JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999

REFORMASI MENUJU "SISTEM EKONOMI KERAKYATAN"

Oleh : Mubyarto

Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta

PENDAHULUAN

Masalah jangka pendek yang kita hadapi dewasa ini adalah bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang menyesakkan ini.

Sebagai umat beragama yang percaya pada aneka peringatan, ujian, cobaan dan hukuman Tuhan, maka yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengakui keteledoran, kealpaan, dan kesalahan yang selama ini telah kita perbuat. Hanya dengan cara menyadari hal-hal ini kita dapat menemukan secara tepat berbagai akar masalahnya, dan kemudian memperbaikannya. Salah satu kesalahan adalah kegemaran kita disanjung, dan jika kita terlalu disanjung dan dimanja dengan segala kenikmatan duniawi, maka itulah awal dari kealpaan dan ketelanjuran.

Pada tahun 1993, pada saat bangsa Indonesia bersiap-siap memasuki PJP II dan Repelita VI, terbit satu buku "laporan penelitian" Bank Dunia, yang bagi mereka yang waspada merupakan "perangkap" berbagai ketelanjuran yang kemudian kita perbuat. Pada tahun itu juga rakyat Indonesia diperingatkan agar berhati-hati.

Pembangunan telah berhasil meningkatkan pendapatan nasional dan kesejahteraan rakyat pada umumnya walaupun masih ada ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya, agar tidak berkelanjutan dan berkembang kearah keangkuhan dan kecemburuan sosial .(GBHN 1993)

Pernyataan keras ini rupanya tidak kita perhatikan, karena Bank Dunia menganggap perekonomian Indonesia meerupakan salah satu dari "East Asian Miracle" yang diartikan sebagai "rapid, sustainable growth with highly equal income distribution". Pada saat buku Bank Dunia ini mulai menyebar, sudah diingatkan bahwa Indonesia tidak seharusnya dimasukkan dalam "perangkap keajaiban" ini. Dari bacaan kita secara kritis sungguh amat sulit menemukan alasan "keajaiban" Indonesia, kecuali dalam keberhasilan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan keberhasilan mencapai swasembada beras pada tahun 1984, dan "konsistensi" Indonesia dalam mempertahankan APBN yang selalu "berimbang". Indonesia dipuji sebagai "pintar " memanfaatkan bonansa minyak , dan dalam "menyesuaikan kebijakan" ekonomi makro pada saat harga ekspor minyak anjlok pada tahun 1982-1986. Untuk selebihnya ukuran "keajaiban" banyak didasarkan pada ukuran konvensional pertumbuhan ekonomi (GDP dan GNP) yang dianggap "berkelanjutan", meskipun jelas ada perode-periode pertumbuhan ekonomi amat rendah (1982=2,2%) atau inflasi amat tinggi (1972,1974), yang rupanya demi perhitungan angka rata-rata diputuskan untuk tidak ditonjolkkan dalam laporan penelitian tersebut.

Tentang kesenjangan dan ketidakadilan yang berkaitan dengan pertumbuhan perusahaan-perusahaan konglomerat, laporan khusus Bank Dunia tentang Indonesia cukup tajam. Namun rupanya pujian, sekali lagi, lebih kita perhatikan ketimbang kritik.

A source of increasing concern in recent years has been the relatively high concentration of ownership and market power in the modern business sector in the hand of large business groups or conglomerates. The dominnace of conglomerates raises issue of both equity (equal accsess to market opportunities) and efficiency (removal of business to competition). Effectively and efficiency dealing with this issue will be an important test of policies to foster broad participation in private sector development

Adalah menarik bahwa berbagai kekeliuran telah terjadi karena kita telah terlena oleh berbagai pujian dari luar yang didasarkan atas data yang kurang lengkap dan kurang akurat. Memasukkan Indonesia sebagai 1 dari 8 negara yang mengalami "Keajaiban Asia Timur", jelas merupakan salah satu sumber utama dari berbagai keterlanjutan tersebut

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN

Sistem ekonomi kerakyatan (SEK) yang merupakan aturan main baru perekonomian Indonesia berbeda dengan aturan main lama, yaitu sistem ekonomi kapitalisme. Produksi harus dikerjakan oleh semua warga masyarakat dan hasilnya harus dibagi/didistribusikan secara merata kepada semua secara adil. Inilah demokrasi ekonomi. Ini berarti usaha-usaha kecil, menengah maupun besar, semuanya harus berpartisipasi dan bekerjasama secara kooperatif. Persaingan tidak ditabukan, tetapi tidak boleh saling "mematikan" (free fight liberalism). Negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tetapi harus untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya negara menjamin tercapainya kemakmuran masyarakat secara keseluruhan, bukan kemakmuran orang seorang. Setiap orang harus dapat bekerja (tidak boleh menganggur) sehingga dapat hidup secara layak sesuai harkat kemanusiaan.

Reformasi manuju ekonomi kerakyatan terbagi dalam reformasi kebijakan jangka pendek berupa upaya-upaya mengatasi dampak sosial krisis ekonomi dan keuangan, dan penyusunan strategi pembangunan jangka panjang. Dalam jangka pendek berbagi program Jaring Pengaman Sosial (JPS) harus dilaksanakan berdasar asas kerakyatan yaitu tidak boleh membiarkan pelaksanaan produksi dan distribusi oleh kelompok-kelompok tertentu saja lebih-lebih dalam bentuk monopoli / monopsoni / oligopoli/oligopsoni, sedangkan sebagian besar penduduk yang lain dibiarkan menjadi "penonton". Program –program pembangunan yang lebih mempercayai rakyat sendiri sebagaimana sudah dirintis melalui program IDT sejak 1994 harus dilanjutkan, termasuk diantara melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) didaerah-daerah. Lembaga-lembaga agama dan adat yang secara efektif dimanfaatkan didaerah-daerah seperti di Bali (awig-awig) dan Yogyakarta (sambatan), bisa ditiru didaerah-daerah lain. Program pemberdayaan daerah dan masyarakat didaerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi yang sudah berjalan perlu "belajar" dari pengalaman pelaksanaan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat yang sudah berhasil dan tidak mengulangi kekeliuran-kekeliuran yang terjadi. Prinsip dasar dari program-program pemberdayaan ekonomi rakyat adalah mengurangi "intervensi" pemerintah dan aparat pemerintah, dan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat sejak dari perencanaan program sampai pelaksanaan dan pemanfaatnya. Ini berarti program-program pemberdayaan ekonomi rakyat dihilangkan sifatnya sebagai "proyek" pemerintah (tanpa "pinpro"), dan diubah menjadi "program" masyarakat sendiri. Sebagai contoh, melalui pendampingan "mandiri" yang sangat intensif selama 2 tahun, program IDT di 7 dari 14 desa di Kecamatan Bungku Selatan, propinsi Sulawesi Tengah, telah berubah dari "program pemerintah" menjadi "gerakan masyarakat". Pokmas-pokmas IDT dibanyak daerah serta berbagai kelompok penduduk miskin seperti kelompok Takesra/Kukesra, KUBE, P4K dan PHBK, yang diseluruh Indonesia sudah mencapai jumlah 1 Juta kelompok, harus dimanfaatkan sebagai "titik masuk" program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS) disemua desa/kelurhan.

Strategi pembangunan jangka panjang untuk memulihkan perekonomian nasional harus disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian dan penghematan besar-besaran. Strategi merangsang pertumbuhan ekonomi berlebihan yang "serakah" harus disurutkan untuk memberikan tempat pada upaya peningkatan pemerataan. Pemerataan pembangunan yang "gagal" selama pelaksanaan 6 kali Repelita (1969-1997), harus dijadikan prioritas utama dalam bentuk reformasi total berbagai kebijaksanaan pembangunan jangka panjang (25 tahun). Strategi pembangunan yang menomorsatukan pemerataan hanya berjalan dengan merombak total sistem ekonomi dari sistem ekonomi "kapitalistik" (perkoncoan) menjadi sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi), dan yang lebih utama lagi sistem ekonomi Pancasila yang moralistik, nasionalistik, dan berkeadilan. Sistem ekonomi kerakyatan yang berasas kekeluargaan mementingkan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bersama bukan kemakmuran dan kesejahteraan orang-seorang.

Sebagaimana ditegaskan dalam TAP XVI/1998 tentang "Politik Ekonomi Baru" (ekonomi rakyat), pemerintah dan aparat tidak perlu ragu-ragu lagi untuk menunjukkan sikap "keberpihakan" pada ekonomi rakyat. Sikap keberpihakan pada (sektor) ekonomi rakyat yang tertinggal dalam pembangunan ekonomi selama 32 tahun, harus diwujudkan dalam berbagai kebijaksanaan dan program yang lebih menguntungkan rakyat. Pemerintah dan aparat pemerintah harus "menjunjung tinggi amanat penderitaan rakyat". Keberpihakan pada ekonomi rakyat tidak boleh diartikan sebagai "intervensi" terhadap bekerjanya mekanisme pasar, seperti halnya "ketidakberpihakan" pemerintah selama periode ekonomi konglomerasi. "Ketidakberpihakan pemerintah selama Orde Baru yang diwujudkan melalui berbagai kebijaksanaan "deregulasi"adalah "ketidakberpihakan semu" karena dalam kenyataan melalui "kolusi" pemerintah dan banyak aparat penentukebijaksanaan justru secara efektif memihak kepada pengusaha-pengusaha konglomerat yang sudah kuat sehingga perusahaan-perusahaan besar ini mendominasi perekonomian nasional.

Bagi rekan-rekan ekonom "arus utama" yang sulit menghilangkan rasa curiga pada kemungkinan "intervensi pemerintah" dalam sistem ekonomi kerakyatan, kami anjurkan untuk secara jujur mulai menaruh curiga pada sistem ekonomi kapitalis (perkoncoan maupun murni) yang dalam semangat globalisasi semakin "menjarah" perekonomian Nasional Indonesia. Kita perlu waspada bahwa globalisasi "dirancang" oleh negara-negara kapitalis yang sudah maju, yang demi ambisi ekspansif perusahaan-perusahaan mereka tanpa batas, menginginkan Liberalisasi penuh dalam perdagangan dan investasi antar negara.

In the South, the East and the North, a privileged social minority has accumulated vast amounts of wealth at the ekspense of the large majorityof the population. This new International financial order feeds on human poverty and the destruction of the natural environment.

……these reforms – when applied simultaneously in more than 100 countries-are conducive to a "globalisation of poverty", a proses which undermines human livelihood and destroys civil society in the South, the East and the North.

Dr. Hadi Soesastro yang menulis tentang implikasi krisis ekonomi Asia Timur mulai 1997 bagi negara-negara berkembang menyatakan sebagai berikut :

The Asian Crisis, some observers would argue, only confirms that one cannot be sanguine about globalisations. It is inherently dangerous, risky and costly, particularly for developing countries. This asymmentrical impact results from a globalisation process that essentially moves in one direction, from the North to the South.

Globalisasi memang bukan musuh yang harus diperangi. Namun tetap saja kita harus ekstra waspada mengahadapinya, jika kita tidak ingin di "jarah"-nya.

Kaitan globalisasi adalah liberalisme dan deregulasi. Libralisasi sudah merupakan kata kunci bagi pengelompokan-pengelompokan ekonomi seperti AFTA dan APEC, sedangkan deregulasi sudah berkembang di Indonesia laksana "jamu gendong" yang dianggap dapat memecahkan segala masalah inevisiensi atau ekonomi biaya tinggi disemua sektor ekonomi, bidang produksi maupun distribusi. Kebijaksanaan deregulasi dimulai dengan pembebasan suku bunga bank 1 Juni 1983 dan selanjutnya pakto 88 yang memungkinkan menjamurnya bank-bank swasta tanpa pengawasan pemerintah

Jika globalisasi mengandung bahaya bagi negara-negara berkembang, maka liberalisasi dan deregulasi pun jika kurang hati-hati akan merugikan perekonpoian nasional terutama bagi sektor ekonomi rakyat.

There has been a rash of articles, texts, books of reading, books ostensibly advising in policy indicating how all problems can be solved by deregulation and letting the market work.

Krisis ekonomi 1997-99 menjadi sangat parah antara lain karena deregulasi yang berlebihan/kebablasan khususnya yuang menyangkut perbankan. Radius Prawiro yang pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan pun menyatakan "jelas bahwa paket deregulasi 1988 terlalu berlebihan ". Tujuan akhir pembangunan ekonomi Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Rakyat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam serba kekurangan, kebodohan, dan keterbelakangan, harus menjadi acuan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan. Kita harus benar-benar mengoreantasikan segala kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional kitya pada sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Peran BUMN

Cikal bakal BUMN Indonesia adalah perusahaan-perusahaan hasil ambil alih perusahaan-perusahaan asing pada tahun-tahun 1957-58. Landasan hukum utama adalah pasal 33 UUD 1945 yaitu penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Juga bumi dan air dan kekayaan yang terkandung dalamnya dikuasai oleh negara, semuanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jelas dari UUD ini bahwa penguasaan negara adalah tidak untuk tujuan lain kecuali untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Selama zaman penjajahan Belanda, (sektor) ekonomi rakyat memproduksi dan memasarkan barang-barang/komoditi kebutuhan rakyat, meskipun selanjutnya cukup banyak untuk tujuan ekspor. Untuk komoditi-komoditiekspor inilah kemudian berkembang perusahaan-perusahaan perkebunan milik para pemodal asing bangsa Belanda dan Inggris. Saat itulah kemudian timbul persaingan antara kebun-kebun rakyat (karet, kopi, the) dengan perkebunan-perkebunan besar asing. Sesudah ambil alih adalah tidak pada tempatnya lagi terjadi persaingan antara ekonomi rakyat/kebun-kebun rakyat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang sudah menjadi milik negara, yang tentu saja juga milik rakyat. Perkebunan-perkebunan besar dengan modal besar dan teknologi unggul sudah seharusnya "menularkan" keunggulan dan kecanggihannya pada kebun-kebun rakyat, karena negara harus juga secara langsung berusaha meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Inilah yang kemudian "dirancang" dalam sistem PIR (Perusahaan Inti Rakyat) atau PIR-BUN meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan .

Dewasa ini dalam (sistem) ekonomi kerakyatan pemerintah harus berpihak langsung pada ekonomi rakyat, dan BUMN sebagai perusahaan-perusahaan besar milik negara harus selalu mencari cara-cara untuk memajukan ekonomi rakyat dan pasti tidak boleh bersaing yang justru mematikan kegiatan ekonomi rakyat. Karena ekonomi rakyat bisa lebih berkembang dalam bentuk koperasi, maka BUMN harus merangsang terbentuknya koperasi yang mewadahi ekonomi rakyat. Koperasi adalah bangun usaha tetapi yang lebih penting justru merupakan wadah kegiatan ekonomi rakyat atau gerakan ekonomi rakyat.

Dan BUMN berkepentingan melihat kekompakan gerakan ekonomi rakyat sebagai fundamental atau pilar utama perekonomian nasional. Inilah yang ditegaskan dalam TAP MPR No. XVI/1998, BUMN disebutkan sampai 3 kali (dalam3 pasal) dalam TAP yang hanya terdiri atas 15 pasal yaitu pasa 2, sampai 5, dan pasal 6. Pasa 6 dengan tegas menyatakan :

" Usaha Besar dan BUMN mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola sumber daya alam dengan cara yang sehat dan bermitra dengan penguasaha kecil, menengah, dan koperasi ".

PENUTUP

Jika dalam sistem ekonomi kapitalisme pasar dibiarkan beroperasi sangat bebas, dan dalam sistem sosialisme negara memegang komando dalam perekonomian (pasar kurang berperan), maka dalam sistem ekonomi kerakyatan, ekonomi rakyat menjadi penentu utama bekerjanya sistem ekonomi dengan aturan main yang demokratis, yaitu kepentingan ekonomi kelompok lemah tidak diabaikan tetapi bahkan paling diperhatikan agar ada keadilan ekonomi. Pada dasarnya dalam sistem ekonomi yang demokratis, semua kepentingan, dari kelompok manapun tidak ada yang diabaikan. Tujuan akhir sistem ekonomi kerakyatan adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi