JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, September 2001

PERKEMBANGAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Oleh : Maryono DS

STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK

Krisis yang berkepanjangan telah mendorong Indonesia kembali ke dalam kondisi perekonomian yang memprihatinkan dengan ditandai meningkatnya angka pengangguran baik pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran dan jumlah penduduk yang miskin.Saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengoptimalkan seluruh potensi nasional bagi pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan memfokuskan pada perluasan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan. Masalah pengangguran dan kemiskinan tidak dapat dipisahkan khususnya bagi negara yang belum mampu memberikan jaminan sosial bagi pengangguran seperti Indonesia. Untuk itu upaya pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari usaha perluasan lapangan pekerjaan.

1. Pendahuluan

Kemiskinan merupakan masalah yang muncul dalam pembangunan bersama-sama dengan pengangguran dan kesenjangan sosial, dimana ketiga masalah tersebut saling terkait satu sama lainnya. Ketiga masalah tersebut senantiasa muncul dalam setiap pembangunan di berbagai negara dalam kadar yang berbeda-beda, namun secara mutlak tidak mungkin dihindari.

Krisis ekonomi Indonesia yang dimulai pertengahan tahun 1997, selanjutnya berkembang menjadi krisis multidemensi dampaknya masih terasa sampai sekarang. Salah satu dampak yang nyata akibat terjadinya krisis tersebut adalah meningkatnya jumlah pengangguran akibat banyaknya industri yang bangkrut sehingga harus merumahkan tenaga kerjanya. Selain akibat banyaknya terjadi pemutusan hubungan kerja, pengangguran juga bertambah karena adanya angkatan kerja baru yang terjadi setiap tahunnya.

Selain berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran, krisis multi demensi tersebut juga telah memperburuk nasib sebagian besar masyarakat Indonesia dengan peningkatan jumlah orang miskin yang cukup memprihatinkan. Antara peningkatan jumlah pengangguran dan peningkatan jumlah orang yang miskin di Indonesia memiliki hubungan yang cukup signifikan. Hal ini cukup beralasan karena kemiskinan banyak disebabkan karena akibat terhentinya sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari bekerja. Sedangkan untuk sebagian kecil saja pengangguran yang tidak berdampak pada kemiskinan, yaitu untuk para penganggur yang hidupnya ditopang oleh keluarga yang memiliki kekayaan yang cukup sehingga meskipun ada keluarga yang masih menganggura namun tidak sampai jatuh miskin.

Selain diakibatkan karena menganggur sebagian masyarakat miskin yang lain dapat diakibatkan oleh karena mereka hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau sebagai setengah pengangguran dan mendapatkan hasil yang belum dapat mengangkat mereka dari standar garis kemiskinan. Di samping itu juga masih adanya sebagian besar masyarakat yang meskipun sudah bekerja lebih dari 35 jam per minggu namun karena bidang pekerjaannya memang tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup, maka mereka juga tetap berada dalam kungkungan kemiskinan. Hal ini terjadi bagi mereka yang bekerja pada sektor non formal yang hanya memberikan kemungkinan sedikit penghasilan.

2. Perkembangan Pengangguran dan Kemiskinan di Indonesia

Pengangguran terbuka, yang didefinisikan sebagai proporsi orang yang mencari pekerjaan terhadap banyaknya angkatan kerja, di Indonesia pada tahun 1980 tercatat paling rendah selama jangka waktu 1976 sampai dengan tahun 2000, yaitu hanya 1,7 persen. Pada awal-awal sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, tingkat pengangguran terbuka telah mencapai angka 4,68 persen dan meningkat pada tahun 1998 menjadi 5,46 persen, tahun 1999 menjadi 6,36 persen dan tahun 2000 manjadi 6,14 persen.

Sedangkan setengah pengangguran yang didefinisikan sebagai bekerja dengan jam kerja kurang dari 35 jam seminggu, menunjukkan fluktuasi dari tahun 1976 sampai dengan tahun 2000. Dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1990 menunjukkan adanya penurunan angka setengah pengangguran. namun dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1996 menunjukkan kenaikan. Sementara tingkat setengah pengangguran terendah terjadi pada tahun 2000 dengan 31,50 persen.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia sejak tahun 1976 hingga tahun 1996 senantias mengalami penurunan yaitu 54,2 juta orang pada tahun 1976 berkurang menjadi 22,5 juta orang pada tahun 1996. Namun pada tahun 1998 setelah terjadinya krisis ekonomi jumlah penduduk miskin di Indonesia kembali meningkat manjadi 48,7 juta orang dan tahun 2000 penduduk miskin diperkirakan mencapai lebih dari 90 juta orang dari total penduduk lebih dari 200 juta orang.

Tabel 1 : Perkembangan Pengangguran, Setengah Pengangguran, dan Kemiskinan

di Indonesia, Tahun 1976 sampai dengan tahun 2000

Tahun

Tingkat Pengangguran Terbuka ( % )

Tingkat Setengah Pengangguran (%)

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)

1976

2,30

45,00

54,2

1978

1,70

38,00

42,3

1990

3,17

34,06

27,2

1993

2,76

37,35

25,9

1996

4,89

36,24

22,5

1997

4,68

33,93

Tidak ada data

1998

5,46

36,64

48,7

1999

6,36

33,08

Tidak ada data

2000

6,14

31,50

Tidak ada data

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

Dalam tabel 2 menunjukkan antara daerah perkotaan dengan pedesaan dalam angka pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran. Dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 tingkat pengangguran terbuka lebih besar terjadi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Namun untuk angka setengah pengangguran sebaliknya dimana pedesaan justru memiliki angkat setengah pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.

Penganggurang Terbuka di Perkotaan tahun 1993 mengalami penurunan dibandingakan tahun 1990. Namun mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 1998 pengangguran terbuka di perkotaan selalu mengalami kenaikan . Sementara pengangguran terbuka di pedesaan selalu berfluktuasi. Tahun 1993 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 1990. Tahun 1996 naik, tahun 1997 turun, dan tahun 1998 naik kembali. Tingkat Setengah Pengangguran di Kota tahun 1993 mangalami kenaikan dibandingkan tahun 1990. Tahun 1996 dan tahun 1997 mengalami penurunan, dan tahun 1998 naik kembali. Tingkat Setengah Pengangguran di Desa tahun 1993 mengalami kenaikan. Sementara tahun 1996 dan 1997 mengalami penurunan, dan tahun 1998 naik kembali.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan pengangguran terbuka di perkotaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pedesaan yang antara lain adalah bahwa di perkotaan pendidikan masyarakatnya rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Selain itu juga dapat terjadi karena tingkat pendapatan keluarga yang tinggi sehingga mampu menopang biaya hidup bagi keluarga yang masih menganggur. Dengan demikian mereka hanya akan mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan bidang maupun tingkat penghasilan yang diinginkan saja, dan tidak mau mencari pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang dan tingkat upah yang diharapkan.

Sementara setengah pengangguran banyak terjadi di pedesaan disebabkan mayoritas bidang pekerjaan masyarakat pedesaan adalah pada sektor pertanian yang sifat kebutuhan tenaga kerjanya musiman. Karena bersifat musiman maka dan tidak terus menerus maka sangat memungkinkan seseorang bekerja bila dihitung secara rata-rata kurang dari 35 jam per minggu. Selain itu setengah pengangguran di pedesaan ini juga disebabkan karena sempitnya lahan pertanian bila dibandingkan dengan jumlah petani penggarapnya sehingga hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja saja.

Tabel 2 : Tingkat Pengangguran Terbuka dan Setengah Pengangguran Menurut Daerah Perkotaan / Pedesaan Tahun 1990 – 1998

Tahun

Tingkat Pengangguran Terbuka

Tingkat Setengah Pengangguran

Kota

Desa

Kota

Desa

1990

6,09

2,05

17,98

39,97

1993

5,53

1,62

19,82

44,22

1996

8,32

3,16

19,61

44,17

1997

8,06

2,84

19,57

41,32

1998

9,29

3,30

22,10

44,31

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

Seperti yang ditunjukkan dalam tabel 3, insiden kemiskinan dan pengangguran ternyata cukup bervariasi antar propinsi, dimana pada tahun 1996 angka kemiskinan terendah untuk tiga propinsi masing-masing DKI Jakarta 2,48 persen, Bali 4,29 persen, Riau 7,94 persen. Sedangkan angka kemiskinan tertinggi untuk tiga propinsi masing-masing adalah Kalimantan Barat 21,98 persen, Irian Jaya 21,17 persen, dan Nusa Tenggara Timur 20,57 persen.

Sementara untuk persentase pengangguran terbuka untuk tiga propinsi terendah masing-masing adalah Nusa Tenggara Timur 2,60 persen, Irian Jaya 4,66 persen, dan Jawa Timur 4,82 persen. Sedangkan untuk tiga propinsi dengan angka pengangguran terbuka tertinggi terdapat di propinsi DKI Jakarta 12,05 persen, Sulasesi Selatan 10,63 persen, dan jawa barat 10,94 persen.

Dalam kasus ini kita melihat bahwa memang tidak selamanya kemiskinan itu diakibatkan karena pengangguran, khususnya masyarakat yang tinggal di perkotaan. Pengangguran terbuka di perkotaan kebanyakan adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga mereka akan memilih menganggur secara sukarela bila dibandingkan dengan harus bekerja namun tidak pada bidang pekerjaan atau kompensasi sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu mereka selama ini ditopang keluarga yang memiliki pendapatan cukup sehingga apabila ada anggota keluarganya yang menganggur tidak terlalu dibebani. Sebaliknya masyarakat pedesaan yang tingkat pengangguran terbukanya rendah justru lebih banyak penduduknya yang miskin disebabkan karena memang rata-rata di sebagian besar pedesaan tingkat penghasilan penduduknya rendah karena sebagian besar mereka bekerja di sektor pertanian baik sebagai petani pemilik maupun sebagai petani penggarap.

Tabel 3 : Persentase Penduduk Miskin ( 1996 ) dan Tingkat

Pengangguran Terbuka

( 1995 ) menurut Propinsi, 1995 – 1996

Propinsi

Persentase penduduk Miskin

Persentase Tingkat Pengangguran Terbuka

D.I. Aceh

10,79

7,54

Sumatera Utara

10,92

6,96

Sumatera Barat

8,76

7,46

Riau

7,94

8,72

Jambi

9,06

6,43

Sumatera Selatan

10,72

6,77

Bengkulu

9,37

4,59

Lampung

10,65

5,87

DKI Jakarta

2,48

12,05

Jawa Barat

9,88

10,94

Jawa Tengah

13,91

5,43

D.I. Yogyakarta

10,42

5,12

Jawa Timur

11,86

4,82

Bali

4,29

5,33

Nusa Tenggara Barat

17,61

7,56

Nusa Tenggara Timur

20,57

2,60

Kalimantan Barat

21,98

5,26

Kalimantan Tengah

11,24

6,27

Kalimantan Selatan

14,33

5,86

Kalimantan Timur

9,24

8,68

Sulawesi Utara

10,60

11,60

Sulawesi Tengah

8,18

8,36

Sulawesi Selatan

8,02

10,63

Sulawesi Tenggara

8,48

6,73

Maluku

19,47

7,85

Irian Jaya

21,17

4,66

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

Dalam tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka cenderung lebih tinggi seiring naiknya pendidikan yang ditamatkan. Tingkat pengangguran terbuka bagi mereka yang menamatkan pendidikan pada tingkat SLA adalah sebesar 16,76 persen dan yang menamatkan akademi / universitas sebesar 12,83 persen. Sedangkan pengangguran terbuka oleh mereka yang menamatkan pendidikan SD dan SLP sebesar 9,09 persen, dan yang tidak tamat SD atau tidak sekolah angka penganggurannya hanya 4,76 persen. Bagi seseorang yang tidak memiliki ijasah formal sama sekali atau tidak menamatkan pendidikan bahkan pada SD sekalipun maka mereka akan cenderung menggunakan prinsip yang penting bekerja, sehingga pekerjaan apapun dengan kondisi kerja yang bagaimanapun akan diterima sebagai suatu kesempatan bekerja bagi mereka. Mereka menyadari bahwa dengan tanpa bekal pendidikan formal yang dimiliki tidak dapat menentukan pilihan terhadap jenis pekerjaan maupun kondisi kerja yang lebih tinggi. Berbeda dengan mereka yang memiliki pendidikan formal khususnya dari PT atau SLA, mereka akan cenderung memilih jenis pekerjaan tertentu dengan kondisi kerja khususnya tingkat upah yang cenderung lebih tinggi. Apalagi bagi mereka yang kondisi ekonomi keluarganya berkecukupan, tentunya tidak akan mau bekerja pada jenis pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan pendidikannya.

Tabel 4 : Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka di Perkotaan Menurut Propinsi dan Pendidikan , 1995 – 1996

Propinsi

Persentase Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Pendidikan

<>

SD, SLP

SLA

PT

D.I. Aceh

4,30

11,43

22,46

19,70

Sumatera Utara

4,02

8,59

16,64

16,55

Sumatera Barat

4,70

9,71

17,65

17,99

Riau

11,37

14,68

17,62

18,58

Jambi

3,22

7,31

12,43

10,66

Sumatera Selatan

6,22

10,39

17,96

18,77

Bengkulu

3,96

5,06

14,77

12,13

Lampung

6,57

10,69

21,24

19,75

DKI Jakarta

6,69

9,37

16,29

10,18

Jawa Barat

6,92

11,87

16,63

9,27

Jawa Tengah

3,66

7,03

14,70

14,34

D.I. Yogyakarta

1,48

5,06

11,58

15,77

Jawa Timur

2,38

5,48

14,81

11,55

Bali

2,85

6,67

15,67

10,67

Nusa Tenggara Barat

6,93

13,24

23,30

11,70

Nusa Tenggara Timur

6,39

7,45

18,20

10,37

Kalimantan Barat

11,65

11,56

20,67

8,71

Kalimantan Tengah

6,44

13,83

18,66

17,95

Kalimantan Selatan

2,40

8,61

15,97

13,71

Kalimantan Timur

5,26

11,85

16,36

10,08

Sulawesi Utara

9,32

12,83

20,65

17,17

Sulawesi Tengah

8,11

9,41

21,04

15,57

Sulawesi Selatan

9,12

13,93

26,37

23,36

Sulawesi Tenggara

2,44

6,06

23,39

16,45

Maluku

1,83

10,53

25,31

24,40

Irian Jaya

6,44

12,94

19,53

7,10

Indonesia

4,76

9,09

16,76

12,83

Kalimantan Timur

5,26

11,85

16,36

10,08

Sulawesi Utara

9,32

12,83

20,65

17,17

Sulawesi Tengah

8,11

9,41

21,04

15,57

Sulawesi Selatan

9,12

13,93

26,37

23,36

Sulawesi Tenggara

2,44

6,06

23,39

16,45

Maluku

1,83

10,53

25,31

24,40

Irian Jaya

6,44

12,94

19,53

7,10

Indonesia

4,76

9,09

16,76

12,83

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

Bila kita amati perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berdasarkan propinsi, dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya pembangunan yang dilangsungkan selama ini telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini tercermin dalam tabel 5 yang menunjukkan bahwa seluruh propinsi di Indonesia selama kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 1996 jumlah penduduk miskinnya berkurang.

Tabel 5 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Propinsi,

1993 – 1996

Propinsi

1993

1996

Perkembangan

1993 – 1996

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

%

D.I. Aceh

496.719

13,46

425.598

10,79

-71.122

-2,68

Sumatera Utara

1.331.631

12,31

1.234.194

10,92

-97.437

-1,40

Sumatera Barat

566.133

13,47

384.582

8,76

-181.550

-4,71

Riau

410.853

11,20

322.018

7,94

-88.835

-3,26

Jambi

299.380

13,38

222.842

9,06

-76.538

-4,32

Sumatera Selatan

1.023.911

14,89

794.870

10,72

-229.041

-4,17

Bengkulu

173.112

13,11

137.239

9,37

-35.873

-3,74

Lampung

751.817

11.70

724.856

10,65

-26.960

-1,05

SUMATERA

5.053.556

12,88

4.246.199

10,15

-807.357

-2,37

DKI Jakarta

497.121

5,65

231.331

2,48

-265.790

-3,17

Jawa Barat

4.612.352

12,20

3.962.111

9,88

-650.240

-2,33

Jawa Tengah

4.618.743

15,78

4.157.299

13,91

-461.444

-1,87

D.I. Yogyakarta

343.466

11,77

303.768

10,42

-39.697

-1,35

Jawa Timur

4.423.709

13,25

4.046.529

11,86

-377.180

-1,39

Bali

270.199

9,46

125.600

4,29

-144.599

-5,17

JAWA + BALI

14.765.590

12,84

12.826.638

10,75

-1.938.952

-2,09

Nusa Tenggara Barat

692.421

19,52

653.026

17,61

-39.395

-1,91

Nusa Tenggara Timur

756.439

21,84

748.974

20,57

-7.465

-1,27

NUSA TENGGARA

1.741.818

22,27

1.669.806

20,34

-72.012

-1,93

Kalimantan Barat

874.526

25,05

820.490

21,98

-54.036

-3,07

Kalimantan Tengah

321.578

20,85

189.414

11,24

-132.163

-9,62

Kalimantan Selatan

517.752

18,61

424.279

14,33

-93.473

-4,28

Kalimantan Timur

294.922

13,75

224.561

9,24

-70.361

-4,51

KALIMANTAN

2.008.778

20,17

1.658.744

15,35

-350.034

-4,82

Sulawesi Utara

304.733

11,79

284.648

10,60

-20,085

-1,20

Sulawesi Tengah

193.897

10,48

163.372

8,18

-30.525

-2,30

Sulawesi Selatan

659.152

8,97

617.131

8,02

-42.021

-0,95

Sulawesi Tenggara

162.279

10,84

139.394

8,48

-22.885

-2,35

SULAWESI

1.320.061

9,94

1.204.545

8,59

-115.516

-1,35

Maluku

478.855

23,93

417.047

19,47

-61.808

-4,46

Irian Jaya

441.851

24,16

427.827

21,17

-14.025

-2,99

MALUKU + IRJA

920.706

24,04

844.874

20,30

-75.832

-3,74

INDONESIA ( JML )

25.810.509

13,67

22.450.809

11,32

-3.359.700

-2,35

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

Tingkat kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gaps Index yang menerangkan rata-rata gap atau jarak antara pendapatan dari penduduk miskin dengan garis kemiskinan dan dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan. Indeks ini mengindikasikan kedalaman dari pada kemiskinan, tetapi indeks ini tidak sensitif terhadap distribusi dari pada pendapatan di antara orang-orang miskin, atau dapat dikatakan tidak dapat menerangkan tingkat keparahan dari pada kemiskinan. Selama tahun 1993 sampai 1996, terlihat penurunan poverty gaps index dan penurunannya lebih cepat di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. Hal tersebut berarti bahwa selama periode sebelum krisis, terjadi penurunan rata-rata jarak antara standar hidup rumah tangga miskin dan garis kemiskinan, atau dalam kata lain rata-rata pengeluaran dari orang-orang miskin cenderung mendekat garis kemiskinan. Namun ternyata dalam masa krisis terjadi peningkatan poverty gaps index, dan ternyata peningkatannya lebih parah untuk daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Ini berarti bahwa dalam masa krisis ini terjadi peningkatan gap antara rata-rata standar hidup orang-orang miskin di Indonesia terhadap garis kemiskinan dan peningkatannya lebih dari dua setengah kali dibanding masa sebelum krisis.

Untuk mengukur sensitifitas distribusi pendapatan atau pengeluaran dari penduduk miskin dapat digunakan indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index). Selama periode sebelum krisis, terlihat penurunan Indeks Keparahan Kemiskinan yang mengindikasikan bahwa ketidak merataan di antara kaum miskin telah semakin berkurang. Dari tahun 1993 sampai 1996 penurunan ketidak merataan bagi mereka yang tinggal di perkotaan jauh lebih pesat dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan. Sedangkan ketidak merataan di antara kaum miskin pada tahun 1998 telah meningkat sangat signifikan dibandingkan pada tahun 1996 dan tingkat keparahan mereka yang tinggal di pedesaan lebih nyata dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan.

Tabel 6 : Indeks kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Indonesia

menurut Daerah Perkotaan dan Pedesaan, Tahun 1993 – 1998.

Tahun

Pedesaan

Perkotaan

Indeks Kedalaman Kemiskinan ( P1 )

1993

2,285

1,992

1996

1,588 (2,548)

1,803 (3,529)

1998

4,351

5,005

Indeks Keparahan Kemiskinan ( P2 )

1993

0,611

0,497

1996

0,406 (0,709)

0,425 (0,956)

1998

1,267

1,475

Sumber : Badan Pusat Statistik dalam Laporan Sosial Indonesia 1998

3. Kebijakan dalam Penanggulangan Masalah Pengangguran dan Kemiskinan

Mengingat jumlah pengangguran terbuka maupun penduduk miskin di Indonesia saat ini masih cukup besar, maka harus diambil kebijaksanaan dan langkah-langkah nyata untuk mengentaskan mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Keberhasil dalam menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan pengentasan kemiskinan ini akan melapangkan jalan dalam melaksanakan pembangunan nasional, sebaliknya apabila usaha perluasan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan gagal, akan dapat menghambat pembangunan nasional bahkan dapat mengurangi arti dan merusak hasil pembangunan yang selama ini telah terwujud. Untuk itulah kiranya dalam usaha perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan ini harus mengacu pada sasaran yang tepat dengan melihat golongan masyarakat yang rentan kemiskinan. Adapun kebijaksanaan dan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam usaha pengentasan kemiskinan adalah meliputi :

a. Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah besar yang harus kita atasi bersama dengan political will yang kuat. Oleh karena itu, kita harus mengupayakan agar usaha perluasan lapangan kerja dan pengentaskan kemiskinan ini dapat digalang menjadi tekad politik yang besar dan bulat sebagaimana kita pernah menggalang tekad serupa mencapai sembada pangan. Dengan kata lain kegiatan perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan perlu dijadikan sebagai gerakan nasional.

b. Melihat kondisi yang kita hadapi sekarang, maka untuk jangka waktu yang relatif masih panjang, jumlah penduduk miskin masih akan tetap besar. Oleh karena itu, untuk mengimbangi ketimpangan sistimatik tersebut di samping kebijaksanaan makro yang menggarisbawai pertumbuhan, dibutuhkan pula upaya khusus yang ditujukan guna menanggulangi tekanan kemiskinan dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Untuk dapat meningkatkan kesempatan kerja yang luas pemerintah perlu menyelenggarakan program padat karya sehingga mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang banyak. Selain itu bagi masyarakat miskin perlu adanya penyaluran jaring pengaman sosial sehingga mereka tetap dapat mempertahankan hidup dalam kondisi yang layak.

c. Agar usaha-usaha pengentasan kemiskinan memperoleh hasil yang maksimal, sebaiknya strategi pengentasan kemiskinan mengenali secara mendalam target-target kelompok dan sasarannya seperti petani-petani di kantong-kantong kemiskinan, rakyat di sektor informal dan lain-lain.

  1. Strategi pengentasan kemiskinan hendaknya mencakup 7 hal, yaitu : (1) Adanya suasana stabil dan tenteram, termasuk stabilitas moneter; (2) Pengendalian laju penduduk;

(3) Pelestarian lingkungan;

(4) Merupakan program yang berkelanjutan dan terpadu;

(5) Sistim perencanaan dan pelaksanaan program yang terdesentralisasi sejauh mungkin;

(6) Perbaikan pada pelakunya;

(7) Kadang-kadang masih diperlukan subsidi,namun harus dengan sasaran yang tajam.

e. Dalam menghadapi masalah kemiskinan yang demikian besar, perlu dikembangakan semangat kepemihakan kepada rakyat miskin serta rasa kepedulian sosial, rasa saling pengertian, kebersamaan dan solidaritas sosial yang tinggi sehingga berbagai dampak negatif masalah kemiskinan dapat diredam dan akhirnya dihilangkan.

f. Masyarakat miskin pada umumnya berpendidikan rendah, sehingga kurang cepat menerima inovasi-inovasi baru dan program-program dari luar yang sesungguhnya mereka sangat butuhkan. Berdasarkan pengalaman, agar mereka dapat menerima program-program pengentasan kemiskinan, maka diperlukan terlebih dahulu program penyiapan dan pendampingan. Untuk itu peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dana didayagunakan.

g. Lembaga kontrol sosial yaitu pers, organisasi kemasyarakatan / profesi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kekaryaan lainnya agar didorong untuk memasyarakatkan dan menggairahkan kegiatan-kegiatan perkoperasian, pembinaan pengusaha kecil dan pengentasan kemiskinan.

h. Kebijaksanaan tingkat upah akan selalu diperbaharui sesuai dengan tingkat perkembangan harga dan inflasi. Ketentuan mengenai upah minimum harus dapat dilaksanakan oleh para pengusaha. Untuk itu, sudah saatnya dilaksanakan peningkatan sistim pemantauan , pengawasan dan peningkatan hukum terhadap para pelanggar sesuai dengan peraturan yang berlaku.

i. Kebijaksanaan tata kota dan tata ruang dilaksanakan dengan tidak menggusur sektor informal dan pengusaha kecil lainnya. Bahkan mereka sebaiknya memperoleh tempat yang layak secara ekonomis bagi pertumbuhan dan perkembangan usahanya sehingga mampu membuka peluang usaha lainnya bagi kelompok miskin yang belum memperoleh tempat mencari nafkah. Hal ini penting mengingat bahwa selama ini khususnya Daerah Tingkat II dalam melakukan penataan kota sering diikuti dengan penggusuran usaha sektor informal ( pedagang kaki lima ) yang semata-mata untuk memenuhi tuntutan keindahan kota dan lain sebagainya yang sering kurang dapat diterima masyarakat luas.

j. Kebijaksanaan fiskal dan moneter serta pengembangan usaha harus secara tegas diarahkan untuk menumbuh-kembangkan pengusaha golongan menengah, kecil dan masyarakat miskin. Kebijakan itu hendaknya mencakup kebijakan perbankan, pasar modal, belanja barang dan jasa pemerintah termasudk BUMN dan BUMD serta pengembangan sistim subcontrancting dalam dunia usaha dan industri nasional.

k. Langkah-langkah untuk memperbaiki nilai tukar atas komoditi yang dihasilkan oleh petani harus terus dilakukan sehingga betul-betul mampu meningkatkan penghasilan petani yang sebagian besar masih miskin. Termasuk didalam hal ini adalah tentang pengaturan tata niaga produk pertanian yang selama ini masih dirasakan petani kurang mengenai sasaran.

l. Kebijaksanaan pengembangan regional dan kawasan, termasuk pemberian insentif dan rangsangan bagi investor yang menanamkan modalnya di kawasan terpencil seperti kawasan Timur Indonesia dan daerah terbelakang lainnya harus dipacu dan diberi kemudahan. Di samping itu dalam kebijakan anggaran, subsidi daerah - daerah ini harus diperbesar secara proporsional dengan daerah yang sudah maju lainnya.

m. Kebijaksanaan anggaran negara ( fiskal ), dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengalokasikan anggaran belanja negara pada sektor-sektor yang secara langsung berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh khususnya pada kelompok miskin di kantong-kantong kemiskinan.

n. Upaya menekan inflasi sekecil mungkin secara langsung akan menolong pegawai kecil, buruh dan kelompok miskin lainnya, karena pendapatan yang diperoleh tidak terganggu oleh kenaikan harga, khususnya harga barang kebutuhan pokok.

o. Upaya peningkatan penerimaan negara dari pajak perlu terus digalakkan agar fungsi pajak sebagai sarana pemerataan hasil pembangunan sekaligus sebagai alat untuk mengatur pola konsumsi masyarakat dalam rangka mengatasis kesenjangan sosial dapat terwujud.

p. Khusus dalam upaya peningkatan perluasan lapangan kerja, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu mengembangkan situasi yang kondusif sehingga investor baik lokal maupun asing tertarik menanamkan modalnya di Indonesia sehingga mampu memberikan lapangan kerja bagi mereka yang selama ini belum terserap pasar kerja.

q. Gerakan perburuhan yang dimotori serikat pekerja dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap nasib pekerja perlu bertindak proporsional dalam memperjuangkan nasib pekerja, dan jangan sampai memprovokasi untuk berbuat anarkis yang justru tidak hanya merugikan pengusaha tetapi juga merugikan kaum pekerja yang diperjuangkan itu sendiri.

4. Penutup

Sekali lagi bahwa usaha peningkatan perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan adalah merupakan tanggungjawab semua pihak, khususnya adalah pemerintah sehingga keberhasilan usaha ini akan sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak serta tekad yang kuat dari pemerintah yang diwujudkan dalam kebijaksanaan-kebijaksaan yang mendorong adanya perluasan lapangan kerja usaha pengentasan kemiskinan ini.

Demikian juga terhadap masyarakat saat ini masing belum mendapatkan perkerjaan perlu meningkatkan ketrampilan sehingga bila terjadi perluasan lapangan kerja dapat masuk berperan sebagai pekerja yang andal. Sedangkan terhadap rakyat miskin perlu ditumbuh-kembangkan sikap dan kemauan untuk maju dengan bekerja keras dan senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi sehingga mereka akan mampu mengikuti irama gerak langkah pembangunan yang sedang digalakkan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Pengkajian Perpajakan dan Keuangan, Bahan-bahan Kajian Pelita VI dan PJP II, 1994

Michael P Todaro, Penterjemah Burhanuddin Abdullah, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga, 1993.

Irawan dan Suparmoko, Ekonomi Pembangunan, BPFE,

Mubyarto dan Boediono, Editor, Ekonomi Pancasila, BPFE, 1980

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi