JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2000

MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING PERGURUAN

TINGGI SWASTA

Oleh : Eko Sasono

Universitas Pandanaran Semarang

ABSTRAK

Bisnis pendidikan merupakan bisnis jasa, untuk itu prinsip utama yang harus dipegang adalah membangun dan menjaga kepercayaan konsumen/masyarakat. Di tengah persaingan yang semakin ketat pasar perguruan tinggi, setiap pengelola perguruan tinggi swasta, dituntut untuk makin profesional dalam menangani bisnis ini.

Paradigma baru perguruan tinggi harus dikembangkan, Manajemen strategis perguruan tinggi diterapkan dan dioptimalkan dengan menitikberatkan pada masalah mutu, penyesuain strategi dengan kebutuhan dan tuntutan baru yang terus berkembang, pengembangan prinsip-prinsip untuk menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage) dan pengembangan budaya akademik.

PENDAHULUAN

Persaingan di pasar jasa perguruan tinggi akhir-akhir ini meningkat cukup tajam. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan perguruan tinggi swasta khususnya di Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah. Pada tahun 1996, tercatat 101 perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah, sekarang (tahun 2000) sudah mencapai 127 perguruan tinggi swasta. Prosentase perkembangan jumlah perguruan tinggi yang lebih besar dibanding prosentase perkembangan jumlah lulusan SLTA membuat pasar perguruan tinggi menjadi marak dengan persaingan.

Pasar jasa pendidikan juga diramaikan oleh semakin banyaknya lembaga pengguna output jasa pendidikan yang melakukan integrasi vertikal ke belakang (backward vertical integration) dengan menawarkan pendidikan yang lebih siap pakai. Perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat juga telah memungkinkan jasa pendidikan ditawarkan dengan cara-cara yang lebih bervariasi (seperti : long-distance learning, wall-free education, seasonal education, dan seterusnya), yang membuat faktor lokasi menjadi determinan yang peranannya semakin lemah dalam proses pemilihan jasa pendidikan.

Di sisi lain, perguruan tinggi negeri banyak yang membuka program-program Non-reguler seperti program Diploma III dan program extension yang makin memperketat persaingan pasar perguruan tinggi.

Perkembangan tingkat persaingan perguruan tinggi yang semakin ketat dari waktu ke waktu, memaksa pegelola perguruan tinggi swasta harus lebih profesional dalam menangani bisnis pendidikan ini.

PARADIGMA BARU

Di masa lalu, lembaga pendidikan tinggi pertama-tama dipandang sebagai lembaga sosial yang sifatnya filantropik. Penyelenggaraan lembaga pendidikan pertama-tama dilakukan atas dasar mekanisme subsidi yang mengabaikan efisiensi dan kebutuhan riil pasar. Bahkan tidak jarang, terminologi mekanisme pasar seperti persaingan, kontrol mutu, keuntungan dan terminologi lain yang sejenis ditabukan di kalangan pengelola lembaga pendidikan. Prinsip yang dipegang lebih berat ke arah "menjual apa yang bisa ditawarkan".

Persaingan pasar yang semakin ketat, yang dibarengi dengan kecenderungan meningkatnya biaya-biaya pengelolaan pendidikan dan menurunnya kemampuan pembiayaan badan-badan sponsor pemasok dana lembaga pendidikan membuat pandangan lama di atas semakin surut. Pandangan yang lebih populer saat ini adalah pandangan yang melihat lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga pemroses sumber daya manusia (people processing business), dan pasar jasa pendidikan sebagai industri pengetahuan (knowledge industry) (Ihalauw, 1998). Prinsip yang dipegang lebih berat ke arah "memproduksi apa yang bisa dijual". Jika pandangan lama lebih dekat ke cara pandang sisi produksi (supply side), maka cara pandang yang baru lebih condong ke sisi pemasaran (demand side).

Tentu saja bentuk-bntuk ekstrim dari dua cara pandang di atas merupakan suatu penyederhanaan, dan implikasi empirik dari penerapan bentuk-bentuk ekstrim tersebut akan melahirkan reduksi terhadap makna lembaga pendidikan yang sesungguhnya. Jika lembaga pendidikan tinggi dipandang semata-mata sebagai lembaga sosial yang filantropik, dorongan-dorongan untuk melakukan perbaikan terus menerus dan tuntutan profesionalisme pelayanan pendidikan bisa diabaikan. Sementara di lain pihak, jika lembaga pendidikan tinggi dipandang semata-mata sebagai "pabrik" pelayanan jasa yang menempatkan keuntungan finansial sebagai satu-satunya tolak ukur legitimasi sosialnya, lembaga pendidikan tinggi akan kehilangan perannya sebagai pioner perubahan dan tempat persemaian manusia yang holistik (tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian).

Dengan demikian, cara pandang yang paling tepat adalah cara pandang yang komprehensif, yang melihat lembaga perguruan tinggi sebagai wadah usaha produktif yang memiliki berbagai tujuan. Cara pandang yang demikian sebenarnya juga sudah berkembang di kalangan organisasi pengejar laba (profit motive organization), seperti yang dikemukakan oleh Kaplan dan Norton (1992). Kaplan dan Norton mengusulkan konsep "the balanced scorecard" yang intinya menyebutkan bahwa tujuan suatu organisasi harus dilihat dari empat perspektif, yaitu : perspektif finansial (keuntungan), perspektif pengguna jasa (kepuasan konsumen), perspektif proses bisnis internal (efisiensi) dan perspektif pembelajaran (kapabilitas untuk melakukan perbaikan terus menerus).

TANTANGAN MANAJEMEN

Tantangan manajemen seperti apa yang dihadapi oleh lembaga pendidikan tinggi sebenarnya sangat tergantung dari cara pandang kita terhadap lembaga pendidikan tinggi seperti di atas. Namun secara umum jika kita melihat lembaga pendidikan secara komprehensif, maka berbagai kaidah manajemen modern dapat dijadikan pegangan.

Pertama, dalam jangka panjang mutu merupakan determinan terpenting bagi daya hidup lembaga pendidikan. Mutu dapat didefinisikan sebagai "conformance to requirements" (pemenuhan terhadap persyaratan) maupun sebagai "fitness for use" (kesiapan untuk digunakan). Lembaga pendidikan yang gagal menawarkan mutu pendidikan yang tinggi tentu saja harus puas untuk duduk di "bangku cadangan" atau "penggembira" dalam sirkuit pasar jasa pendidikan.

Menurut PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pengertian mutu perguruan tinggi adalah keterkaitan antara tujuan, masukan, proses dan keluaran yang merupakan tanggung jawab institusional perguruan tinggi masing-masing (Pasal 128 ayat 2). Mutu perguruan tinggi dijelaskan pada penjelasan Pasal 128 ayat 2, terdiri atas efektifitas, efisiensi, produktivitas, akuntabilitas, suasana akademik dan ketahanan sistem

MESIN PERGURUAN TINGGI

OUTCOME

PROSES

INPUT

  • Pendidikan
  • seat
  • lulusan program
  • kuantitas, kuaitas
  • Penelitian
  • paper, paten
  • produk
  • Pengabdian Masyarakat
  • jasa
  • karya sosial
  • kerjasama
  • Manajemen

-Optimal, efisien

  • Tridharma PT
  • Pendidikan
  • Penelitian
  • Pengabdian Masyarakat

  • Manajemen

  • Mahasiswa
  • Dosen
  • Administrasi & Teknisi
  • Informasi
  • Sarana-prasarana
  • Anggaran
  • Lingkungan-masyarakat

UMPAN BALIK

  • Akuntabilitas pada Stakeholders
  • Evaluasi diri
  • Masukan dari sistem yang lebih luas
  • Pemerintah
  • Dunia Pendidikan

AKREDITASI PTS

Akreditasi PTS, sebagaimana diatur dalam PP No. 60 tahun 1999 bertujuan untuk mengawasi mutu dan efisiensi program studi. Akreditasi ini merupakan proses berkelanjutan mencakup tiga tahap kegiatan :

1. Penilaian diri yang berkelanjutan

2. Penetapan tingkat akreditasi

3. Pembinaan program studi berdasarkan hasil akreditasi

Hasil penilaian (evaluasi) diri dijadikan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada program studi. Ini dilakukan oleh PTS sendiri. Hasil akreditasi nasional digunakan untuk penetapan keputusan akreditasi dan untuk memberikan rekomendasi terhadap perlakuan atau pembinaan program studi yang telah diakreditasi. Gambaran akreditasi sebagai daur berkelanjutan dapat digambarkan sebagai berikut :

EVALUASI DIRI Þ PERBAIKAN SECARA INTERNAL Þ AKREDITASI SECARA

EVALUASI DIRI Þ PERBAIKAN SECARA INTERNAL Þ DAN SETERUSNYA Þ

KRITERIA AKREDITASI PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI UNTUK PROGRAM SARJANA

  1. Dasar Hukum : Kep. Mendikbud No. 0323 /U/1996
  2. Akreditasi adalah pengakuan atas program studi pada perguruan tinggi yang menjamin standar minimal, sehingga lulusannya dengan persyaratan tertentu memenuhi klasifikasi untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi atau memasuki pendidikan spesialisasi atau untuk dapat menjalankan praktek profesinya.
  3. Akreditasi dilakukan terhadap program studi pada perguruan tinggi untuk program Sarjana berdasarkan data dan informasi yang diberikan oleh perguruan tinggi.
  4. Akreditasi ditentukan berdasarkan hasil penilaian data dan atau informasi mengenai :

4.1.kurikulum (kesesuaiannya dengan Kurnas)

4.2.mutu dan jumlah tenaga kependidikan (Dosen, Tenaga administrasi, dan lain-lain tenaga penunjang pendidikan)

4.3.mahasiswa (perkembangan jumlah, minat masuk dan yang diterima)

4.4.sarana dan prasarana

4.5.tata laksana administrasi akademik

4.6.kepegawaian

4.7.keuangan dan kerumahtanggaan

  1. Tujuan : mengawasi mutu dan efisiensi program studi

  2. Akreditasi merupakan proses berkelanjutan yang mencakup tiga tahap kegiatan:

    1. penilaian atau evaluasi diri yang berkelanjutan

    2. penetapan tingkat akreditasi

    3. pembinaan program studi berdasarkan hasil akreditasi

7. Data dan informasi tersebut dihimpun dalam borang akreditasi

  1. Dirjen DIKTI melakukan penelitian yang untuk pertama kali diakreditasi oleh BAN-PT. BAN-PT berperan sebagai pihak yang memberi rekomendasi pada tahap evaluasi diri dan penetapan tingkat akreditasi

  2. Hasil akreditasi dan konsekuensi :

    1. Program Studi yang mendapat akreditasi (accredited) memperoleh nilai 400 ke atas, ada tiga peringkat :

C (cukup), nilai keseluruhan 400-500, perlu mendapat pembinaan

B (baik), nilai keseluruhan 501-600, perlu mendapat pembinaan

A (baik sekali), nilai keseluruhan 601-700, dapat menyelenggarakan PBM secara mandiri.

    1. Program studi yang tidak mendapat akreditasi atau unaccredited, memperoleh nilai kurang dari 400 :

  • tidak dibenarkan menjalankan PBM secara mandiri.
  • PBM dilakukan di bawah pengawasan dan pembinaan perguruan tinggi lain yang mempunyai program studi sama berperingkat A.
  • dapat diusulkan untuk dinilai ulang oleh perguruan tinggi yang bersangkutan paling lama 5 tahun sejak penetapannya.
  • tetapi apabila tetap tidak mendapat akreditasi atau unaccredited dilakukan pembinaan khusus selama tiga tahun dan selama-lamanya 5 tahun.
  • apabila penilaian yang ketiga tetap unaccredited, Dirjen DIKTI dapat menutup perguruan tinggi tersebut.
  1. Borang Akreditasi sebagai instrumen

Mengingat Borang Akreditasi digunakan untuk mengungkap fakta, informasi dan data yang mencakup mutu, relevansi dan efisiensi guna mengevaluasi dan membina kinerja program studi, maka perlu kecermatan, ketelitian dan kerapian dalam pengisiannya. Dari Borang ini akan didapat profil kinerja program studi accredited dengan peringkat A, B, C atau unaccredited. Oleh karena itu isian Borang seyogyanya selalu digunakan oleh Pimpinan dan pelaksana PBM (Dosen dan tenaga kependidikan) sebagai pedoman evaluasi diri. Adapun komponen yang diakreditasi :

  1. Masukan dengan indikator :
  1. mahasiswa
  2. tenaga
  3. sarana / prasarana
  4. kurikulum
  1. Proses dengan indikator :
  1. pengelolaan lembaga
  2. pengelolaan program
  3. pengelolaan pembelajaran
  4. evaluasi
  1. Keluaran dengan indikator :

hasil kinerja

Sebagaimana diketahui bahwa hasil kinerja BAN-PT dalam rangka melakukan akreditasi pada tahap pertama, khususnya dari PTS yang program studi berstatus Disamakan dan Diakui dan program studi dari PTN untuk jenjang S-1, telah ditetapkan hasil dan peringkat Akreditasi Program Studi Program Sarjana (S-1) sesuai Keputusan BAN-PT Nomor : 001/BAN-PT/Ak-II/XII/1998 tanggal 11 Agustus 1998. Kemudian disusul penetapan tahap kedua sesuai Keputusan BAN-PT Nomor : 002/BAN-PT/Ak-II/XII/1998 tanggal 22 Desember 1998.

Bagi program studi yang memiliki peringkat akreditasi A, B, C berhak melaksanakan proses belajar mengajar secara mandiri yang meliputi penerimaan mahasiswa, kegiatan kuliah, evaluasi belajar (ujian) dan menerbitkan ijazah.

Dengan adanya akreditasi BAN-PT maka mekanisme birokrasi yang selama ini melibatkan Kopertis sudah mulai berkembang, misalnya pemberian NIRM, Ujian Negara, NIRL Ijazah, Status Akreditasi Kopertis (Disamakan, Diakui, Terdaftar) tidak diperlukan lagi. Dengan demikian program studi yang telah mendapat akreditasi oleh BAN-PT berarti telah diberi kepercayaan secara penuh oleh Pemerintah untuk melakukan proses pembelajaran secara mandiri mulai menentukan proses input sampai pada kualitas lulusan yang dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 304/DIKTI/Kep/1998 tentang Tindak Lanjut Keputusan Mendikbud Nomor 188/U/1998 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan tinggi untuk Program Sarjana.

Kemandirian yang diberikan antara lain :

  1. Penerimaan mahasiswa dan penetapan nomor pokok mahasiswa (NPM) dan tidak memerlukan NIRM dari Kopertis.
  2. Mengevaluasi kemajuan belajar mahasiswa (ujian) sendiri oleh dan di perguruan tinggi masing-masing, sehingga meniadakan kewajiban untuk menempuh ujian negara yang dikoordinasikan oleh Kopertis.
  3. Penerbitan ijazah bagi lulusan program studi perguruan tinggi, tanpa penanda-sahkan Kopertis.

Meski dengan kewenangan yang dimiliki tersebut, tetapi perguruan tinggi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi antara lain :

  1. NPM dari nama mahasiswa baru tahun pertama kali diterima dan program studi yang diikuti, pada setiap pertengahan semester pertama tahun akademik.
  2. NPM dari nama mahasiswa pindahan program studi yang diikuti pada setiap pertengahan semester tahun akademik.
  3. Nama para lulusan disertai NPM, nama program studi serta nomor kode ijazah, untuk tiap angkatan dan pada tiap tahun.

Selanjutnya untuk pembinaan bagi program studi yang tidak terakreditasi oleh program studi yang peringkat A. Pembina dilakukan dalam upaya meningkatkan kinerja akademik dan administrasi program studi agar dalam waktu selambat-lambatnya lima tahun dapat meningkatkan peringkat menjadi akreditasi. Bentuk pembinaan yang dilakukan dapat berupa :

  • Bantuan penggunaan dosen beserta sumber daya lain
  • Bantuan pelaksanaan dan pengawasan pendidikan
  • Bantuan pelaksanaan dan pengawasan ujian
  • Penataan/pelatihan serta pendidikan lanjut bagi staf pengajar
  • Bantuan pengelolaan dan pengembangan program studi.

Kemudian Keputusan Direktur Jendral Perguruan tinggi Nomor 304/DIKTI/Kep./1998 tersebut ditindaklanjuti dengan surat Direktur Perguruan Tinggi Swasta tanggal 5 Maret 1999 Nomor 224/D4.IV/T/03/1999 tentang Pengawasan Program Studi Program Sarjana PTS yang terakreditasi.

Dari Surat Dirgutiswa ini ternyata mengembalikan posisi dan peranan Kopertis, atas nama Ditjen DIKTI untuk melakukan pemeriksaan terhadap penerimaan mahasiswa baru/pindahan, pelaksanaan ujian/evaluasi belajar mahasiswa termasuk kepangkatan/jabatan fungsional akademik dosen dan lain-lain dengan jalan PTS mengisi formulir-formulir yang telah disediakan, setelah diisi dikirimkan ke Dirjen DIKTI u.p. Kopertis. Kopertis kemudian melaporkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tidak dinyatakan secara eksplisit, sehingga ada kesan peranan Kopertis berkurang.

Sedangkan untuk pembinaan program studi yang tidak terakreditasi sesuai surat Dirgutiswa tanggal 9 Maret 1999 Nomor 237/D4.IV/T/03/99 disebutkan bahwa apabila program studi tersebut tidak dapat dilakukan pembinaan sesuai Keputusan Dirjen Nomor 314/DIKTI/Kep/1998 maka dapat dilakukan dengan cara lain. Atas usul PTS yang bersangkutan, Kordinator Kopertis dapat melakukan pembinaan dengan membentuk Tim Pakar sesuai bidang ilmu yang diambilkan dari program studi yang berperingkat A atau B dan dosen program studi PTS tersebut (minimal dengan jabatan Lektor).

Suatu program studi yang sudah "Disamakan" kemudian setelah Diakreditasi oleh BAN-PT ternyata Tidak Terakreditasi maka dalam rangka pembinaan tersebut diperlakukan sama seperti status Terdaftar, dalam arti diperlukan NIRM dari Kopertis, Ujian Pengawasan Mutu dan Ijazah harus ditandasahkan Koordinator Kopertis.

Oleh karena itu bagi perguruan tinggi swasta yang program studinya telah memperoleh akreditasi harus dapat mempertahankan prestasinya dan baik, bahkan harus diupayakan untuk dapat meningkat sampai puncak prestasi yaitu peringkat A dan dapat bertindak sebagai pembina. Ini harus menjadi "Ultimate goal" dari tiap program studi. Perguruan tinggi swasta harus mampu menunjukkan keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif karena perjalanan perguruan tinggi di masa yang akan datang akan bersaing pada era kualitas.

Jangan sampai terjadi, karena sudah diberi kepercayaan untuk mandiri, melakukan kelonggaran-kelonggaran seperti menerima mahasiswa tanpa seleksi, kemudahan untuk lulus bagi mahasiswa, proses pembelajaran yang tidak mempertimbangkan ratio dosen - mahasiswa dan lain-lain.

Apabila hal ini dilakukan, maka pencapaian kualitas sangat sulit diharapkan. Justru hal inilah yang harus dihindari dan tidak boleh dilakukan meski menimbulkan godaan karena mahasiswa baru yang diterima dalam jumlah besar berarti akan memberikan kontribusi pada sumbangan dana yang besar pula.

Dengan peringkat akreditasi yang diperoleh program studi harus berkonsentrasi bagaimana membangun keunggulannya sebagai "core business" yang didukung oleh sumber daya manusia yang kuat, baik sumber daya akademik maupun sumber daya administratif.

Mengingat mekanisme akreditasi BAN-PT tersebut akan lebih dituntut pada tersedianya bukti fisik dari masing-masing komponen yang dinilai berdasarkan data yang akurat, maka pengelolaannya harus didukung oleh sistem administrasi PTS yang kuat, dengan sumber daya manusia yang betul-betul menguasai manajemen akreditasi.

Kinerja sumber daya manusia yang kuat akan mampu menopang tingkat akreditasi yang dimiliki, karena output dari sumber daya manusia tersebut akan melahirkan sistem operasi secara keseluruhan dengan baik pula.

Apabila kinerja sudah terbangun dan menjadi suatu sistem yang dipedomani oleh perguruan tinggi yang bersangkutan maka akuntabilitasnya yaitu derajat pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi perguruan tinggi sudah dapat dilakukan. Tinggal masyarakat yang akan memberikan penilaian secara obyektif. Ini juga harus disiapkan oleh perguruan tinggi karena pendidikan tinggi dimana saja makin lama makin dituntut untuk memberi pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan misi dan fungsinya.

Pertanggungjawaban ini sebagai hal yang wajar, karena pendidikan tinggi selalu berhadapan dengan sejumlah pihak yang berkepentingan yang memiliki pengaruh terhadap sumber daya manusia yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi. Dengan berani menunjukkan akuntabilitas kepada masyarakat dan berani menunjukkan keunggulan kualitas yang dibangun, maka aktualisasi diri juga sudah ditunjukkan pula. Proses yang dibangun dari sistem akreditasi ini adalah bagaimana menampilkan keberanian untuk mengukur kekuatan diri sendiri. Apabila semua komponen penilaian akreditasi sudah terpenuhi dan evaluasi diri dilakukan berarti telah menunjukkan jati diri dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Kedua, setiap lembaga pendidikan tinggi harus rajin untuk menyesuaikan strateginya dengan kebutuhan dan tuntutan baru yang terus berkembang. Dalam hal ini, analisa SWOT (strenghts, weakness, opportunities and threats) harus dilakukan secara terus menerus. Analisa SWOT membuat pengelola lembaga pendidikan waspada terhadap kecenderungan-kecenderungan eksternal yang terjadi, sekaligus peka terhadap perubahan-perubahan internal di dalam organisasi yang mereka kelola.

Kondisi Eksternal

Ancaman

Peluang

1. Persaingan

2. Taraf hidup

1. Tuntutan masyarakat

2. Perkembangan teknologi

3. Tuntutan masyarakat

3. Jumlah Penduduk

4. Tuntutan dunia industri

5. Tuntutan standardisasi internasional

4. Permintaan dunia industri akan jasa perguruan tinggi

Kondisi Internal

Modal Kecil

Belum tersedia dengan baik atau kurang lengkap

Persyaratan tenaga penga-jar untuk PBM belum terpenuhi

Kinerja belum

optimal

Belum terakreditas

(S-1)

Diakui, Terdaftar (D3)

Modal Besar

Tersedia lengkap dan memadai

Persyaratan tenaga pengajar untuk PBM telah dipenuhi

Kinerja Baik

Terakreditasi (S-1)

Disamakan (D 3)

Kekuatan

Kelemahan

Finansial

  • Fasilitas belajar
  • Ruang kuliah
  • Laboratorium penunjang
  • Bahan/peralatan praktikum
  • Sarana/prasarana PBM

  • Tenaga pengajar
  • Kualifikasi dosen (S3, S2, S1)
  • Jabatan fungional
  • Rasio tenaga dan pengajar dengan mahasiswa

  • Administrasi akademik
  • pengelolaan administrasi
  • jumlah tenaga administrasi

Status Perguruan Tinggi

Ketiga, mengingat pasar jasa pendidikan merupakan pasar yang tidak homogen (dalam bahasa teknis-ekonomis disebut sebagai "fragmented market"), maka prinsip-prinsip untuk menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage principles), harus dikembangkan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah prinsip segmentasi (memilih segmen pengguna jasa yang akan dilayani), prinsip positioning (memposisikan jasa layanan yang diberikan dalam perbandingan dengan apa yang ditawarkan oleh pesaing) dan prinsip konfigurasi aktivitas (aktivitas apa yang akan ditangani dan bagaimana menanganinya). Prinsip segmentasi akan melatih pengelola lembaga pendidikan untuk tidak terjebak melayani pasar yang "itu-itu saja", atau pasar yang sudah jenuh, atau pasar yang membuat mereka berhadap-hadapan dengan lembaga pendidikan lain yang lebih besar dan unggul. Prinsip positioning membuat pengelola lembaga pendidikan tinggi untuk menonjolkan keunikan-keunikan yang dinilai penting oleh pengguna jasa. Sedangkan prinsip konfigurasi aktivitas mendorong pengelola lembaga pendidikan untuk tidak tergoda melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan dengan baik, maka perguruan tinggi akan mampu melihat segmen pasar, pesaing riil, peluang market share serta merumuskan kebijakan-kebijakan strategis untuk menciptakan keunggulan bersaing, penetrasi pasar dan akhirnya menjadi pemimpin pasar (leader market).

Keempat, jati diri lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga akademik, tetaplah harus dipertahankan. Gagasan "research base hogher education" (lembaga pendidikan tinggi berdasar atas penelitian) mungkin masih jauh dalam ukuran kapabilitas institusional rata-rata lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, hendaknya upaya untuk menciptakan budaya akademik tetap harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Budaya akademik yang tinggi tercermin antar lain dalam hubungan antar warga yang terbuka dan partisipatif, transaksi intelektual yang demokratis, budaya menulis dan publikasi yang hidup dan yang sejenisnya.

Pengabdian Kepada Masyarakat sebagai bagian integral dan Tri Dharma Perguruan tinggi semakin dituntut perannya agar supaya perguruan tinggi tidak dituding sebagai "menara gading".

Hakekat dari Pengabdian Masyarakat adalah pengamalan ilmu dan teknologi kepada masyarakat, sehingga pelaksanaannya seharusnya melalui pendekatan ilmiah yaitu pendekatan analisis terhadap masalah masyarakat, situasi dan kondisinya sehingga dapat mengetahui potensi dan kelemahannya secara obyektif.

Metode ilmiah juga berarti melibatkan kegiatan penelitian sekaligus penerapan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh PTS. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama dan keterpaduan antara kegiatan penelitian dengan pengabdian. Langkah-langkah yang memerlukan penelitian dapat dirancang sebelumnya dengan melibatkan unsur lembaga atau pusat penelitian di suatu PTS maupun dari luar PTS.

Di samping itu hasil-hasil penelitian yang bersifat terapan, misalnya bidang teknologi tepat guna dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat melalui kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat. Pemantauan dan penelusuran kemajuan yang dicapai oleh masyarakat dengan menjadikan lokasi sasaran ini menjadi laboratorium lapangan kegiatan Pendidikan Pengajaran yang selanjutnya dapat ditindak lanjuti pada kegiatan penelitian.

Dengan demikian Pengabdian Kepada Masyarakat merupakan upaya pengembangan ilmu dan sikap ilmiah bagi dosen dan mahasiswa yang terlibat di samping secara lebih tepat dan efektif dapat memecahkan masalah masyarakat. Akhirnya suasana dan nuansa ilmiah tersebut dapat memberikan bias ilmiah kepada masyarakat dan bentuk "olah otak" bukan "olah otot" dan hal itu sesuai dengan misi Perguruan tinggi untuk mencerdaskan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

KESIMPULAN

Persaingan bisnis jasa pendidikantinggi yang makin ketat dan di era yang akan datang makin mengglobal menuntut pengelola PTS untuk makin profesional dalam menangani bisnis ini. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar supaya PTS mampu membangun keunggulan bersaingnya.

Pertama, perguruan tinggi swasta harus mampu mengembangkan paradigma baru

Kedua, perguruan tinggi swasta harus mampu mengatasi tantangan manajemen yang meliputi tuntutan peningkatan mutu secara berkesinambungan, penyesuaian strateginya dengan kebutuhan dan tuntuntan baru yang terus berkembang, mengembangkan prinsip-prinsip untuk menciptakan keunggulan bersaing dan mempertahankan jatidiri lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga akademik.

REFERENSI

Ihalauw, J. 1998. Total Quality Management Pada Perguruan tinggi di Indonesia. UPKM-UKSW.

Kaplan, R. dan D. Norton. 1992. "Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System", Harvard Business Review, Jan-Feb.

Peraturan Pemerintah Nomor 90 tahun 1999.

Surat Keputusan BAN-PT Nomor 001/BAN-PT/Ak-II/XII/1998 tanggal 11 Agustus 1998.

Surat Keputusan BAN-PT Nomor 002/BAN-PT/Ak-II/XII/1998 tanggal 22 Desember 1998.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 304/DIKTI/Kep/1998.

Surat Dirgutiswa tanggal 9 Maret 1999 Nomor 237/D4.IV/T/03/1999.

Thahir, Adi R. 1999, Perencanaan Program PKM Universitas Trisakti, Makalah Penataran Metodologi PKM, Universitas Trisakti.

Wilardjo, L. 1998. "Budaya Akademik", Majalah Bina Darma, Maret-Juni.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi