau premanisme dalam kasus penyerangan kantor SKH Tempo di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Berangkat atas kasus tersebut, kebebasan dan kemerdekaan Pers menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh sebagai upaya membangun infrastruktur politik ketatanegaraan Indonesia yang demokratis. Pilihan yang dilematis dihadapi oleh kalangan Pers di era reformasi; di satu sisi, jikalau, pers di kekang maka upaya pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokrasi, mengalami perbaikan arah reformasi. Disisi lain, kebebasan dan kemerdekaan Pers tanpa diikuti oleh upaya transpormasi kultur demokrasi dari Pers kepada masyarakat pembaca sama halnya dengan lahirkan anarkhisme atau pemicu lahirnya konflik horizontal di kalangan massa rakyat.

Pada esensialnya keberadaan peran media massa (Pers) memiliki 2 (dua) fungsi pokok, yakni; pertama, Kelembagaan Pers merupakan media pendidikan politik massa rakyat. Kedua, kelembagaan Pers merupakan media komunikasi politik. Perdebatan media massa itu harus independen objektif ataupun pilihan keberpihakan yang sangat partisan. Karena, pemberitaan yang terkesan pulgar mengambil sikap memihak akan cenderung menjadi pemberitaan yang bersifat provokatif. Pemberitaan dalam setiap media massa cukuplah mempengaruhi perkembangan kepribadian bangsa dalam kehidupan bernegara. Keberadaan pemberitaan Pers dalam meliput berbagai peristiwa SARA menjadi sangat penting dan kasus maraknya pornografi dalam pemberitaan Pers.

Disamping itu dalam konteks internal kalangan Pers sendiri memiliki persoalan yang sangatlah signifkan. Dimana, pada sistem politik yang tidak demokratis, dalam artian, seperti otoriter ataupun totaliter. Keberadaan Pers menjadi korban kontrol secara ketat oleh negara, yakni rezim penguasa. Sementara, kemungkinan di dalam sistem politik yang demokrasi, keberadaan media massa dikontrol oleh modal dan keinginan pangsa-pasar. Kepemilikan modal yang kuat dari perseoranagan di dalam perusahaan Pers, memungkinkan lahirnya rezim pasar yang mengkooptasi pemberitaan yang disajikan. Otomatis setiap pemberitaan sering lebih mengarah pada akumulasi modal dengan cara lebih memprioritaskan isu-isu yang elitis sebagai pemenuhan kebutuhan pangsa-pasar (pembaca). Akan tetapi, kemungkinan dengan adanya unsur demokratis dari para jurnalis yang berada dalam struktur kelembagaan Pers, memungkinkan untuk tetap terjaganya pemberitaan Pers yang disajikan bersifat netral dan profesional. Leo Batubara mengagas 7 (tujuh) formulasi peran dan fungsi pers dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia demokratis, yakni (Ibid) : Pertama, upaya merubah kultur penyelenggaraan negara, Kedua, mereformasi paradigma hukum nasional dari kebiasaan mengkriminalisasikan pers ke arah dekriminalisasi pers seperti yang lazim berlaku di negara-enagra demokrasi; Ketiga, membangun model interaksi-pers, penyelenggara negara, dan masyarakat – berdasarkan sistem : a) Pers bebas memerankan diri sebagai pemberi peringatan dini, wadah dialog yang memberi pencerahan dan kekuatan keempat demokrasi. b). Peran dan tugas pers nasional hanya efektif dan bermakna bila penyelenggaraan negara juga melakukan reformasi sikap dengan belajar mendengar, merespon, dan menindaklanjuti apa kata Pers profesional sebagai cermin suara hati bangsa. Keempat, memberdayakan UU No. 40 tahun 1999 sebagai landasan yuridis penyelenggaraan pers. Kelima, penegakan hukum hendaknya responsif terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan dan pers. Keenam, memposisikan wartawan selayaknya sebagai petugas palang merah. Ketujuh, melaksanakan fungsi kontrol sosialnya dan peran pengawasan, kritik, serta koleksi. Pelaku pers haruslah taat kepada prinsip profesionalisme pers.

Sementara, idealnya fungsi kontrol dan pengawasan pers ini diatur dalam pasal 28 dan pasal 28F UUD 1945. Kontrol kekuasaan negara di luar lembaga-lembaga kontrol negara yang konstitusional. Tidak menutup kemungkinan Pers dapat pula berperan serta aktif memimpin secara ide dan gagasan akan setiap pergeseran kultur masyarakat Indonesia yang sedang bergerak menuju format tatanan sosial masyarakat yang demokratis. Peran Pers sebagai fungsi sosial diartikan, sebagai pendidikan berorientasi partisipatif politik, pembentukan nilai-nilai moral bangsa, serta sebagai kontrol atas penegakan dan pemberlakuan hukum dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

2. Dasar Hukum Pers dan Kebebasan Pers

Aturan mengenai pers mula-mula dimuat dalam UU Nomor (No.) 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1966 No.40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 1966 No.2815, yang telah diubah terakhir dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1967, yang dapat disebut UUP lama (UUPL). Pada tanggal 23 September 1999, seiring dengan berlangsungnya reformasi sosial dan reformasi hukum, dengan pertimbangan bahwa UUPL tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman, maka diundangkanlah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yang untuk selanjut-nya akan disebut sebagai UUP. Diundangkannya UUP sekaligus menyatakan bahwa UUPL tidak berlaku lagi. Selain itu, UU No.4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Keter-tiban Umum, Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai bulletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, juga dinyatakan tidak berlaku.

Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya[4]. Pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana pun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena UUPL sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Selain kelima dasar pertimbangan di atas, dalam Penjelasan Umum UUP disebutkan enam pokok pikiran yang dirumuskan dalam membentuk UUP[5]. Pertama, agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945 maka perlu dibentuk UUP. Kedua, adanya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transaparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Ketiga, dipahami bahwa pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM. Keempat, diyakini bahwa pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi nepotisme (KKN), maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Kelima, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Keenam, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UUP ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Senada dengan kelima dasar pertimbangan dan keenam pokok pikiran diundangkannya UUP di atas, pada akhir bulan April 2004 Komisi Konstitusi (KK) setuju memasukkan perlindungan kebebasan pers di dalam UUD 1945, dan akan diatur dalam Pasal 28 huruf G. Bunyi rumusan pasal yang disepakati akan masuk dalam Pasal 28 huruf G UUD 1945 itu adalah, Negara melindungi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan pers adalah bagian dari hak azasi manusia yang harus diakui dan dilindungi dalam konstitusi. Penyebutan secara eksplisit ini sangat penting, dan dimaksudkan agar pemerintah atau parlemen yang melaksanakan konstitusi tidak seenaknya menjabarkan perlindungan kemerdekaan pers sesuai dengan politik hukum penguasa saat itu.

Seperti sudah disebutkan di atas, UUP diundangkan pada tahun 1999, sedang KK baru pada akhir April 2004 menyetujui dimasukkannya perlindungan negara atas kebebasan pers di dalam UUD 1945. UUP menggunakan istilah kemerdekaan pers, dan KK menggunakan istilah kebebasan pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara istilah kemerdekaan pers dengan istilah kebebasan pers. Istilah yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan pers, tetapi dalam bahasa lisan, lebih suka digunakan istilah kebebasan pers. Kemerdekaan pers adalah kebebasan pers, dan sebaliknya kebebasan pers adalah kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan sebagai jaminan kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak men cari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers dengan demikian akan disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28 huruf G UUD 1945, dan dalam UU Pers.

Selain dasar hukum yang disebutkan di atas, dikenal pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000. Para wartawan Indonesia yang melaksanakan tugasnya, wajib memahami dan mematuhi KEWI yang dapat disebut sebagai hukum disiplin bagi mereka. KEWI itu diibaratkan sebagai lilin pemandu bagi para wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan[6].

Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Wartawan Indonesia Menghormati Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi Yang Benar.

b. Wartawan Indonesia Menempuh Tatacara Yang Etis Untuk memperoleh Dan Menyiarkan Informasi Serta Memberikan Identitas Kepada Sumber Informasi.

c. Wartawan Indonesia Menghormati Asas Rraduga Tak Bersalah, Tidak Mencampurkan Fakta Dengan Opini, Berimbang, Dan Selalu Meneliti Kebenaran Informasi Serta Tidak Melakukan Plagiat.

d. Wartawan Indonesia Tidak Menyiarkan Informasi Yang Bersifat Dusta, Fitnah, Sadis, Cabul, Serta Tidak Menyebutkan Identitas Korban Kejahatan Susila.

e. Wartawan Indonesia Tidak Menerima Suap Dan Tidak Menyalahgunakan Profesi.

f. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, Menghargai Ketentuan Embargo, Informasi Latar Belakang, Dan Off The Record Sesuai Kesepakatan.

g. Wartawan Indonesia Segera Mencabut Dan Meralat Kekeliruan Dalam Pemberitaan Serta Melayani Hak Jawab.

3. Akar Sistem Kebebasan Pers Indonesia

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

Istilah yang beredar dewasa ini adalah hak publik untuk tahu dan tanggung jawab pers. Ini mengisyaratkan pergeseran teoritis atas konsepsi kebebasan pers, yakni dari semula bertumpu pada individu ke masyarakat. Kebebasan pers yang semua dianggap sebagai kebenaran universal, kini hanya diartikan sebagai akses publik, atau hak masyarakat untuk tahu. Sulit dipastikan kapan para pengelola media mulai mengaitkan tanggung jawab dengan kebebasan. Di masa lalu, ketika mereka terbatas pada penerbit koran, etika jurnalisme jarang sekali disebut-sebut. Pada periode berikutnya, ketika para penerbit koran memihak atau menjalin kedekatan dengan kelompok politik tertentu, kepentingan publik cenderung dinomorduakan. Namun pada pertengahan abad 19, muncul keyakinan bahwa koran harus netral, dan justru harus turut menyehatkan iklim politik, bukan mengeruhkannya. Lalu muncul para penerbit seperti Henry Raymond dari The New York Times yang beranggapan koran tidak boleh memihak kelompok politik, tetapi boleh memihak pada pemikiran politik tertentu guna turut mengupayakan kesejahteraan umum. Berikutnya muncul penerbit seperti William Rockhill Nelson dari Star di Kansas City yang menganggap koran sebagai ujung tombak kemajuan masyarakat. Dalam semua pandangan ini, tersirat pengakuan bahwa koran memang memikul tanggung jawab sosial tertentu.[7]

Pada abad 20, kian banyak pengelola koran yang bicara tentang kewajiban sosial pers sebagai pendukung upaya memasukkan masyarakat. Pada tahun 1904 Joseph Pulitzer menggunakan 40 halaman terbitan North American review untuk mendukung gagasannya bagi dibentuknya semacam akademi jurnalistik. Seiring dengan waktu, kian banyak jurnalis yang berpendapat bahwa tanggung jawab itu sama pentingnya dengan kebebasan. Ketika kepemilikan koran kian memusat ke sedikit koran, para editor dan jurnalis mulai bersuara lantang tentang perlunya koran memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Dunia film dan penyiaranpun mulai memperhatikan soal tanggung jawab sosial ini.

Yang menjadi inti permasalahan dalam pembicaraan mengenai sesuatu sistem pers adalah sistem kebebasannya. Sesuatu sistem pers itu diciptakan justru untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Konsep dasar dari sistem kebebasan pers Indonesia memperoleh landasan idiil dan konstitusional dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kita semua menyadari apa kedudukan dan fungsi Pancasila bagi pembangunan bangsa Indonesia.

Di satu pihak, Pancasila merupakan cita-cita hukum, yang penafsirannya ditentukan dalam UUD 1945. Di sini Pancasila merupakan dasar negara dan juga sumber bagi segala sumber hukum. Dalam UUD 1945, Pasal 3, disebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara”. Atas dasar ketentuan konstitusional inilah MPR, sekali setiap lima tahun, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan dalam GBHN (1983) yang merupakan landasan strategis bagi pembangunan nasional, juga dicantumkan landasan strategis bagi pers, yang menentukan bentuk dan isi sistem kebebasan pers Indonesia sebagai bagian dari sistem penerangan dan media massa, atau bagian dari sistem informasi dan komunikasi.

Di pihak lain, Pancasila merupakan cita-cita moral, atau pandangan hidup yang memberi pegangan dan tuntutan bagi bangsa Indonesia. Untuk benar-benar dapat berfungsi sebagai tuntunan bagi perilaku dan peri kehidupan bangsa, maka nilai-nilai Pancasila tersebut telah dituangkan dalam pedoman, yang menjabarkan tentang bagaimana konkritnya nilai-nilai tersebut dapat dihayati dan diamalkan sebaik-baiknya. Untuk itu oleh MPR telah dikeluarkan Ketetapan (TAP) No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, atau P-4.

4. Makna, Tujuan & Fungsi Kebebasan Pers Bagi Pembangunan

Landasan konstitusional sistem pers Indonesia sebagai yang melekat pada Pasal 28 dan Pasal 33, UUD 1945, yang berjiwa kebersamaan, kekeluargaan dan gotong-royong itulah yang sebenarnya telah menelorkan “partnership theory” antara Pers dan Pemerintah, yang bertolak belakang dengan apa yang sering disebut sebagai “adversary theory” antara Pers dan Pemerintah di negeri Barat. [8]

Partnership theory” tersebut mencerminkan jiwa kebersamaan, yang pengalamannya sudah mendarah-daging sejak tercatat tentang adanya pers nasional di Indonesia. Dengan demikian, maka teori “partnership” tersebut dalam manifestasi-nya tidak menonjolkan “pertentangan antara kebebasan dan kekuasaan, melainkan kerjasama atau musyawarah untuk kebaikan bersama masyarakat (dan) bahwa kekuasaan besar yang diberikan kepada Pemerintah dan kepada Negara jangan sampai mengakibatkan terjadinya penindasan negara atas hak-hak warganegara”.

Atas dasar teori ini pulalah dalam jaman revolusi kemerdekaan tempo hari, telah timbul istilah “grand alliance” atau “perserikatan agung” antara Pers, Pemerintah dan Masyarakat dalam memperjuangkan cita-cita bersama bangsa. Di sini perlu dicatat bahwa tradisi “grand alliance” ini sebenarnya juga telah melembaga dalam sistem pers Indonesia, dan telah pula menjiwai kehidupan pers dalam segi kelembagaan, segi idiil maupun segi pengusahaannya.

Ciri-ciri yang menonjol lainnya dalam sistem kebebasan pers Indonesia a.l. adalah sebagai berikut:

Pertama, pers khususnya suratkabar, adalah penerbitan yang setiap harinya menjual “kabar” atau “berita”. Jadi, kalau kita berbicara mengenai kebebasan pers,maka yang menjadi inti sebenarnya adalah kebebasan untuk mencari, menulis, mencetak dan menyebar-luaskan berita melalui media yang bersangkutan.

Kedua, sistem kebebasan pers Indonesia yang diabdikan untuk “memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab”, seperti tercantum dalam Pasal 2, Ayat 2-c, UU Pokok Pers No. 21 (1982). Memperjuangkan kebenaran merupakan ciri dari tata kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan ini berarti bahwa dalam usaha memperjuangkan suatu kebenaran, wajar apabila ada pendapat yang berlainan dalam masyarakat. Kritik adalah pencerminan adanya pendapat yang berlainan tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem kebebasan pers Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan filosofis yang mendasar, yang intinya mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi sebagian dari kepribadiannya sejak berabad-abad lamanya. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan pers tersebut sepenuhnya mencerminkan jiwa dan semangat daripada konsep dasar dan sekaligus juga landasan strategis dari sistem pers Indonesia sebagai terkandung dalam GBHN.

Memang, UU Pokok Pers boleh dibilang merupakan “lex spesialis” yang memberi pedoman dan aturan permainan bagi kehidupan pers nasional. Materi dan substansi keseluruhannya mencerminkan identitas pers Indonesia, yang berarti juga sekaligus mencerminkan identitas sistem kebebasan pers Indonesia.

C. Perjalanan Pers di Indonesia 1945 - 2007

Perjalanan pers di Indonesia telah mengalami proses cukup panjang dan penuh liku. Sejarah pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia, dan dapat dipecah menjadi beberapa periode.

1. 1945 – 1973: Dari Pers Perjuangan ke Pers Partisan

Pada tahun 1945, ketika Proklamasi Kemerdekaaan dan kelahiran negara Republik Indonesia, telah ada industri pers yang memperjuangkan tujuan nasional. Peristiwa pembentukan Republik Indonesia juga melahirkan beberapa surat kabar yang baru, misalnya harian Merdeka yang didirikan pada tanggal 1 Oktober 1945, hanya 44 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada zaman tersebut, surat-surat kabar dan terbitan lain, cukup bebas di bawah administrasi transisional yang mengurus penyerahan kekuasaan dari pihak Belanda ke Rupublik Indonesia. Pada tahun 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan maupun keberadaan Republik Indonesia, ada 75 terbitan yang dapat disebut ‘pers’.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, surat kabar tumbuh seperti ‘jamur di musim hujan’. Selama dasawarsa 1950, jumlah media cetak terus-menerus bertambah karena dipergunakan oleh partai-partai politik sebagai corong ideologinya. Pada tahun 1955, ketika pemilihan umum yang pertama, jumlah media cetak sampai 457 terbitan, atau enam kali lipat jumlahnya dibanding tahun 1949, dengan jumlah tiras 3.457.910 eksemplar, atau delapan kali lipat jumlah tiras pada tahun 1949[9]. Tahun 1950an, pers Indonesia sangat ‘partisan’, atau berpihak, terutama karena ketergantungan dana dari partai-partai politik untuk kelangsungan hidupnya. Kalau jumlah terbitan pada tahun 1950an ditinjau, dapat dilihat bahwa ada peningkatan secara terus-menurus sampai 1955, yaitu tahun Pemilihan Umum, kemudian ada penurunan tajam, dan pada tahun 1959 jumlah terbitan adalah 324, atau hampir sama dengan jumlahnya pada tahun 1950.

Awal tahun 1960an, jumlah terbitan terus-menerus meningkat, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1966, sebagai cerminan keadaan politik yang semakin memanas. Pada dasawarsa itu, industri pers mengalami dua pembredelan, yang pertama pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966. Tahun 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan penerbit untuk menggabungkan diri dengan sebuah partai politik, organisasi massa atau golongan. Kebiasaan itu muncul karena keperluan pers mencari dana. Akibat Surat Keputusan tersebut, pers lebih menjadi bersifat partisan.

Setelah Peristiwa G 30 S / PKI, 43 dari 163 surat kabar yang ada ditutup oleh pemerintah. Pada tahun 1967, jumlah terbitan menurun sebanyak 132 terbitan dari tahun sebelumnya. Kekuasaan pemerintah atas pers muncul lagi melalui pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Menurut Pasal 20, selama ‘masa peralihan’, penerbit surat kabar wajib memperoleh baik Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan maupun Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap tidak ‘sah’ dan kalau satupun surat izinnya dicabut, terbitan itu dilarang terbit. ‘Masa Peralihan’ itu berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982.

Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950an serta tahun 1960an, pers di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan dana dari partai-partai politik dan golongan lain, pers pada zaman tersebut bersifat sangat partisan dan berpihak. Akibatnya, landasan pers merupakan ideologi dengan ketergantungnya pada partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan kekuasaan pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pembredelan pada tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan SIC untuk mendirikan surat kabar. Pers Perjuangan yang ada pada tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada tahun 1950an, tidak bebas lagi hingga tahun 1960an.

2. 1973 – 1990: Depolitisasi dan Komersialisasi Pers

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organsisasi terhadap pers sehingga tidak lagi mendapat dana dari partai politik. Oleh karena itu, pemimpin terbitan harus mencari dana dari periklanan. Untuk dapat menarik iklan, sebuah terbitan harus mempunyai landasan jumlah pembaca yang banyak.

Pada tahun 1974 dan tahun 1978, industri pers mengalami pembredelan lagi. Setelah kerusuhan ‘Malari’ pada bulan Januari 1974, 12 terbitan dilarang dan beberapa wartawan ditangkap dan puluhan lain didaftarhitamkan. Pada 1978, tujuh harian yang terbit di Jakarta mengalami penutupan karena liputannya yang mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Dengan pembredelan tersebut pemerintah Orde Baru mulai bersifat ‘tangan besi’ terhadap pers. Pemimpin-pemimpin pers mengakui bahwa untuk menjamin kelangsungan terbitannya, mereka harus mengalami proses penyesuaian diri dan ‘depolitisasi’, dalam arti menghilangkan unsur-unsur politik dalam berita yang dimuat, kecuali yang mendukung pemerintah Orde Baru dan kebijakannya. Dapat dilihat bahwa ‘depolitisasi’ tersebut merupakan akibat dari lepasnya pengaruh partai politik, maupun kekuasaan pemerintah.

Iklan merupakan salah satu upaya kebebasan pers Indonesia secara ekonomis. Akhirnya tahun 1970an pers di Indonesia mulai berubah bentuknya dari alat ideologis menjadi industri besar. Pada tahun 1982, SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP hampir sama dengan SIT, seperti perubahan hanya dalam sebutan saja. Namun bedanya SIUPP, lebih tegas lagi. Jika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.

Namun, sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri besar dan memperkerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan SIC kemudian SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi. Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas - Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup.

Alasan-alasan upaya diversifikasi ke bidang media tersebut bukan hanya untuk meraih profit, tetapi juga sebagai perlindungan kepentingan. Kalau SIUPP surat kabar utama, misalnya Kompas, dicabut oleh pemerintah, ada SIUPP surat kabar regional yang dimiliki Kompas - Gramedia Grup, misalnya Surya, yang kuat secara keuangan maupun keredaksian, dapat menerima karyawan surat kabar yang ditutup, dan mengambil pasarnya. Pendek kata, kalau surat kabar utamanya ditutup, masih ada surat kabar lain.

Dalam masa itu, timbullah beberapa grup besar, yang paling besar Kompas - Gramedia Grup dan Grafiti Pers Grup, yang melahir Jawa Pos Grup. Pada tahun 1990an, di antara 13 dan 16 grup mempunyai duapertiga industri pers. Pada tahun 1989, Kompas - Gramedia Grup mendirikan Bagian Pers Daerah, atau ‘Persda’. Dari pendirian bidang itu, dapat dilihat bahwa ‘pers daerah’ dianggap sebagai potensi besar.

3. 1990 – 1997: Era Repolitisasi?

Telah dicatat oleh beberapa pengamat, bahwa pada tahun 1990an, pers di Indonesia mulai ‘repolitisasi’ lagi. Maksud istilah ‘repolitisasi’ itu, bahwa pada tahun 1990an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Suharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerintah dengan muat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh maupun kebijakan Orde Baru. Namun, dapat dilihat dari kesaksian redaktur Jawa Pos, bahwa meskipun ‘repolitisasi’ tersebut memang direncanakan oleh harian Jawa Pos, wujudnyatanya tidak sampai tahun 2000. ‘Repolitisasi’ memang direncanakan di harian Jawa Pos tetapi tidak terjadi secara jelas sebelum keruntuhan Suharto dan rezimnya.

Akan tetapi, ada beberapa peristiwa pada masa itu yang memberi kesan ‘repolitisasi’. Pada tahun 1994, tiga majalah mingguan ditutup, yaitu Tempo, DeTIK dan Editor. Penutupan terbitan-terbitan tersebut menunjukkan bahwa majalah-majalah itu melanggar peraturan pemerintah karena memuat kritik terhadapnya. Namun, pencabutan SIUPP dan penutupannya membuktikan bahwa Orde Baru masih lebih kuat.

Pada tahun 1996, salah satu wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, dibunuh di Yogyakarta, dan pelakunya diduga kaki tangan pemerintah. Pada bulan-bulan sebelum pembunuhan tersebut, Faud sedang menyelidiki kasus korupsi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan menulis artikel mengenai kesimpulannya yang kemudian dimuat oleh Bernas. Penulisan dan pemuatan informasi tersebut menunjukkan bahwa pers mulai bertujuan politik lagi, atau mulai ‘repolitisasi’, seperti kasus penutupan Tempo, DeTIK dan Editor. Akan tetapi, pembunuhan Udin, demikian juga penutupan ketiga majalah tersebut, menunjukkan, untuk sementara, pihak pemerintah lebih kuat dari pada pihak pers dan informasi bebas.

Dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 – 1997, yaitu tahun-tahun sebelum reformasi, pers Indonesia tetap mengikuti tujuan-tujuan komersial dan diversifikasi. Masa 1990an merupakan waktu bagi grup-grup besar menguatkan posisinya. Ada beberapa terbitan yang memuat artikel politik, dalam arti menentang baik kebijakan maupun tokoh pemerintah seperti Bernas, Tempo, DeTIK dan Editor. Tetapi, ‘repolitisasi’ ini terbatas ke beberapa terbitan saja, dan belum menyentuh industri pers di Indonesia secara utuh.

4. 1997: Pengaruh Krisis Moneter (Krismon)

Kejadian Krisis Moneter (Krismon) melanda ekonomi Indonesia pada bulan Juli 1997. Demikian pula industri pers tidak terlepas dari dampak Krismon. Akan tetapi, bagi industri pers ada dampak positif maupun negatif.

Dampak yang negatif adalah ancaman terhadap stabilitas ekonomi pers, khususnya harga kertas koran yang membubung tinggi. Wartawan dan karyawan-karyawan lain yang dipekerjakan oleh perusahaan pers juga mengalami kesulitan, misalnya potong gaji atau diberhentikan. Sebagai tanggapan terhadap krismon, kebanyakan surat kabar mengurangi jumlah halaman, misalnya Jawa Pos mengurangi jumlah halamannya dari 28 halaman menjadi 16 halaman serta memperkecil ukurannya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Seluruh surat kabar yang terbit di Surabaya, baik yang kecil maupun yang beroplah besar, mengurangi jumlah halamannya dan beberapa surat kabar juga mengurangi masa terbitnya. Misalnya surat kabar Karya Darma yang sebelum Krismon terbit enam edisi seminggu, dikurangi hanya terbit lima edisi seminggu.

Namun, pengaruh negatif tersebut berkurang dengan suasana demokratis dan tuntutan berita serta informasi. Dengan kejadian Krismon, industri pers di Indonesia tidak kehilangan mata uangnya, yaitu peristiwa dan berita.

5. 1998: Reformasi dan Kebebasan Pers

Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti “sebuah pesta”.

Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP[10]. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman”.

Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.

Longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 2000[11]. Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas – Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja[12].

Tahun ketiga yang sejak jatuhnya Suharto dan perggantian rezimnya, muncul kencendurangan baru dalam pers di Indonesia, yaitu ‘lokalisasi’. Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah untuk melayani informasi warga di daerah itu. Fenomena lokalisasi pers dan permunculan pers daerah akan dibahas lebih terinci dalam bab berikutnya.

D. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 diatur dalam Bab VIII dan hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18, dengan tiga ayat. Pelanggaran Pasal 18 merupakan tindak pidana, dan walaupun hanya satu pasal, namun mengandung beberapa rumusan tindak pidana sebagai berikut di bawah ini :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (2), yaitu tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiar-an terhadap pers nasional [Pasal 18 ayat (1)].

2. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3), yaitu hak pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluas-kan gagasan dan informasi [Pasal 18 ayat (1)].

Pasal 18 ayat (1) di atas merumuskan perbuatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang, sebagai tindak pidana dan diancam dengan pidana penjara atau denda. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) merupakan perumusan tindak pidana untuk perusahaan pers sebagai berikut di bawah ini.

1. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu melayani Hak Jawab.

3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 13 [Pasal 18 ayat (2)], yaitu dilarang memuat iklan :

a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;

b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai de-ngan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

4. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) [Pasal 18 ayat (3)], yaitu setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

5. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 [Pasal 18 ayat (3)], yaitu wajib mengumumkan nama, alamat, penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.

Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan judul, latar belakang permasalahan maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan sebagai berikut:

1. Historis

Pendekatan historis digunakan untuk mengetahui sejarah perkembangan pers di Indonesia

2. Yuridis

Pendekatan yuridis dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu UUD 1945 dan Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

B. Sumber Data

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian ke pustakaan yang berupa bahan-bahan hukum dan terdiri dari :[1]

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

1). Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945;

2). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;

3). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966

4). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982

5). Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang berupa buku-buku literatur, makalah, artikel dan karya ilmiah lainnyang yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, terdiri dari :

a. Kamus Umum Bahasa Indonesia

b. Kamus Istilah Hukum

c. Ensiklopedia

C. Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan pada:

1. Kantor Pendidikan dan Latihan Ahli Multi Media (MMTC), di Jl. Magelang Km.6 Yogyakarta.

2. Kantor Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat

3. Kantor Redaksi Harian Bernas

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Penelitian Kepustakaan

Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan

Pengumpulan data dalam penelitian lapangan ini dilakukan dengan wawancara langsung dan menyampaikan daftar pertanyaan kepada para responden dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah staf dari Kantor Pendidikan dan Latihan Ahli Muti Media (MMTC), anggota dari para praktisi pers dari media massa di Yogyakarta (Harian Kedaulatan Rakyat dan Bernas).

E. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, akan dianalisis secara dekskriptif kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara menyajikan data secara deskriptif dan menganalisis secara kualitatif dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Kasus Kebebasan Pers di Indonesia

Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana.

Tahun 2004 hasil pengkajian organisasi wartawan internasional Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters Sand Frontieres/RSF) menempatkan kebebasan pers Indonesia pada peringkat ke-117 dari 167 negara yang dipantau. Hasil pemantauan dan pengkajian RSF itu diumumkan dari kantor pusatnya di Paris, 26 Oktober lalu. Dibandingkan dengan tahun 2003, kebebasan pers kita hanya menurun enam peringkat, dari peringkat ke-111 di antara 166 negara yang diamati. Akan tetapi, bandingkan dengan tahun 2002, ketika kebebasan pers kita masih berada di peringkat ke-57 dari 139 negara yang dipantau. Waktu itu kebebasan pers Indonesia berada pada posisi yang terbaik, atau nomor satu di antara negara- negara Asia Tenggara. Setelah Indonesia, menyusul Thailand, Kamboja, Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam, Laos, dan Myanmar di urutan ke-2 sampai ke-9 untuk wilayah Asia Tenggara (Singapura dan Timor Timur tidak diteliti).

Selama dua tahun terakhir, baik 2003 maupun 2004, peringkat kebebasan pers Indonesia di antara negara-negara Asia Tenggara merosot ke posisi nomor lima. Sementara kedudukan terbaik bagi kebebasan pers di Asia Tenggara tahun ini dan juga tahun lalu ditempati oleh negara yang belum lama lahir, Timor Timur. Untuk tahun ini, urutan pertama sampai ke-10 bagi kebebasan pers di Asia Tenggara adalah Timor Timur, Thailand, Kamboja, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Laos, Vietnam, dan Myanmar (Brunai Darussalam tidak diteliti).

Kemunduran citra kebebasan pers Indonesia di mata dunia internasional selama dua tahun terakhir disebabkan oleh beberapa alasan dan peristiwa, seperti:

1. serangan fisik terhadap wartawan dan tekanan terhadap medis pers, antara lain demonstrasi oleh massa di kantor-kantor perusahaan pers.

2. terbunuhnya juru kamera TVRI, Mohamad Jamaluddin, dalam konflik bersenjata di Aceh yang penyebab kematiannya tidak jelas.

3. penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Fery Santoro, oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Fery kemudian dibebaskan, tetapi Ersa tewas talam tembak-menembak antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia.

4. larangan atau hambatan dari pejabat militer bagi wartawan dalam dan luar negeri untuk meliput wilayah konflik bersenjata di Aceh ikut pula memperburuk citra kebebasan pers kita.

Beberapa putusan pengadilan negeri yang menjatuhkan hukuman penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya juga menjadi pertimbangan untuk menurunkan peringkat kebebasan pers Indonesia.

Hal itu, umpamanya, dialami dua redaktur harian Rakyat Merdeka (Karim Paputungan dan Supratman, masing-masing lima dan enam bulan penjara dalam masa percobaan 10 dan 12 bulan) serta Pemimpin Redaksi Majalah Tempo (Bambang Harymurti). Karya-karya jurnalistik media mereka-foto kolase karikatural Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tandjung dan pemberitaan tentang Presiden Megawati Soekarnoputri di Rakyat Merdeka serta berita tentang pengusaha Tommy Winata di majalah Tempo-dianggap mencemarkan nama baik atau menghina.

Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya?
Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.
Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan.

UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.

UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan? UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara.

Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu:

1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;

3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;

4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah.
Sebagai penutup, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.

B. Implementasi Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Kebebasan Pers

1. Konsekuensi Logis Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Kebebasan Pers

Dengan memperhatikan substansi serta materi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka dapat diperoleh data dan fakta mengenai pengaturan dari undang-undang tersebut, yaitu:

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mencerminkan perlunya kebebasan pers sebagaimana dimuat dalam diktum pertimbangan yang menyebutkan: Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis; Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak azasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, pembentuk opini harus dapat nielaksanakan azas, fungsi, hak dan kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus dapat menjamin dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Perumusan makna pers sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 1 mengandung makna yang lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian pers sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1984 maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966. Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa "Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kewajiban kegiatan jurnalistik meliputi; memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segalajenis salaran yang tersedia.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 lebih memberikan jaminan kemerdekaan pers sebagai hak azasi dari warga negara. Hal ini tercermin pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, atau larangan penyiaran", sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa "untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi". Pengertian kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik, serta sesuai dengan isi hati nurani insan pers.

Pengaturan ketiga hak, yaitu hak tolak, hak koreksi dan hak jawab. Hak tolak yang dimiliki oleh wartawan untuk mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan. Di samping itu juga terdapatnya pengaturan hak koreksi yang diberikan kepada setiap orang untuk melakukan koreksi atau melakukan pembetulan kekeliruan informasi yang telah diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kemudian pengaturan hak jawab, yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemetaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Peran serta masyarakat dalam kegiatan mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Wujud kegiatan peran serta masyarakat dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak untuk memperoleh informasi tersebut berupa pantauan atau laporan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers, serta menyampaikan usulan dan saran kepada dewan pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Keberadaan dan peran Dewan Pers. Dewan pers dibentuk secara independen untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers. Anggota dewan pers dipilih oleh organisasi wartawan, serta tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan di bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Wakil pemerintah yang dahulu berdasarkan Undang undang Nomor 21 Tahun 1984 merupakan salah satu anggota pers, berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tidak diberikan tempat lagi. Ketua Dewan Pers tidak lagi dijabat oleh Menteri Penerangan (Komunikasi dan Informasi), akan tetapi saat ini dipilih dari dan oleh anggota. Setiap perusahaan pers diberikan kebebasan untuk menyusun struktur dan sistem organisasinya sendiri. Dan yang lebih penting lagi, yaitu masalah pertanggungjawaban terhadap hukum, pengaturan secam jelas apabila terjadi kerugian akibat isi pemberitaan penerbitan yang dilakukan oleh perusahaan pers.

Kemudian dan hasil penjaringan data yang diperoleh melalui kuesioner (Daftar Pertanyaan) yang diberikan kepada, dua harian perusahaan penerbitan pers, yaitu Pemimpin Redaktur Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan pemimpin Redaktur Koran Bernas yang terbit di Yogyakarta dapat diperoleh hasil sebagai berikut:

Mengenai penilaian terhadap perubahan penerbitan pers setelah berlakunya Undang-undang Nomor 40 tahun 1999, dinyatakan bahwa perubahan pemberitaan pers saat ini oleh perusahaan penerbitan pers ditanggapi secara positip. Perubahan pemberitaan pers, mengalami kemajuan yang cukup besar sebagai perwujudkan proses, demokratisasi di negara Indonesia. Pers merupakan pilar keempat (the fourth estate) demokrasi setelah pilar-pilar legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemberitaan pers tidak dapat dikontrol oleh alat kekuasaan maupun para pemilik modal. Kebebasan pemberitaan media pers juga terjadi pada saat ini, lain halnya dengan situasi pada waktu sebelum keluarnya Undang undang Nomor 40 Tahun 1999, kondisi pers tidak bebas bergerak, tidak dapat melakukan kritik pada pemerintah yang berkuasa.

Terhadap keberpihakan pers adalah keberpihakan pers yang ideal. Responden memberikan jawaban, bahwa pers menghendaki keberpihakan kepada kebenaran. Pers dituntut untuk berpegangan atau berpedoman pada norma-norma, nilai-nilai etik dan hukum dalam melihat kebenaran. Ide-ide kebenaran merupakan tempat untuk berpijak dalam menilai fakta. Sedangkan kenetralan menurut perusahaan penerbitan pers, Responden berpendapat bahwa hal tersebut lebih merupakan konteks teknis jurnalistik, dimana pers tidak memihak ketika menyampaikan berita kepada masyarakat. mengutamakan keseimbangan (balance) dan melakukan pengecekan pada sumber informasi secara akurat dan terpercaya. Terhadap masalah independensi Media Pers setelah berlakunya Undang undang Nomor 40 Tahun 1999, kedua responden memberikan jawaban bahwa pada intinya independensi pers sampai saat ini dan pada masa yang akan datang akan tetap selalu terus menjadi persoalan, karena pers bergerak secara dinamis dan dalam prakteknya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian terhadap independensi pers dari intervensi negara, pemilik modal, maupun dari kelompok masyarakat yang memiliki peran ganda baik dari sebagai pelaku politik maupun ekonomi.

Hal yang menjadi jaminan terhadap kelanggengan dalam melaksanakan (mewujudkan) kebebasan pers, menurut jawaban responden adalah tidak cukup hanya jaminan dalam bentuk formal, yaitu Undang Undang Dasar 1945, jo. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, akan tetapi juga diperlukan keteguhan hati atau dedikasi yang tinggi dari para jurnalis yang setia pada profesinya. Apakah dalam pemberitaan oleh media massa pers yang berkaitan dengan agen sosialisasi konflik di dalam masyarakat masih dapat dikatakan dalam batas yang wajar, tidak melanggar peraturan yang berlaku. Responden menyatakan pemberitaaan tentang sosialisasi konflik yang terjadi dalam masyarakat masih dalam status taraf yang wajar, dan tidak berlebihan.

Berdasarkan data yang telah disajikan di atas, dikaitkan dengan substansi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka dapat dilakukan analisis terhadap data tersebut untuk menjawab dua permasalahan sebagaimana tercantum dalam Rumusan Masalah pada Bab I.

Bertitik tolak dari pandangan bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan salah satu perangkat aturan hukum yang mempunyai fungsi dalam usaha untuk mewujudkan suatu kehidupan bersama yang baik Fungsi hukum yang paling mendasar adalah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar kekuatan dan kelemahan pihak-pihalk yang terlibat. Oleh karena itu hukum (Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers) seharusnya mampu menjalankan fungsi tersebut dengan cara menyediakan suatu garis kebijaksanaan atau norma yang rasional dan berlaku umum. Keberadaan hukum mengarahkan pada penyelesaian konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah. Orientasi itu disebut keadilan. Dengan kata lain hukum berfungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan dalm masyarakat. Adanya tatanan hukum akan menjamin bahwa orang atau golongan yang berkuasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Setelah yakin bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan perangkat hukum, selanjutnya perlu menguraikan prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini tentunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut mengandung nilai-nilai dasar yang berupa kesamaan, kebebasan dan solidaritas. Dari tiga nilai dasar hukum tersebut dapat dirumuskan bahwa Negara wajib menjamin tatanan masyarakat yang sedemikian rupa hingga nilai-nilai dasar hukum tersebut dapat terlaksana secara optimal. Di sinilah letaknya untuk mengalisis apa implikasi berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap kehidupan pers nasional khususnya pada, Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Koran Bernas.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara garis besar memuat, antara lain: Asas kemerdekaan pers, yaitu demokrasi, keadilan dan supremasi hukum; Fungsi Pers sebagai media informasi, pendidikan hiburan dan kontrol sosial dan lembaga ekonomi; Hak yang dimiliki oleh Pers Nasional, yaitu 1) kemerdekaan atau kebebasan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara, 2) tidak dikenakan penyensoran, pemberadilan atau pelarangan penyiaran, 3) hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, 4) wartawan memiliki hak tolak; Kewajiban Pers Nasional, yaitu 1) memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tidak bersalah, 2) melayani hak jawab, 3) melayani hak koreksi; Peran Pers Nasional, yaitu 1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, 2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi. Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan, 3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan. informasi yang tepat, akurat dan benar, dan 4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta 5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran; Organisasi Wartawan; Pendirian Perusahaan Pers; Keberadaan Dewan Pers; Peran serta masyarakat untuk mengembangkan kemerdekaan (kebebasan) pers.

Berdasarkan hasil penjaringan data yang diperoleh dari responden, yaitu Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Koran Bernas yang kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 di atas, maka dapat dilakukan analisis sebagai berikut:

Terhadap pelaksanaan. ketiga asas, yaitu demokrasi, keadilan dan supremasi hukum ternyata Undang-undlang Nomor 40 Tahun 1999 mempunyai implikasi positif bagi kehidupan pers. Hal ini didasarkan pada jawaban kedua responden yang menyatakan bahwa telah terjadi perubahan pemberitaan yang mengalami kemajuan cukup besar dalam proses demokratisasi. Dari sisi implikasi keadilan, responden menyatakan bahwa pers menghendaki keberpihakan pada kebenaran, berpegang pada norma-norma hukum, moral, pers yang tidak memihak ketika menuliskan fakta-fakta, mengusahakan keseimbangan (balance) dalam menyampaikan/ menyajikan berita, disamping itu juga melakukan cross check mengenai sumber berita secara akurat.

Terhadap implikasi fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, serta lembaga ekonomi. Ternyata pers mempunyai implikasi yang positif, hal ini terbukti dengan fungsi pers itu sendiri yang memberikan informasi kepada para pembaca, tanpa ada rasa ketakutan, memberikan pendidikan kepada masyarakat sehingga sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, upaya memberikan kritik dan saran kepada. Penguasa (pemerintah) dimana responden dapat melaksanakan hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi dengan baik dan tanpa hambatan. Sedangkan implikasi fungsi pers sebagai lembaga ekonomi, nampak pada jawaban responden yang menyatakan bahwa pers dapat meningkatkan kesejahteraan wartawan (insan pers) maupun karyawan yang bergerak di bidang Pers. Implikasi lain, yaitu bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 memberikan jaminan secara formal bagi kehidupan pers nasional untuk menyampaikan pemberitaan secara netral, obyektif.

Implikasi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 terhadap pelaksanaan hak pers pasional, yaitu kemerdekaan (kebebasan) pers, penyensoran, dan pemberadilan atau larangan penyiaran serta mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi serta pelaksanaan hak tolak mempunyai implikasi positif. Hal ini terbukti dari jawaban responden yang menyatakan bahwa sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, media yang dipimpinnya belum pernah terkena penyensoran dan atau pembreidelan. Hambatan pelaksanaan kebebasan pers yang dominan justru berasal dari faktor internal, yaitu masalah manajemen perusahaan pers, sedangkan faktor eksternal (kontrol pemerintah) hampir tidak pernah terjadi. Kontrol yang mempunyai kuantitas cukup besar berasal dari masyarakat, yaitu berupa kritik dan saran perbaikan.

Implikasi kewajiban Pers Nasional terhadap kehidupan pers nasional yaitu menumbuh kembangkan pemberitaan oleh pers nasional secara obyektif, berpihak pada kebenaran bukan kekuasaan, atau golongan kepentingan tertentu, menjaga keseimbangan pemberitaan melalui pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi melalui media pers yang bersangkutan.

Implikasi peran Pers Nasional terhadap kehidupan pers; tercermin pada penyajian pemberitaan yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Pelaksanaan peran Pers Nasional khususnya yang berkaitan pemberitaan konflik politik, masih mengalamai hambatan terutama yang menyangkut agenda kelompok primordial (suku, agama, ras). Peran Pers Nasional masih terhambat oleh belum tersosialisasikannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, khususnya para penegak hukum (Jaksa, Hakim, Polisi dan Pengacara/Advocat). Dengan demikian untuk penerapan hukum (rechtstoepassing) khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ternyata unsur struktural (lembaga atau institusi) masih belum dapat memahami secara baik dan benar. Pemahaman yang keliru atau tidak utuh terhadap substansi suatu undang-undang yang akan diterapkan akan dapat menghasilkan sesuatu yang menyimpang dari apa yang dicita-cita oleh pembentuk undang-undang. Lebih dari itu akan berakibat pudarnya keadilan, sebagaimana hakekat atau tujuan akhir dari hukum atau undang-undang itu sendiri. Terhadap kondisi yang demikian perlu dilakukan sosialisasi (penyuluhan, penataran, kursus, dan penyegaran) melalul media elektronik maupun cetak.

Implikasi Peran serta, masyarakat terhadap kehidupan pers nampak pada, kontrol sosial yang dilakukan melalui pembentukan lembaga pemantau pers (Media Wacth) di beberapa Kota, termasuk di Yogyakarta. Masyarakat mempunyai keberanian untuk menyampaikan opini (pendapat) melalui media yang telah disiapkan oleh Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Koran Bernas.

Implikasi perusahaan penerbitan pers dan kebebasan untuk menentukan struktur organisasi pers, sangat positif. Data sekunder membuktikan bahwa struktur organisasi Perusahaan Penerbitan Pers Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Koran Bernas mempunyai perbedaan, disesuaikan dengan kebutuhan /selera, organisasi.

2. Konsekuensi Logis Prinsip Pers yang Bebas dan Bertanggungjawab

Menurut responden, kriteria mengenai pers yang bebas adalah pers yang mampu membebaskan diri dari intervensi baik dari pemerintah yang berkuasa, pemilik modal maupun kelompok kepentingan. Sedangkan terhadap kriteria pers yang bertanggungjawab, responden memberikan jawaban bahwa pers yang bertanggungjawab adalah pers yang lebih dekat dengan Sistem Pers Otoritarian ketimbang Sistem Pers Libertarian. Karena di dalam Sistem Pers Libertarian kebebasan media/jurnalis dapat menjadi lembaga yang mengacaukan situasi sosial politik, dan akan melahirkan sosok wartawan yang tidak bertanggungjawab serta selalu curiga. Sistem, Pers Libetarian ini dapat terjebak menjadi agen utama perubahan sosial. Pers yang bertanggungjawab adalah pers yang mampu memberdayakan masyarakat. Dengan dikeluarkanya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 responden berpendapat mempunyai implikasi terhadap kebebasan pers khusus. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana memberikan arti terhadap kebebasan pers tersebut. Kebebasan menurut responden lebih ditekankan pada kebebasan untuk memperoleh informasi. Namun demikian dalam memperoleh informasi tersebut, pers tetap harus berpegang pada prinsip tanggungjawab sosial sebagai bagian dari proses demokratisasi.

Terhadap tingkat kepuasan akan adanya kebebasan pers di Indonesia pasca dikeluarkanya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, responden memberikan jawaban cukup dan puas dengan adanya kebebasan pers yang diatur dalam UU ini. Namun demikian masih banyak aspek pers, yang harus dilakukan pembenahan, misalnya di kalangan wartawan yang berkaitan. dengan profesionalismenya, Visi dari pemilik media yang hanya mengutamakan untuk meraih keuntungan yang bersifat finansfil semata. Ada pendapat yang menyatakan bahwa "Kebebasan Pers masih terhambat oleh faktor internal (dari manajemen Surat Kabar yang bersangkutan) dan eksternal (lembaga pemerintah yang berhak melakukan kontrol)", setujukah anda terhadap pendapat tersebut. Atas pertanyaan ini responden memberikan jawaban sangat setuju. Istilah lembaga kontrol kebebasan pers yang berasal dari pemerintah (bersifat eksternal) rasanya sudah tidak tepat, karena dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999, pemerintah tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan atau pelarangan penyiaran. Kontrol sosial saat ini bukan dari pemerintah, melainkan berasal dari masyarakat melalui lembaga pemantau media. Atas pertanyaan bagaimana kebebasan pers sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Responden memberikan jawaban bahwa kebebasan pers setelah dikeluarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terasa lebih baik dan membangun, karena tidak lagi dikenakan pembatalan SIUPP dan pembreidelannya. Hal itu dijamin dan mendapat pengaturan secara formal di dalam UU yang bersangkutan.

Peran serta dari masyarakat dan pemerintah yang bagaimana sebaiknya untuk mewujudkan kebebasan pers yang sebenamya. Responden mcmberikan jawaban, bahwa masyarakat pers harus meningkatkan standar profesionalisme dan standar etikanya. Pemerintah telah menyediakan aturan hukumnya (UU Nomor 40 Tahun 1999), namun demikian tidak cukup itu saja, masih diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral tinggi. Sedangkan masyarakat mengoptimalkan lembaga pemantau pers (Media Wacth) untuk melaksanakan kritik dan perbaikan bagi kebebasan pes yang ideal. Kendala dalam melaksanakan atau mewujudkan kebebasan pers, responden memberikan jawaban, bahwa faktor kendala utama terletak pada belum tersosialisasikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, baik dikalangan masyarakat maupun para penegak hukum (Jaksa, Hakim dan Polisi, serta Advokat/pengacara).

Terhadap struktur organisasi manajemen lembaga perusahaan, penerbitan pers setelah diberlakukannya Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 apakah ada ketentuan khusus. Responden memberikan jawaban tidak ada, bahkan perusahaan penerbitan pers mempunyai keleluasaan untuk memerlukan struktur organisasi, dan ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan organisasi.

Prinsip-prinsip Pers bebas yang bertanggungjawab, yang tercermin dalam rumusan beberapa pasal dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 butir 8 tentang penyensoran, butir 9 tentang Pembreidelan atau pelarangan penyiaran, butir 10 tentang Hak Tolak, butir 11 tentang Hak Jawab, butir 12 tentang Hak Koreksi, butir 13 tentang Kewjiban Koreksi. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran, ayat (4) yang menyatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Kemudian pada Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tidak bersalah. Kemudian ketentuan Pasal 6 yang menyatakan bahwa pers nasional mengemban tugas untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak azasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Berdasarkan hasil penjaringan data dari responden, secara tegas menyatakan bahwa sistem pers yang dianut atau diterapkan adalah sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Bebas bukan berarti tanpa batas, dan Pers, Nasional bertanggungjawab terhadap masyarakat dan pemerintah menjunjung nilai-nilai dasar hukum, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Hasil jawaban kedua responden yang memberikan jawaban bahwa secara garis besar pemberitaan pers telah mencerminkan proses demokratisasi, pembentaan pers tidak lagi dikontrol oleh pemerintah, keberpihakan pers didasarkan pada kebenaran dengan mendasarkan pada nilai-nilai moral dan etik serta hukum, pemberitaan diusahakan berimbang, terjadi pertumbuhan dan perkembangan kebebasan pers secara wajar. Disamping itu pemberitaan dilakukan dengan menekankan fakta yang sebenamya (obyektif) tanpa ada pengaruh atau tekanan baik internal maupun ekternal. Masyarakat dapat memperoleh informasi secara benar, pemberitaan menciptakan rasa aman, sejahtera dan damai.

Namun demikian terdapat beberapa. kelemahan, yaitu masih terdapatnya hambatan yang masih dalam taraf wajar, kurangnya sosialisasi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta masih perlu dibenahinya profesionalisme insan pers dan aparat penegak hukum yang berkualitas untuk mendukung penerapan hukum pers dalam masyarakat. Disamping itu perlunya suatu institusi peradilan yang benar-benar bebas dan bersih untuk menegakan prinsip-prinsip pers bebas dan bertanggungjawab. Dengan demikian akan tercipta adanya keseimbangan hak dan kewajiban dari negara, dan rakyatnya. Negara berhak untuk menuntut setiap warga negara untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada negara, namun rakyatpun berhak untuk menuntut agar negara juga menghormati hak-hak mereka yang dijamin oleh hukum seperti halnya kebebasan pers.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dan dari hasil analisis data di lapangan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implikasi berlakunya UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers terhadap kebebasan pers adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mempunyai implikasi positif terhadap kehidupan pers, yaitu semakin tumbuh dan berkembangnya kehidupan pers yang memberikan perlindungan hukum bagi insan pers, masyarakat dan pemerintah. Beberapa indikasi implikasi tersebut tercermin dalam hal: Pers dapat melaksanakan peran, yaitu menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, supremasi hukum, dan hak azasi manusia dan menjalankan fungsinya secara baik sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi; Pers tidak dikenakan penyensoran dan pembreidelan atau pelarangan penyiaran, sehingga dapat menyajikan informasi secara, obyektif dan netral; Terlaksananya hak pers sepertl hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi oleh Media Pers; Masyarakat dapat melakukan peran serta dalam kegiatan mengembangkan kemerdekaan pers melalui lembaga pemantau pers.

2. Implikasi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada telah sesuai dengan prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab. Hal ini tercermin dari hasil jawaban responden yang menyatakan bahwa selama ini kebebasan pers dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai prinsip-prinsip kebebasan pers sebagaimana tertuang dalam. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan setelah penelitian berlangsung, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Agar berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dibuat lebih bersifat positif bagi kehidupan pers, maka perlu dilakukan pembenahan terhadap insan pers maupun aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara/Advocat) dengan cara meningkatkan kualitasnya. Upaya meningkatkan kualitasnya pers dan aparat penegak hukum di bidang Hukum Pers dilakukan melalui penataran secara berkala, penyuluhan hukum pers dan pendidikan secara pelatihan secara berkelanjutan. Baik di tingkat regional, nasional maupun intemasional.

2. Perlu ditingkatkan upaya sosialisasi atau pemasyarakatan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masyarakat untuk berperan serta dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemerdekaan (kebebasan) pers yang bertanggung jawab.





[1] Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Pengantar Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm.14





[1] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta. Pustaka, 1984, Hal 744

[2] Kurniawan Junaedhie, Ensuklopedia Pers Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, Hal. 205.

[3] Suroso, Menuju Pers Demokrasi, LisP, Yogyakarta, 2001, hal 165

[4] Hinca IP Pandjaitan, 2004, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi & Kewajiban Anda, Om-budsman Memfasilitasinya, Jakarta : Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, hal. 4 - 5.

[5] Ibid., h. 6 - 8.

[6] Ibid, h. 16.

[7] William L. Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson. 2004. Media Massa & Masyarakat Modern, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, Hal. 102

[8] Atmadi, T., 1985. Sistem Pers Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung, hal.48

[10] Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 3

[11] Lihat John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61 Januari – Maret 2000, www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999.

[12] John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi