JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, September 1999
PENGELOLAAN PELAKSANAAN 'ORGANIZATIONAL EXIT'
dalam rangka Recovery Perusahaan
Oleh :Purwanto Waluyo
STIE Stikubank Semarang
Abstrak
Untuk menyelamatkan organisasi perusahaan dari kondisi kritis, sudah selazimnya diambil langkah-langkah strategis termasuk didalamnya kemungkinan di-PHK-nya beberapa karyawan/tenaga kerja. Keputusan untuk mengeluarkan individu dari sebuah organisasi harus sudah melalui pertimbangan yang matang, menyeluruh dan terintegral dangan menggunakan parameter-parameter yang rasional, adil dan berwawasan ke depan. Tanpa pengelolaan yang profesional, kebijakan organizational exit, mustahil mampu me-’recover’ perusahaan dari kondisi yang tidak menguntungkan. Justru paradox konsep organizational exit akan mengedepan dengan segala konsekuensi negatif yang menyertainya.
PENDAHULUAN
Layaknya dalam sebuah permainan catur, untuk menghadapi kondisi kritis di mana posisi raja terancam, pengorbanan beberapa bidak prajurit dan bahkan mungkin bidak mentri sekalipun mesti dilakukan. Juga kisah legendaris bunuh diri pilot-pilot pesawat tempur Jepang dalam perang dunia II yang dapat menghancurkan pangkalan militer Amerika Serikat di Pearlhabour, merupakan langkah-langkah strategis dan spektakuler yang barangkali harus dilakukan demi mempertahankan eksistensi diri.
Keputusan untuk mengambil langkah-langkah strategis sejenis., sebagaimana digambarkan dengan pengorbanan bidak catur dan langkah bunuh diri pilot-pilot Jepang, akan menjadi keputusan yang banyak dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia akhir-akhir ini. Keputusan untuk me-’rumah’-kan sementara para karyawannya, memotong sebagian besar fasilitas kerja, mengurangi gaji dan upah sampai dengan separohnya bahkan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK), menjadi agenda kerja perusahaan karena deraan krisis ekonomi Indonesia.
Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, memaksa tingkat pengangguran semakin cepat akselerasinya. Dari angka pengangguran sebesar 4,4 juta jiwa pada tahun 1997, sejumlah 1,6 juta jiwa adalah disebabkan karena terkena pemutusan hubungan kerja. Angka ini tentu saja akan semakin tinggi dikarenakan selain angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 1998 juga hanya mencapai kurang lebih - 5%, krisis ekonomi ini juga berimbas kepada munculnya krisis sosial seperti banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang melanda kota-kota di Indonesia, sehingga angka pengangguran melecit mencapai 8,7 juta jiwa di tahun 1998 atau 9,3% dari jumlah penduduk Indonesia (Business News, Mei 1998).
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan secara teoritis sebenarnya merupakan bagian dari konsep ‘organizational exit’ yang dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai tujuan utama adalah untuk pencapaian efisiensi kerja yang tinggi. Namun dikarenakan sering adanya stereotipe dampak lanjutan yang muncul dari tindakan ‘organizational exit’, berupa; tindakan-tindakan kontra-produktif dari tenaga kerja yang sangat tidak menguntungkan perusahaan, maka pengelolaan pelaksanaan ‘organizational exit’ yang rational, cerdik dan terarah diharapkan akan mampu mengeliminasinya.
Pengertian Organizational Exit
Menurut Gerald R. Ferris dan kawan-kawan (1993), ‘organizational exit’ merupakan terminologi yang cukup luas yang meliputi berbagai cara di mana karyawan/tenaga kerja meninggalkan organisasi. Sementara Louis R. Gomez (1995) menyebut ‘organizational exit’ sebagai penghentian keanggotaan karyawan/tenaga kerja dalam suatu organisasi (employee separation). Selain itu Louis R. Gomez juga melengkapi dengan istilah ‘turnover rate’ yang merupakan ukuran tingkat di mana karyawan / tenaga kerja meninggalkan organisasi. Louis mengatakan, bahwa apabila tingkat ‘turnover rate’ lebih tinggi dibandingkan dengan standar organisasi, hal ini seringkali merupakan symptom (gejala) terjadinya problem dalam organisasi tersebut.
Menurut Gerald R. Ferris (1993), keputusan penghentian karyawan disebabkan oleh faktor-faktor seperti;
* Poor Performance (prestasi rendah), di mana pada pengambilan keputusan penghentian karyawan berdasarkan faktor ini biasanya bersifat subjektif, banyak peluang terjadi kesalahan yang tidak di sengaja.
* Organisasi terdorong untuk melakukan downsizing, di mana keputusan penghentian karyawan berasal dari organisasi karena munculnya teknologi baru dan keinginan organisasi untuk menambah efisiensi, profitabilitas dan daya saing.
Sementara itu, menurut Louis R. Gomez, dkk (1995), organizational exit atau employee separation digolongkan menjadi dua katagori berdasarkan siapa yang memprakarsai penghentian hubungan ‘employer - employee’, yakni;
1. Voluntary Separations
Voluntary separation terjadi bila seorang karyawan memutuskan, atas alasan personal atau profesional, untuk mengakhiri hubungan dengan employer. Keputusan karyawan ini dapat disebabkan oleh;
* Employee mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
* Perubahan karir
* Ingin memperoleh waktu lebih banyak untuk keluarga (leisure activity)
* Karyawan merasa pekerjaan yang dihadapi sekarang tidak menarik karena kondisi pekerjaan yang kurang, upah atau manfaat yang rendah, hubungan yang tidak baik dengan supervisor dan sebagainya.
Masih menurut Louis, voluntary separation memiliki dua type yaitu; Quits dan Retirement. Di mana sesuai dengan konsep yang dipaparkan oleh Louis, keputusan karyawan/tenaga kerja untuk quits sangat tergantung kepada dua hal yaitu; (1) tingkat ketidakpuasan karyawan/tenaga kerja terhadap pekerjaannya sekarang, (2) jumlah alternatif-alternatif menarik lain yang karyawan/tenaga kerja miliki di luar organisasi. Misalnya, karyawan/tenaga kerja tidak puas dengan waktu dan lokasi dari pekerjaan mereka sekarang, maka mereka akan mencari pekerjaan lain yang lebih baik dalam hal waktu kerja maupun pekerjaan lain yang dekat dengan rumah mereka. Sementara masih sejenis dengan quits, retirment juga merupakan pemisahan karyawan/tenaga kerja dari organisasinya secara sukarela, hanya saja retirement mempunyai perbedaan dengan quits di dalam beberapa aspek seperti; pertama; retirement biasanya terjadi pada akhir karir seorang karyawan/tenaga kerja, sementara quits dapat terjadi kapan saja. Kedua, retirement selalu menghasilkan benefit bagi individu yang keluar dari organisasi berupa; personal savings ataupun social security benefits, di mana hal ini tidak terjadi pada quits. Terakhir, biasanya rencana retirement bagi setiap individu sudah terjadwal sesuai ketentuan organisasi.
2. Involuntary Separation
Involuntary Separations terjadi bilamana manajamen memutuskan bahwa perlu untuk menghentikan hubungan kerja dengan employee untuk keperluan ekonomi atau kekurangcocokan antara karyawan/tenaga kerja dengan organisasi. Louis R. Gomez menggolongkan involuntary separation ke dalam dua jenis, yakni; Discharges dan Layoff.
Discharge terjadi bila manajemen memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan karyawan/tenaga kerja karena alasan tidak adanya kecocokan lagi di antara mereka. Discharge biasanya merupakan hasil dari prestasi rendah atau kegagalan karyawan/tenaga kerja untuk mengubah perilaku mereka yang dapat diterima pihak manajemen setelah melalui proses pembenahan berulang-ulang. Lain halnya dengan discharge adalah layoff, di mana pada kasus organisasi melakukan layoff terhadap karyawan/tenaga kerjanya disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan organisasi atau strategi organisasi yang mendorong untuk mengurangi jumlah karyawan/tenaga kerjanya.
Involuntary separation merupakan hasil dari keputusan yang sangat serius dan membawa dampak negatif bagi pihak karyawan/tenaga kerja yang dipecat berupa rasa sakit hati.
TYPES OF EMPLOYEE SEPARATIONS
SEPARATIONS
INVOLUNTARY
SEPARATIONS
VOLUNTARY
SEPARATIONS
QUITS
RETIREMENT
LAYOFF
DISCHARGE
Pelaksanaan Organizational Exit
Ada banyak tujuan mengapa suatu organisasi harus melakukan pengurangan tenaga kerjanya. Namun apabila diperhatikan dengan cermat, sebenarnya tujuan yang utama diinginkan oleh organisasi di dalam pengurangan tenaga kerjanya adalah; diperolehnya beberapa keuntungan (benefits) bagi eksistensi organisasi di kemudian hari. Keuntungan-keuntungan (benefits) yang diharapkan dengan dilakukannya kebijakan pengurangan tenaga kerja antara lain; (1) pengurangan biaya tenaga kerja, (2) menempatkan kembali tenaga kerja yang berkinerja jelak dengan membantu mereka memperbaiki kinerja mereka, (3) meningkatkan inovasi dan (4) membuka kesempatan bagi diversitas yang tinggi dari tenaga kerjanya.
Sebagai konsekuensi dari dilakukannya pengurangan tenaga kerja, organisasi memerlukan sejumlah pengeluaran biaya yang berhubungan dengan upaya pengurangan tenaga kerja yang damai, tanpa menimbulkan akses-akses negatif bagi organisasi, seperti; pengrusakan, sabotase dan aksi-aksi lainnya yang merugikan. Adapun biaya-biaya yang muncul akibat dilakukan pengurangan tenaga kerja tersebut adalah; (1) separation pay, (2) unemployment insurance cost, (3) Exit interview, (4) Outplacement dan (5) Vacant position.
Oleh karena itu, pengelolaan organisasi terhadap program pemutusan hubungan kerja dengan karyawan/tenaga kerja, membutuhkan suatu pengelolaan yang sungguh-sungguh dari organisasi agar diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan dilakukannya pengurangan tenaga kerja.
1. Pengelolaan Organizational Exit.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pemutusan hubungan kerja antara organisasi dengan karyawan/tenaga kerjanya dapat terjadi melalui dua cara yaitu; Voluntary separation dan Involuntary separation. Inisiatif awal terjadinya Voluntary separation biasanya adalah dari para karyawan/tenaga kerja, baik karena masa kerjanya yang sudah habis maupun karena mereka merasa tidak puas bekerja dengan organisasi tersebut atau mungkin adanya alternatif pekerjaan di tempat lain yang lebih menarik, sehingga mereka memutuskan untuk keluar ( Gomes, Cardy, Balkin, 1995).
Menurut Thomas W. Lee dan Terence R. Mithchell, ada beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi variabel-variabel yang mempengaruhi dan mendorong karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasinya secara sukarela. Pendekatan pertama disebut, Pull theory, di mana pendekatan ini cenderung melihat dari faktor-faktor ekstern yang mendorong karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasi, seperti; adanya alternatif pekerjaan lain di luar organisasi yang lebih baik dari pekerjaan mereka sekarang. Pendekatan kedua disebut, Push theory, yang melihat faktor-faktor intern yang banyak mempengaruhi seorang karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasinya, seperti; faktor sikap dan persepsi karyawan/tenaga kerja terhadap pekerjaannya dapat meningkatkan perhatian dan puas-tidaknya mereka terhadap pekerjaan yang sedang mereka hadapi tersebut.
Adapun menurut ‘the unfolding model’ atau ‘Image theory’ menjelaskan bagaimana image individu karyawan/tenaga kerja terhadap situasi pekerjaan mereka sekarang, keadaan yang lalu serta tujuan mereka untuk masa depan akan membentuk keputusan-keputusan mereka tentang image masa depan pekerjaan. Oleh karena itu, Beach (1989, 1978), membuat dua poin penting tentang ‘image theory’, yaitu; pertama, mereka mencatat bahwa di dalam pembuatan keputusan, sebagian pengambil keputusan sering mempunyai banyak keragu-raguan, kedua, mereka mencatat bahwa setiap individu mempunyai motivasi yang tinggi untuk mengontrol dan mengarahkan prilaku mereka sendiri, namun sering ada sesuatu yang secara fisik dan situasional menghambat dan merubah preferensi internal individu mengenai masa depannya pekerjaan.
Dari image theory ini, ada tiga tema penting yang dapat mempengaruhi karyawan/tenaga kerja mengambil keputusan keluar dari organisasi atau tidak. Ketiga tema penting tersebut adalah; kemampuan karyawan/tenaga kerja untuk mendorong stabilitas image pribadi, kemampuan karyawan/tenaga kerja melakukan pemisahan pendekatan atau menghilangkan konflik dan kemampuan karyawan/tenaga kerja menjaga dan mendapatkan kembali kontrol atas masa depan pekerjaan.
Bagi organisasi perusahaan, dampak negatif yang perlu diantisipasi adalah bahwa perusahaan benar-benar telah melakukan langkah-langkah perencanaan yang rational terhadap voluntary separation karyawan/tenaga kerjanya, sehingga karyawan/tenaga kerja yang keluar dari perusahaan dapat terseleksi dengan baik, siapa karyawan/tenaga kerja yang memang sudah sewajarnya dipensiunkan , disamping itu perusahaan juga tetap dapat menghindari
larinya karyawan/tenaga kerja yang mempunyai potensi tinggi ke tempat lain. Walaupun inisiatif keluar dari perusahaan lebih banyak berasal dari individu karyawan/tenaga kerja, namun perusahaan juga harus benar-benar melakukan perhitungan yang cermat terhadap cost dan benefit yang muncul akibat dari proses employee-separation ini. Kegagalan perusahaan memberikan insentif-insentif yang atraktif terhadap karyawan/tenaga kerja berpotensi tinggi serta jeleknya perencanaan pensiun, mempunyai konsekuensi pada tingginya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan, khususnya pengorbanan perusahaan terhadap hilangnya karyawan/tenaga kerja ‘brillian’ yang dimiliki.
Sementara itu, pemutusan hubungan kerja dengan menggunakan cara Involuntary separation, inisiatifnya lebih banyak berasal dari organisasi. Masalah-masalah seperti; pelanggaran norma-norma organisasi oleh karyawan/tenaga kerja, menurunnya kinerja karyawan/tenaga kerja sehingga mereka bekerja di bawah standar, kesulitan ekonomi, meningkatnya tingkat persaingan akibat globalisasi dan pengunaan teknologi-teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi dan profitabilitas, memaksa organisasi melakukan pengurangan dan perampingan karyawan/tenaga kerjanya. Pemecatan (discharge) dan PHK (layoff) adalah cara-cara yang biasa digunakan organisasi di dalam memaksa karyawan/tenaga kerjanya untuk keluar dari organisasi.
Involuntary separation, sangat disadari menimbulkan akses negatif kepada organisasi perusahaan, misalnya; berupa tindakan sabotase dan pengrusakan sebagai dampak dari rasa kecewa karyawan/tenaga kerja atas keputusan perusahaan yang mengeluarkan mereka. Demikian juga adanya penurunan moral kerja dan produktivitas karyawan/tenaga kerja yang tidak ter-PHK, baik karena alasan kekhawatiran terhadap nasib yang sama akan menimpa mereka dikemudian hari maupun sebagai ujud dari solideritas di antara karyawan/tenaga kerja lewat serikat-serikat pekerja yang akhir-akhir ini semakin kuat kedudukannya di Indonesia. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan perusahaan, khususnya apabila dilihat dari biaya dan pengorbanan yang sangat besar yang harus ditanggung perusahaan secara terus-menerus selama kasus ini belum dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Oleh karena itu sebagai alternatif, perusahaan sebaiknya mengembangkan metode yang lebih banyak bertumpu kepada perbaikan kebijakan-kebijakan organisasinya seperti; perubahan di dalam desain pekerjaan, penerapan kebijakan ketenagakerjaan, penerapan kebijakan ‘pay and benefits’ dan mengadakan ‘retraining’. Satu lagi alternatif kebijakan pemutusan hubungan kerja yang dapat diambil oleh perusahaan adalah kebijakan Early Retirement. Jenis kebijakan ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya usaha-usaha kontra-produktif dari karyawan/tenaga kerja ter-PHK dan juga berusaha menjembatani kepentingan baik perusahaan maupun karyawan/tenaga kerja ter-PHK.
2. Pengelolaan Early Retirement
Kebijakan pensiun dini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) adanya suatu paket intensif finansial yang dapat menarik para karyawan/tenaga kerja senior untuk pensiun dini, (2) diberikannya suatu batas tertentu (jangka pendek) bagi yang ingin mempergunakan metode pensiun dini, yang sering disebut; open window.
Untuk mengelolaan kebijakan pensiun dini, perusahaan harus berhati-hati di dalam mendesain, mengimplementasi dan mengadministrasikannya, karena apabila perusahaan tidak dengan semestinya mengelola kebijakan pensiun dini ini, maka perusahaan akan memperoleh masalah yang cukup besar seperti; banyaknya karyawan/tenaga kerja yang seharusnya tidak diharapkan untuk melakukan pensiun dini tapi mereka melakukannya, mereka yang dipensiunkan dini akan merasa bahwa mereka dipaksa untuk keluar dari perusahaan.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perusahaan dapat menggunakan langkah-langkah penetrasi sebagai berikut; pertama, menerapkan batasan persyaratan yang ketat bagi divisi yang mempunyai karyawan/tenaga kerja dengan tingkat senioritas yang tinggi, kedua, melakukan survey kepada karyawan/tenaga kerja senior untuk memperoleh data seberapa banyak mereka akan melakukan pensiun dini apabila program ini dilaksanakan dan ketiga, mengembangkan program pemberian provisi untuk mendapatkan kembali karyawan/tenaga kerja berkualiatas yang telah melakukan pensiun dini.
Bagi perusahaan, untuk dapat melakukan kontrol yang baik terhadap pelaksanaan pensiun dini agar supaya sesuai dengan yang diinginkan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Menurut Daniel C. Feldman (1994), faktor-faktor yang akan sangat berpengaruh terhadap keputusan karyawan/tenaga kerja untuk melaksanakan pensiun dini atau tetap tinggal di perusahaan adalah; (1) Induvidual differences, seperti; riwayat kerja, status demografi (status perkawinan, ras, dan jenis kelamin) dan status kesehatan, status perkawinan, sikap terhadap pekerjaan dan pensiun, (2) Opportunity structures in career path, (3) Organizational factors dan (4) External environment. Pengelolaan yang profesional terhadap faktor-faktor tersebut, dapat memberikan benefit yang tinggi baik bagi karyawan/tenaga kerja yang dipensiunkan dini maupun, khususnya, bagi perusahaan yang dapat secara efektif dapat mencapai tujuan atas dilaksanakannya kebijakan early retirement tersebut.
3. Pengelolaan Outplacement
Gomes, Cardy dan Balkin (1995) mendefinisikan outplacement sebagai program sumber daya manusia yang diciptakan untuk membantu karyawan/tenaga kerja yang ter-PHK mengatasi stress akibat kehilangan pekerjaan dan memberikan bimbingan kepada mereka untuk segera memperoleh pekerjaan yang baru. Jadi tujuan utama dari program outplacement bagi perusahaan adalah; (1) mengurangi masalah-masalah moral karyawan/tenaga kerja yang ter-PHK agar supaya produktivitas mereka tetap terjaga sampai mereka benar-benar telah meninggalkan perusahaan, (2) meminimalkan jumlah tuntutan hukum hukum dari karyawan/tenaga kerja ter-PHK dan (3) membantu mereka untuk memperoleh pekerjaan yang baru sesegera mungkin. Oleh karena itu, dalam rangka mengelola outplacement, perusahaan harus melakukan langkah-langkah berupa; pertama, menyediakan pembimbing (konsultan) untuk membantu karyawan/tenaga kerja ter-PHK di dalam mengatasi emosi akibat kehilangan pekerjaan, kedua menyediakan fasilitas dan pendidikan dalam rangka memperoleh pekerjaan baru.
KESIMPULAN
Organizational exit sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan membutuhkan suatu pengelolaan yang baik. Dampak, khususnya yang negatif, dari kebijakan ini tidak saja akan diterima oleh karyawan/tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan, namun juga oleh perusahaan.
Dampak negatif kebijakan organizational exit, khususnya yang bersifat involuntary, bagi tenaga kerja yang ter-PHK adalah frustrasi, kemarahan, dan rendahnya harga diri mereka, di mana kondisi ini tentu saja akan sangat potensial untuk memicu tindakan-tindakan tidak terpuji seperti; sabotase, pengrusakan, anarkhi dan lain-lain.
Sementara itu bagi perusahaan, kondisi pasca PHK dapat juga berdampak yang tidak menguntungkan, seperti; hilangnya tenaga-tenaga berkualitas yang ikut keluar dari organisasi, menurunnya produktifitas perusahaan karena karyawan/tenaga kerja yang tersisa juga mempunyai perasaan yang tidak aman, terlalu ‘overload’ pekerjaan serta kemungkinan munculnya masalah-masalah hukum dari pihak karyawan/tenaga kerja ter-PHK.
Oleh karena itu, pengelolaan organizational exit benar-benar membutuhkan pertimbangan matang, khususnya di dalam membuat kriteria dan persyaratan untuk menilai karyawan/tenaga kerja yang akan di-PHK. Kriteria dan penilaian harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan yang rasional (bisa menggunakan basis senioritas atau performance), namun hati-hati dengan cara-cara (politics) dari karyawan/tenaga kerja dalam rangka mengaburkan penilaian untuk mempertahankan pekerjaannya, seperti; prilaku menjilat, menolak dipromosikan untuk menutupi kesalahan dan keengganan untuk berubah (resistence to change), memperpanjang waktu kerja untuk menarik perhatian bahwa dia benar-benar sibuk dan lain-lain (Ferris, Howard dan Bergin, 1993). Apabila hal-hal semacam ini lepas dari perhatian, maka perusahaan nanti bisa hanya memiliki karyawan/tenaga kerja yang pandai berpolitik, bukan yang memiliki kemampuan kerja tinggi.
REFERENSI
Anthony,P.William & Perrewe,L.Pamela & Kacmar,Michele,K.(1993). Strategic Human Resource Management, The Dryden Press, Florida.
Anderson, K.H., & Burkhauser, R,V. (1985). The retirement-health nexus: A new measure for an old puzzle. Journal of Human Resources, 20: 315-330.
Ashforth, B.E., & Lee, R.T. (1990). Defensive Behavior in Organizations: A Preliminary Model. Humann Relations, 43, 621-648.
Business News, Pengangguran dan Ketimpangan Sosial di Indonesia, Jakarta, 26 Mei 1998.
Baumohl, B. (1993, March 15). When Downsizing Becomes "Dumbsizing." Time, p. 55.
Beehr, T.A. (1986). The process of retirement: A review and recommendation for future investigation. Personnel Psychology, 39: 31-56.
Burkhauser, R. (1979) The pension acceptance decision of older workers. Journal of Human Resources, 14: 63-75.
Burtless, G., & Moffitt, R. (1985). The joint choice of retirement age and postretirement hours of work. Journal of Labor Economics, 3: 209-236.
Bradford, L.P. (1979). Can you survive your Retirement ? Harvard Business Review. 57: 103-109.
Cascio, W. F. (1993). Downsizing: What do we know ? What have we learned ? Academy of Management Executive, 7, 95-104.
-------------------- (1991). Costing human resources: The financial impact of behavior in organizations. Boston: PWS-Kent.
Ferris,R.Gerald & Howard,L.Jack & Bergin,Gregory T. (1993), Rationality and Politics in Organizational Exit Decisions, p.518-525.
Feldman,C.Daniel. (1994). The Decision to Retire Early : A Review and Conceptualization, Academy of Management Review, Vol. 19. p. 285 -311.
Lee,W.Thomas & Mitchell,R.Terence. (1994). An Alternative Approach : The Unfolding Model of Voluntary Employee Turnover, Academy of Management Review, Vol. 19. p. 51 - 89
Mejia-Gomes,R.Louis & Cardy,L.Robert & Balkin,R.David (1995). Managing Human Resource, Prentice Hall, New York.
PENGELOLAAN PELAKSANAAN 'ORGANIZATIONAL EXIT'
dalam rangka Recovery Perusahaan
Oleh :Purwanto Waluyo
STIE Stikubank Semarang
Abstrak
Untuk menyelamatkan organisasi perusahaan dari kondisi kritis, sudah selazimnya diambil langkah-langkah strategis termasuk didalamnya kemungkinan di-PHK-nya beberapa karyawan/tenaga kerja. Keputusan untuk mengeluarkan individu dari sebuah organisasi harus sudah melalui pertimbangan yang matang, menyeluruh dan terintegral dangan menggunakan parameter-parameter yang rasional, adil dan berwawasan ke depan. Tanpa pengelolaan yang profesional, kebijakan organizational exit, mustahil mampu me-’recover’ perusahaan dari kondisi yang tidak menguntungkan. Justru paradox konsep organizational exit akan mengedepan dengan segala konsekuensi negatif yang menyertainya.
PENDAHULUAN
Layaknya dalam sebuah permainan catur, untuk menghadapi kondisi kritis di mana posisi raja terancam, pengorbanan beberapa bidak prajurit dan bahkan mungkin bidak mentri sekalipun mesti dilakukan. Juga kisah legendaris bunuh diri pilot-pilot pesawat tempur Jepang dalam perang dunia II yang dapat menghancurkan pangkalan militer Amerika Serikat di Pearlhabour, merupakan langkah-langkah strategis dan spektakuler yang barangkali harus dilakukan demi mempertahankan eksistensi diri.
Keputusan untuk mengambil langkah-langkah strategis sejenis., sebagaimana digambarkan dengan pengorbanan bidak catur dan langkah bunuh diri pilot-pilot Jepang, akan menjadi keputusan yang banyak dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia akhir-akhir ini. Keputusan untuk me-’rumah’-kan sementara para karyawannya, memotong sebagian besar fasilitas kerja, mengurangi gaji dan upah sampai dengan separohnya bahkan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK), menjadi agenda kerja perusahaan karena deraan krisis ekonomi Indonesia.
Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, memaksa tingkat pengangguran semakin cepat akselerasinya. Dari angka pengangguran sebesar 4,4 juta jiwa pada tahun 1997, sejumlah 1,6 juta jiwa adalah disebabkan karena terkena pemutusan hubungan kerja. Angka ini tentu saja akan semakin tinggi dikarenakan selain angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 1998 juga hanya mencapai kurang lebih - 5%, krisis ekonomi ini juga berimbas kepada munculnya krisis sosial seperti banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang melanda kota-kota di Indonesia, sehingga angka pengangguran melecit mencapai 8,7 juta jiwa di tahun 1998 atau 9,3% dari jumlah penduduk Indonesia (Business News, Mei 1998).
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan secara teoritis sebenarnya merupakan bagian dari konsep ‘organizational exit’ yang dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai tujuan utama adalah untuk pencapaian efisiensi kerja yang tinggi. Namun dikarenakan sering adanya stereotipe dampak lanjutan yang muncul dari tindakan ‘organizational exit’, berupa; tindakan-tindakan kontra-produktif dari tenaga kerja yang sangat tidak menguntungkan perusahaan, maka pengelolaan pelaksanaan ‘organizational exit’ yang rational, cerdik dan terarah diharapkan akan mampu mengeliminasinya.
Pengertian Organizational Exit
Menurut Gerald R. Ferris dan kawan-kawan (1993), ‘organizational exit’ merupakan terminologi yang cukup luas yang meliputi berbagai cara di mana karyawan/tenaga kerja meninggalkan organisasi. Sementara Louis R. Gomez (1995) menyebut ‘organizational exit’ sebagai penghentian keanggotaan karyawan/tenaga kerja dalam suatu organisasi (employee separation). Selain itu Louis R. Gomez juga melengkapi dengan istilah ‘turnover rate’ yang merupakan ukuran tingkat di mana karyawan / tenaga kerja meninggalkan organisasi. Louis mengatakan, bahwa apabila tingkat ‘turnover rate’ lebih tinggi dibandingkan dengan standar organisasi, hal ini seringkali merupakan symptom (gejala) terjadinya problem dalam organisasi tersebut.
Menurut Gerald R. Ferris (1993), keputusan penghentian karyawan disebabkan oleh faktor-faktor seperti;
* Poor Performance (prestasi rendah), di mana pada pengambilan keputusan penghentian karyawan berdasarkan faktor ini biasanya bersifat subjektif, banyak peluang terjadi kesalahan yang tidak di sengaja.
* Organisasi terdorong untuk melakukan downsizing, di mana keputusan penghentian karyawan berasal dari organisasi karena munculnya teknologi baru dan keinginan organisasi untuk menambah efisiensi, profitabilitas dan daya saing.
Sementara itu, menurut Louis R. Gomez, dkk (1995), organizational exit atau employee separation digolongkan menjadi dua katagori berdasarkan siapa yang memprakarsai penghentian hubungan ‘employer - employee’, yakni;
1. Voluntary Separations
Voluntary separation terjadi bila seorang karyawan memutuskan, atas alasan personal atau profesional, untuk mengakhiri hubungan dengan employer. Keputusan karyawan ini dapat disebabkan oleh;
* Employee mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
* Perubahan karir
* Ingin memperoleh waktu lebih banyak untuk keluarga (leisure activity)
* Karyawan merasa pekerjaan yang dihadapi sekarang tidak menarik karena kondisi pekerjaan yang kurang, upah atau manfaat yang rendah, hubungan yang tidak baik dengan supervisor dan sebagainya.
Masih menurut Louis, voluntary separation memiliki dua type yaitu; Quits dan Retirement. Di mana sesuai dengan konsep yang dipaparkan oleh Louis, keputusan karyawan/tenaga kerja untuk quits sangat tergantung kepada dua hal yaitu; (1) tingkat ketidakpuasan karyawan/tenaga kerja terhadap pekerjaannya sekarang, (2) jumlah alternatif-alternatif menarik lain yang karyawan/tenaga kerja miliki di luar organisasi. Misalnya, karyawan/tenaga kerja tidak puas dengan waktu dan lokasi dari pekerjaan mereka sekarang, maka mereka akan mencari pekerjaan lain yang lebih baik dalam hal waktu kerja maupun pekerjaan lain yang dekat dengan rumah mereka. Sementara masih sejenis dengan quits, retirment juga merupakan pemisahan karyawan/tenaga kerja dari organisasinya secara sukarela, hanya saja retirement mempunyai perbedaan dengan quits di dalam beberapa aspek seperti; pertama; retirement biasanya terjadi pada akhir karir seorang karyawan/tenaga kerja, sementara quits dapat terjadi kapan saja. Kedua, retirement selalu menghasilkan benefit bagi individu yang keluar dari organisasi berupa; personal savings ataupun social security benefits, di mana hal ini tidak terjadi pada quits. Terakhir, biasanya rencana retirement bagi setiap individu sudah terjadwal sesuai ketentuan organisasi.
2. Involuntary Separation
Involuntary Separations terjadi bilamana manajamen memutuskan bahwa perlu untuk menghentikan hubungan kerja dengan employee untuk keperluan ekonomi atau kekurangcocokan antara karyawan/tenaga kerja dengan organisasi. Louis R. Gomez menggolongkan involuntary separation ke dalam dua jenis, yakni; Discharges dan Layoff.
Discharge terjadi bila manajemen memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan karyawan/tenaga kerja karena alasan tidak adanya kecocokan lagi di antara mereka. Discharge biasanya merupakan hasil dari prestasi rendah atau kegagalan karyawan/tenaga kerja untuk mengubah perilaku mereka yang dapat diterima pihak manajemen setelah melalui proses pembenahan berulang-ulang. Lain halnya dengan discharge adalah layoff, di mana pada kasus organisasi melakukan layoff terhadap karyawan/tenaga kerjanya disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan organisasi atau strategi organisasi yang mendorong untuk mengurangi jumlah karyawan/tenaga kerjanya.
Involuntary separation merupakan hasil dari keputusan yang sangat serius dan membawa dampak negatif bagi pihak karyawan/tenaga kerja yang dipecat berupa rasa sakit hati.
TYPES OF EMPLOYEE SEPARATIONS
SEPARATIONS
INVOLUNTARY
SEPARATIONS
VOLUNTARY
SEPARATIONS
QUITS
RETIREMENT
LAYOFF
DISCHARGE
Pelaksanaan Organizational Exit
Ada banyak tujuan mengapa suatu organisasi harus melakukan pengurangan tenaga kerjanya. Namun apabila diperhatikan dengan cermat, sebenarnya tujuan yang utama diinginkan oleh organisasi di dalam pengurangan tenaga kerjanya adalah; diperolehnya beberapa keuntungan (benefits) bagi eksistensi organisasi di kemudian hari. Keuntungan-keuntungan (benefits) yang diharapkan dengan dilakukannya kebijakan pengurangan tenaga kerja antara lain; (1) pengurangan biaya tenaga kerja, (2) menempatkan kembali tenaga kerja yang berkinerja jelak dengan membantu mereka memperbaiki kinerja mereka, (3) meningkatkan inovasi dan (4) membuka kesempatan bagi diversitas yang tinggi dari tenaga kerjanya.
Sebagai konsekuensi dari dilakukannya pengurangan tenaga kerja, organisasi memerlukan sejumlah pengeluaran biaya yang berhubungan dengan upaya pengurangan tenaga kerja yang damai, tanpa menimbulkan akses-akses negatif bagi organisasi, seperti; pengrusakan, sabotase dan aksi-aksi lainnya yang merugikan. Adapun biaya-biaya yang muncul akibat dilakukan pengurangan tenaga kerja tersebut adalah; (1) separation pay, (2) unemployment insurance cost, (3) Exit interview, (4) Outplacement dan (5) Vacant position.
Oleh karena itu, pengelolaan organisasi terhadap program pemutusan hubungan kerja dengan karyawan/tenaga kerja, membutuhkan suatu pengelolaan yang sungguh-sungguh dari organisasi agar diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan dilakukannya pengurangan tenaga kerja.
1. Pengelolaan Organizational Exit.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pemutusan hubungan kerja antara organisasi dengan karyawan/tenaga kerjanya dapat terjadi melalui dua cara yaitu; Voluntary separation dan Involuntary separation. Inisiatif awal terjadinya Voluntary separation biasanya adalah dari para karyawan/tenaga kerja, baik karena masa kerjanya yang sudah habis maupun karena mereka merasa tidak puas bekerja dengan organisasi tersebut atau mungkin adanya alternatif pekerjaan di tempat lain yang lebih menarik, sehingga mereka memutuskan untuk keluar ( Gomes, Cardy, Balkin, 1995).
Menurut Thomas W. Lee dan Terence R. Mithchell, ada beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi variabel-variabel yang mempengaruhi dan mendorong karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasinya secara sukarela. Pendekatan pertama disebut, Pull theory, di mana pendekatan ini cenderung melihat dari faktor-faktor ekstern yang mendorong karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasi, seperti; adanya alternatif pekerjaan lain di luar organisasi yang lebih baik dari pekerjaan mereka sekarang. Pendekatan kedua disebut, Push theory, yang melihat faktor-faktor intern yang banyak mempengaruhi seorang karyawan/tenaga kerja keluar dari organisasinya, seperti; faktor sikap dan persepsi karyawan/tenaga kerja terhadap pekerjaannya dapat meningkatkan perhatian dan puas-tidaknya mereka terhadap pekerjaan yang sedang mereka hadapi tersebut.
Adapun menurut ‘the unfolding model’ atau ‘Image theory’ menjelaskan bagaimana image individu karyawan/tenaga kerja terhadap situasi pekerjaan mereka sekarang, keadaan yang lalu serta tujuan mereka untuk masa depan akan membentuk keputusan-keputusan mereka tentang image masa depan pekerjaan. Oleh karena itu, Beach (1989, 1978), membuat dua poin penting tentang ‘image theory’, yaitu; pertama, mereka mencatat bahwa di dalam pembuatan keputusan, sebagian pengambil keputusan sering mempunyai banyak keragu-raguan, kedua, mereka mencatat bahwa setiap individu mempunyai motivasi yang tinggi untuk mengontrol dan mengarahkan prilaku mereka sendiri, namun sering ada sesuatu yang secara fisik dan situasional menghambat dan merubah preferensi internal individu mengenai masa depannya pekerjaan.
Dari image theory ini, ada tiga tema penting yang dapat mempengaruhi karyawan/tenaga kerja mengambil keputusan keluar dari organisasi atau tidak. Ketiga tema penting tersebut adalah; kemampuan karyawan/tenaga kerja untuk mendorong stabilitas image pribadi, kemampuan karyawan/tenaga kerja melakukan pemisahan pendekatan atau menghilangkan konflik dan kemampuan karyawan/tenaga kerja menjaga dan mendapatkan kembali kontrol atas masa depan pekerjaan.
Bagi organisasi perusahaan, dampak negatif yang perlu diantisipasi adalah bahwa perusahaan benar-benar telah melakukan langkah-langkah perencanaan yang rational terhadap voluntary separation karyawan/tenaga kerjanya, sehingga karyawan/tenaga kerja yang keluar dari perusahaan dapat terseleksi dengan baik, siapa karyawan/tenaga kerja yang memang sudah sewajarnya dipensiunkan , disamping itu perusahaan juga tetap dapat menghindari
larinya karyawan/tenaga kerja yang mempunyai potensi tinggi ke tempat lain. Walaupun inisiatif keluar dari perusahaan lebih banyak berasal dari individu karyawan/tenaga kerja, namun perusahaan juga harus benar-benar melakukan perhitungan yang cermat terhadap cost dan benefit yang muncul akibat dari proses employee-separation ini. Kegagalan perusahaan memberikan insentif-insentif yang atraktif terhadap karyawan/tenaga kerja berpotensi tinggi serta jeleknya perencanaan pensiun, mempunyai konsekuensi pada tingginya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan, khususnya pengorbanan perusahaan terhadap hilangnya karyawan/tenaga kerja ‘brillian’ yang dimiliki.
Sementara itu, pemutusan hubungan kerja dengan menggunakan cara Involuntary separation, inisiatifnya lebih banyak berasal dari organisasi. Masalah-masalah seperti; pelanggaran norma-norma organisasi oleh karyawan/tenaga kerja, menurunnya kinerja karyawan/tenaga kerja sehingga mereka bekerja di bawah standar, kesulitan ekonomi, meningkatnya tingkat persaingan akibat globalisasi dan pengunaan teknologi-teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi dan profitabilitas, memaksa organisasi melakukan pengurangan dan perampingan karyawan/tenaga kerjanya. Pemecatan (discharge) dan PHK (layoff) adalah cara-cara yang biasa digunakan organisasi di dalam memaksa karyawan/tenaga kerjanya untuk keluar dari organisasi.
Involuntary separation, sangat disadari menimbulkan akses negatif kepada organisasi perusahaan, misalnya; berupa tindakan sabotase dan pengrusakan sebagai dampak dari rasa kecewa karyawan/tenaga kerja atas keputusan perusahaan yang mengeluarkan mereka. Demikian juga adanya penurunan moral kerja dan produktivitas karyawan/tenaga kerja yang tidak ter-PHK, baik karena alasan kekhawatiran terhadap nasib yang sama akan menimpa mereka dikemudian hari maupun sebagai ujud dari solideritas di antara karyawan/tenaga kerja lewat serikat-serikat pekerja yang akhir-akhir ini semakin kuat kedudukannya di Indonesia. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan perusahaan, khususnya apabila dilihat dari biaya dan pengorbanan yang sangat besar yang harus ditanggung perusahaan secara terus-menerus selama kasus ini belum dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Oleh karena itu sebagai alternatif, perusahaan sebaiknya mengembangkan metode yang lebih banyak bertumpu kepada perbaikan kebijakan-kebijakan organisasinya seperti; perubahan di dalam desain pekerjaan, penerapan kebijakan ketenagakerjaan, penerapan kebijakan ‘pay and benefits’ dan mengadakan ‘retraining’. Satu lagi alternatif kebijakan pemutusan hubungan kerja yang dapat diambil oleh perusahaan adalah kebijakan Early Retirement. Jenis kebijakan ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya usaha-usaha kontra-produktif dari karyawan/tenaga kerja ter-PHK dan juga berusaha menjembatani kepentingan baik perusahaan maupun karyawan/tenaga kerja ter-PHK.
2. Pengelolaan Early Retirement
Kebijakan pensiun dini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) adanya suatu paket intensif finansial yang dapat menarik para karyawan/tenaga kerja senior untuk pensiun dini, (2) diberikannya suatu batas tertentu (jangka pendek) bagi yang ingin mempergunakan metode pensiun dini, yang sering disebut; open window.
Untuk mengelolaan kebijakan pensiun dini, perusahaan harus berhati-hati di dalam mendesain, mengimplementasi dan mengadministrasikannya, karena apabila perusahaan tidak dengan semestinya mengelola kebijakan pensiun dini ini, maka perusahaan akan memperoleh masalah yang cukup besar seperti; banyaknya karyawan/tenaga kerja yang seharusnya tidak diharapkan untuk melakukan pensiun dini tapi mereka melakukannya, mereka yang dipensiunkan dini akan merasa bahwa mereka dipaksa untuk keluar dari perusahaan.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perusahaan dapat menggunakan langkah-langkah penetrasi sebagai berikut; pertama, menerapkan batasan persyaratan yang ketat bagi divisi yang mempunyai karyawan/tenaga kerja dengan tingkat senioritas yang tinggi, kedua, melakukan survey kepada karyawan/tenaga kerja senior untuk memperoleh data seberapa banyak mereka akan melakukan pensiun dini apabila program ini dilaksanakan dan ketiga, mengembangkan program pemberian provisi untuk mendapatkan kembali karyawan/tenaga kerja berkualiatas yang telah melakukan pensiun dini.
Bagi perusahaan, untuk dapat melakukan kontrol yang baik terhadap pelaksanaan pensiun dini agar supaya sesuai dengan yang diinginkan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Menurut Daniel C. Feldman (1994), faktor-faktor yang akan sangat berpengaruh terhadap keputusan karyawan/tenaga kerja untuk melaksanakan pensiun dini atau tetap tinggal di perusahaan adalah; (1) Induvidual differences, seperti; riwayat kerja, status demografi (status perkawinan, ras, dan jenis kelamin) dan status kesehatan, status perkawinan, sikap terhadap pekerjaan dan pensiun, (2) Opportunity structures in career path, (3) Organizational factors dan (4) External environment. Pengelolaan yang profesional terhadap faktor-faktor tersebut, dapat memberikan benefit yang tinggi baik bagi karyawan/tenaga kerja yang dipensiunkan dini maupun, khususnya, bagi perusahaan yang dapat secara efektif dapat mencapai tujuan atas dilaksanakannya kebijakan early retirement tersebut.
3. Pengelolaan Outplacement
Gomes, Cardy dan Balkin (1995) mendefinisikan outplacement sebagai program sumber daya manusia yang diciptakan untuk membantu karyawan/tenaga kerja yang ter-PHK mengatasi stress akibat kehilangan pekerjaan dan memberikan bimbingan kepada mereka untuk segera memperoleh pekerjaan yang baru. Jadi tujuan utama dari program outplacement bagi perusahaan adalah; (1) mengurangi masalah-masalah moral karyawan/tenaga kerja yang ter-PHK agar supaya produktivitas mereka tetap terjaga sampai mereka benar-benar telah meninggalkan perusahaan, (2) meminimalkan jumlah tuntutan hukum hukum dari karyawan/tenaga kerja ter-PHK dan (3) membantu mereka untuk memperoleh pekerjaan yang baru sesegera mungkin. Oleh karena itu, dalam rangka mengelola outplacement, perusahaan harus melakukan langkah-langkah berupa; pertama, menyediakan pembimbing (konsultan) untuk membantu karyawan/tenaga kerja ter-PHK di dalam mengatasi emosi akibat kehilangan pekerjaan, kedua menyediakan fasilitas dan pendidikan dalam rangka memperoleh pekerjaan baru.
KESIMPULAN
Organizational exit sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan membutuhkan suatu pengelolaan yang baik. Dampak, khususnya yang negatif, dari kebijakan ini tidak saja akan diterima oleh karyawan/tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan, namun juga oleh perusahaan.
Dampak negatif kebijakan organizational exit, khususnya yang bersifat involuntary, bagi tenaga kerja yang ter-PHK adalah frustrasi, kemarahan, dan rendahnya harga diri mereka, di mana kondisi ini tentu saja akan sangat potensial untuk memicu tindakan-tindakan tidak terpuji seperti; sabotase, pengrusakan, anarkhi dan lain-lain.
Sementara itu bagi perusahaan, kondisi pasca PHK dapat juga berdampak yang tidak menguntungkan, seperti; hilangnya tenaga-tenaga berkualitas yang ikut keluar dari organisasi, menurunnya produktifitas perusahaan karena karyawan/tenaga kerja yang tersisa juga mempunyai perasaan yang tidak aman, terlalu ‘overload’ pekerjaan serta kemungkinan munculnya masalah-masalah hukum dari pihak karyawan/tenaga kerja ter-PHK.
Oleh karena itu, pengelolaan organizational exit benar-benar membutuhkan pertimbangan matang, khususnya di dalam membuat kriteria dan persyaratan untuk menilai karyawan/tenaga kerja yang akan di-PHK. Kriteria dan penilaian harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan yang rasional (bisa menggunakan basis senioritas atau performance), namun hati-hati dengan cara-cara (politics) dari karyawan/tenaga kerja dalam rangka mengaburkan penilaian untuk mempertahankan pekerjaannya, seperti; prilaku menjilat, menolak dipromosikan untuk menutupi kesalahan dan keengganan untuk berubah (resistence to change), memperpanjang waktu kerja untuk menarik perhatian bahwa dia benar-benar sibuk dan lain-lain (Ferris, Howard dan Bergin, 1993). Apabila hal-hal semacam ini lepas dari perhatian, maka perusahaan nanti bisa hanya memiliki karyawan/tenaga kerja yang pandai berpolitik, bukan yang memiliki kemampuan kerja tinggi.
REFERENSI
Anthony,P.William & Perrewe,L.Pamela & Kacmar,Michele,K.(1993). Strategic Human Resource Management, The Dryden Press, Florida.
Anderson, K.H., & Burkhauser, R,V. (1985). The retirement-health nexus: A new measure for an old puzzle. Journal of Human Resources, 20: 315-330.
Ashforth, B.E., & Lee, R.T. (1990). Defensive Behavior in Organizations: A Preliminary Model. Humann Relations, 43, 621-648.
Business News, Pengangguran dan Ketimpangan Sosial di Indonesia, Jakarta, 26 Mei 1998.
Baumohl, B. (1993, March 15). When Downsizing Becomes "Dumbsizing." Time, p. 55.
Beehr, T.A. (1986). The process of retirement: A review and recommendation for future investigation. Personnel Psychology, 39: 31-56.
Burkhauser, R. (1979) The pension acceptance decision of older workers. Journal of Human Resources, 14: 63-75.
Burtless, G., & Moffitt, R. (1985). The joint choice of retirement age and postretirement hours of work. Journal of Labor Economics, 3: 209-236.
Bradford, L.P. (1979). Can you survive your Retirement ? Harvard Business Review. 57: 103-109.
Cascio, W. F. (1993). Downsizing: What do we know ? What have we learned ? Academy of Management Executive, 7, 95-104.
-------------------- (1991). Costing human resources: The financial impact of behavior in organizations. Boston: PWS-Kent.
Ferris,R.Gerald & Howard,L.Jack & Bergin,Gregory T. (1993), Rationality and Politics in Organizational Exit Decisions, p.518-525.
Feldman,C.Daniel. (1994). The Decision to Retire Early : A Review and Conceptualization, Academy of Management Review, Vol. 19. p. 285 -311.
Lee,W.Thomas & Mitchell,R.Terence. (1994). An Alternative Approach : The Unfolding Model of Voluntary Employee Turnover, Academy of Management Review, Vol. 19. p. 51 - 89
Mejia-Gomes,R.Louis & Cardy,L.Robert & Balkin,R.David (1995). Managing Human Resource, Prentice Hall, New York.
Komentar