IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA DI PEDESAAN

A. LATAR BELAKANG
Bagi sebuah negara besar seperti Indonesia, kekayaan budaya dan alam merupakan potensi sekaligus tantangan yang harus diselaraskan dengan benar. Jika tidak bisa-bisa kebesaran negara Indonesia akan berangsur surut dengan sendirinya dikarenakan gerakan separatis. Sebagai contoh adalah negara Uni Soviet yang dulu pernah disebut Super Power, hari ini negara itu sudah menjadi banyak negara-negara kecil. Kenyataan ini bisa dijadikan obyek belajar bagi negara Indonesia untuk menyiapkan ramuan yang jitu dalam menyiasati kebesaran negaranya yang terdiri dari banyak pulau, suku, bahasa, agama, dan kekayaan alam.
Menyadari hal itu negara merasa sangat perlu untuk mewujudkan persamaan cara pandang terhadap seluruh komponen negaranya, supaya tidak terjadi visi ganda dari masing-masing komponen bangsa. Setiap anggota masyarakat negara Indonesia diharapkan memiliki cara pandang yang sama, yang diharapkan mampu menumbuhkan rasa cinta, memiliki, dan akhirnya kesatuan untuk menjaga dan mempertahankan negara Indonesia ini sebagai sebuah kesatuan yang meliputi bumi, langit, udara, dan segala kekayaannya. Hal inilah yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara.
Perjalanan penanaman wawasan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun pada tataran ide sulit untuk dimengerti jika masih ada beberapa pihak yang menolak gagasan itu. Tetapi secara praktis tidak berarti semua pihak bisa benar-benar mempunyai pemaknaan yang sama terhadap makna wawasan nusantara. Salah satu permasalahan yang timbul adalah, bagaimana implementasi wawasan nusantara di pedesaan ?

B. PEMBAHASAN MASALAH
Dari seluruh wilayah Indonesia 75 persen merupakan daerah pedesaan. Jika di hitung-hitung lagi, diantara 75 persen tersebut masih banyak yang merupakan daerah terbelakang atau terpencil. Bahkan diluar Jawa masih banyak daerah-daerah yang masih terdiri dari hutan perawan yang belum terjamah peradaban manusia. Jika pada sentral-sentral peradaban yaitu di kota sedang dilakukan penyadaran publik untuk melingkupi seluruh nusantara, maka permasalahan terbesar justru terjadi di wilayah-wilayah terpencil itu.
Permasalahan di mulai dari segi transportasi dan komunikasi. Selain itu terjadi pula kesenjangan pengetahuan yang cukup signifikan yang sangat berpengaruh terhadap hasil upaya penanaman nilai-nilai wawasan nusantara tersebut. Ambillah contoh daerah Papua pedalaman dibandingkan dengan daerah Jakarta Utara. Jika di Jakarta Utara rata-rata penduduk sudah mengenyam bangku pendidikan dan memperoleh informasi yang sangat banyak maka mudah bagi masyarakat itu untuk mengerti tujuan dari penanaman wawasan nusantara tersebut. Namun menjadi sulit bagi masyarakat Papua pedalaman, karena mereka selain minim informasi dan pendidikan, juga sebenarnya mereka tidak benar-benar merasakan bahwa persoalan yang sedang ingin ditanggulangi dan tujuan dari penanaman wawasan nusantara itu sebagai suatu hal yang penting bagi mereka. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan konvensional yang sudah terjadi secara urun temurun. Perbedaan sejarah membuat adanya perbedaan perilaku dan sikap pula.
Maka untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif dan tepat sasaran, perlu digagas stretegi apa yang selayaknya diambil. Secara sederhana setidaknya ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi :
1. Pola pendidikan/penanaman yang tepat bagi masing-masing daerah.
Karakteristik daerah dengan latar belakang kultur, agama dan adat yang berbeda perlu disikapi dengan pola pendidikan yang berbeda. Artinya penghormatan terhadap apa yang sebelumnya mereka anut atau lakukan sangat penting untuk dihormati keberadaannya. Penanaman nilai-nilai wawasan nusantara sebisa mungkin tidak bermuatan politis tetapi bermuatan kekeluargaan dan kerakyatan.
Acara-acara atau momen-momen yang paling tepat untuk dijadikan ajang penanaman nilai-nilai wawasan nusantara justru pada saat acara adat/ritual yang biasa dilakukan di daerah tersebut. Sehingga masyarakat setempat merasa bahwa wawasan nusantara merupakan bagian integral dari budaya mereka sendiri. Walaupun seluruh masyarakat Indonesia itu sadar bahwa kemerdekaan itu penting dan begitu pula dengan persatuan dan kesatuannya, tetapi ketika hal itu diimplementasikan pada komponen-komponen pelaksananya termasuk pada penanaman nilai-nilai wawasan nusantara ini, bisa saja dianggap ‘politis’, karena secara manusiawi sangat mungkin terjadi manipulasi oleh para oknum pelaku pemerintahan. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan menjadi bumerang terhadap usaha penanaman nilai itu sendiri.
2. Intensitas permasalahan yang diangkat pada masing-masing daerah.
Setelah melalui pola pendidikan atau penanaman yang kekeluargaan, selanjutnya perlu diimbangi pula dengan keseimbangan logis dan emosional. Hal itu dilakukan dengan melihat potensi dan kekurangan pada masing-masing daerah. Sebagai contoh adalah daerah Papua; karena karakteristik masyarakatnya yang sedikit lebih terbelakang dari masyarakat lain, maka usaha penanaman nilai itu harus dibarengi dengan peningkatan pendidikan yang lebih gencar dari daerah lain. Tidak logis kiranya jika pada saat penanaman nilai itu dilakukan, kemudian konsentrasi pendidikan tidak dialihkan ke sini, sedangkan usaha eksploitasi sumber daya alamnya sudah dimulai. Hal ini sangat potensial menimbulkan konflik, karena beberapa segi :
a. Kesadaran masyarakatnya yang belum tinggi, sehingga potensial menimbulkan kesalahpahaman.
b. Kesengajaan oknum pemerintah yang memanfaatkan keadaan senjang pendidikan tersebut untuk menguasai, sehingga meninggalkan aib bagi usaha penanaman wawasan nusantara itu.
3. Pendekatan psikologis yang digunakan pada masing-masing daerah.
Pendekatan psikologis yang dimaksud adalah ketika suatu daerah memiliki kecenderungan kuat terhadap sebuah tradisi agama atau budaya yang kental, maka penanaman nilai ini harus menyesuaikan dengan latar belakang mereka. Sebagai contoh adalah daerah Islam, karena di dalam Islam diajarkan mengenai pemanfaatan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang sangat detail dengan pembahasan halal-haram segala, maka jangan sampai usaha penanaman nilai-nilai wawasan nusantara, menyebabkan mengikisan fungsi kontrol agama yang sudah mereka anut. Bagaimana mungkin mendirikan banyak diskotik dengan alasan pariwisata dan pengkayaan potensi pariwisata, pada daerah yang sangat agamis? hal itu adalah pemaksaan sekaligus pelecehan terhadap nilai-nilai setempat yang sebenarnya tidak bertentangan dengan wawasan nusantara jika mau disikapi secara adil.
4. Peran yang diberikan pada masing-masing daerah.
Peran yang dimaksud adalah menempatkan setiap daerah pada potensi dan kecenderungannya masing-masing. Artinya pada suatu daerah yang sangat kaya alamnya, maka diprioritaskan untuk membangun potensinya itu sebagai bagian integral dari pembangunan negara. Sedangkan pada daerah dengan potensi perdagangan misalnya, diberi kesempatan untuk mengembangkan daerahnya menjadi pusat perdagangan yang besar. Kepentingannya justru bagaimana memanfaatkan keberagaman itu pada sebuah kerjasama yang saling mendukung, dan bukannya saling menyaingi dan menjatuhkan. Semangat ini sangat tergantung pada pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pelaksana pemerintahan sebagai cermin dari kekonsistenan melaksanakan wawasan nusantara.



C. KESIMPULAN
1. Wawasan nusantara komponen ideologis negara dalam memulai pembangunan kesadaran masyarakatnya untuk bersatu dan melakukan tujuan yang sama.
2. Karakteristik bangsa Indonesia yang beragam menuntut pemerintah untuk melakukan hal yang berbeda pada setiap daerah dengan karakteristiknya masing-masing.
3. Perlakuan yang berlebihan pada saat melakukan usaha penanaman nilai-nilai wawasan nusantara di pedesaan atau daerah justru menjadi bumerang yang potensial menumbuhkan disintegrasi jika tidak diselaraskan dengan adat dan budaya masing-masing daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi