JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2001

PROSES UMPAN BALIK 360 0 : REFLEKSI KEBUTUHAN PENILAIAN KINERJA PADA LINGKUNGAN ABAD 21

Oleh : Ahyar Yuniawan

Mahasiswa Prog.S2.Fak.Ekonomi UGM Yogyakarta

ABSTRAK

Terdapat sejumlah perkembangan dramatik baru yang akan menjadi ciri-ciri dalam lingkungan abad 21. Ini dikarenakan organisasi berurusan dengan situasi kompetisi yang makin besar, kuat dan cepat; berhadapan dengan adanya mixed economic growth; dan mengarah pada berkembangnya e-commerce. Untuk itu, orgnisasi perlu memikirkan kembali cara-cara dalam perencanaan strategisnya, termasuk peran dan teknik-teknik manajemen sumber daya manusia. Sebagaimana diketahui, sumber daya manusia merupakan faktor kritis kesuksesan organisasi dalam mensiasati perubahan dan perkembangan baru dalam era globalisasi, maka perkembangannya perlu dinilai secara baik. Salah satu metode yang ditawarkan dan sudah banyak diterima oleh perusahaan-perusahaan besar adalah metode umpan balik 360o. Metode umpan balik ini ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia dalam team-based environment, sehingga diharapkan akan membantu organisasi untuk tetap kompetitif dan mempersiapkan diri menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi di masa datang.

Kata kunci: era globalisasi, team-based environment, metode umpan balik 360o

1. PENDAHULUAN

Abad 21 tidak lagi merupakan kenyataan fantasi dan fiksi ilmiah, tetapi sudah menjadi era perubahan yang lebih dramatis. Abad 21 adalah suatu realita serius yang dihadapi para manajer dan organisasinya saat ini. Di dalamnya terjadi globalisasi yang memiliki pengaruh kuat terhadap berbagai bangsa , bisnis , masyarakat dan kehidupan ( Hodgets , Luthans, & Slocum, 1999). Oleh karena itu, identifikasi sejumlah karakteristik utama lingkungan abad 21 dan pentingnya melakukan inisiatif baru adalah sangat krusial agar dapat berkompetisi secara sukses baik melalui berbagai pemikiran strategis maupun teknik manajemen sumberdaya manusia.

Secara nyata, terdapat sejumlah dimensi dramatik baru yang menjadi ciri lingkungan 2000. Peter Drucker (Hodgets, Luthan, & Slocum, 1999) menyatakan bahwa kita berada pada suatu periode sejarah besar yang terjadi setiap 200 atau 300 tahun ketika orang tidak mengerti lagi tentang dunia ini, dan masa lalu tidak cukup untuk menjelaskan masa yang akan datang. Ada tiga bagian lingkungan ini yang sangat menantang dan pragmatis bagi manajemen saat ini yaitu kompetisi yang makin besar, kuat dan cepat; diikuti adanya mixed economic growth; serta upaya pemanfaatan teknologi informasi untuk e-commerce. Perubahan mendasar lingkungan bisnis ini jelas membawa dampak pada perkembangan strategi dan keterlibatan sumberdaya manusia. Identifikasi, penilaian dan evaluasi terhadap isu-isu ini akan menjadi nilai kritis bagi organisasi untuk mencapai kesuksesan.

Perusahaan di tiap sektor ekonomi mulai mengubah metode pengelolaannya agar bisa tetap kompetitif. Mereka mengelola dengan lebih sedikit karyawan, tingkat manajemen, dan lebih luwes dalam praktik manajemen. Stabilitas dan prediktabilitas bisnis telah digantikan oleh ketidakpastian, kompleksitas dan perubahan yang cepat. Kompetisi global yang intens, teknologi yang berubah cepat, pergeseran demografi, fluktuasi ekonomi dan kondisi dinamis lainnya mengharuskan perusahaan menjadi lebih adaptif, tangkas, dan menyelaraskan praktik manajemennya melalui inisiatif, inovasi dan perubahan (Walker, 1988). Strategi sumberdaya manusia harus memfokuskan pada isu – isu kunci yang mendukung pada praktik manajemen yang lebih fleksibel dan efektif.

Dampaknya, inisiatif fungsi sumberdaya manusia diharapkan mampu memberikan kepemimpinan dan dukungan dalam menangani " isu-isu bisnis yang berhubungan dengan orang", mampu menjaga agar dasar-dasar program sumberdaya manusia sesuai dengan perubahan kebutuhan bisnis. Staf sumberdaya manusia, juga, diharapkan dapat membantu manajemen mempertimbangkan isu-isu kunci dan membuat strategi untuk meningkatkan efektivitas manajemen.

Di samping itu, munculnya paradigma organisasi tanpa batas (boundaryless organization) telah memberi wacana baru dalam mengelola berbagai sumberdaya organisasi secara efektif. Paradigma ini tetap mengakui adanya batasan-batasan yang melekat pada orang, tugas, proses dan tempat, akan tetapi menekankan manfaat adanya pergerakan ide-ide, informasi, keputusan-keputusan, bakat, dan tindakan-tindakan dimana mereka dibutuhkan (Nelson, 1996). Pemikiran ini berimplikasi pada analisa jabatan dimana pengetahuan, keahlian dan kemampuan terletak pada orang dan bukan pada pekerjaan. Bagan organisasi yang ada dalam organisasi tidak mencerminkan hubungan kerja.

Semua ini adalah sebagian tuntutan perubahan dalam perusahaan agar tetap mampu bertahan dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian dan yang menuntut perusahaan untuk selalu kreatif, inovatif, adaptif dan tangkas. Lingkungan baru akan menggeser pergerakan organisasi untuk menjadi tim-based organization. Dalam kondisi demikian, banyak strategi organisasi yang perlu diubah. Khususnya bidang sumberdaya manusia, masalah evaluasi kinerja tim menjadi krusial karena tim melibatkan orang-orang dengan berbagai keahlian dan memiliki keterkaitan interdeparmental (Meyer, 1994).

Akibatnya, evaluasi kinerja menjadi isu penting dalam organisasi yang ingin tetap mampu bergerak cepat, memiliki kebijakan-kebijakan dan strategi yang fleksibel , dan tetap mampu bersaing dalam era kompetisi yang makin intens. Ini mudah dimengerti karena penilaian tim yang hanya mengandalkan hasil evaluasi top-down tidaklah mampu memberikan hasil yang memadai. Organisasi harus secara tepat mampu memilih suatu sistem penilaian kinerja yang memadai untuk menunjang kefektifan dan kesuksesan organisasi.

2. SISTEM PENILAIAN KINERJA

Terdapat kesepakatan yang luas bahwa pendekatan strategik dalam manajemen sumberdaya manusia melibatkan pendesainan dan pengimplementasian serangkaian kebijakan dan praktik internal yang konsisten untuk menjamin bahwa human capital perusahaan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan bisnis (Huselid, Jackson, & Schuler, 1997). Hal yang mendasari perspektif ini adalah adanya asumsi bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi oleh serangkaian praktik manajemen sumberdaya manusia perusahaan yang tepat. Artinya, organisasi harus benar-benar memfokuskan dan memperhitungkan dampak mutu manajemen sumberdaya manusia secara keseluruhan pada kinerja perusahaan. Keefektifan manajemen sumberdaya manusia meliputi delivery aktivitas-aktivitas manajemen sumberdaya manusia strategik dan teknikal bermutu tinggi yang terefleksi dalam outcome perusahaan.

Salah satu pendekatan strategis yang harus dimiliki perusahaan adalah sistem evaluasi kinerja sumberdaya manusia yang efektif dan dapat dimanfaatkan dalam organisasi yang berbasis tim, organisasi yang flat and lean, organisasi yang harus berjuang untuk tetap bertahan dalam lingkungan yang kompetitif. Sistem penilaian kinerja yang efektif akan mampu mendorong timbulnya perilaku "favor doing" dan "volunteering to do extra work" yang oleh Borman dan Montowidlo diidentifikasi sebagai "contextual performance" dan oleh Organ dinyatakan sebagai "organizational citizenship" (Ferris et al., 1999). Hal ini menandakan perlunya organisasi untuk secara tepat menerapkan berbagai dimensi antara perilaku karyawan yang terkait dengan jabatan dan kinerja dengan tetap berupaya memfokuskan pada tuntutan organisasi saat ini.

Lawler menyatakan bahwa sistem penilaian harus mendorong berlangsungnya sikap-sikap terhadap fairness dan acceptability untuk menentukan kesuksesan penilaian kinerja akhir dimana sistem penilaian itu

juga diharapkan menyediakan feedback yang substansial (Dobbins et al., 1990). Evaluasi penilaian kinerja merupakan elemen penting dalam sistem informasi dan pengendalian organisasi (Beer, 1981). Evaluasi ini dapat digunakan untuk memperoleh informasi kinerja karyawan sehingga keputusan-keputusan tentang penempatan, promosi, pemberhentian, dan pengupahan dapat dibuat dengan tepat.

Meyer (1994) menegaskan bahwa desain sistem penilaian kinerja seharusnya merefleksikan asumsi operasi dasar organisasi yang didukungnya. Jika organisasi berubah dan sistem penilaian tidak berubah, maka selanjutnya organisasi tidak berjalan efektif atau kontraproduktif. Dalam berbagai perusahaan yang berubah dari orientasi kontrol dan hierarki fungsional menuju pada suatu pendekatan berdasarkan tim yang lebih ramping dan cepat, maka sistem pengukuran kinerja tradisonal tidak hanya gagal mendukung kinerja tim tapi juga mengabaikannya. Bahkan, sistem tradisional justru meningkatkan konflik antar tim multifungsional dan fungsi-fungsi yang bisa menggangu kinerja banyak organisasi pada era kompetisi global saat ini.

Ghorpade dan Chen (1995) lebih memperkuat pernyataan di atas dengan menyatakan bahwa penilaian kinerja sumberdaya manusia menghadapkan para penilai dengan empat realitas. Pertama, aktivitas ini tidak terhindarkan dalam setiap organisasi. Kedua, penilaian kinerja merupakan suatu aktivitas yang serius dimana siapa saja yang menjalankannya dibayangi dengan konsekuensi-konsekuensi baik bagi individu maupun organisasi. Ketiga, penilaian kinerja adalah suatu aktivitas yang kompleks yang menghadapkan penilai dengan berbagai interelasi dalam organisasi. Keempat,

penilaian kinerja cenderung tidak terlepas sepenuhnya dari politik organisasi. Realita-realita ini idealnya akan mendorong organisasi untuk memiliki sistem penilaian berbasis mutu (quality-driven performance appraisal system) dan memfokuskan pada keakuratan pengukuran.

Akan tetapi, selama ini sistem penilaian yang berlaku pada berbagai organisasi masih berciri top-down yaitu hanya berasal dari atasan saja sehingga informasi yang diperoleh masih kurang memadai. Padahal, sudah seharusnya, sistem penilaian dapat digunakan untuk mendorong motivasi karyawan dan mempertajam competitive edge organisasi. Masih banyak informasi yang diperlukan untuk menjadikan sistem penilaian fair dan acceptability. Informasi tersebut bisa berasal dari rekan kerja (peer), bawahan (subordinate), dan, bahkan, dari pelanggan. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan organisasi, sistem penilaian yang berlaku seharusnya dapat memberikan proses penilaian yang memberi nilai tambah.

Berbagai tuntutan dan apa yang seharusnya ada dalam suatu sistem penilaian tersebut di atas dapat dipenuhi oleh metode umpan balik 360o. Sistem ini dibuat dengan terlebih dulu mengidentifikasi komponen-komponen sistem dan tahapan-tahapan penilaian yang kritis yang dapat menjamin bahwa prosedur dan praktik organisasi bekerja dalam harmoni. Selain itu, sistem ini membantu manajer dalam mencapai penilaian yang efektif, dan mereka membutuhkan alat yang tepat dan membantunya menjadi efektif. Agaknya, metode umpan balik 360o dapat dijadikan sebagai salah satu teknik manajemen sumberdaya manusia yang menjanjikan dalam lingkungan abad 21.

3. PEMBAHASAN

Kaji ulang terhadap strategi-strategi perusahaan merupakan inisiatif penting yang harus diambil agar perusahaan tetap sukses dalam lingkungan abad 21 ini .Pendekatan-pendekatan lama harus diubah secara radikal, karena setiap ada perubahan, di situ pula terdapat kesempatan. Hodgets, Luthans dan Slocum (1999) menyebutkan bahwa ada tiga cara agar kita dapat memanfaatkan perubahan yaitu: perumusan dan implementasi strategi yang berbeda dengan pemikiran manajemen saat ini atau competing on the edge; berurusan dengan teknologi-teknologi radikal yang mengancam profitabilitas perusahaan/industri yang mapan atau going beyond being customer-led; dan menjadi lebih entrepreneurial. Perubahan strategi bisa dilakukan dengan mengacu pada tiga model strategi yang ditawarkan oleh Porter (1980an), Hamel dan Prahalad (1990an), dan Brown dan Eisenhardt (2000an) seperti yang dapat dibaca pada tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Model Strategi

Model Lima Kekuatan Porter (1980s)

Model Kompetensi Inti Hamel & Prahalad

(1990s)

Model "Competing on the Edge" Brown & Eisenhardt

(2000s)

Perspektif

Industri dilihat memiliki struktur yang stabil

Perusahaan dilihat sebagai serangkaian konpetensi

Industri berada dalam lingkungan yang berubah cepat dan tak terduga

Sasaran

Mengembangkan posisi bertahan

Mengembangkan keunggulan berkelanjutan

Berhadapan dengan aliran keunggulan dan kesempatan yang terus menerus

Faktor Penentu (Driver)

Struktur industri mendominasi situasi

Kompetensi unik perusahaan sebagai kunci sukses

Kemamapuan berubah sebagai faktor kritis

Strategi

Memilih industri, memilih posisi strategik, sesuaikan perusahaan dengan strategi

Ciptakan visi; membangun dan mengekploitasi kompe-tensi untuk merealisasikan visi

Mencapai "the edge" melalui strategi yang diterapkan secara hati-hati dan bertahap, dan membentuk visi strategik "semi-coherent" yang dapat diikuti anggota organisasi

Ukuran Kesuksesan

Profit

Dominasi jangka panjang

Reinvensi berkelanjutan (Continual reinvention)

Sumber: Hodgets, Luthans dan Slocum (1999)`

Untuk mampu menjadi going beyond being customer-led, perusahaan-perusahaan yang medominasi industri untuk beberapa dekade telah menyadari bahwa mereka tergeser dari kompetisi yang lebih kuat. Salah satu alasannya adalah bahwa pasar telah berubah. Bahkan, dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan yang berposisi upstart atau second-tier menggantikan posisi leader. Contohnya, kita dapat melihat bagaimana perkembangan teknologi komputer dan berbagai perangkat pendukungnya yang disodorkan oleh Intel, Dell, IBM, Microsoft, dan Hewlett Packard. Perkembangan teknologi radikal ini akan menjadi hal yang biasa di masa datang karena berkembang dari pemikiran-pemikiran yang "out the box".

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi baru-baru ini di beberapa negara, secara langsung, dapat dikaitkan dengan entrepreneurship di abad baru ini atau adanya venture teams dari perusahaan yang telah mapan, khususnya untuk emerging markets. Tim ini, selain berbeda dengan project teams, anggotanya juga memiliki nilai dan filosofi yang berbeda dengan manajer tradisional. Keberadaannya sangat penting artinya karena membantu perusahaan hidup dengan perubahan dan bukan bagian dari status quo. Tim ini justru mampu berpikir secara "out of the box". Berikut dapat kita lihat perbedaan antara traditional dan entrepreneurial manager pada tabel 2.

Tabel 2. Traditional vs Entrepreneurial Manager

Traditional Manager

Entrepreneurial Manager

Mencoba menghindari kesalahan

Siap mengalami kesalahan untuk pembelajaran

Menunda untuk mengakui kegagalan

Mengakui kesalahan dan terus bekerja

Setuju dengan pemegang kekuasaan

Mengajak pemegang kekuasaan untuk terlibat atas apa yang harus dikerjakan

Ingin menyenangkan manajemen puncak

Ingin menyenangkan pelanggan, sponsor dan diri sendiri

Menyukai sistem yang ada dan dipandang sangat membantu (nurturing) dan protektif

Tidak menyukai sistem dan belajar bagaimana memanipulasinya

Menyelesaikan masalah berdasarkan sistem

Menyelesaikan masalah dengan cara menyiasati (bypass) sistem

Menggunakan hierarki sebagai basic power differentiation antar level

Menggunakan hierarki hanya sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai hal secara efisien

Sumber: Hodgets, Luthans dan Slocum (1999)

4. PERAN MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA

Insiatif-inisiatif strategik di atas sejauh ini telah memberikan sejumlah jawaban dalam membantu memenuhi tantangan lingkungan yang dihadapi manajemen dalam abad 21. Meskipun agak terpisah, tetap memiliki keterkaitan dengan sumber daya manusia organisasi saat ini maupun esok. Lebih khusus lagi, dapat kita rasakan bahwa teknik-teknik sumber daya manusia akan dapat membantu upaya integrasi dengan inisiatif-inisiatif strategis yang dibutuhkan. Akan tetapi kesan yang muncul baik di kalangan ahli manajemen dan masyarakat umum adalah sumber daya manusia organisasi akan menurun perannya di abad 21. Alasannya adalah meningkatnya penggantian manusia oleh teknologi informasi dalam proses produksi dan jasa organisasi.

Hal ini dapat dibuktikan dengan cara sebaliknya. Sebagai contoh, siapa saja yang menjalankan business-to-business e-commerce perusahaan komputer Dell akan merasa bahwa sumber daya manusia memiliki posisi yang relatif makin penting. Alat-alat teknologi informasi Dell, seperti Premier Pages (Web pages yang menghubungkan dengan pelanggan internet besar) dapat saja mengurangi biaya dan kesalahan-kesalahan pesanan, tetapi perusahaan tetap memberi kebebasan sales representatives untuk melakukan penjualan dan pelayanan kepada pelanggan dengan cara-cara yang makin baik (Hodgetts, Luthans, & Slocum, 1999).

Apa yang telah dilakukan Dell memberikan kepercayaan bahwa sumber daya manusia dan bagaimana mereka dikelola, akan memainkan peran yang makin penting di abad baru ini. Pfeffer (1998) menyatakan bahwa dalam banyak kasus sumber daya manusia tetap dapat menjadi keunggulan bersaing di tahun-tahun mendatang. Teknologi terbaru dapat dibeli dan ditiru oleh siapa saja. Dalam industri, hal ini biasa dalam area persaingan. Akan tetapi, keahlian , ide-ide , upaya - upaya dan perilaku manusia tidaklah mudah untuk ditiru karena mereka juga yang mengelola dan mengoperasikan teknologi tersebut dan berinteraksi serta melayani pelanggan. Chuck Nielson, Vice President of HR, Texas Instrument menyatakan bahwa satu-satunya hal yang membedakan perusahaan dari pesaingnya adalah sumber daya manusia (Schuler & Huber, 1993).

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah "teknik-teknik sumber daya manusia apakah yang terbaik untuk memenuhi tantangan ke depan?". Meskipun terdapat sejumlah praktik high-performance work yang dapat memberikan dampak posistif, agaknya salah satu teknik spesifik yang diyakini memiliki peran yang paling penting dalam manajemen sumber daya manusia yaitu: umpan balik 360o (multirater feedback), di samping adanya pay for performance. Kedua praktik ini memiliki potensi terbesar untuk memenuhi tantangan-tantangan ke depan. Akan tetapi, hanya proses umpan balik 360o yang akan dibahas lebih jauh berikut ini.

5. UMPAN BALIK 360o

Apa Umpan Balik 360o itu?

Proses umpan balik 360o merupakan proses evaluasi untuk pengembangan individu, biasanya manajer. Dalam sistem ini (Antonioni, 1996), individu mengevaluasi dirinya dan menerima umpan balik dari anggota organisasi lainnya. Umpan balik ini datang dari atasan langsung dan rekan kerja (peer), dan dari bawahan jika individu itu adalah manajer. Bahkan umpan balik itu bisa datang dari pelanggan. Sistem ini telah muncul sebagai alat penilaian kinerja yang penting pada tahun-tahun terakhir dan, lebih penting lagi, juga sebagai alat pengembangan sumber daya manusia. Dengan membandingkan hasil penilaian sendiri dan hasil penilaian orang lain, kita dapat melihat celah-celah yang dapat memberikan informasi bermanfaat untuk tujuan-tujuan pengembangan personil.

Penerimaan umpan balik dari hanya satu sumber (dari pimpinan/supervisor dalam sistem tradisional) mungkin tidak dipercaya, atau informasi negatif yang diterima akan dirasionalisasi oleh penerima umpan balik ( appraiseee ) . Pengumpulan data dari berbagai sumber (bawahan, rekan

kerja, manajer dan pelanggan) dapat memberikan kredibilitas dan validitas atas data yang diperoleh. Umpan balik yang diterima merupakan faktor kritis karena tidak hanya untuk menjelaskan bagaimana pandangan orang lain terhadap seseorang tapi juga untuk rencana-rencana tindakan bagi perbaikan kompetensi sumber daya manusia. Di UPS, para manajer dan supervisor menyatakan setuju bahwa umpan balik 360o memperbaiki proses penilaian kinerja mereka dan lebih dari 70% karyawan UPS menyatakan bahwa umpan balik dari berbagai sumber lebih berguna ketimbang yang mereka terima dari manajer mereka sendiri (Hodgetts, Luthans, dan Slocum,1999).

Perusahaan yang menggunakan umpan balik 360o (multirater) jumlahnya semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan seperti AT&T, Bank of America, Exxon, General Electric, Caterpillar, dan Chrysler telah menggunakan sistem penilaian ini selama beberapa tahun (Antonioni, 1996). Hampir 90% dari 1000 Fortune companies telah menggunakan bentuk penilaian multirater yang lebih dikenal dengan 360o feedback karena manajer/karyawan dinilai melalui suatu lingkaran penuh penilai yang terdiri dari supervisor, bawahan, rekan kerja, dan bahkan pelanggan (Atwater & Waldman, 1998). Bisa dikatakan bahwa sejumlah organisasi besar dan profesional sumberdaya manusia mendukung umpan balik 360o bagi penilaian individual dan organisasi.

Sudah saatnyakah organisasi menggunakan umpan balik 360o ?

Dalam era kompetisi atau iklim bisnis yang makin kuat saat ini, tidaklah mudah untuk menampik pendapat umum tentang umpan balik dari berbagai sumber ini . Ini terkait dengan makin banyaknya perusahaan yang

mendelegasikan sistem manajemennya dan kuatnya kebutuhan untuk membangun team work environment. Dalam konteks yang demikian, sulit pula bagi manajer dalam organisasi yang kompleks untuk tetap berjalan dengan mengabaikan berbagai sumber umpan balik yang selama ini berperan atau membantunya dalam mencapai berbagai tujuan perusahaan. Bahkan, konsep umpan balik 360o ini membuat umpan balik sedemikian rupa pada biaya operasi ekonomis yang relatif rendah.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa manfaat dari program umpan balik 360o ini sangat substansial khususnya sebagai alat pengembangan dan perubahan-perubahan perilaku yang muncul seringkali cenderung bisa segera dilihat dan kadang-kadang dramatis (Ghorpade, 2000). Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dan konsekuensi merugikan yang minimal, organisasi harus menciptakan atmosfir tentang kepercayaan, keterbukaan dan saling berbagi karena umpan balik akan menjadi lebih berarti ketika kedua pihak (appraiseers dan appraisees) dari sistem ini melakukannya dengan pertukaran persepsi yang berarti (memiliki nilai) dan otentik.

Terdapat sepuluh alasan mengapa organisasi harus menggunakan proses umpan balik 360o dalam praktik manajemen sumberday manusianya. Secara singkat, sepuluh alasan itu dikemukakan oleh Hoffman (1996), seorang senior human resource professional dan president of ORBOB Consulting, Inc. yang memiliki spesialisasi dibidang diagnosa, umpan balik dan solusi-solusi inovatif organisasi. Menurutnya, alasan-alasan itu antara lain: membantu mendefinisikan kompetensi perusahaan; meningkatkan fokus pada pelayanan terhadap pelanggan; mendukung inisiatif tim; menciptakan high- involvement workforce; mengurangi hierarki dan mendorong perampingan organisasi (streamlining );mendeteksi hambatan - hambatan kesuksesan ; membantu menilai kebutuhan pengembangan ; menghindari diskrimasi dan bias ; mengidentifikasi performance thresholds ; dan ,terakhir , mudah diimplementasikan. Memperhatikan alasan-alasan ini akan membantu organisasi untuk menciptakan high-involvement culture dan memenuhi harapan-harapan organisasi.

Akuntabilitas Proses Umpan Balik 360o

Akuntabilitas metode ini terletak pada beberapa hal (Atwater & Waldman, 1998), antara lain: 1) adanya penilaian dari berbagai sumber sehingga bisa dipercaya seberapa kuat validitas dan relibilitas data yang diperoleh; 2) adanya penilaian secara anonimus dan rahasia; 3) proses ini diperkenalkan kepada setiap individu secara hati-hati dan menyeluruh yang dimaksudkan agar individu memahami aturan anonimitas dan kerahasiaan, tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bagaimana proses metode ini berjalan (yang menekankan adanya penilaian secara jujur dan fair), dan apa saja manfaatnya; dan yang terakhir serta terpenting, adanya upaya inkorporasi metode ini dengan penilaian kinerja formal yang berfokus pada pengembangan berkelanjutan dan menjadi bagian yang kritis dalam kaitannya dengan penilaian prestasi kerja individu setelah melewati program pelatihan dan pengembangan yang diperlukannya.

Jadi metode ini digunakan terutama untuk kegiatan pengembangan dengan menekankan adanya anonimitas dan kerahasiaan. Manajer dinilai secara anonim dan hasilnya dikembalikan kepada manager secara keseluruhan. Biasanya, hanya manajer/karyawan yang dinilai saja yang bisa melihat umpan balik tersebut. Pada awal penyesuaian metode umpan balik 360o , hasil penilaiannya tidak dimasukkan dalam penilaian kinerja formal manajer/karyawan.

Terdapat beberapa alasan mengapa umpan balik 360o digunakan hanya untuk tujuan pengembangan dan dipisahkan dari proses penilaian formal. Pertama, jika para individu yakin bahwa hasil penilaian digunakan untuk tujuan penilaian kinerja , mereka mungkin akan merubah peringkatnya. Atau sebaliknya, jika mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk retribusi, mereka akan menurunkan peringkatnya. Kedua, jika digunakan sebagai bagian dari penilaian individu , maka politik dalam penilaian bisa terjadi. Atau bisa

jadi secara implisit dan atau eksplisit penyelia mengindikasikan bahwa "jika anda memberi peringkat pada saya, maka saya akan melakukan hal yang sama". Terakhir, di beberapa perusahaan, keterlibatan bawahan dan rekan kerja dalam penilaian individu seringkali dianggap hal yang tabu sehingga banyak yang memboikot dan menolak untuk berpartisipasi. Ketika tingkat partisipasi menurun, maka umpan balik menjadi tidak berguna baik untuk pengembangan dan evaluasi.

Masalah-masalah Dalam Sistem Umpan Balik 360o

Meskipun proses ini menjanjikan, tetap diperlukan adanya perhatian tentang kompleksitas pendekatan umpan balik 360o dalam hal-hal pengukuran (psychometric) dan implikasinya, khususnya hubungan antara penilaian diri dan pihak lain untuk isu-isu kompensasi dan promosi. Di samping itu, para manajer juga perlu dilatih untuk menerima umpan balik dari orang lain (Hodgetts, Luthans, & Slocum, 1999).

Ghorpade (2000) mengidentifikasi adanya lima paradoks dalam proses tersebut, antara lain: employee development paradox, multiple constituents paradox, anonymous ratings paradox, structured feedback paradox, dan managerial involvement paradox. Akan tetapi, berbagai paradoks ini dapat dikelola dengan adanya komitmen kuat dari general manager, proses penyaringan informasi, keterlibatan recipients dalam menentukan behavioral items dalam instrumen umpan balik dan pendelegasian administrasinya. Yang lebih penting lagi adalah adanya kepercayaan (trust), keterbukaan (openness) dan saling berbagi (sharing).

Di sisi lain, Antonioni (1996) menyatakan bahwa kesuksesan penggunaan proses umpan balik 360o perlu menekankan perhatian pada input

(misalnya: tujuan, pengembangan bentuknya, pemilihan dan pelatihan appraiseer dan appraisee), proses (misalnya: self-appraisal, langkah-langkah coaching) dan output (misalnya: perbaikan perilaku dan kinerja, pembelajaran). Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekecewaan, frustasi dan disillusioned.

6. KESIMPULAN

Daya tarik konsep 360o, terutama dalam industri Amerika, sangat mudah untuk dipahami. Selama hampir dua dekade lalu, perusahaan-perusahaan di AS telah terlibat dalam program restrukturisasi besar-besaran untuk memenuhi tuntutan pasar global. Produk-produk lama disingkirkan dan produk baru diciptakan untuk melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda. Secara internal, terdapat pergeseran gaya birokrasi manajemen lama menuju kepada flat and lean organization yang memerlukan partisipasi aktif dari berbagai tingkatan manajemen. Hal ini, terutama diarahkan untuk melakukan perubahan dan memberikan respon yang cepat di dalam pasar penawaran dan permintaan produk.

Untuk memaksimalkan manfaat potensial umpan balik 360o, terdapat sejumlah isu penting yang perlu diperhatikan, antara lain:

  • Bagaimana proses baru ini dikomunikasikan kepada pemimpin tim, manajer dan karyawan?
  • Apakah hanya umpan balik 360o yang digunakan atau harus proses itu dikombinasikan sistem penilaian yang lain?
  • Bagaimana para staf akan dilatih untuk menggunakan instrumen ini secara efektif?
  • Haruskah konsultan luar digunakan?
  • Haruskah proses baru itu disesuaikan (customized) untuk organisasi?
  • Apakah evaluasi berbasis komputer atau bentuk pensil-dan-kertas adalah yang terbaik bagi organisasi?

Organisasi yang benar-benar merespon terhadap isu-isu ini dapat berharap mampu mengimplementasikannya dengan lancar. Ketika sedang menciptakan suatu high-involvement culture, umpan balik 360o dapat menjadi sistem proaktif yang dapat mengarahkan perilaku dengan harapan-harapan organisasi. Mengadopsi prinsip-prinsip ini akan meningkatkan visi perusahaan/organisasi, mengembangkan hubungan antar karyawan, dan memberikan umpan balik konstruktif yang paling diinginkan.

Dalam lingkungan yang demikian, agaknya konsep umpan balik 360o menawarkan banyak hal. Berbeda dengan model penilaian tradisional, di mana atasan menilai bawahan, pendekatan baru ini memberikan dorongan kuat untuk memakai umpan balik tersebut untuk memperbaiki kinerja dan membuat upaya besar untuk memadukan kontribusinya dengan kebutuhan kelompok/organisasi. Jika diterapkan secara tepat, agaknya sistem umpan balik 360o akan menjadi teknik manajemen sumberdaya manusia yang akan membantu memenuhi tantangan dalam era milenium ketiga (abad 21).

DAFTAR PUSTAKA

Antonioni, D. 1996. Designing an effective 360-degree appraisal feedback process, Organizational Dynamics, Autumn: 24 – 38

Atwater, L. & Waldman, D. 1998. Accountability in 360-degree feedback: is it time to take the 360-degree feedback method to its next step? Human Resource Magazine, May: 96 – 104

Beer, M. 1981. Performance appraisal: dilemmas and possibilities. Organizational Dynamics, Winter: 62 – 76

Dobbins, G.H., Cardy, R.L., & Platz-Vieno, S.J. 1990. A contingency approach to appraisal satisfaction: an initial investigation of the joint effects of organizational variables and appraisal characteristics. Journal of Management, 16(3): 619 – 632

Ferris, G.R., Hochwarter, W.A, Buckley, M.R., Harrell-Cook, G., & Frink, D.D. 1999. Human resource management: some new directions. Journal of Management, 25(3): 385 – 415

Ghorpade, J. & Chen, M.M. 1995. Creating quality-driven performance appraisal system. Academy of Management Executive, 9(1): 32 – 41

Ghorpade, J. 2000. Managing five paradoxes of 360-degree feedback. Academy of Management Executive, 14(1): 140 – 145

Hodgett, R.M., Luthans, F. & Slocum, Jr., J.W. 1999. Strategy and human resource management insiatives for the ‘00s environment. Organizational Dynamics, Autumn: 7 – 21

Hoffman, R. 1996. Ten reasons you should be using 360-degree feedback. Human resource Management Yearbook, 7.10 – 7.12

Huselid, M.A., Jackson, S.E. & Schuler, R.S. 1997. Technical and strategic human resource management effectiveness as determinants of firm performance. Academy of Management Journal, 40(1): 171 – 188

Meyer, C. 1994. How the right measures help teams excel. Harvard Business Review, May – June: 95 – 103

Nelson, J.B. 1996. The boundaryless organization: implication for job analysis, recruitment, and selection. Human resource Planning, 39 – 49

Pfeffer, . 1998. Six dangerous myths about pay. Harvard Business Review, May – June: 108 – 121

Schuler, R.S & Huber, V.L. 1993. Personnel and Human Resource Management, 5th Edition, Minneapolis, West Publishing, Co.

Walker, J.W. 1988. Managing human resource in flat, lean, and flexible organizations: trend for the 1990’s. Human Resource Planning, 11(2): 125 – 132


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi