JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, September 1999
TINJAUAN ANALITIS TERHADAP "POWER IN ORGANIZATIONS"


Oleh : Bambang Suko Priyono

STIE Stikubank Semarang
ABSTRAK

"Power In Organizations" atau Kekuasaan dalam Organisasi merupakan salah satu masalah dalam organisasi yang dapat menimbulkan konflik tetapi juga diperlukan untuk mengukur bargaining power organisasi secara keseluruhan dalam hubungannya menghadapi pesaing, supplier, dan stake holder expectation. Secara intern distribution power yang tidak seimbang memang harus ada, tetapi dalam batas tertentu ketidak seimbangan tersebut harus dapat diterima semua pihak.. Penerimaan terhadap distribusi power dalam organisasi akan berjalan wajar jika mendasarkan pada sumber- sumber power yang realitis dan logis. Pembahasan terhadap Power in Organizations juga dapat digunakan untuk menganalisis tingkat ketergantungan suatu organisasi termasuk negara terhadap organisasi lain. Jika tingkat ketergantungan sangat tinggi berarti power yang dimiliki organisasi rendah, untuk itu diperlukan strategi meningkatkan power dengan melakukan koalisi.

PENDAHULUAN

Artikel ini bertitik tolak dari analisis terhadap buku karangan Jeffrey Pfeffer berjudul "Power In Organizations". Meskipun Buku ini diterbitkan sudah cukup lama tetapi isi dari buku tersebut dipandang sangat relevan dengan masalah-masalah di organisasi pada saat ini. Sehingga tinjuauan analitis terhadap isi buku "klasik" tersebut masih relevan untuk dibicarakan. Tinjauan analitis akan disertai dengan pandangan-pandangan baik yang mendukung maupun yang mengkritik dari buku lain, dan dari penulis sendiri dengan harapan dapat melakukan revitalisasi terhadap permasalahan Kekuasaan dalam Organisasi.

Dikemukakan dalam pendahuluan bahwa salah satu alasan buku "Power In Organizations" dibuat oleh penulisnya karena pada waktu itu belum terdapat buku untuk materi pengajaran yang baik dalam membahahas tentang power, meskipun topik tersebut sangat penting dalam analisis organisasi (Pfeffer, 1981). Keprihatinan ini mendorong Pfeffer untuk melakukan konsilidasi pemikiran tentang power berdasarkan artikel-artikel dari penulis lain. Jadi buku ini lebih banyak memuat ide-ide dari penulis lain pendahulunya yang membahas atau meneliti tentang masalah yang berhubungan dengan power.

Salah satu tujuan buku ini adalah melakukan sintesis tentang pengertian power dalam organisasi dan mengembangkan alasan-alasan secara konsisten teori dan analisis tentang phenomena power. Tujuan lain adalah untuk menunjukkan adanya gap dalam emperical research, karena isi buku ini banyak bersifat hipotesis yang diajukan tanpa bukti emperis yang mendukung. Dengan demikian diharapkan akan mendorong motivasi pihak lain melakukan penelitian tentang power dikemudian hari.

Buku ini terdiri dari sembilan chapter, pada bagian pertama sampai dengan lima menjelaskan sekitar pengertian power dalam kaitannya dengan istilah politic dalam organisasi. Dikemukakan juga bahwa power mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan, bagaimana power diukur dan diteliti dalam organisasi, dari mana sumber power dan pilihan strategi yang diperlukan sesuai kondisi yang mempengaruhi keputusan organisasi. Sedangkan bagian enam sampai dengan delapan membahas dari bahasa dan simbol political yang digunakan untuk mendukung subyek yang mempunyai power dan mengurangi oposisi, bagaimana power digunakan dan bukti-bukti dari berbagai situasi organisasi, bagaimana power dijaga serta ancaman pada power. Bagian terakhir membahas tentang implikasi power dan political perspective dalam organisasi.

Selanjutnya sebagai analisis dan kritik dari buku ini akan digunakan pendapat-pendapat dari Yukl (1981) tentang sources of power, serta konsep tentang power dari Hickson, Hinings, Lee, Schneck, & Pennings (1971), konsep structural resources dari Astley & Sachdeva (1984), dan pendapat dari Pfeffer & Salancik (1978) tentang resource control, pendapat Provan (1980) sehubungan dengan pengukuran power, dan juga hasil penelitian dari Perrow (1970) tentang adanya perbedaan besarnya power antar departemen dalam organisasi.

RINGKASAN POKOK

Di awal bukunya Pfeffer (1981) menuliskan bahwa power adalah sesuatu yang sulit untuk didefinisikan, tetapi diakui bahwa power berkaitan dengan kekuatan atau force dari social actors baik individu, subunit atau organisasi. Power dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan. Power berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk merubah atau mempengaruhi perilaku pihak lain. Power yang dimiliki seseorang sering kali dihubungkan dengan kedudukan secara hierarchy dalam organisasi, artinya kedudukan seseorang atau individu dalam suatu subunit organisasi akan memberikan power pada yang bersangkutan. Hal ini sering disebut sebagai legitimasi power. Jadi munculnya power didorong adanya division of labor yang terjadi ketika spesialisasi tugas-tugas dalam organisasi diterapkan. Dengan kata lain munculnya power pada seseorang dapat ditentukan berdasarkan kedudukan secara struktural seseorang dalam organisasi.

Menurut Pfeffer (1981) outhority adalah power yang dilegitimasi atau bentuk formal dari power dalam organisasi. Tranformasi dari power pada outhority adalah proses yang penting dalam topik institutionalized power. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam hubungan antara supervisor atau lower manager dan bawahannya dalam organisasi. Atasan mempunyai wewenang untuk memberikan sangsi kepada bawahan jika mereka menolak perintah, dan inilah power atau outhority yang dimiliki atasan. Tetapi sebenarnya bawahan mempunyai juga power yaitu, mereka memiliki informasi dan keahlian tertentu . Hanya saja sering kali bawahan tidak sadar terhadap power yang dimilikinya. Kedua power tersebut tidak pernah dipertimbangkan keseimbangannya. Biasanya bawahan cenderung patuh terhadap instruksi atasannya karena takut adanya sangsi, meskipun sebenarnya bawahan juga memiliki power. Sehubungan dengan hal tersebut power dapat berubah menjadi outhority, karena kemampuannya untuk mengendalikan bawahan, sedangkan bawahan walaupun mungkin memiliki power tetapi tidak mampu mengendalikan atasannya.

Pembahasan tentang power dalam organisasi tidak dapat dipisahkan dengan organizational politics. Didalam kegiatan organisasi selalu ada keputusan-keputusan untuk menjalankan aktivitas. Politik adalah usaha untuk mempengaruhi keputusan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi organisasi. Menurut Pfeffer (1981) politik termasuk aktivitas social actors dalam memperoleh, mengembangkan, dan menggunakan power serta resources untuk mendapatkan hasil dalam situasi dan kondisi tertentu. Politik organisasional juga ditunjukkan dalam aktivitasnya untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi aktivitas power dalam organisasi berhubungan erat dengan political activity untuk mengatasi adanya perlawanan atau oposisi yang ada dalam organisasi. Aktivitas atau sepak terjang politikus sering kali mempengaruhi pertimbangan presiden untuk menyusun kabinetnya karena adanya kepentingan kelompok meskipun hal itu mengorbankan unsur keahlian atau expert power. Demikian halnya dalam organisasi perusahaan pertimbangan kepentingan pemilik lebih dominan dari pada pertimbangan rasional yang mendasarkan kemampuan dan keahlian.

Dalam organisasi peranan power semakin tampak jika dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Sehubungan dengan proses pengambilan keputusan ada empat model yang dikemukakan oleh Pfeffer (1981) yaitu : (1) Rational Model, adalah model dengan ideologi efisiensi dan efektivitas dengan menekankan pada pengendalian secara sentralisasi, (2) Bureaucratic Model, adalah model yang mendasarkankan pada ideologi stabilitas dan pengendalian kurang sentralisasi dengan kepercayaan besar pada peraturan, (3) Decision Process Model, adalah model yang menggunakan ideologi sportivitas dan pengendalian sangat desentralisasi, dan (4) Political of organization Model, adalah model dengan ideologi pada perjuangan, konflik, menang dan kalah serta pengendalian dengan cara koalisi kepentingan kelompok.

Organisasi terdiri dari beberapa kelompok atau bagian yang mempunyai berbagai macam kepentingan . Power yang dimiliki setiap bagian berbeda-beda dan masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri, tetapi ada ketergantungan antara bagian satu dengan yang lain. Ketergantungan, perbedaan kepentingan dan tujuan dari organizational actors, adanya kondisi kelangkaan sumber daya, serta keperyaan terhadap teknologi yang berbeda-beda akan menghasilkan konflik. Jika tidak ada kesepakatan diantara pelaku-pelaku dalam organisasi maka konflik yang terjadi cenderung menggunakan power masing-masing. Power base dan strategi masing-masing pelaku organisasi akan digunakan untuk mempengaruhi keputusan organisasi. Persaingan strategi dari pelaku-pelaku organisasi yang mempunyai power merupakan realitas situasi yang dihadapi dan dapat menjadi hambatan lingkungan atau penundaan tercapainya tujuan organisasi. Atas dasar hal tersebut maka kiranya perlu mengukur besarnya power yang dimiliki masing-masing pelaku organisasi dan sumber dari power. Dengan mengukur besarnya power dan sumber power maka akan dapat diidentifikasi kekuatan dan kelemahan relatip masing-masing pelaku organisasi.

Power dapat diukur dengan dependence atau tingkat ketergantungan, misalnya A lebih tergantung pada B dari pada B tergantung A, maka berarti B memiliki power lebih besar dari pada A. Ketergantungan suatu bagian terhadap bagian yang lain dapat dikurangi bila dapat menguasai resources atau sumber-sumber penting yang mempunyai nilai dan diperlukan untuk menjalankan aktivitas, misalnya suatu bagian dapat mengendalikan flow of money maka akan banyak bagian lain yang tergantung kepadanya. Bahkan jika peranannya tidak tergantikan atau being irreplaceable, maka tingkat ketergantungan bagian lain menjadi semakin besar atau semakin besar power yang dimilikinya. Selain itu dijelaskan juga bahwa power dari social actor dalam organisasi datang dari kemampuan actor tersebut dalam mengatasi ketidak-pastian atau uncertainty.

Sehubungan dengan proses pengambilan keputusan oleh Pfeffer (1981) juga dibahas tentang strategi dan taktik untuk memerankan power dalam organisasi atau antar organisasi. Strategi dan taktik yang dibahas secara khusus diantaranya adalah tentang Coalitions atau penggabungan kekuatan antar subunit dalam organisasi atau antar organisasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi, karena pada dasarnya ketergantungan akan dapat mendatangkan dua kemungkinan yaitu konflik atau kerja-sama.

"….. interdependence means that the potential for both conflict and cooperation exists. ……. Thus, organizational politics may involve the formation of coalitions with other either inside or outside….." (Pfeffer,1980; 154)



Selain coalition juga dibahas strategi dan taktik lain seperti internal alliances, everybody’s a winner, cooptation, serta commitees dapat digunakan dalam political. Selain itu juga dibahas tentang penggunaan bahasa dan simbol sangat penting untuk menciptakan dukungan dan mengurangi adanya oposisi.

Selanjutnya dijelaskan penggunaan power dalam organisasi disertai dengan contoh-contoh penerapannya, serta bagaimana menjaga stabilitas power dalam organisasi. Stabilitas dari waktu ke waktu dalam jangka panjang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa distribusi power dalam organisasi berjalan dengan baik. Dalam hal menjaga stabilitas ini peranan manajer sangat dominan, bahkan dipertanyakan apakah dengan peranannya tersebut kemudian manajer dapat disebut sebagai politician. Meskipun istilah politician bagi manajer tersebut masih menjadi polemik, tetapi fenomena yang ada menunjukkan bahwa power dan politics adalah bagian penting dan fundamental dalam organisasi.

ANALISIS DAN KRITIK

Pengertian power. Jika terjadi kebingungan dalam memberikan pengertian power khususnya dalam organisasi memang suatu yang wajar dan itu diakui oleh Yukl (1981), hal ini disebabkan bahwa antara power, outhority, management, administration, control, dan supervision menggambarkan suatu phenomena yang sama dalam suatu organisasi. Dalam kaitannya dengan suatu birokrasi, konsep tentang power berhubungan dengan dua hal yaitu, pertama power as Coercion, yaitu kekuatan dari pelaku sosial untuk menggunakan sangsi, kedua power as determination of behavior, yaitu power digunakan untuk mempengaruhi behavior (Hickson et al, 1971). Meskipun diakuinya bahwa coercive adalah hanya salah satu bagian dari sumber power yang dimiliki leader. Jika dikaitkan dengan organisasi sebenarnya membicarakan power tidak dapat lepas dari leadership, karena leader dalam organisasi adalah pelaku sosial yang powerful, dengan kata lain power adalah salah satu bagian penting yang perlu dimiliki oleh pemimpin atau manajer agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Sumber-sumber power. Meskipun Pfeffer (1981) telah membahas tentang sources of power seperti, coping with uncertainty, dan being irreplaceable, tetapi dalam pembahasan tidak ada pembedaan yang jelas tentang sumber power dilihat individual atau dilihat dari proses organisasi yang memerlukan strategi ataupun taktik. Jadi pembahasan tentang power seharusnya dari dua sisi yaitu power sebagai individual phenomena dan power sebagai social relationship. Taxonomi sumber power bagi individu sebagai social actor sebenarnya secara jelas dikemukakan oleh French & Raven (1959) yang kemudian dikutip Yukl (1989), bahwa sources of power terdiri dari reward power, coercive power, legitimate power, expert power, dan referent power. Selanjutnya dalam social relationship sumber power dilihat dalam kemampuan berhubungan dengan pihak, bagian dan organisasi lain. Dalam hal ini individu tersebut telah menjadi leader yang mewakili dan sekaligus bertanggung-jawab terhadap kelangsungan hidup organisasi. Sehingga untuk mempertahankan eksistensinya organisasi harus bersaing memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan bersaing peranan dalam situasi yang penuh dengan ketidak-pastian. Dengan kata lain suatu organisasi berhadapan dengan situasi yang uncertainty. Kondisi uncertainty inilah yang kemudian dihadapi social actors, sehingga diperlukan strategi dan taktik untuk mengatasinya. Dalam tahap ini besarnya power dari subunit atau organisasi akan dipengaruhi oleh kemampuannya dalam, coping with uncertainty, substitutability, dan centrality (Hickson et al., 1971).

Masih berkaitan dengan sumber dari power, Astley & Sachdeva (1984) mengemukakan adanya tiga structural sumber dari power yaitu, hierarchical authority, resource control, dan network centrality. Hierarchical authority merupakan sumber formal dari power yang dimiliki seseorang dalam organisasi atau legitimate power. Dalam organisasi formal unsur ini sangat penting karena legitimasi yang disertai ceremonial, misalnya upacara pelantikan, dapat dijadikan simbol dan bahasa untuk menguatkan power bagi seorang manajer. Legitimasi yang disertai outhority akan membuat munculnya power lain seperti reward, coercive bahkan information power, karena sumber-sumber tersebut mempunyai sifat yang redundant, atau berlebihan. Resource control, yaitu kemampuan untuk mengendalikan supply sumber-sumber yang diperlukan suatu organisasi atau organisasi lain. Resource merupakan bagian yang kritis atau penting dalam organisasi (Pfeffer & Salancik, 1978). Jika organisasi dapat mengendalikan sumber-sumber penting berarti akan mengurangi tingkat ketergantungan atau akan memperkuat power. Sedangkan network centrality, yaitu berhubungan dengan posisi suatu unit atau organisasi dalam jaringan kerja. Hal ini paralel dengan apa yang dikemukan Hickson et al. (1971) sebagai centrality. Semakin erat hubungan aliran kerja suatu bagian dengan unit-unit lain dan perlunya kecepatan dalam mengalirkan hasil kerja bagian tersebut, kepada unit-unit lain berarti power yang dimiliki bagian tersebut menjadi semakin besar.

Pengukuran power. Untuk pengukuran seberapa jauh besarnya power yang dimiliki seseorang maka sebaiknya digunakan konsep seperti yang dikemukakan oleh Provan (1980), yaitu dengan terlebih dulu membedakan antara potential power dengan enacted power. Potential power adalah kapasitas dari seorang social actor untuk mempengaruhi orang lain, termasuk didalamnya enacted power atau power yang benar-benar dijalankan, serta power yang not enacted atau power yang belum atau tidak dilakukan.

"…..potential power is the capacity of one social actor to influence another. This includes power that definitely be enacted, power that will probably be enacted, and power that will only possibly be enacted, although this possibility must be based on actual and recognized dependenceies and on willingness to exert influence." (Provan, 1980 ; 550)

Selanjutnya pengukuran dapat dilakukan secara subjective menggunakan persepsi, dan secara objective menggunakan outcomes, baik pada potential maupun enacted power. Provan (1980) mengusulkan menggunakan multidimensional approach dalam pengukuran organizational power. Dengan demikian diharapkan hasilnya lebih baik, karena jika hanya menggunakan pendekatan subjective berarti akan mengandung persepsi dari peneliti atau dari responden, dengan kata lain mengandung bias persepsi individu. Pendekatan objective dalam pengukuran power lebih dapat diukur secara kuantitatif dan jelas, misalnya mengukur potential power melalui kedudukan formal dengan outhotiry yang dimiliki dalam organisasi atau keikutsertaan seseorang dalam berbagai keanggotaan atau panitia yang mengendalikan keputusan penting. Sedangkan enacted power secara objective dapat diukur dari kemampuannya dalam menguasai resources dan mempengaruhi organizational outcomes. Sayangnya pendekatan objective ini kurang melibatkan unsur perasaan atau perceive, padahal power secara nyata juga dapat dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam hubungan kerja. Jadi pendekatan gabungan dari berbagai dimensi atau multidimensional approach perlu dilakukan oleh peneliti agar hasilnya lebih baik.

Tentang pengukuran power lebih lanjut Perrow (1970), meneliti adanya perbedaan power dari masing-masing departemen atau divisi organisasi. Diakui bahwa semua departemen yang ada dalam suatu organisasi seperti unit sales, production, research & development, finance dan accounting posisinya adalah sama pentingnya. Ternyata hasil penelitian Perrow (1970), menunjukkan adanya perbedaan power dari masing-masing departemen. Survey dilakukan dengan sample terdiri dari 12 manufacturing firms yang mempunyai karyawan tidak kurang dari 1000, serta jumlah responden 2633, hasilnya secara umum ternyata divisi Sales mempunyai power lebih besar jika dibandingkan dengan divisi lain. Hasil penelitian tentang phenomena power dari Perrow (1970) adalah sesuatu yang menarik karena merupakan data riil yang berasal dari dunia Industri di Amerika, hal ini dapat melengkapi hipotesis dan bukti-bukti yang dikemukakan oleh Pfeffer (1981) yang kebanyakan dari penelitian yang dilakukan di organisasi Perguruan Tinggi, dan kurang didukung oleh penelitian emperis dari organisasi bisnis.

Bobot tentang power juga dibahas oleh Hickson et al., (1971) yang menjelaskan adanya dimensi power dari Kaplan (1964) terdiri dari tiga dimensi yaitu : (1) Weight of power pada level individu dijelaskan sebagai tingkatan sejauh mana si B dapat mempengaruhi perilaku si A, sedangkan pada level subunit diartikan sebagai tingkatan sampai sejauh mana suatu subunit dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan terhadap hal-hal penting. (2) Domain of power, menjelaskan besarnya jumlah anggota kelompok yang dapat dipengaruhi, atau pada subunit level diukur dari jumlah subunit lain yang dapat dipengaruhi. (3) Scope of power, menjelaskan jarak yang dapat dapat mempengaruhi perilaku baik pada individu maupun pada subunit, misalnya apakah keputusan di tingkat pusat dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan di tingkat cabang atau daerah. Pengukuran terhadap tiga dimensi power tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya power baik pada level individu maupun kelompok. Pada level organisasi pengukuran power tersebut dapat juga menunjukkan tingkat ketergantungan suatu organisasi dengan organisasi lain atau dengan negara lain, besarnya ketergantungan ini juga mencerminkan kuat atau lemahnya power organisasi.

Political strategies & tactics. Berkaitan dengan political strategies dan tactics yang dikemukakan Pfeffer (1981), tampaknya penggunaan istilah political kurang jelas ditempatkan dalam hubungannya dengan pembahasan tentang power. Sehingga istilah power dan political menjadi tidak jelas. Kedua istilah tersebut menjadi lebih jelas jika menggunakan pembedaan yang dikemukakan oleh Yukl (1989) tentang sources of power dalam organisasi yang dipisahkan dalam tiga bagian yaitu; (1) Position Power yang bentuknya dapat berupa, formal authority, control over resources and rewards, control over punisment, control over information, dan ecological control, (2) Personal Power bentuknya dapat berupa, expertise, frienship/loyalty, dan charisma, (3) Political Power, bentuknya dapat berupa, control over decision processes, coalition, cooptation dan instituonalization. Dengan pembedaan seperti tersebut maka istilah political power menurut saya lebih tepat digunakan dari pada political, jadi political power adalah salah satu bagian dari sources of power. Demikian juga dengan penggunaan strategies dan tactics, Pfeffer (1981) belum secara jelas memerinci langkah-langkah mana yang termasuk dalam strategies dan tindakan-tindakan mana yang termasuk tactics . Dengan menggunakan pembedaan dari Yukl (1989) maka, control over decision processes coalition, cooptation, dan instituonalization merupakan strategies dari political power. Sedangkan tactics merupakan rincian dari strategies, misalnya untuk strategi Coalition taktiknya dapat berupa internal alliances, dan everybody’s winner (Pfeffer, 1981; 164), sedangkan untuk strategi Cooptation, taktiknya dapat berupa confirmity & self-justification, dan cooptation and resource commitments (Pfeffer, 1981; 170). Jadi dengan menggunakan istilah political power pertanyaan apakah manajer adalah politician menjadi kurang relevan karena manajer akan mempunyai power lebih besar jika dia memiliki political power melalui strategi dan taktiknya.

Proses pengambilan keputusan. Decision making model yang dikemukakan Pfeffer (1981) yaitu: rational model, bureaucratic model, organized anarchy model, dan political model of organizations. Model-model tersebut dibahas di bab pertama, menurut saya hal ini kurang tepat, seharusnya sources of power dibahas lebih dulu agar pembaca buku dapat mengetahui dari mana datangnya power, dengan menggunakan pembedaan sources of power dari Yukl (1989), maka seharusnya model-model pengambilan keputusan dibahas pada waktu membicarakan political power khususnya dalam rangka meningkatkan power manajer melalui contol over decision processes. Peranan manajer rational lebih tepat digunakan dari pada politician dalam kaitannya dengan proses pengambilan keputusan, kerena control over decision processes adalah bagian dari political power. Untuk mampu mengendalikan keputusan-keputusan penting di organisasi diperlukan juga taktik yang dapat juga disebut model.

Contingencies theory. Jika dikaitkan dengan kondisi uncertainty maka dalam pembahasan power lebih baik jika disinggung tentang konsep contingencies theory yang dikemukakan oleh Hickson et al. (1971) yaitu dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi power secara terpadu. Pembahasan tentang power tidak dapat hanya menggunakan konsep yang static tetapi harus menggunakan konsep yang dinamic, sebab organisasional berperilaku, berkembang, kemudian mati sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor didalam maupun diluar organisasi. Dengan demikian pembahasan konsep power akan lebih baik dengan menggunakan a strategic contingencies theory. Dalam konsep tersebut Hickson et al. (1971) menggambarkan faktor-faktor yang mempunyai hubungan secara langsung dengan power terdiri dari, uncertainty of inputs, effectiveness of coping, centrality of workflows, dan substitutability of activities, faktor-faktor tersebut disebut sebagai strategic contingencies yang harus mampu dikendalikan. Selain itu ada faktor-faktor lain yang mempunyai hubungan dengan power tetapi tidak secara langsung seperti masalah routinization, dan variabel-variabel lain diluar strategic contingencies misalnya, sifat-sifat individu, hubungan dengan collaborative-competitive serta organizational distance. Dengan contingency appoach diharapkan pembaca akan lebih mengintegrasikan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi power, sehingga dapat dilakukan penelitian untuk menguji hubungan antar variabel tersebut.

Kesimpulan.

Topik kekuasaan dalam organisasi masih tetap relevan untuk dibahas dan diteliti lebih lanjut. Fenomena yang terjadi dalam organisasi bisnis maupun organisasi besar seperti negara, jika diamati yang terjadi adalah bagaimana adanya perebutan power antar individu atau antar kelompok. Semua kelompok mengatasnamakan rakyat sebagai simbol, tetapi didalamnya terkandung kepentingan. Kepentingan dapat berjalan jika individu ataupun kelompok memiliki power. Jika usaha untuk melindungi kepentingan dengan menggunakan strategi penguasaan power secara rasional, maka munculnya resistensi pada kelompok lain akan kecil. Sebaliknya resistensi akan menjadi semakin besar jika distribusi power semakin tidak rasional. Penelitian tentang power dalam karya ilmiah khususnya di Indonesia harus diakui masih kurang dibandingkan dengan bidang manajemen yang lain misalnya pemasaran, keuangan ataupun produksi. Jadi perlu adanya penelitian dan studi lebih lanjut untuk agar fenomena power dalam organisasi berkembang menjadi konfigurasi teori yang lebih lengkap. Secara lebih khusus penelitian power yang dimiliki karyawan, bawahan atau rakyat, mengapa sering bias dan "terbelokan", padahal people power terbukti sangat disegani dalam kancah perebutan kekuasaan dalam organisasi.

Meskipun ada kekurangan dalam kronologi pembahasan dalam buku Power in Organization dari Pfeffer (1981), tetapi sampai saat ini yang membahas topik khusus tentang power dalam suatu buku tersendiri memang masih kurang. Materi dari Yukl (1989) memang membahas pembedaan sources of power yang lebih terpadu, tetapi materi tersebut tidak pada buku tentang power tersendiri. Power dibahas hanya merupakan bagian dari buku Leadership in Organization (Yukl, 1989). Harus diakui bahwa pembahasan power tidak dapat dipisahkan dari Leadership jika level analisisnya individual. Sedangkan pembahasan power pada level organisasi materinya tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan eksternal. Sehubungan dengan hal tersebut Pfeffer dan Salancik (1978) telah menulis buku lebih dulu tentang organisasi dalam kaitannya dengan pengendalian eksternal.

Pada pendekatan yang dinamis pembahasan tentang power dapat menggunakan artikel dari Hickson et al., (1971) terutama dalam hubungannya dengan integrasi variabel-variabel lain yang mempengaruhi secara positip maupun negatip terhadap besarnya power pada level subunit, tentunya hal ini dapat dikembangkan pada level organisasi. Dengan dasar ini juga dapat dikembangkan penelitian seperti yang pernah dilakukan oleh Perrow (1970) dengan menambah variasi sample jenis perusahaan dan jenis industri. Hal yang sama untuk pengukuran power juga perlu dilakukan pada tingkat negara, karena pada era globalisasi ternyata ada negara-negara yang mengalami krisis dan ada negara-negara yang tidak mengalami krisis. Sebagai hipotesis dapat dikemukakan bahwa negara yang tidak mengalami krisis pasti mempunyai power yang kuat. Tetapi variabel-variabel untuk mengukur power suatu negara memerlukan penelitian lebih lanjut. Mungkin natural resources tidak dapat lagi dianggap sebagai sumber power yang dominan, sebab phenomena menunjukkan negara yang tidak kaya dalam natural resources justru tahan terhadap krisis moneter, sedangkan negara yang kaya natural resources justru mengalami krisis lebih parah. Sehingga perlu diteliti dan dicari variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi power pada level organisasi negara. REFERENSI

Astley, WG & Sachdeva, PS. 1984. "Structural Sources of Intra Organizational Power A Theoretical Synthesis", Academy of Management Review, vol.9 No.1: 104-113.

Hickson, DJ. et al., 197±. "A Strategic Contingencies’ Theory of Intra-Organizational Power", Administrative Science Quarterly 16: 216-227

Perrow,Charles, 1970 "Departemental Power and Perpevtive in Industrial Firms." In Power in Organizations, ed. Mayer N. Zald, pp. 59-89. Nashville : Vanderbilt University Press.

Pfeffer, Jeffrey, 1981. Power in Organization, Marshfield, MÁ : PitmanPfeffer, Jeffrey & Salancik Gerald R.,1978. The External Control of Organizations: A Resource Dependence Perspective, New York : Harper & Row, Publishers

Provan, Keith G. 1980. "Recognizing, Measuring, and Interpreting The Potential/Enacted Power Distinction In Organizational Research", Academy of Management Review, vol 5. No 4: 549-559

Yukl Gary A., 1989. Leadership in Organizations, Englewood Cliffs New Jersey: Prentice Hall.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GENERAL LEAST SQUARE

Berbagai Hambatan Dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting

Faktor Faktor Penyebab Ketidak-Efektifan Penilaian Kinerja