Keberadaan Bank : Yang Eksis dan Yang Kolaps

Bank mulai bermunculan di Indonesia terutama sejak dikeluarkannya Pakto ’88 yang memberikan kemudahan untuk mendirikan bank. Bermunculanlah bank dengan berbagai latar belakang dan kepentingan.
Akibat dari banyaknya bank tersebut, maka terjadi persaingan yang tidak wajar sehingga mendorong pemilik dan manajemen bank untuk melakukan segala cara agar eksistensi banknya terjaga. Baik itu melalui rangsangan bunga deposito tinggi, maupun dengan melakukan jor-joran kredit. Sampai akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan lanjutan yang mengontrol segala bentuk praktek tidak fear tersebut. Tetapi karena jumlahnya yang sangat banyak dan semuanya berkeinginan untuk eksis, maka terjadilah konspirasi perbankan yang sangat pelik. Masing-masing bank memiliki kelompok masing-masing, dan setiap kelompok memiliki perusahaan-perusahaan binaan. Jadilah bank-bank itu sebagai lumbung uang, dengan spekulasi melakukan usaha untuk membayar bunga dan hutang serta mendapatkan laba.
Setiap tindak tidak fear tentu memiliki resiko yang lebih tinggi. Demikian halnya dengan kondisi perbankan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan dalam kelompok perbankan cenderung kurang profesional dan tidak sehat, karena terbiasa mendapatkan suntikan dana dengan mudah. Sedangkan likuiditas bank tersebut banyak ditunjang pula oleh permainan di bursa valas. Pokoknya segala cara dilakukan untuk dapat menjamin dan meyakinkan nasabah bahwa bank mereka adalah bank yang dapat dipercara. Dari kemudahan-kemudahan yang ada di Indonesia ini, tidak aneh jika kemudian banyak bankir-bankir yang justru menjadi konglomerat gara-gara menanamkan modal ke luar negeri. Padahal uang yang mereka sedot berasal dari Indonesia.
1997 terjadi krisis moneter regional. Mata uang kita yang tidak stabil menjadi limbung menghadapi krisis tersebut. Bank sebagai institusi keuangan, sangat rentan terhadap krisis ini. Baik itu karena rush atau pada jangka panjang adalah sedikitnya kredit yang bisa disalurkan dan sehat. Akibat rush bank-bank memiliki tanggungan likuiditas yang sangat besar pada saat yang sangat sempit. Akhirnya mereka banyak yang kolaps. Dan mau tidak mau pemerintah sebagai penguasa ekonomi makro harus menggelontor bank-bank kolaps tersebut dengan uang segar. Kegiatan penggelontoran uang segar tersebut menyebabkan rupiah semakin terpuruk, inflasi dan terkurasnya cadangan fiskal negara. Salah satu cara agar eksis adalah dengan menerbitkan SBI dengan bunga tinggi. Selain bertujuan menggairahkan orang untuk menabung, juga memberikan kemungkinan BI untuk mendapat kembalian. Tindakan ini ternyata bumerang, karena justru mematikan iklim usaha sektor riil. Dan ini membuat bank-bank kecil dengan likuiditas terbatas menjadi tidak bekerja secara sehat.
Maka dikeluarkanlah beberapa persyaratan perbankan lainnya guna menyeleksi mana bank yang layak edar dan mana bank yang memang jelek kinerjanya. Penilaian itu meliputi beberapa aspek yang disingkat dengan CAMEL (Capital, Assets quality, Management, Earning, Liquidity). Hal ini sesuai dengan SE BI No. 30/3/UPPB dan SK Dir.BI No. 30/12/Kep/Dir.pada tanggal 30 April 1997.
Dari unsur Capital penilaian dilihat dari standar :
- CAR (Capital Adequacy Ratio) yaitu rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko. Dipersyaratkan minimal 8%.
Dari unsur Assets penilaian dilihat dari standar :
- KAP (Kualitas Aktiva Produktif) yaitu rasio antara aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap total aktiva produktif. Dipersyaratkan maksimal 22,55%. Semakin rendah semakin baik.
Dari unsur Management penilaian dilihat dari standar :
- Manajemen Umum meliputi : strategi, struktur, sistem, dan kepemimpinan.
- Manajemen resiko meliputi : likuiditas, kredit, operasional, hukum, dan pemilik/pengurus.
Dari unsur Earning penilaian dilihat dari standar :
- RoA (Return of Acquisition) yaitu rasio antara laba 12 bulan terhadap rata-rata volume usaha selama 12 bulan. Minimal 0%, semakin tinggi semakin baik.
- BOPO (Biaya Opr./Pendapatan Opr.) yaitu rasio antara Biaya Opr. Terhadap Pendpatan Opr. Maksimal 100%, semakin rendah semakin baik.
Dari unsur liquidity penilaian dilihat dari standar :
- Cash Ratio yaitu rasio antara alat likuid terhadap hutang lancar. Minimal 0% dan semakin tinggi semakin baik.
- LDR (Loan to Deposit Ratio) yaitu rasio antara jumlah kredit yang diberikan terhadap dana yang diterima. Maksimal 115% semakin rendah semakin baik.
Dari kategori penilaian tersebut bank-bank diklasifikasikan menjadi beberapa kelas.
Beberapa bank yang akhirnya harus kolaps karena gagal memenuhi standar itu adalah : Bank Exim, Bapindo dan Bank Bumi Daya.
Sedangkan bank-bank yang lolos dari penyaringan itu seperti : BRI, BNI, Bank Lippo dan Bank Muamalat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi