Artikel Usaha Kecil

Pendahuluan

Perhatian terhadap pengembangan dan perkembangan usaha kecil dan menengah akhir-akhir ini semakin meningkat. Hal ini terjadi karena pertama, adanya perhatian yang cukup besar untuk memberikan peluang bagi usaha skala besar untuk berperan, sebaliknya kurang adanya perhatian yang cukup terhadap usaha skala kecil/menengah. Kedua, adanya pendapat bahwa masa depan dunia akan dikuasai oleh usaha skala kecil dan menengah. Ketiga, adanya kecendrungan berbagai negara untuk memfokuskan perhatiannya pada pembinaan usaha skala kecil-menengah. Keempat, alasan ketidakpuasan terhadap industri besar yang nyata tidak menghasilkan kemandirian, meskipun telah didukung dengan berbagai macam proteksi. Untuk membedakan secara musah usaha skala kecil-menengah dengan usaha skala besar adalah dari aspek legalitas. Biro Pusat Statistik (BPS 1994) telah menggunakan secara konsisten pendekatan ini, yaitu skala kecil-menengah yang identik dengan tidak berbadan hukum dan skala besar yang pasti berbadan hukum.

Sebagian besar usaha kecil bergerak pada jenis kegiatan usaha yang bersifat distribusi, yang karakteristiknya bersifat tidak mengubah produk, melainkan hanya sebagai perantara. Mereka umumnya adalah usaha perdagangan eceran. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan eceran memiliki nilai strategis yang tinggi dalam usaha meningkatkan kemakmuran. Lebih-lebih krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini mengakibatkan banyak perusahaan bangkrut, bisnis perbankan limbing, kerusuhan dengan pembakaran toko swalayan dan supermarket, sehingga banyak terhadi PHK.

Para tenaga kerja yang terputus hubungan kerja tersebut untuk bisa memperoleh penghasilan yang paling mudah adalah melakukan kegiatan perdagangan eceran yaitu sebagai pedagang kaki lima. Kondisi ini menjamur di seluruh daerah, terutama yang pernah dilanda kerusuhan maupun pembakaran seperti Kota Surakarta.

Peristiwa tersebut mengakibatkan tumbuhnya pedagang kaki lima. Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kodya Surakarta, Drs. Triyanto, sebelum tragedi pedagang kaki lima (PKL) yang berhasil didata Dinas Pengelolaan Pasar Kodya Surakarta sebantak 1.276 PKL, dengan rincian 773 PKL siang hari serta 503 PKL di malam hari. Setelah terjadi kerusuhan jumlahnya meningkat menjadi 1.525 PKL. Pendataan dibagi dalam tiga wilayah yang masing-masing terdiri dari sembilan lokasi. Wilayah I, meliputi Pasar Gede, Mojosongo, Ledoksari, Jebres, Ngemplak dan daerah lain disekitarnya terdapat 441 PKL (331 PKL siang dan 110 PKL Malam). Wilayah II, meliputi Pasar Nusukan, Pasar Legi, Turisari, Balapan dan daerah lain di sekitarnya terdapat 562 PKL (437 PKL siang dan 125 PKL malam)

Wilayah III, meliputi daerah Singosaren, Pasar Kembang dan Daerah sejenis lainnya terdapat 552 PKL (335 PKL siang dan 187 PKL Malam) (Solopos, 31 Agustus 1998).

Dengan kondisi seperti ini seharusnya terdapat kerjasama yang dapat mendukung pedagang kaki lima. Dukungan itu diharapkan berasal dari pihak perbankan, koperasi, pemerintah dan pedagang eceran skala besar sebagai bapak asuh. Jaringan seperti ini sudah cukup lama disarankan oleh beberapa pakar dan pembuat kebijakan, sehingga terdapat kerjasama usaha untuk usaha skala kecil, khususnya pedagang kaki lima.

Karena kerjasama untuk pengembangan pedagang kaki lima sangat diperlukan, maka sejauh mana ketergantungan usaha pedagang kaki lima dengan instansi terkait pasca kerusuhan menjadi topik yang menarik untuk diteliti.

Permasalahan pedagang kaki lima, bisa dilihat dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal tidak lain tentang eksistensi sektor ini terhadap aspek legal posisinya dalam perekonomian nasional. Sampai saat ini, peraturan pemerintahan, seperti deregulasi dan debirokratisasi, masih cenderung menguntungkan usaha besar.

Secara internal, kebanyakan unit usaha kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam manajerial, pemasaran dan permodalan. Di sinilah harus ada usaha penumbuhan keterampilan dan kemampuan manajerial lewat pembinaan yang intensif (Rachbini 1994 : 10). Usaha penumbuhan keterampilan dan kemampuan manajerial tersebut dapat dilaksanakan dengan baik apabila terjalin kerjasama antara pedagang kaki lima dengan berbagai instansi terkait.

Dari permasalahan tersebut, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan berikut, apakah ada ketergantungan usaha pedagang kaki lima terhadap instansi terkait (bank, koperasi, bapak angkat dan lembaga pendukung). Penelitian ini sekaligus menduga bahwa ada ketergantungan usaha pedagang kaki lima terhadap instansi terkait (Bank, koperasi bapak angkat dan lembaga pendukung).

Pedagang kaki lima (Street traders) adalah salah satu usaha yang merupakan suatu kegiatan Perdagangan eceran dan melaksanakan pemberian jasa. Pedagang kaki lima merupakan salah satu pekerjaan yang penting dalam mengurangi pengangguran.

Pedagang kaki lima sering dihubungkan dengan proses urbanisasi, masalah dan kebijakan kesempatan kerja, serta tentang kerangka dan perencaan kota. Pedagang kaki lima biasanya digambarkan sebagai perujudan pengangguran tersembunyi atau setengah pengangguran. Pertumbuhannya pun semakin besar di kota-kota di dunia ketiga, karena adanya ketidakseimbangan antara lapangan kerja dengan angkatan kerja.

Menurut gambaran yang paling buruk, pedagang kaki lima dipandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan, yang bersama-sama dengan pengemis, pelacur dan pencuri semata-mata dianggap sebagai jenis pekerjaan yang sama sekali tidak relevan (Manning & Effendi 1983 : 15).

Sekalipun produktivitas para pedagang kaki lima itu sangat rendah jika dibandingkan dengan pedagang di sektor ekonomi modern, namun dunia mereka jauh lebih superior daripada dunia pengangguran. Betapapun tidak produktifnya dunia pedagang kaki lima, dan betapapun brengseknya penampilan mereka dilihat dari segi setetika tata kota, namun jelas mereka itu memberi pelayanan yang tidak kecil artinya bagi penduduk kota, dan menjadi bagian intergral dari sistem ekonomi urban. Sekalipun produktivitasnya rendah, namun sektor ini telah memberikan mata pencaharian kepada beribu-ribu orang, berupa pekerjaan tetap maupun sampingan.

Meskipun usaha pedagang kaki lima tersebut awalnya tergantung pada pihak terkait, namun dengan adanya pembinaan diharapkan mereka akan bisa mandiri dan berkembang dengan baik. Dengan kemandirian tersebut, pedagang kaki lima tidak lagi tergantung kepada pihak terkait tetapi mempunyai kaitan yang sifatnya saling mendukung dan saling memerlukan. Keterkaitan tersebut bertujuan untuk menciptakan kondisi pasar yang sehat dan dinamis. Sehat diartikan sebagai pasar yang didalamnya terdapat bermacam-macam skala usaha yang bergeak bersama-sama dalam persaingan yang sehat. Persaingan tersebut sangat terkait dengan pangsa pasar dalam strata sosial masyarakat. Dinamis berarti bahwa keterkaitan usaha tersebut bukanlah hubungan antara pemberi dan penerima, melainkan hubungan rasional kedua belah pihak yang saling membantu, saling mendukung dan saling membutuhkan.

Dengan melihat manfaat hadirnya pedagang kaki lima, maka kegiatan usahanya perlu dibina dan ditata agar benar-benar bermanfaat, baik bagi pedagang kaki lima sendiri maupun bagi masyarakat serta pemerintah.

Penelitian Hidayat tentang sektor informal di Indonesia mengambil daerah-daerah Bandung, Cirebon, Tasik Malaya, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya. Hasilnya adalah bahwa pekerja sektor informal pada sub sektor perdagangan adalah penerima penghasilan terbesar. Keuntungan rata-rata per hari yang mereka peroleh adalah sebesar Rp.2.500,- untuk pedagang kaki lima dan Rp 2.400,- untuk pedagang yang telah menetap. Bila dilihat dari lamanya berusaha, pedagang kaki lima rata-rata baru berusaha selama 2 tahun. Kalau dilihat dari umur para pekerja, mereka berkisar antara 25-54 tahun, meskipun juga ada yang berusia di bawah 15 tahun.

Hidayat melihat adanya potensi yang besar pada sektor informal di Indonesia. salah satu potensi yang cukup menonjol dalam perekonomian Indonesia ialah kemampuannya sebagai penyedia lapangan kerja bagi kelebihan penawaran kerja di daerah perkotaan (Hidayat 1978 : 20). Di samping itu, sektor informal juga dapat menggerakkan partisipasi wanita. Ia menolah anggapan bahwa sektor informal itu relatif kecil menyerap tenaga kerja dan tidak perlu mendapat perhatian khusus.

Ananta dan Priyono (1985:50) tinjauannya mengenai sektor informal menunjukkan bahwa perekonomian sektor informal relatif lebih stabil daripada sektor formal, karena sektor informal tidak tergantung pada perekonomian internasional, modal yang besar maupun ketrampilan yang tinggi. Kelesuan ekonomi relatif kurang dirasakan di sektor informal. Juga dikatakan bahwa pertumbuhan sektor informal dapat meningkatkan ekonomi lemah.

Selanjutnya Litbang DPP – FBSI menyebutkan bahwa penghasilan di sektor informal ini sangat tinggi. Di Jakarta pekerja sektor informal memperoleh penghasilan minimal Rp 1.050,- selain itu tukang sayur keliling memperoleh antara Ro.2000 dan Rp 3000,- perhari. Demikian pula dari hasil-hasil penelitian yang telah dihimpun oleh Puslitbang Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, 1995 menyebutkan bahwa becak setengal pemilik (kreditan) untuk dibebani ongkos sewa tetapi dibebani cicilan, pendapatannya berkisar antara Rp 400,- sampai Rp 1.250 perhari.

Karafir (1977) yang melakukan penelitian tentang pemupukan modal pedangan kaki lima di Tanah Abang Pasar Jakarta, menyimpulkan bahwa sebagian besar pedagang kaki lima tidak dan atau kurang mampu memupuk modal. Modal produktif yang mereka miliki tidak berkembang dan atau lambat berkembang. Sehubungan itu pula pendatan (dan taraf hidup) mereka tidak dapat atau kurang cepat meningkat. Dinyatakan bahwa 80.32 persen pedagang kaki lima tergolong bukan wiraswasta dan kewiraswastaannya rendah 91,34 persen tidak memiliki sikap mengutamakan pengembangan usaha dagang. Data tentang tingkat pemupukan modal menunjukkan bahwa 7,87 persen pedagang mengalami penyusutan modal dan 65,35 persen pedagang tidak mengalami perubahan dalam jumlah modalnya (Karafir, 1977). Tampak bahwa sektor informal banyak terdapat di negara-negara sedang berkembang. Pekerjaannya pada umumnya berpendidikan rendah, terjadi akibat adanya migrasi dari desa ke kota, berpenghasilan rendah dan tidak/kurang memupuk modal serta mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.

Hasil penelitian Tulus Haryono (1989) menunjukkan bahwa usaha pedagang kaki lima dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi kelebihan angkatan kerja, tertutama yang berpendidikan rendah. Usaha ini cenderung menjadi pekerjaan tetap. Umumnya para pedagang kaki lima dalam memenuhi kebutuhan modalnya meminjam pada keluarga, teman, menjual harta maupun mengambil tabungan sendiri yang tidak akan menanggung beban bunga. Terhadap keberhasilan usaha pedagang kaki lima, diantara empat variabel bebas (modal usaha, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha dan sikap usaha dagang), hanya variabel modal usaha dan sikap usaha dagang yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan usaha pedagang kaki lima. Namun dilihat dari rentabilitas ekonois, variabel modal menunjukkan kecenderungan yang negatif. Ini berarti semakin tinggi modal usaha yang digunakan, justru semakin tidak efisien.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berbagai Hambatan Dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor Faktor Penyebab Ketidak-Efektifan Penilaian Kinerja