FOKUS EKONOMI, AGUSTUS 2003
SUMBER DAYA MANUSIA, KREATIFITAS, INOVASI:
PENGETAHUAN SEBAGAI SUMBER KEUNGGULAN KOMPETITIF BERKESINAMBUNGAN
Oleh : Bonifacius R. Wijayanto
Mahasiswa Program Magister Sains Manajemen Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
ABSTRACT
In the era where changes are occur in the matter of seconds, organizations need resources that allow them to stay exist in such condition and to lead the business competition. And, accordingly, there’s a growing concerns for HR as a means to achieve this objective. This is due its capability that lies within human resources thoughts and ideas to create knowledges. These resources are seed of every creativity and innovativeness activities to deal with unpredictable changes headed by organizations. This article is intended to expand our understanding about such resources; knowledge, idea, creativity, and innovativeness, and how powerful it is in dealing with chaos that lies ahead us today. We also present two model about what kind of knowledge that exist in organizational context and how those kind of knowledge are created. In the final section of this articles we also present some consequences for organization; some generic recommendation about what kind of action the organization should undertake to allow creativity and innovatiness to occur.
I. PENDAHULUAN
Di era dimana perubahan pada lingkungan eksternal organisasi berlangsung sedemikian cepatnya seperti saat ini, dibutuhkan sebuah sumber daya yang tidak hanya cukup untuk mendukung kelangsungan hidup organisasi, melainkan lebih dari itu, sumber daya tersebut harus mampu pula memberikan peluang bagi organisasi untuk memenangkan persaingan dan memberikan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
Selaras dengan kepentingan-kepentingan ini, perhatian telah dicurahkan pada isu sumber daya manusia sebagai sumber daya yang memberi peluang bagi organisasi untuk memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Kemampuan sumber daya ini untuk menghasilkan akumulasi beragam pemikiran dan ide; sebagai basis terciptanya pengetahuan yang bersifat spesifik bagi organisasi yang memperkembangkan dan mengelola sumber daya manusianya, merupakan kekuatan tersendiri untuk menghadapi segala ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan. Oleh karenanya, bagaimana pengetahuan yang bersifat unik ini terbentuk dan berkembang menjadi sumber keunggulan kompetitif sangat menjadi kritis untuk dipahami, sehingga dari pemahaman ini dapat dikembangkan berbagai aktifitas organisasional yang dapat diarahkan untuk pengelolaan sumber daya manusia ke arah yang lebih strategis.
Artikel ini ditujukan untuk mengembangkan pemahaman berkaitan dengan bagaimana proses-proses terbentuknya pengetahuan yang bersifat unik yang merupakan bibit dari kreatifitas dan inovasi organisasi untuk menjawab perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Untuk mempertegas tujuan tersebut, akan dikemukakan dua model yang menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam suatu organisasi, lalu bagaimana pengetahuan tersebut terbentuk. Implikasi bagi aktifitas pengelolaan sumber daya manusia di dalam organisasi juga akan dikemukakan lebih lanjut pada bagian akhir artikel ini.
II. PEMBAHASAN
2.1. Perubahan Lingkungan
Hari ini dan hari-hari selanjutnya, organisasi telah dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang menuntut adanya pergeseran paradigma dalam memandang lingkungan sekitarnya. Lingkungan telah berubah! Tidak ada lagi terminologi stabilitas dalam lingkungan bisnis global dewasa ini; yang terbentang luas saat ini hanyalah stabilitas yang bersifat semu yang harus disikapi secara kritis oleh organisasi. Hal ini ditandai oleh semakin cepatnya perkembangan teknologi, pergeseran kondisi demografis konsumen, adanya deregulasi perundang-perundangan pemerintah, yang mendorong semakin ketatnya kompetisi. Organisasi dituntut untuk semakin kritis untuk mensikapi fenomena-fenomena perubahan lingkungan bisnis global yang terjadi dewasa ini agar mampu bertahan hidup, melalui perubahan cara pandang yang dimilikinya terhadap kondisi eksternal dan internal yang ada. Sedemikian cepatnya perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal organisasi sering kali menghadapkan organisasi pada pertanyaan-pertanyaan mengenai keputusan-keputusan strategik apa saja yang dapat dibuat dan apakah sumber daya yang harus dimiliki agar organisasi dapat selalu kompetitif.
Dalam tulisannya mengenai sebuah rerangka analisis untuk menilai apakah sumber daya yang dimiliki organisasi dapat memberikan manfaat keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, Barney dan Wright (1998) mengemukakan bahwa organisasi perlu untuk mengukur sumber daya yang dimilikinya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah sumber daya yang dimiliki memiliki nilai yang tinggi bagi organisasi (pertanyaan mengenai value), bersifat langka; dengan kata lain tidak semua organisasi memilikinya (pertanyaan mengenai rare), dan apakah sumber daya yang dimiliki tersebut sangat sulit untuk ditiru oleh organisasi yang lain ( pertanyaan mengenai imitability ). Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, organisasi akan menemukan jawaban mengenai sumber daya apakah yang akan memberikan peluang keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Beberapa kajian telah mengemukakan bahwa agar dapat selalu bertahan kompetitif, organisasi tidak dapat lagi hanya sekedar mengandalkan pada kepemilikan sumber daya yang bersifat tangibel; seperti misalnya kepemilikan modal, struktur, market share, mesin-mesin berteknologi tinggi, ataupun hak paten, karena kepemilikan aset-aset yang bersifat tangibel ini tidak akan memberikan peluang bagi organisasi untuk memiliki sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Ketidakmampuan aset-aset ini untuk memberikan kemanfaat tersebut muncul karena sumber daya ini, meskipun bernilai dan (mungkin) langka, namun mudah untuk direplikasi oleh organisasi lain dalam tempo yang relatif tidak terlalu lama. Dalam kondisi dimana bisnis serasa menjadi pacuan kuda, kecepatan kompetitor untuk melakukan replikasi sumber daya yang dimiliki akan menjadikan kompetensi yang sebelumnya dimiliki menjadi sebuah inkompetensi. Lalu, apa yang terjadi ketika fenomena inkompetensi ini dialami organisasi? Jawabannya jelas: organisasi akan terancam kehidupannya.
Oleh karenanya, dewasa ini telah berkembang pengakuan bahwa satu-satunya sumber daya yang mampu memberikan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan bagi organisasi akan terletak pada kepemilikan sumber daya yang bersifat intangibel; yaitu sumber daya manusia (lihat: Barney, 1991; Barney dan Wright, 1998; Coff 1997; Becker, Husselid, & Ulrich, 2001; Pfeiffer, 1994; Ulrich, 1997). Hal ini disebabkan karena sumber daya manusia melibatkan kepemilikan pengetahuan yang bersifat unik, dalam suatu kompleksitas sosial yang menyebabkan adanya timbulnya ambiguitas kausal. Keunikan yang melibatkan pengetahuan mengenai rutinitas dan prosedur-prosedur unik ini yang hanya bernilai terbatas pada organisasi yang mengembangkannya. Becker, Husselid, dan Ulrich (2001) dalam HR Scorecard mengemukakan bahwa kepemilikan aset intangible akan memberikan manfaat yang tangible ( profitabilitas ). Hal ini didukung oleh Pennings, Lee, dan Witteloostuijn (1998) dalam penelitiannya di Belanda, yang mengungkap bahwa ketika organisasi yang tidak lagi memiliki sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang spesifik akan mengalami kemunduran di dalam bisnis. Pentingnya aset intelektual bagi organisasi terjadi karena pengetahuan yang dimiliki sumber daya manusia secara kolektif merupakan sumber munculnya ide-ide kreatif dan inovatif yang dapat digunakan organisasi dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan, menemukan permasalahan, dan prediksi serta antisipasi terhadap isu-isu yang berpeluang untuk dihadapi organisasi (Leonard & Sensiper, tidak tercatat). Nugroho (2000) mengemukakan bahwa konsepsi inovasi yang berdasarkan pada kemampuan kreatif manusia, menempatkan manusia pada dunia tanpa batas karena sebenarnya sumber daya yang tidak pernah akan habis adalah daya kreasi manusia itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini isu sumber daya manusia benar-benar merupakan isu bisnis terkini karena kemampuannya untuk mempengaruhi esensi bisnis; yaitu profitabilitas, kelangsungan hidup, kekompetitifan organisasi, adaptabilitas, dan fleksibilitas (Schuler, 1990).
Dari uraian-uraian tersebut, pertanyaan-pertanyaan terkait dengan sumber daya macam apakah yang nantinya dibutuhkan oleh organisasi untuk tetap kompetitif telah secara parsial terjawab. Sisa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak bagaimana organisasi memandang kepentingan ini; bagaimana organisasi mengelola kapabilitas intelektual yang dimiliki sumber daya ini. Dalam tulisannya, Coff (1997) mengemukakan bahwa semata-mata memiliki karyawan yang bertalenta (sumber daya manusia) tidak akan secara langsung memberikan kepada organisasi sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Dengan kata lain, dibutuhkan sistem pengelolaan yang spesifik yang mampu mengelola aset intelektual ini menjadi sumber keunggulan yang berkesinambungan. Demi tujuan ini, organisasi dituntut untuk terlebih dahulu menggeser pemikiran tradisional; yang dulunya memandang bahwa sumber keunggulan kompetitif terletak pada kepemikan aset-aset tangibel kepada pemikiran yang memandang bahwa aset intangibel (pengetahuan yang dimiliki sumber daya manusia) merupakan sumber keunggulan kompetitif organisasi; dimana perubahan paradigma organisasional ke arah yang memandang sumber daya manusia sebagai sebuah investasi yang akan memberikan nilai tambah organisasi, akan berpengaruh terhadap praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Ketidakpastian yang tinggi yang dihadapi oleh organisasi hanya daat dikendalikan dengan adanya pemikiran, sikap dan perilaku kreatif serta inovatif. Dan hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang menempatkan kapabilitas intelektual manusia sebagai sumber daya untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan. Dengan menempatkan fokus ini pada penetapan strategi kompetitif organisasional dalam menghadapi situasi eksternal yang mencerminkan ketidakpastian yang sangat tinggi akan memampukan organisasi tidak hanya untuk mempertahankan hidup, namun sekaligus memimpin dalam lingkungan yang dipenuhi prediksi-prediksi dan antisipasi, melalui sebuah usaha penciptaan kreatifitas dan inovasi.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, kritis bagi organisasi untuk memahami bagaimana proses penciptaan kreatifitas dan inovasi ini terjadi. Bagaimana kreatifitas dan inovasi terbentuk dalam level organisasional, dan bagaimana organisasi memahami proses ini, merupakan prakondisi munculnya praktek-praktek pengelolaan manusia yang dapat mengakomodasi kapabilitas intlektual yang dimiliki aset ini. Isu inilah yang akan dikupas di dalam artikel ini, yaitu bagaimana pengetahuan yang bersifat unik; sebagai landasan kreatifitas dan inovasi ini, terbentuk di dalam kompleksitas jalinan sosial yang ada dalam organisasi. Secara khusus, kami akan mengkaji fenomena ini untuk menggambarkan bagaimana sebuah ide dan; bahkan, perilaku kreatif dan inovatif ini terbentuk dalam kompleksitas sosial organisasional. Dan dari paparan ini, akan dikaji bagaimana kepentingan organisasi; khususnya terkait dengan bagaimana peran fungsi pengelolaan sumber daya manusia yang ada dalam suatu organisasi, dapat mengelola aset-aset intelektual ini ke dalam sistem yang memampukan organisasi untuk menarik manfaat demi menghadapi kondisi eksternal yang sedang chaos ini. pembahasan akan dibagi ke dalam beberapa bagian, dimulai dengan bagaimana kreatifitas dan inovasi ini terbentuk; yang diawali dengan bagaimana sebuah pengetahuan dapat terbentuk, yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan ide serta perilaku kreatif dan inovatif. Lalu, bagaimana dampaknya terhadap pengelolaan organisasi secara keseluruhan, dan diakhiri dengan sebuah kontemplasi mengapa organisasi perlu untuk memiliki ide serta perilaku kreatif dan inovatif secara terus menerus dalam usia kehidupan organisasi. Secara khusus pula, akan dikaji model mengenai karakteristik pengetahuan organisasional dan bagaimana akumulasi pengetahuan ini terbentuk dengan menggunakan taksonomi pengetahuan organisasional yang dikemukakan oleh Matusik dan Hill (1998) dan model lingkaran kognisi kolektif akumulasi hingga akomodasi pengetahuan yang dikemukakan oleh Gibson (2001).
2.2. Kreatifitas dan Inovasi
Pada tulisan ini, kami menggambarkan kreatifitas dan inovasi sebagai suatu hal yang berbeda namun saling melengkapi. Amabile et al. (1996) mendefinisikan kreatifitas sebagai produksi ide-ide baru dan memiliki manfaat; dan inovasi sebagai implementasi dari ide-ide kreatif yang berhasil dalam sebuah organisasi. Uraian serupa juga dikemukakan oleh Rosenfeld dan Servo (mengutip Rabson dan DeMarco, 1999), yang mengemukakan bahwa inovasi adalah implementasi dari sebuah ide kreatif manusia. Oleh karenanya, kreatifitas merupakan bibit atau prakondisi dari inovasi. Kreatifitas memiliki tiga komponen, yang masing-masing saling berkaitan, yaitu: expertise; mencakup segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, baik secara teknis, prosedural, maupun intelektual; creative-thinking skill; untuk menentukan fleksibilitas dan imajinasi seseorang ketika dihadapkan pada suatu permasalahan; dan motivation; yang melibatkan hasrat yang berasal dari dalam diri individu dan dorongan dari luar bagi individu tersebut untuk memecahkan permasalahan-permasalahan (Amabile, 1998). Sebagai sebuah produk pemikiran, efektifitas kreatifitas dapat diukur dari seberapa besar nilai tambah kemanfaatan "produk" yang dihasilkan oleh proses ini (Lynn, 1999). Pemaknaan mengenai produk apa yang dihasilkan oleh pemikiran kreatif dan inovatif akan dijelaskan pada bagian lain tulisan ini. Keahlian, imajinasi, dan motivasi intrinsik merupakan sumber daya natural yang dimiliki oleh setiap manusia. Dan keunikan sumber daya ini adalah ketika sumber daya-sumber daya yang lain ketika digunakan akan semakin berkurang, maka kreatifitas dan inovasi tidak, karena adanya kesinambungan akumulasi pengetahuan yang terjadi sepanjang umur kehidupan manusia. Dalam konteks kompetitif, seringkali organisasi dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dominan seperti "bagaimana kita dapat bersaing, sementara sumber daya yang ada tidak mencukupi lagi". Nugroho (2000) mengemukakan bahwa konsep kelangkaan (scarcity) yang maka harus diimbangi dengan selalu mendominasi logika ini dapat dijawab melalui konsepsi fleksibilitas-kreatifitas. Manusia telah diberikan anugrah terbesar dibandingkan makhluk hidup lain berupa akal dan pikiran. Akal dan pikiran dalam bentuk ide kreatif dan inovatif inilah yang akan menjadi jembatan antara konsepsi kelangkaan dengan kesuksesan yang dituju organisasi; kreatifitas dan inovasi akan memampukan organisasi untuk mengolah sumber daya apapun, dan selangka apapun bentuknya menjadi sesuatu yang memberikan kemanfaatan tinggi, baik bagi organisasi maupun lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Amabile (1998) kreatifitas melibatkan adanya keahlian (expertise); yang diperoleh melalui pengalaman, pembelajaran, dan interaksi antar sesama manusia. Akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan-pengetahuan baru, yang berasal dari proses-proses pengalaman, pembelajaran, dan interaksi antar individu ini yang menjadi dasar terbentuknya pengetahuan-pengetahuan organisasional yang memberikan kemanfaatan ketika organisasi dihadapkan pada situasi untuk tetap bertahan kompetitif dari waktu ke waktu namun dikendala oleh kelangkaan sumber daya. Bagaimana pengetahuan organisasional ini terbentuk merupakan isu yang akan dibahas pada bagian berikut ini.
2.3. Bagaimanakah kreatifitas dan keinovatifan terbentuk?
Ketiga komponen yang dikemukakan oleh Amabile mencerminkan bahwa kreatifitas dan inovasi melibatkan adanya akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang nantinya akan digunakan untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh individu tersebut. Leonard dan Sensiper (tidak tercatat) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang relevan, mampu untuk dilaksanakan, dan berbasis pada pengalaman. Pengetahuan merupakan bagian dari informasi, dimana pengetahuan memiliki sifat subyektif, memiliki elemen-elemen yang unik (tacit) yang lahir dari pengalaman-pengalaman individual dan terkait erat dengan pembentukan perilaku-perilaku yang bermakna. Matusik dan Hill (1998) mengemukakan bahwa terdapat beberapa dimensi pengetahuan dalam organisasi, yaitu:
Pengetahuan pada level pengetahuan yang dimiliki individual atau individual knowledge, dan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif atau collective knowledge, dimana individual knowledge merupakan jumlah keseluruhan kompetensi, informasi, dan pengetahuan yang dimiliki secara individual, sementara collective knowledge terdiri atas prinsip-prinsip, rutinitas, dan praktek yang telah terorganisir, skema top manajemen, dan konsensus organisasional mengenai pengalaman di masa lampau, misi, tujuan, kompetitor, dan hubungan yang terjalin, yang telah terdifusi secara menyeluruh.
Dimensi kedua pengetahuan organisasional adalah pengetahuan yang dipelajari melalui pengalaman serta sulit untuk diartikulasikan, diformalisasikan, dan dikomunikasikan atau disebut dengan tacit knowledge, dan pengetahuan yang telah terkodifikasi, dan dapat saling diberikan di dalam sebuah metode yang formal dan sistematis atau explicit knowledge.
Dimensi ketiga adalah dimensi pengetahuan yang bersifat unik bagi organisasi atau private knowledge dengan pengetahuan yang bersifat umum bagi khalayak public knowledge.
Dimensi yang terakhir adalah pengetahuan yang terkait dengan aspek sub rutin dari operasional organisasi atau component knowledge dan pengetahuan yang terkait dengan aspek rutinitas organisasi secara menyeluruh atau architectural knowledge.
Hubungan masing-masing dimensi pengetahuan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(FIGUR 1):
Komponen pengetahuan organisasional
Private Public
(firm-specific)
Component Architectural Component
Individual Collective Collective Individual
Tacit Explicit Tacit Explicit Tacit Tacit Explisit
(Sumber: Matusik dan Hill, 1998)
Private knowledge (firm-specific knowledge), merupakan dari sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan, karena di dalamnya terlibat pengetahuan mengenai rutinitas organisasi secara menyeluruh maupun secara parsial, dimana pengetahuan ini dimiliki mulai dari level individual hingga pada level organisasional. Seperti yang terlihat pada figur 1, baik pada individu maupun pada kelompok terdapat pengetahuan yang bersifat unik; memiliki kemanfaatan hanya bagi yang memilikinya dan cenderung sulit untuk dipahami secara komprehensif, dan pengetahuan yang bersifat eksplisit; yaitu pengetahuan yang tidak bersifat unik dan dapat terobservasi oleh orang lain, mengenai aktifitas-aktifitas organisasi secara parsial (aktifitas hanya pada satu fungsi organisasional tertentu). Semua bentuk pengetahuan yang tercakup dalam ke empat dimensi ini merupakan sumber keunggulan kompetitif. Namun, untuk jangka panjang, hanya pengetahuan yang bersifat unik mengenai skema dan rutinitas yang dimiliki organisasi secara luas yang dimiliki secara kolektiflah yang merupakan sumber posisi kompetitif bagi organisasi. Dengan demikian, hanya pengetahuan yang bersifat unik; yang dimiliki secara kolektif, mengenai kompleksitas sistem yang ada di dalam organisasilah yang berpeluang untuk memberikan manfaat keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Namun, bagaimanakah pengetahuan yang bersifat yang dimiliki oleh individu, kelompok, dan organisasi ini terbentuk?
Organisasi, dengan segala struktur dan fungsi yang dimilikinya, dapat dianalogikan layaknya seorang manusia, namun dengan dengan situasi yang lebih kompleks karena di dalam organisasi terlibat adanya interaksi-interaksi sosial antara individu-individu di dalamnya. Mengacu kepada analogi tersebut, proses terbentuknya pengetahuan kolektif organisasional serupa dengan proses terbentuknya informasi pada manusia, hanya saja melibatkan kompleksitas sosial yang cukup tinggi. Organisasi, sebagai lingkungan sosial, melibatkan interaksi baik antar individual maupun antar kelompok. Interaksi ini menimbulkan adanya kompleksitas sosial di dalam organisasi. Hubungan intrapersonal tanpa disadari telah mengakibatkan timbulnya pembelajaran secara implisit; dimana proses ini secara tidak disadari telah memicu adanya transfer kognisi dari masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya. Aktifitas berbagi informasi ( information sharing ); baik antar individu, kelompok, dan organisasi akan membentuk akumulasi pengetahuan yang baru dimana pengetahuan ini akan saat berguna dalam proses pengambilan keputusan terhadap suatu permasalahan. Gibson (2001) menggambarkan proses akumulasi pengetahuan tersebut ke dalam sebuah lingkaran kognisi sebuah team. Mengadaptasi model lingkaran yang dikemukakan Gibson, dalam tulisan ini akan digambarkan bagaimana sebuah proses akumulasi pengetahuan terjadi, baik pada tingkatan individual, kelompok, maupun organisasi dalam Figur 2 berikut ini:
(FIGUR 2):
Lingkaran kognitif akumulasi pengetahuan
Accumulation:
Perceiving, filtering, storing
Interaction:
retrieving, exchanging, structuring
Accomodation:
integrating, deciding, acting
Examination:
Negotiating, intepreting, evaluating
(Adaptasi dari Gibson, 2001)
Lingkaran tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan seseorang, kelompok, ataupun organisasi terbentuk melalui tahapan-tahapan akumulasi; dimana di dalamnya terlibat subproses-subproses pembentukan persepsi, penyaringan, dan penyimpanan pengetahuan dan informasi yang berasal dari level individual, tahapan interaksi; dimana didalamnya terlibat proses-proses penarikan kembali informasi dan pengetahuan yang disimpan dalam memori organisasional, dilanjutkan dengan terjadinya proses pertukaran, dan pembentukan struktur informasi dan pengetahuan pada level organisasi, pengkajian ulang informasi yang telah terbentuk (eksaminasi); dimana dalam proses ini, anggota-anggota organisasi (dalam kelompok-kelompok) akan melakukan proses negosiasi, pengintepretasian, dan evaluasi terhadap pengetahuan dan informasi yang dihasilkan pada proses sebelumnya, serta tahapan akomodasi; yang mana dalam tahapan ini, anggota-anggota organisasi melakukan proses integrasi, pengambilan keputusan, serta melakukan tindakan berdasarkan keputusan yang telah diambil. Proses kognisi ini terjadi secara berkesinambungan, seiring perkembangan usia individu, team, dan organisasi. Oleh karenanya, seiring dengan pertambahan usia kehidupan maka semakin berkembang pula informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang; demikian pula pada organisasi.
Akumulasi informasi-informasi menjadi sebuah pengetahuan menjadi landasan terciptanya ide-ide baru untuk mensikapi sebuah fenomena yang sedang dihadapi. Namun, sekali lagi dalam tulisan ini diingatkan, bahwa pengakuan kemanfaatan pengetahuan sebagai sebuah sumber keunggulan kompetitif hanya terjadi apabila muncul nilai tambah pada outcome yang dihasilkan. Oleh karenanya, pengetahuan sebagai dasar kreatifitas dan inovasi, hanya akan memberikan sumber daya kompetitif apabila interaksi-interaksi yang mendorong terciptanya pengetahuan serta ide-ide baru untuk menghasilkan solusi-solusi murni untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi organisasi, serta mampu diterapkan dalam bentuk yang memungkinkan peluang penyelesaian masalah-masalah organisasional itu terjadi. "Produk" kreatifitas dan inovasi inilah yang dijanjikan oleh sumber daya manusia sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Produk ini berupa pemikiran, sikap, dan perilaku dalam mensikapi perkembangan lingkungan eksternal yang sedemikian cepatnya. Namun, seringkali kita menafsirkan bahwa kreatifitas dan inovasi hanya dibutuhkan ketika organisasi hendak meluncurkan varian produk atau produk-produk baru untuk mengimbangi tuntutan perubahan permintaan konsumen; dengan kata lain, bahwa nantinya berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif dan inovatif merupakan tanggung jawab hanya departemen R&D saja, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap lahirnya produk-produk baru organisasi; dalam hal ini produk yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagai konsumen. Ini merupakan sebuah pemikiran yang keliru, karena berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif-inovatif merupakan kewajiban setiap individu dalam organisasi. Lagipula, untuk meniru atau mereplikasi produk semacam ini tidak sulit dilakukan oleh kompetitor, sementara meniru sebuah pemikiran, sikap, dan perilaku yang kreatif-inovatif yang dimiliki secara kolektif oleh anggota-anggota organisasi merupakan hal yang sulit.
Berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif dan inovatif merupakan anugerah terbesar yang diberikan kepada semua umat manusia. Oleh karenanya, merupakan kewajiban dan tanggung jawab seluruh manusia untuk menggunakannya secara bertanggung jawab. Dapat dibayangkan betapa banyak ide-ide baru yang nantinya muncul dari interaksi-interaksi kognitif sumber daya manusia ini. Dengan sedemikian banyaknya ide yang muncul, dapat dilihat pula betapa besar peluang organisasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapinya saat ini; terutama permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelangsungan hidupnya, dan betapa besar peluang organisasi untuk berada selangkah lebih maju dalam mensikapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepatnya. Begitu banyak kemanfaatan strategis yang dapat diambil oleh organisasi dengan menyadari eksistensi aset ini dan melakukan praktek-praktek yang mengarah kepada bagaimana mengelola aset ini secara efektif. Lalu, bagaimana organisasi mensikapi kemanfaatan ini; apa saja yang harus dilakukan organisasi agar kemanfaatan pengetahuan yang bersifat unik yang dimiliki oleh sumber daya manusia dapat terakomodasi menjadi sumber daya strategis organisasi.
2.4. Apa yang harus dilakukan oleh organisasi?
Beberapa kajian pada bagian awal artikel ini, mengenai pengelolaan sumber daya manusia sebagai sumber keunggulan kompetitif mengemukakan bahwa untuk menjadikan aset ini sebagai sebuah aset strategis membutuhkan pergeseran paradigma praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia dengan menempatkan fungsi pengelolaan sumber daya manusia sebagai partner strategik organisasi. Dengan menempatkan fungsi ini sejajar dengan fungsi-fungsi strategik lain, serta ditunjang fokus strategi yang dianut oleh organisasi, akan menempatkan praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia ke arah yang lebih strategik pula (Pffeifer, 1995). Dituntut adanya perubahan pola pikir secara radikal pada pihak manajemen puncak. Radikal di sini dalam pengertian bahwa manajemen puncak harus merubah cara berpikir selama ini; dari yang semula menganggap aset intelektual sebagai obyek menjadi subyek kebijakan-kebijakan strategis yang akan diterapkan organisasi. Tanpa adanya perubahan radikal ini, mustahil bahwa kemanfaatan intelektualitas manusia dapat diaktualisasikan menjadi keunggulan kompetitif organisasi dan dalam mensikapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat dan tidak berpola. Tanpa adanya perubahan yang radikal terhadap pola pikir organisasional akan menyebabkan pemborosan penggunaan kapabilitas intelektual karena pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif dan inovatif; yang semestinya mampu menjadi solusi tanpa batas setiap permasalahan yang dihadapi organisasi, tidak akan terealisasi.
Pihak manajemen puncak perlu mendorong terciptanya praktek-praktek organisasional yang memampukan terjadi transfer pengetahuan di antara masing-masing individu yang ada dalam organisasi; praktek-praktek organisasional yang mendorong terjadinya proses akumulasi pengetahuan secara kolektif untuk menggali ide-ide kreatif dan inovatif yang tersimpan dalam memori masing-masing individu. Fokus ini, tentu saja, juga akan berpengaruh terhadap praktek-praktek manajemen sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya ada banyak faktor yang mampu menghalangi terjadinya akumulasi pengetahuan; antara lain sumber daya manusia tidak didorong untuk melakukan partisipasi di dalam proses sharing pengetahuan, hirarki jabatan yang berbeda antar anggota yang terlibat dalam proses akumulasi pengetahuan, dan dimensi-dimensi waktu dan pemisahan lokasi secara fisik antar fungsi dalam organisasi; yang tidak mendukung keeratan dan keintiman komunikasi antar anggota organisasi (Leonard dan Sensiper; tidak tercatat); dan seringkali pula organisasi yang telah merasa melakukan praktek-praktek yang dikatakan mendukung kreatifitas dan inovasi, ternyata dalam kenyataannya justru mematikan kreatifitas dan inovasi itu sendiri. Amabile (1998) mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena organisasi justru melakukan praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang secara tidak disengaja mematikan kreatifitas dan inovasi itu sendiri.
Namun, hal ini bisa diatasi apabila manajemen, secara berkelanjutan, memonitor lingkungan yang ada di dalamnya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kualitatif mengenai, "apakah iklim dan budaya yang ada di dalam organisasi ini telah mendukung terjadinya sharing informasi, pengetahuan, dan ide-ide kreatif dan inovatif yang memberikan kemanfaatan bagi organisasi secara berkelanjutan ?"; lalu "apakah organisasi telah mengakomodasi perilaku-perilaku kreatif dan inovatif yang muncul ke dalam sebuah bentuk yang riil; yang memberikan kemanfaatan; baik bagi organisasi, lingkungan, dan umat manusia ?" dan disertai riset secara berkala berkaitan dengan sikap dan perilaku karyawan untuk mengetahui sampai sejauh mana reaksi karyawan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan organisasi dan kebijakan manakah yang tidak mendukung iklim dan budaya kreatifitas dan inovasi. Ketiga hal ini kami anggap penting sebagai prakondisi munculnya iklim dan budaya kreatifitas dan inovasi.
Selain itu, manajemen puncak perlu juga merubah desain pekerjaan yang ada dalam organisasi. Desain pekerjaan yang dibutuhkan saat ini adalah desain pekerjaan yang memberi kesempatan munculnya kemampuan analisa terhadap lingkungan sekitar. Dengan desain pekerjaan seperti ini, peluang perubahan-perubahan sekecil apapun yang terjadi di sekeitar organisasi akan cepat terdeteksi, dan akan memampukan organisasi untuk segera mengambil langkah proaktif untuk mensikapinya. Oleh karenanya pekerjaan yang selama didasarkan pada analisa jabatan yang rigid; semata-mata terfokus pada konteks desain pekerjaan yang rigid, yang mendorong karyawan fokus hanya kepada bagaimana caranya agar menyelesaikan tugas-tugasnya namun tidak mendorong karyawan menggunakan kemampuan imajinatifnya untuk senantiasa melakukan analisa lingkungan, perlu diganti dengan desain yang mampu memotivasi timbulnya peran-peran ekstra fungisonal (extra-role effort) sumber daya manusia untuk selalu melakukan analisa lingkungan. Sistem reward kinerja pun sebaiknya diarahkan kepada sistem yang mampu mengakomodasi kemampuan kreatif dan inovatif manusia. Semata-mata melakukan motivasi ekstrinsik dengan desain reward yang sebagian besar dirupakan dalam bentuk uang, tidak akan mampu memicu kapabilitas kreatifitas dan inovatif sumber daya manusia hingga ke taraf yang optimal. Manajemen puncak perlu menetapkan desain reward yang fokus pada munculnya motivasi intrinsik untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif bagi setiap individu yang ada dalam organisasi, termasuk mereka yang berada dalam jajaran manajemen puncak.
III. SIMPULAN
Pengetahuan merupakan sumber daya yang dapat memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi seluruh aktifitas di muka bumi ini. Dari pengetahuan yang dimiliki, seseorang dapat menghasilkan ide-ide baru yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, dan dari pengetahuan ini pulalah organisasi mampu bertahan hidup di dalam kondisi yang serba tidak menentu seperti yang terjadi sekarang ini. Melalui akumulasi pengetahuan dalam sebuah interaksi sosial yang melibatkan keintiman dan adanya transfer kognitif, akan dihasilkan ide-ide kreatif baru yang memberikan kemanfaatan strategis bagi organisasi. Dimensi keunikan di dalam pengetahuan yang dimiliki individual, melekat pada pemilik pengetahuan tersebut dan tidak dimiliki oleh publik, sementara dimensi keunikan di dalam pengetahuan yang dimiliki secara kolektif, terangkai dalam organisasi secara menyeluruh, dan sulit untuk diimitasi.
Kreatifitas dan inovasi; sebagai suatu pemikiran, sikap, dan perilaku, sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan tidak hanya dibutuhkan oleh organisasi yang sedang mengalami kemunduran dan berusaha untuk bertahan hidup, namun juga dibutuhkan oleh organisasi yang sedang pada masa keemasannya, karena justru organisasi yang sedang berada pada puncak kesuksesan inilah yang seringkali memiliki resiko yang tinggi sebagai akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan terhadap proses-proses dan sistem yang dimilikinya (Simons, 1999). Perubahan lingkungan eksternal terjadi tanpa pernah berhenti, dan kebebalan untuk tetap mempertahankan apa yang pernah membuat organisasi tersebut sukses hanya akan membawa organisasi ke jurang kehancuran. Pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif dan inovatif menjanjikan kepada organisasi fleksibilitas dan adaptabilitas terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Kembali kepada uraian yang dikemukakan oleh Nugroho (2000), bahwa konsepsi inovasi yang berdasarkan sumber daya manusia akan menempatkan manusia pada dunia tanpa batas, karena sebenarnya sumber daya yang tidak pernah habis adalah daya kreasi manusia itu sendiri. Oleh karenanya, terbentuknya budaya dan iklim yang mendorong terbentuknya sikap dan perilaku proaktif, kreatif, dan inovatif akan membawa manusia dan organisasi kepada kekuatan yang sangat besar untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Disini, dituntut peranan yang besar dari pihak manajemen untuk mengubah lingkungan organisasi menjadi lingkungan yang mendukung kreatifitas dan inovasi; melalui pengelolaan sumber daya manusia secara spesifik.
Akan tetapi, pengetahuan yang bersifat unik ini berpeluang untuk tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi yang ada; seperti saat ini, dan ketika hal tersebut terjadi maka organisasi berada dalam bahaya. Oleh karenanya, pihak manajemen perlu menciptakan bentuk organisasi yang di dalamnya akan terjadi proses-proses kognitif secara terus menerus untuk menjaga bahwa pengetahuan yang dimiliki organisasi tetap sesuai untuk situasi dan kondisi yang sedang dihadapi.
Dalam bagian akhir, penulis ingin mengemukakan bahwa karunia terbesar yang dimiliki manusia adalah akal budi pikiran yang kita miliki ini. Kemampuan inilah yang memberikan peluang kepada manusia untuk mengolah sumber daya alam yang telah tersedia. Langka atau tidaknya sumber daya alam sangat bergantung dari sudut mana bagaimana kita memandangnya; dan hal ini berarti tergantung bagaimana kita, secara bijaksana memanfaatkan akal, pikiran, dan budi pekerti yang telah dianugerahkan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
Amabile, T.M. (1998). How to kill creativity? Harvard Business Review , September-October: 77-87.
Amabile, T.M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. (1996). Assessing the work environment for creativity. Academy of Management Journal, 39:1154-1184.
Barney, J.B. (1991). Firm-resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 77: 99-120.
Barney, J.B., & Wright, P.M. (1998). On becoming a strategic partner: the role of human resources in gaining competitive advantage. Human Reosurces Management, 37: 31-46.
Becker, B.E., Husselid, M.A., & Ulrich, D. (2001). The HR Scorecard: linking people, strategy, and performance. Harvard Business School Press. Boston, Massachusetts.
Coff, R.W. (1997). Human assests and management dilemmas: coping with hazards on the road to resource-based theory. Academy of Management Review, 22: 374-402.
Gibson, C.B. (2001). From knowledge accumulation to accomodation: cycles of collective cognition in work groups. Journal of Organizational Behavior, 22: 121-134.
Leonard, D., & Sensiper, S. (tidak tercatat). The role of tacit knowledge in group innovation.
Lynn, B.E. (1999). Culture and intellectual capital management: a key factor in successful ICM implementation. International Journal Technology Management, 18: 590-603.
Matusik, S.F., & Hill, C.W.L. (1998). The utilization of contingent work, knowledge creation, and competitive advantage. Academy of Management Review, 23: 680-697.
Nugroho, E.P. (2000). Komplementarianisme. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 15: 349-359.
Pennings, J.M., Lee, K., & Witteloostuijn (1998). Human capital, social capital, and firm dissolution. Academy of Management Journal, 41; 425-440.
Pfeiffer, J. (1995). Producing sustainable competitive advantage through the effective management o people. Academy of Management Executive, 9: 55-69.
Rabson, J.D., & DeMarco, D.A. (1999). A model of innovation systems with links to creative style and psychological type. International Journal Technology Management, 18: 627-645.
Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function: transformation or demise? Academy of Management Executive, 4: 49-59.
Simons, R. (1999). How risky is your company? Harvard Business Review, May-June: 85-85-94.
Ulrich, D. (1997). Human resource champion. Harvard Business School. Boston, Massachusetts.
SUMBER DAYA MANUSIA, KREATIFITAS, INOVASI:
PENGETAHUAN SEBAGAI SUMBER KEUNGGULAN KOMPETITIF BERKESINAMBUNGAN
Oleh : Bonifacius R. Wijayanto
Mahasiswa Program Magister Sains Manajemen Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
ABSTRACT
In the era where changes are occur in the matter of seconds, organizations need resources that allow them to stay exist in such condition and to lead the business competition. And, accordingly, there’s a growing concerns for HR as a means to achieve this objective. This is due its capability that lies within human resources thoughts and ideas to create knowledges. These resources are seed of every creativity and innovativeness activities to deal with unpredictable changes headed by organizations. This article is intended to expand our understanding about such resources; knowledge, idea, creativity, and innovativeness, and how powerful it is in dealing with chaos that lies ahead us today. We also present two model about what kind of knowledge that exist in organizational context and how those kind of knowledge are created. In the final section of this articles we also present some consequences for organization; some generic recommendation about what kind of action the organization should undertake to allow creativity and innovatiness to occur.
I. PENDAHULUAN
Di era dimana perubahan pada lingkungan eksternal organisasi berlangsung sedemikian cepatnya seperti saat ini, dibutuhkan sebuah sumber daya yang tidak hanya cukup untuk mendukung kelangsungan hidup organisasi, melainkan lebih dari itu, sumber daya tersebut harus mampu pula memberikan peluang bagi organisasi untuk memenangkan persaingan dan memberikan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
Selaras dengan kepentingan-kepentingan ini, perhatian telah dicurahkan pada isu sumber daya manusia sebagai sumber daya yang memberi peluang bagi organisasi untuk memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Kemampuan sumber daya ini untuk menghasilkan akumulasi beragam pemikiran dan ide; sebagai basis terciptanya pengetahuan yang bersifat spesifik bagi organisasi yang memperkembangkan dan mengelola sumber daya manusianya, merupakan kekuatan tersendiri untuk menghadapi segala ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan. Oleh karenanya, bagaimana pengetahuan yang bersifat unik ini terbentuk dan berkembang menjadi sumber keunggulan kompetitif sangat menjadi kritis untuk dipahami, sehingga dari pemahaman ini dapat dikembangkan berbagai aktifitas organisasional yang dapat diarahkan untuk pengelolaan sumber daya manusia ke arah yang lebih strategis.
Artikel ini ditujukan untuk mengembangkan pemahaman berkaitan dengan bagaimana proses-proses terbentuknya pengetahuan yang bersifat unik yang merupakan bibit dari kreatifitas dan inovasi organisasi untuk menjawab perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Untuk mempertegas tujuan tersebut, akan dikemukakan dua model yang menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam suatu organisasi, lalu bagaimana pengetahuan tersebut terbentuk. Implikasi bagi aktifitas pengelolaan sumber daya manusia di dalam organisasi juga akan dikemukakan lebih lanjut pada bagian akhir artikel ini.
II. PEMBAHASAN
2.1. Perubahan Lingkungan
Hari ini dan hari-hari selanjutnya, organisasi telah dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang menuntut adanya pergeseran paradigma dalam memandang lingkungan sekitarnya. Lingkungan telah berubah! Tidak ada lagi terminologi stabilitas dalam lingkungan bisnis global dewasa ini; yang terbentang luas saat ini hanyalah stabilitas yang bersifat semu yang harus disikapi secara kritis oleh organisasi. Hal ini ditandai oleh semakin cepatnya perkembangan teknologi, pergeseran kondisi demografis konsumen, adanya deregulasi perundang-perundangan pemerintah, yang mendorong semakin ketatnya kompetisi. Organisasi dituntut untuk semakin kritis untuk mensikapi fenomena-fenomena perubahan lingkungan bisnis global yang terjadi dewasa ini agar mampu bertahan hidup, melalui perubahan cara pandang yang dimilikinya terhadap kondisi eksternal dan internal yang ada. Sedemikian cepatnya perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal organisasi sering kali menghadapkan organisasi pada pertanyaan-pertanyaan mengenai keputusan-keputusan strategik apa saja yang dapat dibuat dan apakah sumber daya yang harus dimiliki agar organisasi dapat selalu kompetitif.
Dalam tulisannya mengenai sebuah rerangka analisis untuk menilai apakah sumber daya yang dimiliki organisasi dapat memberikan manfaat keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, Barney dan Wright (1998) mengemukakan bahwa organisasi perlu untuk mengukur sumber daya yang dimilikinya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah sumber daya yang dimiliki memiliki nilai yang tinggi bagi organisasi (pertanyaan mengenai value), bersifat langka; dengan kata lain tidak semua organisasi memilikinya (pertanyaan mengenai rare), dan apakah sumber daya yang dimiliki tersebut sangat sulit untuk ditiru oleh organisasi yang lain ( pertanyaan mengenai imitability ). Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, organisasi akan menemukan jawaban mengenai sumber daya apakah yang akan memberikan peluang keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Beberapa kajian telah mengemukakan bahwa agar dapat selalu bertahan kompetitif, organisasi tidak dapat lagi hanya sekedar mengandalkan pada kepemilikan sumber daya yang bersifat tangibel; seperti misalnya kepemilikan modal, struktur, market share, mesin-mesin berteknologi tinggi, ataupun hak paten, karena kepemilikan aset-aset yang bersifat tangibel ini tidak akan memberikan peluang bagi organisasi untuk memiliki sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Ketidakmampuan aset-aset ini untuk memberikan kemanfaat tersebut muncul karena sumber daya ini, meskipun bernilai dan (mungkin) langka, namun mudah untuk direplikasi oleh organisasi lain dalam tempo yang relatif tidak terlalu lama. Dalam kondisi dimana bisnis serasa menjadi pacuan kuda, kecepatan kompetitor untuk melakukan replikasi sumber daya yang dimiliki akan menjadikan kompetensi yang sebelumnya dimiliki menjadi sebuah inkompetensi. Lalu, apa yang terjadi ketika fenomena inkompetensi ini dialami organisasi? Jawabannya jelas: organisasi akan terancam kehidupannya.
Oleh karenanya, dewasa ini telah berkembang pengakuan bahwa satu-satunya sumber daya yang mampu memberikan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan bagi organisasi akan terletak pada kepemilikan sumber daya yang bersifat intangibel; yaitu sumber daya manusia (lihat: Barney, 1991; Barney dan Wright, 1998; Coff 1997; Becker, Husselid, & Ulrich, 2001; Pfeiffer, 1994; Ulrich, 1997). Hal ini disebabkan karena sumber daya manusia melibatkan kepemilikan pengetahuan yang bersifat unik, dalam suatu kompleksitas sosial yang menyebabkan adanya timbulnya ambiguitas kausal. Keunikan yang melibatkan pengetahuan mengenai rutinitas dan prosedur-prosedur unik ini yang hanya bernilai terbatas pada organisasi yang mengembangkannya. Becker, Husselid, dan Ulrich (2001) dalam HR Scorecard mengemukakan bahwa kepemilikan aset intangible akan memberikan manfaat yang tangible ( profitabilitas ). Hal ini didukung oleh Pennings, Lee, dan Witteloostuijn (1998) dalam penelitiannya di Belanda, yang mengungkap bahwa ketika organisasi yang tidak lagi memiliki sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang spesifik akan mengalami kemunduran di dalam bisnis. Pentingnya aset intelektual bagi organisasi terjadi karena pengetahuan yang dimiliki sumber daya manusia secara kolektif merupakan sumber munculnya ide-ide kreatif dan inovatif yang dapat digunakan organisasi dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan, menemukan permasalahan, dan prediksi serta antisipasi terhadap isu-isu yang berpeluang untuk dihadapi organisasi (Leonard & Sensiper, tidak tercatat). Nugroho (2000) mengemukakan bahwa konsepsi inovasi yang berdasarkan pada kemampuan kreatif manusia, menempatkan manusia pada dunia tanpa batas karena sebenarnya sumber daya yang tidak pernah akan habis adalah daya kreasi manusia itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini isu sumber daya manusia benar-benar merupakan isu bisnis terkini karena kemampuannya untuk mempengaruhi esensi bisnis; yaitu profitabilitas, kelangsungan hidup, kekompetitifan organisasi, adaptabilitas, dan fleksibilitas (Schuler, 1990).
Dari uraian-uraian tersebut, pertanyaan-pertanyaan terkait dengan sumber daya macam apakah yang nantinya dibutuhkan oleh organisasi untuk tetap kompetitif telah secara parsial terjawab. Sisa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak bagaimana organisasi memandang kepentingan ini; bagaimana organisasi mengelola kapabilitas intelektual yang dimiliki sumber daya ini. Dalam tulisannya, Coff (1997) mengemukakan bahwa semata-mata memiliki karyawan yang bertalenta (sumber daya manusia) tidak akan secara langsung memberikan kepada organisasi sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Dengan kata lain, dibutuhkan sistem pengelolaan yang spesifik yang mampu mengelola aset intelektual ini menjadi sumber keunggulan yang berkesinambungan. Demi tujuan ini, organisasi dituntut untuk terlebih dahulu menggeser pemikiran tradisional; yang dulunya memandang bahwa sumber keunggulan kompetitif terletak pada kepemikan aset-aset tangibel kepada pemikiran yang memandang bahwa aset intangibel (pengetahuan yang dimiliki sumber daya manusia) merupakan sumber keunggulan kompetitif organisasi; dimana perubahan paradigma organisasional ke arah yang memandang sumber daya manusia sebagai sebuah investasi yang akan memberikan nilai tambah organisasi, akan berpengaruh terhadap praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Ketidakpastian yang tinggi yang dihadapi oleh organisasi hanya daat dikendalikan dengan adanya pemikiran, sikap dan perilaku kreatif serta inovatif. Dan hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang menempatkan kapabilitas intelektual manusia sebagai sumber daya untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan. Dengan menempatkan fokus ini pada penetapan strategi kompetitif organisasional dalam menghadapi situasi eksternal yang mencerminkan ketidakpastian yang sangat tinggi akan memampukan organisasi tidak hanya untuk mempertahankan hidup, namun sekaligus memimpin dalam lingkungan yang dipenuhi prediksi-prediksi dan antisipasi, melalui sebuah usaha penciptaan kreatifitas dan inovasi.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, kritis bagi organisasi untuk memahami bagaimana proses penciptaan kreatifitas dan inovasi ini terjadi. Bagaimana kreatifitas dan inovasi terbentuk dalam level organisasional, dan bagaimana organisasi memahami proses ini, merupakan prakondisi munculnya praktek-praktek pengelolaan manusia yang dapat mengakomodasi kapabilitas intlektual yang dimiliki aset ini. Isu inilah yang akan dikupas di dalam artikel ini, yaitu bagaimana pengetahuan yang bersifat unik; sebagai landasan kreatifitas dan inovasi ini, terbentuk di dalam kompleksitas jalinan sosial yang ada dalam organisasi. Secara khusus, kami akan mengkaji fenomena ini untuk menggambarkan bagaimana sebuah ide dan; bahkan, perilaku kreatif dan inovatif ini terbentuk dalam kompleksitas sosial organisasional. Dan dari paparan ini, akan dikaji bagaimana kepentingan organisasi; khususnya terkait dengan bagaimana peran fungsi pengelolaan sumber daya manusia yang ada dalam suatu organisasi, dapat mengelola aset-aset intelektual ini ke dalam sistem yang memampukan organisasi untuk menarik manfaat demi menghadapi kondisi eksternal yang sedang chaos ini. pembahasan akan dibagi ke dalam beberapa bagian, dimulai dengan bagaimana kreatifitas dan inovasi ini terbentuk; yang diawali dengan bagaimana sebuah pengetahuan dapat terbentuk, yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan ide serta perilaku kreatif dan inovatif. Lalu, bagaimana dampaknya terhadap pengelolaan organisasi secara keseluruhan, dan diakhiri dengan sebuah kontemplasi mengapa organisasi perlu untuk memiliki ide serta perilaku kreatif dan inovatif secara terus menerus dalam usia kehidupan organisasi. Secara khusus pula, akan dikaji model mengenai karakteristik pengetahuan organisasional dan bagaimana akumulasi pengetahuan ini terbentuk dengan menggunakan taksonomi pengetahuan organisasional yang dikemukakan oleh Matusik dan Hill (1998) dan model lingkaran kognisi kolektif akumulasi hingga akomodasi pengetahuan yang dikemukakan oleh Gibson (2001).
2.2. Kreatifitas dan Inovasi
Pada tulisan ini, kami menggambarkan kreatifitas dan inovasi sebagai suatu hal yang berbeda namun saling melengkapi. Amabile et al. (1996) mendefinisikan kreatifitas sebagai produksi ide-ide baru dan memiliki manfaat; dan inovasi sebagai implementasi dari ide-ide kreatif yang berhasil dalam sebuah organisasi. Uraian serupa juga dikemukakan oleh Rosenfeld dan Servo (mengutip Rabson dan DeMarco, 1999), yang mengemukakan bahwa inovasi adalah implementasi dari sebuah ide kreatif manusia. Oleh karenanya, kreatifitas merupakan bibit atau prakondisi dari inovasi. Kreatifitas memiliki tiga komponen, yang masing-masing saling berkaitan, yaitu: expertise; mencakup segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, baik secara teknis, prosedural, maupun intelektual; creative-thinking skill; untuk menentukan fleksibilitas dan imajinasi seseorang ketika dihadapkan pada suatu permasalahan; dan motivation; yang melibatkan hasrat yang berasal dari dalam diri individu dan dorongan dari luar bagi individu tersebut untuk memecahkan permasalahan-permasalahan (Amabile, 1998). Sebagai sebuah produk pemikiran, efektifitas kreatifitas dapat diukur dari seberapa besar nilai tambah kemanfaatan "produk" yang dihasilkan oleh proses ini (Lynn, 1999). Pemaknaan mengenai produk apa yang dihasilkan oleh pemikiran kreatif dan inovatif akan dijelaskan pada bagian lain tulisan ini. Keahlian, imajinasi, dan motivasi intrinsik merupakan sumber daya natural yang dimiliki oleh setiap manusia. Dan keunikan sumber daya ini adalah ketika sumber daya-sumber daya yang lain ketika digunakan akan semakin berkurang, maka kreatifitas dan inovasi tidak, karena adanya kesinambungan akumulasi pengetahuan yang terjadi sepanjang umur kehidupan manusia. Dalam konteks kompetitif, seringkali organisasi dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dominan seperti "bagaimana kita dapat bersaing, sementara sumber daya yang ada tidak mencukupi lagi". Nugroho (2000) mengemukakan bahwa konsep kelangkaan (scarcity) yang maka harus diimbangi dengan selalu mendominasi logika ini dapat dijawab melalui konsepsi fleksibilitas-kreatifitas. Manusia telah diberikan anugrah terbesar dibandingkan makhluk hidup lain berupa akal dan pikiran. Akal dan pikiran dalam bentuk ide kreatif dan inovatif inilah yang akan menjadi jembatan antara konsepsi kelangkaan dengan kesuksesan yang dituju organisasi; kreatifitas dan inovasi akan memampukan organisasi untuk mengolah sumber daya apapun, dan selangka apapun bentuknya menjadi sesuatu yang memberikan kemanfaatan tinggi, baik bagi organisasi maupun lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Amabile (1998) kreatifitas melibatkan adanya keahlian (expertise); yang diperoleh melalui pengalaman, pembelajaran, dan interaksi antar sesama manusia. Akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan-pengetahuan baru, yang berasal dari proses-proses pengalaman, pembelajaran, dan interaksi antar individu ini yang menjadi dasar terbentuknya pengetahuan-pengetahuan organisasional yang memberikan kemanfaatan ketika organisasi dihadapkan pada situasi untuk tetap bertahan kompetitif dari waktu ke waktu namun dikendala oleh kelangkaan sumber daya. Bagaimana pengetahuan organisasional ini terbentuk merupakan isu yang akan dibahas pada bagian berikut ini.
2.3. Bagaimanakah kreatifitas dan keinovatifan terbentuk?
Ketiga komponen yang dikemukakan oleh Amabile mencerminkan bahwa kreatifitas dan inovasi melibatkan adanya akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang nantinya akan digunakan untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh individu tersebut. Leonard dan Sensiper (tidak tercatat) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang relevan, mampu untuk dilaksanakan, dan berbasis pada pengalaman. Pengetahuan merupakan bagian dari informasi, dimana pengetahuan memiliki sifat subyektif, memiliki elemen-elemen yang unik (tacit) yang lahir dari pengalaman-pengalaman individual dan terkait erat dengan pembentukan perilaku-perilaku yang bermakna. Matusik dan Hill (1998) mengemukakan bahwa terdapat beberapa dimensi pengetahuan dalam organisasi, yaitu:
Pengetahuan pada level pengetahuan yang dimiliki individual atau individual knowledge, dan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif atau collective knowledge, dimana individual knowledge merupakan jumlah keseluruhan kompetensi, informasi, dan pengetahuan yang dimiliki secara individual, sementara collective knowledge terdiri atas prinsip-prinsip, rutinitas, dan praktek yang telah terorganisir, skema top manajemen, dan konsensus organisasional mengenai pengalaman di masa lampau, misi, tujuan, kompetitor, dan hubungan yang terjalin, yang telah terdifusi secara menyeluruh.
Dimensi kedua pengetahuan organisasional adalah pengetahuan yang dipelajari melalui pengalaman serta sulit untuk diartikulasikan, diformalisasikan, dan dikomunikasikan atau disebut dengan tacit knowledge, dan pengetahuan yang telah terkodifikasi, dan dapat saling diberikan di dalam sebuah metode yang formal dan sistematis atau explicit knowledge.
Dimensi ketiga adalah dimensi pengetahuan yang bersifat unik bagi organisasi atau private knowledge dengan pengetahuan yang bersifat umum bagi khalayak public knowledge.
Dimensi yang terakhir adalah pengetahuan yang terkait dengan aspek sub rutin dari operasional organisasi atau component knowledge dan pengetahuan yang terkait dengan aspek rutinitas organisasi secara menyeluruh atau architectural knowledge.
Hubungan masing-masing dimensi pengetahuan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(FIGUR 1):
Komponen pengetahuan organisasional
Private Public
(firm-specific)
Component Architectural Component
Individual Collective Collective Individual
Tacit Explicit Tacit Explicit Tacit Tacit Explisit
(Sumber: Matusik dan Hill, 1998)
Private knowledge (firm-specific knowledge), merupakan dari sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan, karena di dalamnya terlibat pengetahuan mengenai rutinitas organisasi secara menyeluruh maupun secara parsial, dimana pengetahuan ini dimiliki mulai dari level individual hingga pada level organisasional. Seperti yang terlihat pada figur 1, baik pada individu maupun pada kelompok terdapat pengetahuan yang bersifat unik; memiliki kemanfaatan hanya bagi yang memilikinya dan cenderung sulit untuk dipahami secara komprehensif, dan pengetahuan yang bersifat eksplisit; yaitu pengetahuan yang tidak bersifat unik dan dapat terobservasi oleh orang lain, mengenai aktifitas-aktifitas organisasi secara parsial (aktifitas hanya pada satu fungsi organisasional tertentu). Semua bentuk pengetahuan yang tercakup dalam ke empat dimensi ini merupakan sumber keunggulan kompetitif. Namun, untuk jangka panjang, hanya pengetahuan yang bersifat unik mengenai skema dan rutinitas yang dimiliki organisasi secara luas yang dimiliki secara kolektiflah yang merupakan sumber posisi kompetitif bagi organisasi. Dengan demikian, hanya pengetahuan yang bersifat unik; yang dimiliki secara kolektif, mengenai kompleksitas sistem yang ada di dalam organisasilah yang berpeluang untuk memberikan manfaat keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Namun, bagaimanakah pengetahuan yang bersifat yang dimiliki oleh individu, kelompok, dan organisasi ini terbentuk?
Organisasi, dengan segala struktur dan fungsi yang dimilikinya, dapat dianalogikan layaknya seorang manusia, namun dengan dengan situasi yang lebih kompleks karena di dalam organisasi terlibat adanya interaksi-interaksi sosial antara individu-individu di dalamnya. Mengacu kepada analogi tersebut, proses terbentuknya pengetahuan kolektif organisasional serupa dengan proses terbentuknya informasi pada manusia, hanya saja melibatkan kompleksitas sosial yang cukup tinggi. Organisasi, sebagai lingkungan sosial, melibatkan interaksi baik antar individual maupun antar kelompok. Interaksi ini menimbulkan adanya kompleksitas sosial di dalam organisasi. Hubungan intrapersonal tanpa disadari telah mengakibatkan timbulnya pembelajaran secara implisit; dimana proses ini secara tidak disadari telah memicu adanya transfer kognisi dari masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya. Aktifitas berbagi informasi ( information sharing ); baik antar individu, kelompok, dan organisasi akan membentuk akumulasi pengetahuan yang baru dimana pengetahuan ini akan saat berguna dalam proses pengambilan keputusan terhadap suatu permasalahan. Gibson (2001) menggambarkan proses akumulasi pengetahuan tersebut ke dalam sebuah lingkaran kognisi sebuah team. Mengadaptasi model lingkaran yang dikemukakan Gibson, dalam tulisan ini akan digambarkan bagaimana sebuah proses akumulasi pengetahuan terjadi, baik pada tingkatan individual, kelompok, maupun organisasi dalam Figur 2 berikut ini:
(FIGUR 2):
Lingkaran kognitif akumulasi pengetahuan
Accumulation:
Perceiving, filtering, storing
Interaction:
retrieving, exchanging, structuring
Accomodation:
integrating, deciding, acting
Examination:
Negotiating, intepreting, evaluating
(Adaptasi dari Gibson, 2001)
Lingkaran tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan seseorang, kelompok, ataupun organisasi terbentuk melalui tahapan-tahapan akumulasi; dimana di dalamnya terlibat subproses-subproses pembentukan persepsi, penyaringan, dan penyimpanan pengetahuan dan informasi yang berasal dari level individual, tahapan interaksi; dimana didalamnya terlibat proses-proses penarikan kembali informasi dan pengetahuan yang disimpan dalam memori organisasional, dilanjutkan dengan terjadinya proses pertukaran, dan pembentukan struktur informasi dan pengetahuan pada level organisasi, pengkajian ulang informasi yang telah terbentuk (eksaminasi); dimana dalam proses ini, anggota-anggota organisasi (dalam kelompok-kelompok) akan melakukan proses negosiasi, pengintepretasian, dan evaluasi terhadap pengetahuan dan informasi yang dihasilkan pada proses sebelumnya, serta tahapan akomodasi; yang mana dalam tahapan ini, anggota-anggota organisasi melakukan proses integrasi, pengambilan keputusan, serta melakukan tindakan berdasarkan keputusan yang telah diambil. Proses kognisi ini terjadi secara berkesinambungan, seiring perkembangan usia individu, team, dan organisasi. Oleh karenanya, seiring dengan pertambahan usia kehidupan maka semakin berkembang pula informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang; demikian pula pada organisasi.
Akumulasi informasi-informasi menjadi sebuah pengetahuan menjadi landasan terciptanya ide-ide baru untuk mensikapi sebuah fenomena yang sedang dihadapi. Namun, sekali lagi dalam tulisan ini diingatkan, bahwa pengakuan kemanfaatan pengetahuan sebagai sebuah sumber keunggulan kompetitif hanya terjadi apabila muncul nilai tambah pada outcome yang dihasilkan. Oleh karenanya, pengetahuan sebagai dasar kreatifitas dan inovasi, hanya akan memberikan sumber daya kompetitif apabila interaksi-interaksi yang mendorong terciptanya pengetahuan serta ide-ide baru untuk menghasilkan solusi-solusi murni untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi organisasi, serta mampu diterapkan dalam bentuk yang memungkinkan peluang penyelesaian masalah-masalah organisasional itu terjadi. "Produk" kreatifitas dan inovasi inilah yang dijanjikan oleh sumber daya manusia sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Produk ini berupa pemikiran, sikap, dan perilaku dalam mensikapi perkembangan lingkungan eksternal yang sedemikian cepatnya. Namun, seringkali kita menafsirkan bahwa kreatifitas dan inovasi hanya dibutuhkan ketika organisasi hendak meluncurkan varian produk atau produk-produk baru untuk mengimbangi tuntutan perubahan permintaan konsumen; dengan kata lain, bahwa nantinya berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif dan inovatif merupakan tanggung jawab hanya departemen R&D saja, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap lahirnya produk-produk baru organisasi; dalam hal ini produk yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagai konsumen. Ini merupakan sebuah pemikiran yang keliru, karena berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif-inovatif merupakan kewajiban setiap individu dalam organisasi. Lagipula, untuk meniru atau mereplikasi produk semacam ini tidak sulit dilakukan oleh kompetitor, sementara meniru sebuah pemikiran, sikap, dan perilaku yang kreatif-inovatif yang dimiliki secara kolektif oleh anggota-anggota organisasi merupakan hal yang sulit.
Berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif dan inovatif merupakan anugerah terbesar yang diberikan kepada semua umat manusia. Oleh karenanya, merupakan kewajiban dan tanggung jawab seluruh manusia untuk menggunakannya secara bertanggung jawab. Dapat dibayangkan betapa banyak ide-ide baru yang nantinya muncul dari interaksi-interaksi kognitif sumber daya manusia ini. Dengan sedemikian banyaknya ide yang muncul, dapat dilihat pula betapa besar peluang organisasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapinya saat ini; terutama permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelangsungan hidupnya, dan betapa besar peluang organisasi untuk berada selangkah lebih maju dalam mensikapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepatnya. Begitu banyak kemanfaatan strategis yang dapat diambil oleh organisasi dengan menyadari eksistensi aset ini dan melakukan praktek-praktek yang mengarah kepada bagaimana mengelola aset ini secara efektif. Lalu, bagaimana organisasi mensikapi kemanfaatan ini; apa saja yang harus dilakukan organisasi agar kemanfaatan pengetahuan yang bersifat unik yang dimiliki oleh sumber daya manusia dapat terakomodasi menjadi sumber daya strategis organisasi.
2.4. Apa yang harus dilakukan oleh organisasi?
Beberapa kajian pada bagian awal artikel ini, mengenai pengelolaan sumber daya manusia sebagai sumber keunggulan kompetitif mengemukakan bahwa untuk menjadikan aset ini sebagai sebuah aset strategis membutuhkan pergeseran paradigma praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia dengan menempatkan fungsi pengelolaan sumber daya manusia sebagai partner strategik organisasi. Dengan menempatkan fungsi ini sejajar dengan fungsi-fungsi strategik lain, serta ditunjang fokus strategi yang dianut oleh organisasi, akan menempatkan praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia ke arah yang lebih strategik pula (Pffeifer, 1995). Dituntut adanya perubahan pola pikir secara radikal pada pihak manajemen puncak. Radikal di sini dalam pengertian bahwa manajemen puncak harus merubah cara berpikir selama ini; dari yang semula menganggap aset intelektual sebagai obyek menjadi subyek kebijakan-kebijakan strategis yang akan diterapkan organisasi. Tanpa adanya perubahan radikal ini, mustahil bahwa kemanfaatan intelektualitas manusia dapat diaktualisasikan menjadi keunggulan kompetitif organisasi dan dalam mensikapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat dan tidak berpola. Tanpa adanya perubahan yang radikal terhadap pola pikir organisasional akan menyebabkan pemborosan penggunaan kapabilitas intelektual karena pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif dan inovatif; yang semestinya mampu menjadi solusi tanpa batas setiap permasalahan yang dihadapi organisasi, tidak akan terealisasi.
Pihak manajemen puncak perlu mendorong terciptanya praktek-praktek organisasional yang memampukan terjadi transfer pengetahuan di antara masing-masing individu yang ada dalam organisasi; praktek-praktek organisasional yang mendorong terjadinya proses akumulasi pengetahuan secara kolektif untuk menggali ide-ide kreatif dan inovatif yang tersimpan dalam memori masing-masing individu. Fokus ini, tentu saja, juga akan berpengaruh terhadap praktek-praktek manajemen sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya ada banyak faktor yang mampu menghalangi terjadinya akumulasi pengetahuan; antara lain sumber daya manusia tidak didorong untuk melakukan partisipasi di dalam proses sharing pengetahuan, hirarki jabatan yang berbeda antar anggota yang terlibat dalam proses akumulasi pengetahuan, dan dimensi-dimensi waktu dan pemisahan lokasi secara fisik antar fungsi dalam organisasi; yang tidak mendukung keeratan dan keintiman komunikasi antar anggota organisasi (Leonard dan Sensiper; tidak tercatat); dan seringkali pula organisasi yang telah merasa melakukan praktek-praktek yang dikatakan mendukung kreatifitas dan inovasi, ternyata dalam kenyataannya justru mematikan kreatifitas dan inovasi itu sendiri. Amabile (1998) mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena organisasi justru melakukan praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia yang secara tidak disengaja mematikan kreatifitas dan inovasi itu sendiri.
Namun, hal ini bisa diatasi apabila manajemen, secara berkelanjutan, memonitor lingkungan yang ada di dalamnya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kualitatif mengenai, "apakah iklim dan budaya yang ada di dalam organisasi ini telah mendukung terjadinya sharing informasi, pengetahuan, dan ide-ide kreatif dan inovatif yang memberikan kemanfaatan bagi organisasi secara berkelanjutan ?"; lalu "apakah organisasi telah mengakomodasi perilaku-perilaku kreatif dan inovatif yang muncul ke dalam sebuah bentuk yang riil; yang memberikan kemanfaatan; baik bagi organisasi, lingkungan, dan umat manusia ?" dan disertai riset secara berkala berkaitan dengan sikap dan perilaku karyawan untuk mengetahui sampai sejauh mana reaksi karyawan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan organisasi dan kebijakan manakah yang tidak mendukung iklim dan budaya kreatifitas dan inovasi. Ketiga hal ini kami anggap penting sebagai prakondisi munculnya iklim dan budaya kreatifitas dan inovasi.
Selain itu, manajemen puncak perlu juga merubah desain pekerjaan yang ada dalam organisasi. Desain pekerjaan yang dibutuhkan saat ini adalah desain pekerjaan yang memberi kesempatan munculnya kemampuan analisa terhadap lingkungan sekitar. Dengan desain pekerjaan seperti ini, peluang perubahan-perubahan sekecil apapun yang terjadi di sekeitar organisasi akan cepat terdeteksi, dan akan memampukan organisasi untuk segera mengambil langkah proaktif untuk mensikapinya. Oleh karenanya pekerjaan yang selama didasarkan pada analisa jabatan yang rigid; semata-mata terfokus pada konteks desain pekerjaan yang rigid, yang mendorong karyawan fokus hanya kepada bagaimana caranya agar menyelesaikan tugas-tugasnya namun tidak mendorong karyawan menggunakan kemampuan imajinatifnya untuk senantiasa melakukan analisa lingkungan, perlu diganti dengan desain yang mampu memotivasi timbulnya peran-peran ekstra fungisonal (extra-role effort) sumber daya manusia untuk selalu melakukan analisa lingkungan. Sistem reward kinerja pun sebaiknya diarahkan kepada sistem yang mampu mengakomodasi kemampuan kreatif dan inovatif manusia. Semata-mata melakukan motivasi ekstrinsik dengan desain reward yang sebagian besar dirupakan dalam bentuk uang, tidak akan mampu memicu kapabilitas kreatifitas dan inovatif sumber daya manusia hingga ke taraf yang optimal. Manajemen puncak perlu menetapkan desain reward yang fokus pada munculnya motivasi intrinsik untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif bagi setiap individu yang ada dalam organisasi, termasuk mereka yang berada dalam jajaran manajemen puncak.
III. SIMPULAN
Pengetahuan merupakan sumber daya yang dapat memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi seluruh aktifitas di muka bumi ini. Dari pengetahuan yang dimiliki, seseorang dapat menghasilkan ide-ide baru yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, dan dari pengetahuan ini pulalah organisasi mampu bertahan hidup di dalam kondisi yang serba tidak menentu seperti yang terjadi sekarang ini. Melalui akumulasi pengetahuan dalam sebuah interaksi sosial yang melibatkan keintiman dan adanya transfer kognitif, akan dihasilkan ide-ide kreatif baru yang memberikan kemanfaatan strategis bagi organisasi. Dimensi keunikan di dalam pengetahuan yang dimiliki individual, melekat pada pemilik pengetahuan tersebut dan tidak dimiliki oleh publik, sementara dimensi keunikan di dalam pengetahuan yang dimiliki secara kolektif, terangkai dalam organisasi secara menyeluruh, dan sulit untuk diimitasi.
Kreatifitas dan inovasi; sebagai suatu pemikiran, sikap, dan perilaku, sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan tidak hanya dibutuhkan oleh organisasi yang sedang mengalami kemunduran dan berusaha untuk bertahan hidup, namun juga dibutuhkan oleh organisasi yang sedang pada masa keemasannya, karena justru organisasi yang sedang berada pada puncak kesuksesan inilah yang seringkali memiliki resiko yang tinggi sebagai akibat dari rasa percaya diri yang berlebihan terhadap proses-proses dan sistem yang dimilikinya (Simons, 1999). Perubahan lingkungan eksternal terjadi tanpa pernah berhenti, dan kebebalan untuk tetap mempertahankan apa yang pernah membuat organisasi tersebut sukses hanya akan membawa organisasi ke jurang kehancuran. Pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif dan inovatif menjanjikan kepada organisasi fleksibilitas dan adaptabilitas terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Kembali kepada uraian yang dikemukakan oleh Nugroho (2000), bahwa konsepsi inovasi yang berdasarkan sumber daya manusia akan menempatkan manusia pada dunia tanpa batas, karena sebenarnya sumber daya yang tidak pernah habis adalah daya kreasi manusia itu sendiri. Oleh karenanya, terbentuknya budaya dan iklim yang mendorong terbentuknya sikap dan perilaku proaktif, kreatif, dan inovatif akan membawa manusia dan organisasi kepada kekuatan yang sangat besar untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Disini, dituntut peranan yang besar dari pihak manajemen untuk mengubah lingkungan organisasi menjadi lingkungan yang mendukung kreatifitas dan inovasi; melalui pengelolaan sumber daya manusia secara spesifik.
Akan tetapi, pengetahuan yang bersifat unik ini berpeluang untuk tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi yang ada; seperti saat ini, dan ketika hal tersebut terjadi maka organisasi berada dalam bahaya. Oleh karenanya, pihak manajemen perlu menciptakan bentuk organisasi yang di dalamnya akan terjadi proses-proses kognitif secara terus menerus untuk menjaga bahwa pengetahuan yang dimiliki organisasi tetap sesuai untuk situasi dan kondisi yang sedang dihadapi.
Dalam bagian akhir, penulis ingin mengemukakan bahwa karunia terbesar yang dimiliki manusia adalah akal budi pikiran yang kita miliki ini. Kemampuan inilah yang memberikan peluang kepada manusia untuk mengolah sumber daya alam yang telah tersedia. Langka atau tidaknya sumber daya alam sangat bergantung dari sudut mana bagaimana kita memandangnya; dan hal ini berarti tergantung bagaimana kita, secara bijaksana memanfaatkan akal, pikiran, dan budi pekerti yang telah dianugerahkan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
Amabile, T.M. (1998). How to kill creativity? Harvard Business Review , September-October: 77-87.
Amabile, T.M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. (1996). Assessing the work environment for creativity. Academy of Management Journal, 39:1154-1184.
Barney, J.B. (1991). Firm-resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 77: 99-120.
Barney, J.B., & Wright, P.M. (1998). On becoming a strategic partner: the role of human resources in gaining competitive advantage. Human Reosurces Management, 37: 31-46.
Becker, B.E., Husselid, M.A., & Ulrich, D. (2001). The HR Scorecard: linking people, strategy, and performance. Harvard Business School Press. Boston, Massachusetts.
Coff, R.W. (1997). Human assests and management dilemmas: coping with hazards on the road to resource-based theory. Academy of Management Review, 22: 374-402.
Gibson, C.B. (2001). From knowledge accumulation to accomodation: cycles of collective cognition in work groups. Journal of Organizational Behavior, 22: 121-134.
Leonard, D., & Sensiper, S. (tidak tercatat). The role of tacit knowledge in group innovation.
Lynn, B.E. (1999). Culture and intellectual capital management: a key factor in successful ICM implementation. International Journal Technology Management, 18: 590-603.
Matusik, S.F., & Hill, C.W.L. (1998). The utilization of contingent work, knowledge creation, and competitive advantage. Academy of Management Review, 23: 680-697.
Nugroho, E.P. (2000). Komplementarianisme. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 15: 349-359.
Pennings, J.M., Lee, K., & Witteloostuijn (1998). Human capital, social capital, and firm dissolution. Academy of Management Journal, 41; 425-440.
Pfeiffer, J. (1995). Producing sustainable competitive advantage through the effective management o people. Academy of Management Executive, 9: 55-69.
Rabson, J.D., & DeMarco, D.A. (1999). A model of innovation systems with links to creative style and psychological type. International Journal Technology Management, 18: 627-645.
Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function: transformation or demise? Academy of Management Executive, 4: 49-59.
Simons, R. (1999). How risky is your company? Harvard Business Review, May-June: 85-85-94.
Ulrich, D. (1997). Human resource champion. Harvard Business School. Boston, Massachusetts.
Komentar