JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999

MENCERMATI BISNIS MAKANANNON-TRADISIONAL DI INDONESIA

Oleh : Alimuddin Rizal Rivai

STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK

Memenangkan persaingan bisnis adalah kemampuan untuk mengemas dan memunculkan keunggulan sebagai strategi bersaing secara maksimal dan "menenggelamkan kelemahan" dari pandangan konsumen. Strategi jitu ini telah dikemas banyak industri/waralaba asing (terutama yang bergerak dalam bisnis makanan), yang kian menjamur di seluruh negeri Indonesia. Belajar dari sukses waralaba asing (makanan) tersebut penting bagi industri makanan tradisional Indonesia agar tidak tergilas dalam kancah persaingan global.

Salah satu diantara keunggulan waralaba asing adalah : kemampuan manajemen memformulasikan 5 P’S (Product, Pricing, Promotion, Placement dan People) kedalam strategi bisnis yang disesuaikan dengan kondisi lokal (budaya bangsa setempat). Meskipun kebiasaan makan seseorang (sebuah komunitas) sulit dirubah, realitasnya waralaba makanan asing/non-tardisional di Indonesia mampu meraih pangsa pasar yang fantastis dan profitable.

PENDAHULUAN

Makanan tradisional masih merupakan menu utama yang disajikan dirumah-rumah keluarga. Walaupun sebagian keluarga terkadang menyajikan makanan non-tradisional (asing) kepada anggota keluarganya, namun hal ini dilakukan hanya untuk mencari variasi menu setiap minggu sekali atau beberapa minggu sekali. Untuk sebagian keluarga baik di kota maupun di desa, makanan tradisional atau makanan khas daerah tertentu masih merupakan pilihan utama. Ini disebabkan karena tradisi turun temurun yang kuat dari sejak lahir dilatih untuk mengkonsumsi makanan khas daerah. Kemudahan menyajikan menu karena sudah terlatih dan ketersediaan bahan pangan yang mudah di dapat merupakan faktor lain yang menyebabkan keluarga masih memilih makanan tradisional ketika di rumah.

Ketika keluarga di luar rumah, mereka menghadapi pilihan kondisi yang berbeda. Dunia luar memberikan pilihan makanan yang banyak bagi keluarga. Pilihan tersebut bukan hanya makanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga makanan non-tradisional (asing) dari berbagai belahan dunia. Beberapa pilihan itu adalah makanan Cina, Jepang, Thailand, Italia, Meksiko, dan Amerika.

Makanan asing atau makanan internasional ini disajikan oleh restoran Indonesia (swasta Nasional) dan restoran asing yang membuka cabangnya di berbagai kota di Indonesia serta oleh hotel-hotel berbintang. Makanan non-tradisional (asing) dari suatu negara berkompetisi dengan negara lainnya, juga dengan makanan tradisional Indonesia untuk merebut dan menarik perhatian konsumen Indonesia. Makanan asing siap saji (fast food) yang disajikan oleh restoran fast food terutama yang berasal dari Amerika telah tumbuh dengan pesat di Indonesia. Oleh karena pertumbuhannya yang pesat, restoran fast food telah mejadi pesaing utama bagi restoran Indonesia yang menyajikan makanan tradisional. Restoran fast food ini biasanya di operasikan dalam sistem waralaba (franchise). Perkembangan bisnis waralaba di Indonesia sangat pesat. Tahun 1991 terdapat 27 waralaba, enam diantaranya adalah waralaba asing. Sedangkan pada tahun 1995, jumlah ini menjadi 119 (Sumarwan, 1997). Jumlah tersebut berarti sama dengan munculnya 2 waralaba setiap tahun.

Antara tahun 1991 dan 1995, jumlah waralaba lokal telah menurun dari 27 menjadi 17, sedangkan waralaba asing telah meningkat dari enam menjadi 102 buah. Dari 119 waralaba tersebut, ternyata 75% berasal dari Amerika. Apabila dilihat dari jenis usaha yang dilakukan maka 88% dari waralaba tersebut bergerak di bidang jasa makanan yaitu restoran, cafe dan fast food. Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa restoran asing terutama yang berasal dari Amerika merupakan pesaing utama restoran makanan tradisional Indonesia.

Serbuan fast food ala Amerika telah disambut dengan antusias oleh konsumen Indonesia. Selera konsumen telah begitu cepat menyesuaikan dengan selera Amerika. Menu Amerika dan santap gaya Amerika telah menarik perhatian sebagian konsumen Indonesia, bahkan untuk menu ayam goreng telah "dikalangan tertentu" mulai menggeser ayam goreng Mbok Berek dan ayam goreng Suharti (Rizal, 1997). Pertumbuhan yang pesat dari restoran fast food Amerika merupakan salah satu bukti bahwa konsumen Indonesia telah menerima selera dan gaya Amerika.

Keunggulan Produsen Makanan Non-Tradisional (Asing)

Dalam mengembangkan bisnisnya restoran menu non tradisional (menu asing) pada umumnya memiliki kiat bisnis yang lebih terpadu, dengan memahami sungguh-sungguh keunggulan dan kelemahannya dalam upaya memenangkan persaingan. Beberapa kekeuatan/keunggulan mereka adalah:

  1. Sistem waralaba (franchise)

Sistem waralaba sebenarnya merupakan salah satu metode pemasaran, yang bertujuan untuk memeperluas pasar domestik maupun pasar internasional. Pada intinnya, pemilik waralaba (Franchisor) memberikan lisensi kepada penyewa waralaba atau pewaralaba (Franchisee), untuk meng-gunakan merek dagang, produk atau cara dan metoda tertentu dalam proses produksi.

Ada tiga bentuk waralaba yang telah berkembang :

a. Produk Waralaba

Franchisor menghasilkan produk (barang dan jasa) dan pewaralaba memasarkan barang dan jasa tersebut. Pewaralab berkewajiban menyediakan outlet dan mengembangkan sistem pemasarannya sendiri yang dianggap lebih baik bagi kepentingannya. Misal keagenan sepatu dan pompa bensin.

b, Peluang bisnis ventura

Sering juga disebut sebagai waralaba distribusi produk. Bentuk ini hampir sama dengan yang pertama, yaitu pewaralaba memasarkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik waralaba. Namun, pewaralaba harus mengikuti dan menerapkan sistem pemasaran yang telah ditetapkan pemilik waralaba tetapi tidak menggunakan merek dagangnya. Misalnya dealership kendaraan bermotor.

c. Format bisnis waralaba

Pewaralaba memperoleh hak atau lisensi untuk memasarkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik waralaba. Pewaralaba produksi atau pemasaran yang ditetapkan oleh pemilik waralaba dan menggunakan merek dagang yang ditetapkan pemilik waralaba misalnya hotel, real estate dan fast food. Jaringan waralaba format bisnis yang paling berkembang pesat di Indonesia adalah restoran fast food terutama jaringan restoran McDonald’s (MD) dan Kentucky Fried Chicken (KFC).

Tabel 1. menunjukkan sebagian (23 buah) nama waralaba asing yang ada di Indonesia serta daftar menu utama yang disajikan oleh masing-masing merek waralaba tersebut. Menu yang populer adalah ayam goreng, burger, pizza, steak, donat, dan masakan Jepang.

Tabel 1.

Berbagai Nama Restoran Fast food (Sumarwan, 1997)

Asa Pemilik/Produsen

Nama Fast food

Menu Utama

Asing

McDonald’s

Texas Fried Chicken

Kentucky Fried Chicken

Chester Fried

Newyork F.C

Taco Bell

Wendy’s

Dairy Queen

A&W Family Rest

American Humburger

Burger King

Am Pm

Jack In The Box

Dunkin’Donnuts

Pizza Hut

Round Table Pizza

Domino’s Pizza

Little Caesar Pizza

Hoka Hoka Bento

Nadaman

Happy Day

Sizzler

Yoshinoya

Burger & ayam goreng

Ayam Goreng

Ayam Goreng

Ayam Goreng

Ayam Goreng

Ayam Goreng & burger

Burger

Burger

Burger

Burger

Burger

Burger

Burger

Donat & Burger

Pizza

Pizza

Pizza

Pizza

Masakan Jepang

Masakan Jepang

Steak

Steak

Steak

Mc. Donald’s saat ini mempunyai 39 outlet dan merencanakan untuk membuka 19 outlet lagi yang terbesar di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Malang, Cirebon, dan Denpasar (Selera, 22 (3), Maret 1996). Mc Donald’s saat ini memiliki 18.000 outlet di 83 negara dan bisa dianggap sebagai jaringan waralaba paling besar di dunia. Outlet McDonald’s di Indonesia direncanakan mencapai jumlah 105 sampai akhir 1998. Saat ini McDonald’s dan Kentucky Fried Chicken serta waralaba asing lainnya merupakan jaringan waralaba yang sangat kuat dan memiliki merek dagang yang terkenal. Kondisi ini saja sudah menjadi faktor kekuatan yang dapat menyaingi restoran-restoran Indonesia.

Dengan sistem waralaba ini, pewaralaba memiliki beberapa keuntungan. Pertama, pewaralaba menjual merek yang sudah terkenal sehingga konsumen tidak ragu lagi untuk membeli. Apabila menggunakan merek sendiri yang baru maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi populer dan diterima konsumen. Kedua, pewaralaba tidak perlu menguras tenaga untuk melakukan penelitian pengembangan dan promosi, karena kegiatan ini sudah dilakukan oleh pemilik waralaba. Ketiga, barang dan jasa sudah terjamin karena pemilik waralaba sudah menetapkan standar kualitasnya. Keempat, pemilik waralaba memberikan pelatihan dan bantuan teknis yang berkesinambungan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja usaha francisee. Pelatihan pegawai adalah bagian penting dari program pemilik waralaba maupun pewaralaba untuk tetap mempertahankan keunggul-an dan memenangkan persaingan. Kelima, pemilik waralaba juga memiliki pengalaman yang kaya untuk memasuki pasar internasional. Pengalaman ini memberikan kemudahan bagi mereka untuk membuka outletnya di berbagai belahan dunia dengan budaya dan pasar yang berbeda.

2. Sistem Pemasaran Yang Tangguh

Restoran fast food yang ada di Indonesia umumnya dioperasikan dengan sistem waralaba. Semua kegiatan pemasaran yang dilakukan setiap outlet akan mengikuti sistem yang dilakukan oleh induknya atau pemilik waralaba, yang merupakan suatu sistem pemasaran yang cukup tangguh dan teruji serta cakupannya yang bersifat nasional dan global. Mereka umumnya memanfaatkan media elektronik sangat intensif untuk memperkenalkan produknya dan menarik perhatian dan membujuk konsumen. Seorang pengamat fast food bahkan berkomentar bawa iklan fast food begitu pandai menyajikan teknik visualisasi yang persuasif dan sugestik. Hamburger, misalnya, ditampilkan bukan sekadar makanan untuk sarapan pagi, tetapi sebagai simbol modernisasi. Iklan tersebut seharusnya menampilkan informasi mengenai jenis bahan pangan, komposisi zat gizi dan efek samping dari fast food tersebut. Yang ditampilkan malah lebih menekankan kepada gaya hidup untuk menaikkan status simbol konsumen.

Iklan fast food menjadi daya tarik anak-anak, ia bukan hanya menawarkan produk tetapi juga menawarkan insentif dan hadiah lainnya bagi konsumen yang membeli produk fast food. Tidak mengherankan jika banyak anak-anak menyukai fast food, karena kalau mereka bersantap disana mereka juga akan mendapat hadiah. Inilah justru yang menjadikan kekhawatiran kita, bahwa anak-anak sebenarnya hanya menyukai mainan atau hadiah dan bukan makanannya. Target pemasaran yang ditujukan kepada anak-anak memang sangat piawai. Dengan promosi seperti ini, yang datang ke fast food bukan saja anak-anak tetapi juga orang tua mereka, karena anak-anak harus ditemani oleh orang tuanya. Jika anak-anak makan maka orang tuapun ikut makan. Ini artinya, walaupun dibidik adalah konsumen anak-anak, namun hasil yang diperoleh semua golongan (segmen). Sehingga konsumen yang datang ke fast food adalah berbagai golongan usia. Inilah kekuatan pemasaran mereka.

Target pasar restoran fast food juga ditujukan kepada remaja. Karena itu tidak mengherankan jika restoran fast food ini sangat populer di kalangan remaja sehingga mereka merupakan pelanggan yang paling sering bersantap direstoran tersebut. Kehadiran mereka sangat menonjol yaitu dengan cara beregerombol menikmarti hidangan fast food dan seringkali mereka berlama-lama nongkrong di restoran tersebut. Sebenarnya mereka hanya ingin bergaya ala Amerika bukan lagi sekedar menyantap makanan. Ada semacam ke-banggaan bagi para remaja yang sering bersantap ditempat ini, yaitu menjadi bagian dari masyarakat modern Amerika. Bagi semua orang, siapa yang tidak kenal dengan Amerika, negara adikuasa, tempat para bintang dilahirkan, lambang kemakmuran dan kecanggihan teknologi. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa remaja begitu cepat mengubah seleranya walaupun sebenarnya perut mereka belum bisa menerima. Prestise, kebanggan dan simbol status sosial yang dicari oleh mereka (Rizal.A, 1997).

Remaja dan anak-anak adalah konsumen masa depan, jika sejak dini mereka sudah terbiasa menyantap makanan asing dengan bahan pangan yang berasal dari asing pula, kebiasaan ini akan terbentuk hingga dewasa. Akibatnya, tidak mustahil kalau mereka ini akan menggemari dan meng-konsumsi makanan asing ketika mereka dewasa. Yang lebih parah lagi jika makanan asing ini sudah menjadi budaya baru generasi mendatang dan melupakan makanan tradisional.

Para pengusaha merupakan target pasar ketiga dari restoran fast food. Restoran fast food diposisikan sebagai restoran yang memberikan pelayanan cepat dengan kualitas makanan yang prima. Ia juga berada dilokasi-lokasi strategis pusat pertokoan dan perbelanjaan dimana banyak para pengusaha bekerja. Kondisi ini memenuhi kebutuhan pengusaha yang sangat sibuk namun masih tetap menginginkan menyantap hidangan dengan nyaman (Rizal.A,1997).

3. Pelayanan Prima (Service Exellence)

Pelayanan prima merupakan ciri khas dari hampir setiap fast food. Sesuai dengan namanya "fast food" maka penyajian yang cepat harus menjadi keunggulan utamanya. Pelayanan dan penyajian yang cepat harus menjadi keunggulan utamanya. Pelayanan yang cepat merupakan daya tarik bagi konsumen yang sibuk, yang memiliki mobilitas tinggi serta waktu terbatas untuk berleha-leha di rumah atau di ruang makan, sementara dia harus menjaga stamina tubuhnya agar tetap sehat (Rizal, 1997) .

Selain kecepatan penyajian dan pelayanan, restoran fast food juga memberikan berbagai layanan lainnya. Contohnya pelayanan "Drive Through", layanan ini diberikan kepada konsumen tanpa harus turun dari kendaraan dan bahkan mematikan mesin. Konsumen dapat memperoleh makanan yang diinginkan dalam waktu relatif singkat, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Bentuk layanan ini belum pernah dikenal oleh restoran makanan menu non tradisional di Indonesia.

Kedua, adalah Delivery Service, yaitu pelayanan antar. Dengan pelayanan seperti ini konsumen bisa membeli makanan tanpa harus datang ke outlet fast food. Konsumen cukup menelepon outlet kemudian makanan yang dipesan akan diantar ke tempat konsumen menunggu. Jumlah pesanan dan lokasi tertentu biasanya menjadi prasyarat untuk memperoleh pelayanan seperti ini.

Ketiga, adalah pelayanan yang menggunakan counter atau gerobak dorong. Dengan pelayanan seperti ini, fast food dapat menjangkau konsumen yang berada di tempat-tempat tertentu atau tempat-tempat keramaian yang tidak terdapat restoran fast food di sekitar itu. Biasanya counter atau gerobak tersebut dilengkapi dengan alat pemanas.

4. Lokasi Strategis dan Fasilitas Yang Menarik

Restoran fast food biasanya memiliki outlet di tempat-tempat yang sangat strategis, yaitu pusat keramaian atau pusat kegiatan bisnis. Tempat-tempat rekreasi, mal-mal atau pusat pertokoan, di jalan-jalan strategis merupakan tempat-tempat pilihan outlet fast food. Konsumen yang berada di tempat-tempat tersebut seringkali mendapatkan restoran fast food sebagai salah satu pilihan yang bisa dikunjungi saat harus bersantap.

Selain lokasi yang strategis, daya tarik lainnya dari restoran fast food adalah fasilitas gedung yang menarik. Ruangan biasanya dilengkapi dengan alat pendingin, warna cerah, ketersediaan tempat duduk dengan berbagai bentuk-kapasitas-ukuran (Rizal, 1997).

5. Mutu dan Citarasa Makanan Yang Standar

Keunggulan dari produk makanan fast food adalah tingginya standar mutu yang ditetapkan. Misalnya mutu makanan dilihat dari aspek kebersihan atau hiegienitas benar-benar sangat dijaga, dan mutu ini bisa kita jumpai di semua outlet dengan seragam. Standar mutu ini diterapkan dari mulai pemilihan bahan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan sampai penyajian kepada konsumen. Prosedur keamanan makanan diterapkan dengan ketat sehingga makanan aman dari berbagai kontaminasi bakteri dan kimia yang membahayakan konsumen. Sebagai contoh salad yang disajikan oleh Pizza Hut selalu segar, bersih dan menarik, dan hal seperti itu selalu kita jumpai di outlet Pizza Hut manapun. Untuk menjaga mutu makanan selalu dikemas dengan kemasan yang bersih, menarik, praktis dan terkesan modern.

Kelebihan lainnya adalah citarasa makanan yang standar, dimanapun kita bersantap, apakah di Amerika atau di Indonesia kita akan menjumpai citarasa BigMac atau fish fillet McDonald’s yang sama rasa dan aromanya (Sumarwan & Rizal, 1996). Demikian juga kita akan merasakan crispy chicken atau original yang sama rasanya baik di outlet Semarang maupun Jakarta.

Untuk meningkatkan daya tarik konsumen, beberapa restoran fast food juga menyesuaikan cita rasa makanannya dengan lidah konsumen Indonesia. Misalnya McDonalds menyajikan crispy hot chicken, yaitu ayam goreng rasa pedas. Iklan crispy hot chicken jelas menyatakan makanan tersebut sesuai dengan selera masyarakat Indonesia. Pizza Hut membuat pizza dengan rasa sate, alasannya karena sate merupakan makanan tradisional Indonesia yang sangat populer.

6. Popularitas Negara Asal

Kurang lebih 80 % dari waralaba yang ada di Indonesia berasal dari Amerika Serikat (CIC, 1996). Popularitas Amerika Serikat sebagai sebuah negara makmur dan adidaya yang dikenal di seluruh dunia turut mendorong popularitas dari waralaba tersebut. Popularitas negara asal ini merupakan promosi yang secara tidak langsung turut memasarkan waralaba. Konsumen merasakan kebanggan jika mereka bisa menikmati menu gaya Amerika sebagaimana yang dinikmati oleh orang Amerika. Memiliki perasaan menjadi bagian dari masyarakat Amerika yaitu masyarakat maju dan modern adalah kiat bisnis yang diterapkan oleh waralaba untuk membujuk konsumen Indonesia. Dan menurut Amir Karamoy, seorang konsultan waralaba, di Amerika Serikat, pemerintah mengembangkan sistem waralaba ini untuk menumbuhkembangkan jiwa wirausaha, meningkatkan lapangan kerja, upaya mendorong kemitraan antara pengusaha besar/menengah dengan pengusaha kecil (Swa sigi, 1995). Oleh karenanya tidak mengherankan kalau bisnis waralaba Amerika tidak hanya berkembang di Amerika saja tetapi juga di seluruh dunia. Sejak tahun 1990-an sistem bisnis waralaba Amerika gencar memasuki mancanegara termasuk Indonesia.

Kelemahan Produsen Makanan Non-Tradisional

Pertumbuhan waralaba fast food merupakan indikator bahwa produsen jasa makanan asing (non-tradisional) tersebut telah mampu memanfaatkan keunggulannya untuk menjaring konsumen Indonesia. Sebagai-mana layaknya organisasi apapun, disamping memiliki kekuatan sisi lainnya juga memiliki kelemahan. Persoalannya, ada organisasi yang mampu me-manfaatkan keunggulannya dengan maksimal sehingga menutupi kelemahan-nya, sementara ada yang tidak mampu.

Tilley (1995) dalam E.Gumbira-Sa’id (1996) menyebutkan terdapat enam kelemahan dari produsen makanan asing, yaitu :

(1) fleksibilitas menu kurang

(2) biaya waralaba cukup mahal

(3) kandungan gizi makanan (lemak dan kolesterol tinggi)

(4) harga makanan relatif mahal

(5) ukuran penyajian makanan

(6) rasa dan kesukaan

Biaya waralaba tidaklah murah. Misalnya, McDonalds di Amerika menetapkan fee sekitar 1,4 milyar untuk sebuah pewaralaba dan plus royalty bulanan dari nilai penjualan bulanan. Bambang N>Rachmadi, pewaralaba McDonalld’s di Indonesia menyebutkan bahwa royalti yang dibayarkan sekitar 5-10% dari nilai penjualan, dan wajib membayar initial fee atau waralaba fee sebesar $ 42,500 untuk satu outlet (Sumarwan & Rizal, 1997). Sedangkan untuk pewaralaba jenis lain seperti Adiguna Sutowo pewaralaba Hard Rock Cafe wilayah Indonesia, menjelaskan bahwa pada mulanya dia diminta membeyar waralaba fee sebesar US $1 juta ditambah 30% dari penjualan kotor tiap bulannya, selanjutnya setelah bernegosisasi dia tidak perlu membayar waralaba fee namun hanya membayar fee sebesar 5% per bulan dari nilai total penjualan per bulan.

Kelemahan berikutnya adalah kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi. Di Amerika fast food dianggap sebagai makanan "junk food" makanan "sampah". Fast food dianggap makanan yang kandungan gizinya tak seimbang. Mengutip pernyataan Dr.Erik Millistone (Warta Konsumen, Maret 1995) bahwa di Inggris McDonald’s menggunakan bahan BTM sebagai berikut : "..."

  1. Sunset Yellow (E110) : pewarna sintetis yang bisa menimbulkan reaksi-reaksi alergis dan hiperaktif. Menyebabkan tumor pada hewan percobaan. BTM ini dilarang di Norwegia."
  2. Amaranth (E123) : pewarna sintetis yang bisa memicu asma, eksema, hiperaktif dan mungkin juga kanker. Bisa menimbulkan cacat kelahiran dan keguguran pada hewan percobaan. Dilarang total di AS dan Rusia."
  3. Sodium Nitrate (E250) dan Potassium Nitrate (E252) : pengawet dan bahan penjerat warna (color fixative), yang bisa memicu hiperaktif, dan banyak reaksi negatif lainnya. Berpotensi karsinogenik. Penggunaannya dibatasi dibanyak negara."
  4. BHA (E320) dan BHT (E321) : Anti oxidant sintetis, bisa memicu hiperaktif dan banyak reaksi-rekasi lain. Dicurgai menimbulkan kanker. BHA dilarang di Jepang, tetapi masih diselipkan untuk burger di Inggris. Di As sendiri, McDonald’s tidak menggunakan BHT.
  5. Carrgenan (E407) bahan pengental dan stabilizer yang jika di konsumsi akan membusuk di dalam perut dan menghasilkan toxic. Efeknya kemudian mengakibatkan peradangan kanker."
  6. Monosodium Glutamate (621) : Zat perasa yang bisa memicu reaksi-reaksi negatif tubuh dan merusak susunan kimia otak."
  7. Potassium Bromare (924) : Zat dalam pupuk penyubur gandum. Sejak tahun 1989 di larang di Barat karena sangat karsinogenik.

Namun, karena pebisnis makanan non-taradisional (asing) ini piawai mengemas keunggulannya sehingga konsumen Indonesia tidak pernah sempat atau tidak diberi kesempatan untuk berfikir akan kesehatan jangka panjang, pembentukan kebiasaan makan, dan bahkan dari kaca mata makro ekonomi merupakan pengurasan devisa negara / fod lost industry (Saragih, 1998).

Setidaknya, konsumen Indonesia perlu mencermati dengan serius kelemahan makanan non-tradisional yang membahayakan pemakai/ pemakan makanan ini baik dalam jangka pendek maupun panjang sehingga tidak mudah untuk menggunakan daya belinya. Kalau di Inggris saja bahan-bahan makanan itu dilakukan oleh McDonald’s apalagi di negara ketiga terutama di Indonesia yang kontrol makanan dari pihak pemerintah, lembaga kesehetan/konsumen dan konsumen sendiri sangat longgar.

Penutup

Meski kebiasaan makan sulit dirubah, namun bukan berarti seseorang tidak dapat menerima makanan asing. Sehingga makanan asing menjadi alternatif konsumen ketika berada di luar rumah. Sementara manusia mempunyai naluri mencoba sesuatu yang baru, apabila sesuatu yang baru itu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya maka akan tercapai kepuasan. Konsumen yang puas akan menciptakan pelanggan (tercipta pelanggan), dan seorang pelanggan cenderung akan selalu menceritakan/mengajak konsumen lainnya pada saat terjadi proses sosialisasi. Apabila terjadi demikian maka bukan tidak mungkin hal ini akan semakin mengukuhkan posisi makanan asing /non-tradisional di Indonesia.

Sementara, kepiawaian makanan asing (fast food) dalam meramu strategi pemasarannya dengan selalu tampil dengan inovasi produk dan layanan merupakan strategi jitu untuk menghindari dari kekunoan produk, kebosanan konsumen, dan persaingan menu. Lambat laun akan berakibat semakin terpuruknya produsen makanan tradisional yang menawarkan produk yang sama dengan restoran fast food menu asing.

Nampaknya, perlu dan harus di kemas strategi pemasaran makanan tradisional yang mampu menciptakan mutu makanan standar, inovasi, layanan prima atau yang mampu merubah citra produk makanan tradisional. Diantara konsepsi bisnis yang perlu mendasari strategi adalah memaksimalkan keunggulan-keunggulan makanan tradisional sebagai keunggulan bersaing, misalnya keunggulan kandungan gizi, protein, kesegaran makanan menjadi moto usaha sebagai "makanan sehat" (Rizal.A, 1997). Kemudian, pemerintah dan lembaga kesehatan makanan/lembaga konsumen meneliti dan atau membuat persyaratan ketat terhadap setiap waralaba asing yang bergerak di industri makanan. Misalnya, untuk persyaratan pengadaan bahan baku, baik persyaratan kesehatan maupun persyaratan asal bahan baku. Tanpa menidakkan arus globalisasi dan era perdagangan bebas, kita sebagai bangsa perlu berpihak kepada kepentingan bangsa.

REFERENSI

Abe, B. dan Lily G. 1996. Dari Kafe ke Kafe. Majalah Swa, Februari-Maret 1996, hlm 62-64.

Achir, Y. A. dan Kartomo W. 1995. Pengembangan Sikap Menyukai Makanan Tradisional Melalui Pendidikan. Dalam Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional, hal 259-264. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan.

Copricorn Indo Consult (CIC). 1996. Prospek Industri Waralaba. November 1996.

EO. 1994. Sekali Lagi Tentang Fast Food. Majalah Warta Konsumen, April 1994, hlm 20-21.

Purwati, S. 1996 Sukses Menerobos Bisnis Franchise. Majalah Selera, Maret 1996, hlm 21-23.

Rizal, Alimuddin. 1997. Analisis Sikap dan Minat Konsumen Dalam Membeli Ayam Goreng Tradisional. Tesis. Pascasarjana IPB. Agustus 1997.

Said, E-Gumbira. 1996. Industri Waralaba Pangan dan Dilema Pengembangan. Majalah Usahawan, Nopember 1996, hlm 12-14.

Sumarwan,U. 1997. Pemasaran Makanan Tradisional di Indonesia. Dalam Laporan Penelitian. Bulog. Maret 1997 Jakarta.

Sumarwan,Ujang. dan Rizal, Alimuddin. 1997. Posisi Persaingan Makanan Tradisional dan Non- Tradisional di Indonesia. IPB. Bogor.

Triyoga, R.S. 1995. Pengembangan Perilaku Yang Menyukai Makanan Tradisional Indonesia. Dalam Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional, hal 181-222. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan.

Soesilo, Z.K. 1995. Kekecewaan terhadap Pengusaha Jasa Boga. Majalah Warta Konsumen , 03 Maret 1995, hlm 40-42.

Komentar

mommyvonzechs mengatakan…
Iya ya. fast food memang berkembang pesat sekali. Padahal juga diiringi dengan adanya pemboikotan produk oleh negara muslim, tapi ya ... tetap saja fast food jalan terus... dan herannya malah berkembang di negara yang mayoritas berpenduduk muslim ....

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi