LAPORAN HASIL PENELITIAN
ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PINJAMAN LUAR NEGERI TERHADAP PEMBANGUNAN SEKTOR RIIL DAN PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: Studi Kasus Pinjaman Bank Dunia Kepada PDAM
Disingkat oleh : Hinsa Siahaan
  1. Rekomendasi
Ketika musyawarah dilakukan oleh Persatuan Perusahaan Air Minum seluruh Indonesia di lakukan pada Kamis, 8 Nopember 2001, para peserta mengharapkan adanya penjadwalan ulang bahkan meminta pemutihan pinjaman PDAM ke luar negeri. (Ngemplang ?). Sebab pada saat musyawarah dilakukan hampir seluruh PDAM di Indonesia (sebanyak 360 PDAM) dibebani utang harus mencicil Rp1,3 triliun kepada Asian Development Bank. Dari 360 PDAM tersebut PDAM dapat dikecualikan, karena selama 10 tahun terakhir (1991-2000) kinerja keuangan cendrung meningkat. PDAM Bogor ternyata berhasil menggunakan pinjamannya secara efektif dan efisien. Mungkin cukup beralasan jika direkomendasikan “keberhasilan PDAM Bogor dijadikan acuan oleh PDAM yang sekarang ini kesulitan didalam membayar utangnya.
  1. Permasalahan
Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan orde lama, ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan atau terjerat dalam vicious circle “ pendapatan rendah karena baru merdeka, hasrat konsumsi tinggi, kemampuan menabung rendah, tingkat investasi rendah, dan akibatnya pendapatan kembali rendah, dan seterusnya-seterusnya berulang-ulang”, sehingga, pada akhirnya Indonesia tetap miskin. Oleh karena itu sejak pemerintahan Orde Baru, sejak 1966, dengan dipelopori oleh putera-putera terbaik Indonesia yang waktu itu terkenal sebagai Mafia Berkley, pemerintah berusaha memutus mata rantai vicious circle dengan melakukan pembangunan besar-besaran ( the big push theory) dengan cara membuka kran modal asing masuk ke Indonesia, mengundang PMA masuk, dan meminjam ke luar negeri (Bank Dunia, IMF, IRBD, dll.). Alasannya bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan dengan mengharapkan pertumbuhan tabungan masyarakat yang terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan. Perlu dilakukan investasi besar-besaran meskipun harus meminjam ke luar negeri.
Diawali dengan mengeluarkan Undang-undang PMA 1967 dan melalui berbagai negosiasi dengan negara-negara maju, melalui IGGI, dan terakhir dari CGI, pinjaman luar negeri masuk untuk membiayai pembangunan Indonesia, hingga tahun 2000 masih terus berlangsung. Sebab dalam APBN 1999/2000 jelas terlihat bahwa total pengeluaran untuk pembangunan sebesar Rp 82 triliun masih bersumber dari pinjaman berupa bantuan program Rp 47 triliun dan bantuan proyek Rp 30 triliun. Artinya kontribusi tabungan masyarakat untuk pengeluaran pembangunan hanya Rp 5 triliun atau ketergantungan Indonesia kepada luar negeri masih tinggi.
Secara teoritis alasan negara-negara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan itu mungkin dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya.
Masalahnya sekarang ini, apakah pinjaman luar negeri yang telah digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan selama ini, terutama pada sektor riil seperti sektor manufakturing, pertanian, kehutanan, pengairan, pertambangan dan energi, pengangkutan, dan sektor riil telah digunakan secara efektif dan efisien ? Apakah tingkat pengembalian proyek-proyek tersebut sanggup membayar cicilan bunga dan pokok pinjamannya ? Apakah pinjaman luar negeri selama ini telah membantu memutus lingkaran setan (vicious circle) kemiskinan di Indonesia, atau sebaliknya telah menjerumuskan Indonesia kedalam krisis yang lebih parah ?
  1. Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi latar belakang permasalahan tersebut diatas, yakni:
a. Apakah apakah pinjaman luar negeri yang telah digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan selama ini, terutama pada sektor riil seperti sektor manufakturing, pertanian, kehutanan, pengairan, pertambangan dan energi, pengangkutan, dan sektor riil telah digunakan secara efektif dan efisien ?
b. Apakah tingkat pengembalian proyek-proyek tersebut sanggup membayar cicilan bunga dan pokok pinjamannya ?
c. Apakah pinjaman luar negeri selama ini telah membantu memutus lingkaran setan (vicious circle) kemiskinan di Indonesia, atau sebaliknya telah menjerumuskan Indonesia kedalam krisis yang lebih parah ?
  1. Metodologi
Metode pengumpulan data, baik data kualitatif maupun data kuantitatif dilakukan dengan pendekatan riset kepustakaan dan survey di lapangan. Pengumpulan data diawali dengan riset literatur tentang proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data tentang mekanisme pengajuan usulan proyek pembangunan kepada calon kreditur (negara donor), dari mulai pengajuan TOR kepada Bappenas untuk dimasukkan kedalam Blue Book, hingga akhirnya disetujui negara pemberi pinjaman, dan setelah proyek dilaksanakan.
  1. Temuan
Utang pemerintah daerah (Pemda) kepada pemerintah pusat, termasuk utang Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) per 31 Desember 2000 berjumlah Rp5,478 triliun. Utang PDAM sendiri adalah sebesar Rp3,863 triliun sedangkan utang Pemerintah Daerah adalah Rp1,578 triliun.
Berdasarkan laporan posisi utang Pemda dan PDAM kepada pemerintah pusat (kepada Depkeu) ternyata utang tersebut berasal dari pinjaman dalam negeri maupun dari lur negeri, baik dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valuta asing. Dari laporan terungkap bahwa, dari utang Pemda dan PDAM sebesar Rp4,938 triliun, akhir tahun lalu baru membayar angsuran Rp1,499 triliun dan tunggakannya Rp1,528 triliun. Karena pokok utang yang belum jatuh tempo adalah Rp3,949 triliun maka total utang Pemda dan PDAM adalah sebesar Rp5,478 triliun. Dari total utang tersebut, ternyata Pemda DKI Jakarta sebagai pengutang terbesar Rp403,278 miliar, disusul Pemda Jawa Tengah Rp245,173 miliar, dan ketiga Pemda Sumatera Utara Rp194,389 miliar.
Untuk perusahaan minum daerah, PDAM DKI Jakarta juga pengutng terbesar dengan utang Rp898,659 miliar, disusul PDAM Provinsi Jawa Timur Rp569,693 miliar, dan ketiga PDAM Provinsi Jawa Barat sebesar Rp413,054 miliar.
Saat penelitian ini dilakukan 360 PDAM di seluruh Indonesia rata-rata dibebani utang yang berat karena harus mencicil pinjaman sebesar Rp1,3 triliun dari Asian Development Bank (ADB). Akan tetapi khusus untuk PDAM Bogor yang dijadikan obyek dalam penelitian ini, ternyata tidak mengalami kesulitan didalam melunasi pinjaman luar negerinya, karena kinerja keuangan perusahaan selama 10 tahun terakhir cederung meningkat (likuiditas dan rentabilitasnya cenderung meningkat).
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pinjaman luar negeri oleh PDAM Bogor adalah efektif dan efisien. Dengan perkataan lain, sepanjang pengelolaan pinjaman luar negeri dilakukan dengan baik, pinjaman tersebut dapat menciptakan lapangan kerja, dapat membayar cicilan bunga pinjaman dan pokok pinjaman, dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi