DIFFUSI PRODUK BARU

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2004

DIFFUSI PRODUK BARU: HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN

Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk)

Oleh: Eric Santosa

Abstract

Arndt (1974) studied about the process of diffusion, particularly the role of innovativeness, opinion leadership, learning, and perceived risk. He found some questions remained unanswered. What author does this time is to replicate Arndt’s study whether the result will be in accordance to his findings. In addition, this study is also to extend Arndt’s study to answer what are still unanswered. The research is designed similar as Arndt’s including samples, object of the study, as well as the methodology. The findings show that Arndt’s study is not always in accordance to Indonesians.

Pendahuluan

Produk baru selalu berkaitan dengan upaya mempertahankan tingkat penjualan atau membangun penjualan suatu perusahaan (Kotler, 2000: 328). Perusahaan 3M dan Johnson & Johnson misalnya, mentargetkan bahwa dalam waktu lima tahun semenjak diluncurkan, suatu produk baru akan bisa memberikan kontribusi sebesar seperempat dari besarnya penjualan (Assael, 1995: 671). Meskipun demikian tidaklah selalu berarti bahwa produk baru akan selalu membawa perusahaan kepada tingkat penjualan yang diinginkan atau tingkat penjualan yang lebih baik. Assael (1995: 671) menyebutkan bahwa produk baru lebih banyak yang tidak berhasil daripada yang berhasil. Rata-rata hanya satu di antara lima yang bisa berhasil, atau dengan perkataan lain tingkat keberhasilannya hanya 20%.

Mengapa bisa demikian? Diffusi produk baru sangat menentukan. Suatu innovasi yang dimunculkan dalam bentuk produk baru yang mempunyai atribut dan ciri-ciri yang berbeda dengan kebanyakan produk yang sudah ada, berhasil tidaknya akan ditandai dengan banyak sedikitnya pelanggan potensial yang mencari tahu, mencobanya, menggunakannya, atau menolaknya (Kotler, 1988: 439).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Arndt (1974) misalnya menyebutkan antara lain karakter dari inovator, peran dan karakter dari pemimpin opini (opinion leader), sumber-sumber informasi baik yang personal maupun yang bukan personal, dan peranan dari risiko teramati (perceived risk). Mahajan dan Peterson (1978:

1589) juga menyebutkan adanya tujuh faktor yang mempengaruhinya, antara lain inovasi itu sendiri, pengguna, saluran inovasi, ruang dan waktu, agen pengubah, dan sistem sosial.

Mahajan dan Muller (1979: 58-59) menyebutkan bahwa diffusi dari suatu inovasi adalah suatu proses komunikasi. Jadi diffusi ini dipengaruhi oleh faktor eksternal misalnya iklan, dan faktor internal misalnya dari mulut ke mulut (word of mouth). Sedangkan Rogers (1983) dalam Mahajan, Muller, dan Bass (1990: 1) menyebutkan adanya empat faktor antara lain inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.

Dalam studi ini akan lebih ditekankan pada faktor-faktor yang digunakan oleh Arndt (1974). Tujuan dari studi ini pertama, terutama untuk mereplikasi studi Arndt dengan menambah jumlah objek penelitian. Kedua, dapat disebutkan bahwa di akhir studinya Arndt masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in leraning), dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya risiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli. Oleh karenanya, studi ini juga ingin mencoba menjawab pertanyaan Arndt tersebut. Dengan demikian, di samping merupakan replikasi, studi ini juga merupakan pengembangan dari studi Arndt.

Meskipun Arndt telah memberikan penjelasan mengenai variabel-variabel yang digunakannya, namun penjelasan itu dirasa masih sangat sedikit, lebih bersifat konseptual. Oleh karenanya, akan ditambahkan teorisasi, meski juga bersifat singkat, mengenai hubungan variabel-variabel tersebut dan hipotesis Arndt. Demikian pula disusun teorisasi sebagai kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang berkaitan dengan pertanyaan Arndt di atas. Sisa dari tulisan ini kemudian berupa desain riset, operasionalisasi variabel, hasil penelitian dan analisis, kesimpulan, dan rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.

Inovasi dan Produk Baru

Suatu inovasi dapat berupa pengembangan teknologi pada produk baru atau modifikasi pada produk lama (Assael, 1995: 673). Pengembangan teknologi ini dapat berupa (1) inovasi tidak berkelanjutan (discontinous innovation), yaitu adanya produk baru yang mengakibatkan adanya perubahan pola perilaku, (2) inovasi berkelanjutan yang dinamis (dynamically continous innovation), yaitu adanya produk baru dan yang tidak menyebabkan adanya perubahan dalam pola perilaku, (3) inovasi berkelanjutan (continous innovation), yaitu modifikasi dari produk lama

Inovasi juga dapat mengambil bentuk perubahan arti simbolik dari suatu produk (Assael, 1995: 675). Misalnya jean yang sebelumnya hanya untuk pria kemudian juga untuk wanita. Demikian pula produk perawatan kulit (skin care product) tidak hanya untuk wanita, tapi juga untuk pria.

Dari sudut pandang konsumen sendiri, sesuatu itu dikatakan baru apabila menyangkut hal-hal sebagai berikut (Booz et al. dalam Kotler, 2000: 328): (1) produk baru dengan penciptaan pasar yang baru (new to the world products), (2) produk baru dengan pertama kali memasuki pasar yang sudah ada untuk produk semacam (new product line), (3) produk baru hasil modifikasi produk lama (addition to existing product lines), (4) produk baru untuk menggantikan produk yang ada untuk meningkatkan kinerja dan nilai (improvement in/revisions to existing products), (5) produk yang ada yang ditargetkan untuk pasar baru atau segmen baru (repositionings), (6) produk baru dengan harga lebih rendah (cost reductions)

Dari berbagai macam jenis produk baru tersebut tentu sebagai tujuan akhirnya adalah dipergunakannya produk tersebut oleh konsumen. Semakin banyak dan semakin seringnya produk tersebut digunakan tentunya juga akan menunjukkan berhasilnya penyebaran informasi yang berkaitan dengan produk baru tersebut. Berikut akan dibicarakan hakikat dari suatu proses penyebaran.

Proses Diffusi

Suatu proses penyebaran bermula dengan berhentinya proses inovasi perusahaan (Kotler, 1988: 439). Sedangkan Assael (1995: 676) menyebutkan bahwa diffusi sebagai proses penggunaan inovasi yang disebar-luaskan dari waktu ke waktu kepada konsumen lain dalam suatu target pasar melalui komunikasi. Suatu proses diffusi menggambarkan bagaimana konsumen potensial mencari tahu tentang produk yang dirasanya baru tersebut, mencobanya, dan kemudian terus menggunakannya atau sebaliknya justru berganti merek lain karena produk tersebut tidak memuaskannya. Tujuan dari para pemasar tentunya adalah terus menerusnya konsumen membeli produknya atau terciptanya loyalitas konsumen (Dharmmesta, 1999: 73). Oleh karenanya studi tentang diffusi ini biasanya berkaitan dengan masalah meningkat-tidaknya pengguna produk tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990: 38; Sultan Farley, Lehmann, 1990: 70).

Assael (1995: 677) menggambarkan bahwa proses diffusi ini dilakukan dengan melalui beberapa tahap, antara lain (1) kesadaran (awareness), (2) pengetahuan (knowledge), (3) evaluasi (evaluation), (4) percobaan (trial), (5) adopsi (adoption), (6) evaluasi setelah membeli (post purchase evaluation). Tidak semua konsumen potensial dari suatu produk bisa menerima produk tersebut pada waktu yang bersamaan (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990: 37). Ada yang awal sekali (consumption pioneers dan early adopters), ada yang kemudian dan ada yang paling kemudian (Kotler, 2000: 356). Sedangkan Rogers (dalam Mahajan, Muller, dan Srivastava, 1990: 37) menyebutkan ada beberapa kelompok konsumen yang berkaitan dengan pengaruh diffusi ini, yaitu (1) inovator (innovators), (2) pengguna awal (early adopters), (3) mayoritas awal (early majority), (4) mayoritas akhir (late majority), (5) pencorot (laggard).

Inovator adalah mereka yang pertama kali menggunakan barang tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990). Mereka berani mencoba sesuatu yang baru dengan menanggung risikonya. Dengan kata lain mereka memiliki innovativeness yang menurut istilah Rogers (dalam Kotler, 1988: 440) adalah tingkat yang menunjukkan individu menggunakan ide-ide baru relatif lebih awal dari orang lain.

Para inovator ini berani berbuat demikian karena telah terinformasi terutama melalui mass media (Mahajan, Muller, Bass, 1990). Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki tentang suatu produk baru, maka mereka bisa bertindak sebagai pemimpin opini (opinion leader) (Arndt, 1974: 329; Assael, 1995: 652)), yaitu mereka yang mempengaruhi orang lain tentang suatu produk baru dengan melalui mulut ke mulut (word of mouth) (Assael, 1995: 652).

Proses diffusi selanjutnya terutama memang ditopang oleh adanya komunikasi (Assael, 1995: 689; Mahajan & Muller, 1979: 59). Pengguna awal lebih banyak dipengaruhi informasi yang berasal dari media massa (Assael, 1995: 689). Ketika kesadaran mulai tercipta, peranan pengaruh personal menjadi sangat penting (Kotler, 1988: 441). Informasi dari mulut ke mulut menjadi sangat menonjol (Assael, 1995: 689; Sultan, Farley, Lehmann, 1990: 75).

Di samping peranan dari pemimpin opini dalam mempengaruhi konsumen lain, hal demikian juga disebabkan karena konsumen mempunyai beberapa alasan tertentu. Alasan tersebut antara lain (1) teman dan saudara merupakan sumber informasi produk yang bisa dipercaya, (2) informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembelian (misalnya harga di toko tertentu lebih mahal dari yang lain, barang yang dicari tidak terdapat di toko tertentu, dan sebagainya) mudah diperoleh dari sumber personal, (3) mengurangi risiko pembelian (Assael, 1995: 646-647).

Hubungan antara Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk)

Arndt (1974) dalam studinya mempergunakan variabel-variabel Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion leader), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived risk). Hubungan antara keempat variabel tersebut dapat dirangkaikan sebagai berikut. Inovator karena pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya cenderung menjadi pemimpin opini (Arndt, 1974: 329; Assael, 1995: 652). Sedangkan pengguna awal, dan seterusnya, percaya pada informasi dari mulut ke mulut (Assael, 1995: 689; Sultan, Farley, Lehman, 1990: 75) untuk mengurangi ketidak-pastian tentang suatu produk baru atau mengurangi risiko (Assael, 1995: 647).

Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh pada pemimpin opini ini juga akan dipergunakannya pada produk-produk lain yang semacam. Oleh karenanya ada kecenderungan bekerjanya keempat variabel tersebut pada produk-produk semacam (Arndt, 1974: 329).

Meskipun demikian ada sesuatu yang patut dikemukakan di sini berkaitan dengan istilah inovator yang dipergunakan Arndt. Melihat tahun penelitian Arndt, maka ada kecenderungan istilah inovator yang dipergunakannya mengacu kepada penelitian Bass (1969), dan bukan pada istilah inovatornya Rogers, karena yang terakhir ini baru dikemukakan pada tahun 1983. Dengan demikian istilah inovator Arndt ini, sebagaimana istilah inovatornya Bass, cenderung tidak menunjukkan mereka yang pertama kali menggunakan produk baru tersebut (Mahajan, Muller, Srivastava, 1990).

Dengan melihat uraian di atas, maka dalam penelitian ini masih dikemukakan hipotesisnya Arndt sebagai berikut:

H1:

Dalam klas produk yang sama, keempat variabel tersebut adalah saling berhubungan. Terutama adanya hubungan yang positip diharapkan antara Kemampuan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership), dan Mencari Tahu/Belajar (Learning). Namun ketiganya mempunyai hubungan yang negatip dengan Risiko Teramati (Perceived Risk)

H2:

Semakin sama klas produknya akan semakin cenderung bekerjanya keempat variabel tersebut bersama-sama

Peranan Nilai Inovasi dan Harga pada Konsumen

Studi Arndt masih menyisakan pertanyaan apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan oleh karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in learning) dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya rIsiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli. Kalau dilihat dari sekuen (urutan) keputusan adopsi, misalnya dari Assael (1995: 677) maka proses itu dimulai dari kesadaran, dan berturut-turut pengetahuan, evaluasi, percobaan, adopsi, dan evaluasi setelah membeli. Sedangkan Kotler (2000: 355) memberikan urutan yang berbeda, yaitu kesadaran, minat, evaluasi, percobaan, dan adopsi.

Hampir semua model tersebut bermula dari kesadaran. Setelah mencari informasi secukupnya tentang inovasi baru, maka diputuskan untuk mencobanya. Dengan perkataan lain, proses ini diwarnai dengan menerima informasi, mencari informasi lebih jauh, dan mencoba inovasi. Dengan demikian, penjelasan ini sementara menjawab pertanyaan Arndt yang pertama.

Meskipun demikian Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) mengemukakan salah satu modelnya yang di antaranya: "… konsumen bisa segera menerima suatu inovasi tanpa melalui pertimbangan dan evaluasi yang cukup". Proses selanjutnya adalah mencoba, dan kemudian menerimanya atau menolaknya. Robertson (1974: 295) dalam kesimpulannya juga menyatakan bahwa urutan diffusi ini juga dipengaruhi oleh atribut, misalnya harga dan tinggi-rendahnya risiko produk.

Sejalan dengan pikiran Campbell, juga dinyatakan oleh Howard (1989: 60) bahwa keputusan adopsi dipengaruhi oleh harga dan penting-tidaknya produk tersebut bagi konsumen. Bila produk tersebut penting, dan harganya rendah, maka akan lebih ekonomis dengan langsung membeli dan kemudian mempelajarinya, dibandingkan dengan mencari tahu sebelumnya yang menghabiskan waktu dan tenaga. Dalam pikiran ini tersirat bahwa proses adopsi muncul setelah adanya kesadaran, yang bisa diikuti dengan adanya pembelian sebagai bagian dari mencari tahu/belajar, untuk kemudian menerima atau menolaknya. Dengan demikian penjelasan ini masih konsisten dengan yang pertama, dan sekaligus menjawab pertanyaan Arndt yang kedua.

Dari uraian di atas dapat kemudian dikemukakan bahwa persepsi tentang nilai, risiko, dan harga mempengaruhi keputusan mencoba. Semakin penting nilai suatu inovasi, risiko sudah diketahui, dan dengan harga yang dianggap rendah, maka ada kecenderungan yang semakin tinggi untuk mencobanya sekaligus untuk mempelajarinya. Dalam konteks keempat variabel dari studi Arndt di atas, pentingnya suatu inovasi dan rendahnya harga menunjukkan semakin tingginya konsumen mencari tahu/belajar (higher in learning). Sedangkan persepsi konsumen terhadap rendahnya risiko produk baru adalah sebagai akibat tingginya tingkat mencari tahu/belajar tersebut. Dengan demikian, arah yang dipertanyakan Arndt menjadi jelas, dan dapat kemudian dibuat hipotesis sebagai berikut:

H3:

Ada pengaruh dari tingginya tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan rendahnya Risiko (Perceived Risk) terhadap Kemauan Berinovasi (Innovativeness)

Desain Riset

Agar sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian ini didesain sedemikian rupa sehingga mirip dengan studi Arndt. Pertama, data diambil dari para ibu rumah tangga, yaitu para dosen dan karyawan dari berbagai perguruan tinggi yang berstatus sebagai ibu rumah tangga. Dengan menggunakan kuesioner yang langsung diisi di tempat, berhasil diperoleh 116 responden dari 117 orang yang ada dalam daftar. Sedangkan seorang lainnya membawa kuesioner ke rumah dan tidak mengembalikan.

Kedua, kategori produk dalam penelitian ini juga disesuaikan dengan studi Arndt. Apabila Arndt menggunakan mentega lunak (soft margarine), sikat gigi elektrik (electric toothbrush), dan pencuci piring elektrik (electric dishwasher), maka dalam penelitian ini juga dipergunakan mentega/margarin, dan dua jenis alat rumah tangga yang berupa magic jar dan mesin cuci. Untuk memberikan dampak lebih, jenis produknya ditambah yaitu deterjen. Penggunaan jenis ini dimaksudkan untuk memberi keseimbangan karena dalam studi Arndt dari kategori produk seperti ini hanya digunakan satu saja, sehingga diharapkan dampak dari keempat variabel untuk produk yang sama, dapat juga dilihat pada kategori produk ini. Sedangkan penggunaan magic jar dan mesin cuci adalah dengan mempertimbangkan kategori produk yang ada, serta produk yang familier bagi ibu rumah tangga di Indonesia.

Ketiga, operasionalisasi variabel menggunakan sebagaimana yang dipergunakan Arndt. Keempat, metode analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi antara dua variabel dan analisis regrresi ganda (multiple regression). Yang terakhir ini khususnya digunakan untuk menguji hipotesis 3. Sedangkan perhitungan statistiknya menggunakan bantuan program SPSS.

Operasionalisasi Variabel

Yang dimaksudkan dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) adalah tingkat penggunaan suatu inovasi yang lebih awal dari yang lain. Variabel ini diukur dari waktu saat pembelian pertama. Disediakan 6 pilihan untuk mentega dan deterjen, dan 7 pilihan untuk magic jar dan mesin cuci. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) adalah pengaruh secara personal dari mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang suatu inovasi kepada konsumen lain. Variabel ini diukur dengan pertanyaan: "Berapa sering teman-teman ibu bertanya/meminta saran tentang produk tertentu?". Jawaban disediakan dengan menggunakan skala 5.

Yang dimaksudkan dengan tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) adalah upaya konsumen untuk mencari tahu lebih banyak tentang suatu inovasi, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Variabel ini berkaitan dengan kesadaran (awareness) tentang suatu merek atau familieritas, dan diukur dalam bentuk jumlah merek yang spontan bisa diingat. Jawaban disediakan dalam 6 pilihan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Risiko Teramati adalah bertalian dengan ketidak-pastian konsumen ketika berhadapan dengan suatu inovasi baru. Variabel ini diukur dengan pertanyaan: "Bagaimana tingkat keyakinan ibu ketika membeli produk tersebut?". Jawaban disediakan dalam skala 5.

Tabel 1

Operasionalisasi Variabel

VARIABEL

PERTANYAAN

JAWABAN

Kemauan berinovasi (Innovativeness)

Kapan pertama kali membeli merek tersebut?

6 pilihan untuk mentega dan deterjen

7 pilihan untuk magic jar dan mesin cuci

Kepemimpinan opini (Opinion leadership)

Berapa sering teman-teman ibu bertanya/ meminta saran tentang produk tersebut?

Skala 5

Tingkat Mencari tahu/ Belajar (Learning)

Ada berapa merek produk tersebut yang ibu ingat?

6 pilihan

Risiko teramati (Perceived risk)

Bagaimana tingkat keyakinan ibu ketika membeli merek tersebut?

Skala 5

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hubungan Antara Keempat Variabel dalam Klas Produk

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya dukungan bagi temuan Arndt (1974). Hampir dalam semua klas produk tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antar keempat variabel, kecuali antara Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Risiko Teramati (Perceived Risk) dalam produk deterjen, dan antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dengan Risiko Teramati (Perceived Risk) dalam produk mesin cuci (lihat Tabel 2). Hasil ini bisa dianalisis sebagai berikut:

  1. Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership)

Bahwa pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh inovator yang kemudian mendorongnya untuk menjadi pemimpin opini (opinion leader) tidak didukung oleh temuan dalam penelitian ini. Dari keempat macam produk, rata-rata kedua variabel itu mempunyai hubungan yang positip. Kecuali dalam produk magic jar hubungan itu negatip.

Adanya hubungan yang positip itu seolah mendukung pendapat di atas, tetapi karena secara statistik tidak signifikan, maka pengetahuan dan pengalaman inovator itu tidak cukup kuat untuk bisa dijadikan sebagai Pemimpin Opini. Ada tiga kemungkinan yang bisa disebutkan kenapa demikian. Pertama, penge-tahuan dan pengalaman inovator tidak begitu berpengaruh. Kedua, tidak cukup banyak handai taulan dan sanak saudara yang meminta pendapat dan saran dari inovator (sebagaimana yang dijelaskan Assael, 1995: 646-647). Ketiga, inovator tidak begitu bergairah untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya itu kepada konsumen lain (sebagaimana yang diterangkan Assael, 1995: 646; dan Howard, 1989: 249).

Sedangkan adanya hubungan yang negatip dalam kasus magic jar bisa diartikan bahwa dengan semakin tingginya pengetahuan dan pengalaman inovator, kecenderungan menjadi pemimpin opini justru semakin rendah. Meskipun hubungan itu juga tidak signifikan (dan angka korelasinya juga sangat rendah), tetapi ada arah ke sana. Mengapa hal demikian terjadi bisa dijelaskan sebagian dengan penjelasan Assael (1995: 646) dan Howard (1989: 249) yaitu tidak adanya gairah bagi inovator untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada konsumen lain. Sebagian lainnya dipengaruhi oleh nilai (value) rata-rata responden (baca: masyarakat Jawa) untuk tidak secara berkelebihan membicarakan, dan secara aktif memberitahukan apa yang menjadi ‘kelebihannya’ itu kepada orang lain.

Hal yang terakhir ini nampaknya juga memberikan penguatan pada penjelasan yang diuraikan sebelumnya, tentang mengapa tidak terjadinya hubungan yang signifikan antara Kemauan berinovasi dengan Kepemimpinan opini. Adanya pengaruh nilai-nilai suatu masyarakat bisa menjadi variabel kontrol, sehingga temuan Arndt bisa berbeda dengan hasil penelitian ini untuk responden yang berbeda.

  1. Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Mencari Tahu/Belajar (Learning)

Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk setiap klas produk tidak ada satupun yang menunjukkan hubungan itu signifikan. Meskipun demikian arah hubungan itu sesuai dengan harapan Arndt, yaitu semua bertanda positip. Sebagaimana diterangkan Howard (1989: 60) konsumen bisa saja langsung membeli suatu inovasi. Tetapi penggunaan inovasi itu masih merupakan bagian dari proses mencari tahu. Jadi kalau berdasarkan pada penjelasan Howard ini mestinya masih bisa diharapkan adanya korelasi yang signifikan. Yang terjadi adalah bahwa pembelian suatu inovasi bukan merupakan bagian dari proses mencari tahu. Atau sebaliknya proses mencari tahu itu tidak langsung berakhir dengan suatu inovasi.

Yang pertama ini bisa dijelaskan dengan model yang diberikan Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) yang disebutnya sebagai nonrational/innovation. Hal demikian terjadi bila seseorang melihat sesuatu yang baru, dan dorongan hati mendesaknya untuk membeli tanpa adanya pertimbangan yang mendalam tentang kegunaannya. Sedangkan yang kedua bisa dijelaskan demikian. Bahwa konsumen sebenarnya tidak hanya berhadapan dengan satu inovasi saja (Howard, 1989: 64). Proses mencari tahu yang dilakukan sebelumnya bisa mempengaruhi keyakinan diri (confidence) (O’Brien dalam Howard, 1974: 168). Apabila informasi yang diperoleh negatip (Assael, 1995: 639), maka akan mempengaruhi keyakinan diri (confidence), dan hal ini mempengaruhi niat untuk membeli (intention) (Howard, 1989: 35).

Tabel 2

Korelasi Antar Keempat Variabel Dalam Klas Produk Masing-masing

Korelasi Antar Variabel

Mentega/

Margarin

Deterjen

Magic

Jar

Mesin

cuci

Innovativeness dan Opinion Leadership

0,1555

0,0810

-0,0757

0,1686

Innovativeness dan Learning

0,3028

0,3117

0,2035

0,4925

Innovativeness dan Perceived Risk

0,0059

-0,5195*

0,0622

-0,3981

Opinion Leadership dan Learning

0,2769

-0,0593

0,0551

0,2266

Opinion Leadership dan Perceived Risk

0,2761

-0,4921

-0,1165

-0,3697

Learning dan Perceived Risk

-0,0488

0,2892

-0,4107

-0,5143*

* signifikan untuk aras 0,05

Sumber: Analisis Program SPSS

  1. Kemauan Berinovasi (Innovativeness) dengan Risiko Teramati (Perceived risk)

Hubungan antara kedua variabel ini menurut hipotesis Arndt adalah berkebalikan. Artinya, diharapkan dengan semakin rendahnya Risiko Teramati (Perceived Risk) akan semakin tingginya Kemauan Berinovasi (Innovativeness). Demikian pula sebaliknya.

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa hanya satu klas produk saja, yaitu produk deterjen, yang mempunyai hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Sedangkan pada klas produk sisanya, semuanya tidak signifikan, berhubungan secara positip, kecuali pada produk mesin cuci. Hal demikian bisa dijelaskan sebagaimana penjelasan di atas oleh Campbell (dalam Robertson, 1974: 277) dengan model nonrational/innovation. Yaitu bila seseorang melihat sesuatu yang baru, dan dorongan hati mendesaknya untuk membeli tanpa adanya pertimbangan yang mendalam tentang kegunaannya. Demikian pula dengan apa yang disebutkan oleh Howard (1989: 60) untuk langsung membeli (tanpa memperhitungkan risiko).

  1. Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) dan Mencari Tahu/Belajar (Learning)

Hubungan kedua variabel ini diharapkan positip. Dalam Tabel 2, meski tidak signifikan, sebagian besar klas produk menunjukkan adanya hubungan yang positip. Kecuali pada produk deterjen yang menunjukkan koefisien yang bertanda negatip.

Pada hakikatnya proses mencari tahu itu tidak hanya berasal dari informasi mulut ke mulut (word of mouth) saja, tetapi juga bisa berasal dari media massa (Assael, 1995: 711; Mahajan & Muller, 1979: 59). Kedua jenis informasi ini melalui waktu yang terus berjalan akan mengubah persepsi konsumen untuk kemudian mengadopsinya (Mahajan, Muller, dan Bass, 1990: 6). Oleh karenanya bisa dipahami bila tidak signifikannya hubungan antara kedua variabel tersebut bisa disebabkan oleh karena responden lebih banyak menggunakan media massa.

  1. Kepemimpinan Opini (Opinion leadership) dan Mencari Tahu/Belajar (Learning)

Teori diffusi menggambarkan bahwa inovator yang menjadi pemimpin opini (opinion leader) mempunyai risiko teramati yang rendah. Temuan dalam penelitian ini ternyata tidak mendukung teori tersebut. Tabel 2 di atas menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal demikian bisa ditafsirkan bahwa ketidak-pastian konsumen terhadap suatu inovasi nampaknya tidak berkaitan dengan pendapat teman atau saudara yang pernah menggunakan produk tersebut sebelumnya. Mereka lebih percaya pada pembelian pada saat itu juga yang tanpa mempertimbangkan lebih jauh risiko ataupun kegunaannya (Campbell dalam Robertson, 1974: 277; Howard, 1989: 60).

  1. Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived risk)

Konsumen yang telah banyak mencari tahu tentang suatu inovasi biasanya bisa mengurangi ketidak-pastian tentang inovasi tersebut. Dengan perkataan lain bila Mencari tahu/Belajar (Learning)nya besar, maka Risiko teramatinya (Perceived risk) juga akan semakin rendah. Namun data dalam Tabel 2 tidak seluruhnya mendukung teori ini. Hanya pada produk mesin cuci saja yang hubungan antara kedua variabel tersebut signifikan. Bahkan pada produk deterjen hubungan itu bersifat searah, yang berarti bahwa semakin tinggi Mencari Tahu/Belajar (Learning) juga akan semakin tinggi Risiko Teramatinya (Perceived risk). Demikian pula sebaliknya. Suatu keadaan yang justru berkebalikan dengan teori di atas.

Keadaan hubungan antara kedua variabel tersebut yang terjadi pada berbagai jenis produk sebagaimana terlihat pada Tabel 2 tersebut, bisa juga dijelaskan dengan teori Campbell (dalam Robertson, 1974) dan Howard (1989). Pada prinsipnya konsumen lebih percaya pada pembelian pada saat itu juga yang tanpa mempertimbangkan lebih jauh tentang risiko dan kegunaannya.

2. Overlap Keempat Variabel Pada Klas Produk yang Berbeda

Meski tidak sepenuhnya didukung oleh hasil penelitiannya, Arndt menghipotesiskan adanya overlap keempat variabel pada klas produk lain yang semacam. Dalam penelitian ini keempat produk yang digunakan sebagai objek penelitian ini, bisa digunakan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mentega/margarin dan deterjen. Dasar pengelompokan ini adalah bahwa keduanya mempunyai harga yang relatif rendah, merupakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, dan tidak terlalu banyak membutuhkan pertimbangan yang mendalam. Kelompok kedua adalah magic jar dan mesin cuci. Pertimbangannya adalah mempunyai harga yang relatif mahal, merupakan peralatan rumah tangga (home appliance), dan membutuhkan pertimbangan yang mendalam.

Tabel 3

Keberadaan Keempat Variabel Pada Klas Produk yang Berbeda

Klas produk

Innovative-

ness

Opinion

Leadership

Learning

Perceived

risk

Margarine dan deterjen

0,4650

0,5653*

0,1548

0,6136*

Margarin dan magic jar

0,2024

0,4807

0,4364

0,7399**

Margarin dan mesin cuci

0,2345

-0,3697

0,4920

0,2919

Deterjen dan magic jar

-0,2171

0,4694

-0,0366

0,5955*

Deterjen dan mesin cuci

0,5885*

-0,1753

0,3615

-0,3086

Magic jar dan mesin cuci

-0,1225

-0,2322

0,2533

-0,0919

* signifikan untuk aras 0,05 ** signifikan untuk aras 0,01

Sumber: Analisis Program SPSS

Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa dari kelompok pertama terdapat dua variabel yang overlap, yaitu Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership) dan Risiko Teramati (Perceived Risk). Sedangkan pada kelompok dua sama sekali tidak terdapat overlap.

Hasil penelitian ini mendukung temuan Arndt (1974) bahwa overlap itu juga terjadi pada klas produk yang tidak semacam. Tabel 3 menunjukkan bahwa Risiko Teramati (Perceived Risk) terjadi pada produk margarin dan magic jar. Bahkan korelasinya sangat signifikan (0,7399) untuk aras 0,01. Variabel yang sama juga overlap pada produk deterjen dan magic jar (korelasinya sebesar 0,5955, signifikan untuk aras 0,05). Sedangkan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) overlap pada produk deterjen dan mesin cuci (korelasinya sebesar 0,5855, signifikan pada aras 0,05).

  1. Pengaruh Tingkat Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) terhadap Kemauan Berinovasi (Innovativeness)

Korelasi antara variabel Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) ditunjukkan oleh koefisien korelasi 0,983 (Tabel 4). Angka ini sangat tinggi, mendekati angka 1, sehingga hal demikian sementara dapat ditafsirkan bahwa pengaruh dari kedua variabel tersebut terhadap variabel Kemauan Berinovasi (Innovativeness) sangat kuat. Namun hasil dari uji F terhadap regressi ini tidak menunjukkan angka yang signifikan (Tabel 5). Hal demikian menjadi sedikit mengherankan, karena angka korelasi yang sedemikian tinggi secara statistik ternyata tidak signifikan.

Tabel 4

Korelasi Antara Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati

dengan Kemauan Berinovasi

Item

Nilai

Multiple R

0,98288

R Square

0,96605

Sumber: Analisis Program SPSS

Tabel 5

Analisis Varians Untuk Regressi Kemauan Berinovasi

Pada Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati

DF

Jumlah

Kuadrat

Mean

Kuadrat

Regressi

2

0,38019

0,19010

Residual

1

0,01336

0,01336

F = 14,22584

Signif. F = 0,1843

Sumber: Analisis Program SPSS

Temuan yang terakhir ini nampaknya memperkuat temuan yang pertama (lihat Tabel 2), yaitu bahwa konsumen dalam menggunakan suatu inovasi tidak didasari oleh adanya pertimbangan yang matang tentang kegunaan dan ketidak-pastian. Konsumen lebih banyak didorong oleh pembelian impulsif, sehingga kurang memperhatikan informasi baik dari komunikasi personal maupun dari media massa.

Untuk mencari tahu ketidak-signifikannya korelasi antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dan Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) akan ditelusuri melalui analsisis parsial. Bila variabel Risiko Teramati (Perceived Risk) diabaikan, maka korelasi antara Mencari Tahu/Belajar (Learning) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) secara statistik tidak signifikan. Demikian pula halnya bila variabel Mencari Tahu/Belajar (Learning) diabaikan, korelasi antara Risiko Teramati (Perceived Risk) dengan Kemauan Berinovasi (Innovativeness) juga tidak signifikan (Tabel 6).

Tabel 6

Analisis Parsial Untuk Regressi Kemauan Berinovasi

Pada Mencari Tahu/Belajar dan Risiko Teramati

Learning

Innovativeness

Perceived

Risk

Learning

1,000

-0,1019

-0,8748

Innovativeness

-0,1019

1,000

0,5627

Perceived risk

-0,8748

0,5627

1,000

Catatan: semua angka tidak menunjukkan signifikansi pada aras 0,05

Sumber: Analisis Program SPSS

Mengingat kembali pertanyaan Arndt (1974) tentang apakah calon pembeli yang mempunyai respon yang tinggi itu disebabkan karena semakin tingginya tingkat mencari tahu (higher in learning) dan semakin rendahnya risiko (lower in risk), ataukah keadaan menjadi semakin tinggi tingkat mencari tahunya dan semakin rendahnya risiko itu sebagai akibat dari pengalaman setelah membeli, maka dari temuan terakhir ini, pertanyaan tentang arah itu menjadi tidak begitu penting lagi. Pertimbangan ada atau tidaknya informasi mengenai suatu inovasi pada konsumen menjadi sulit untuk diketahui karena konsumen dalam mengadopsi hanya berdasarkan pertimbangan impulsif. Begitu pula ada tidaknya pertimbangan konsumen mengenai ketidak-pastian suatu inovasi juga sulit untuk diketahui.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini sama sekali tidak mendukung hasil studi Arndt 1974). Keempat variabel yaitu Kemauan Berinovasi (Innovativeness), Kepemimpinan Opini (Opinion Leadership), Mencari Tahu/Belajar (Learning), dan Risiko Teramati (Perceived Risk), sebagian besar tidak saling berkorelasi, meski dalam satu klas produk yang sama. Demikian pula untuk klas produk lain yang hampir sama, bekerjanya keempat variabel tersebut sulit untuk diharapkan. Bahkan hasil temuan menunjukkan bahwa variabel-variabel tertentu bisa saja nampak pada klas produk lain yang berbeda.

Hasil temuan ini bisa membuyarkan sekuen (urutan) yang selama ini digunakan dalam teori diffusi. Mungkin tidak terlalu naif kalau diingatkan untuk melihat kembali kepada hasil studi Robertson (1974) yang menyimpulkan bahwa tidak ada tingkat-tingkat ataupun urutan khusus yang harus digunakan dalam menilai konsumen.

Rekomendasi Untuk Penelitian Lebih Lanjut

Ada beberapa hal yang bisa dievaluasi pada penelitian ini, yang menunjukkan hasil yang tidak sama dengan Arndt. Atau lebih jauh lagi karena adanya ketidaksamaan dengan teori diffusi yang menurut logika memang bisa diterima. Pertama, penggunaan ukuran yang sama dengan yang dipergunakan Arndt. Meskipun maksud peneliti adalah agar bisa seperti yang dilakukan oleh Arndt, namun melihat hasil yang tidak mendukung, bukan tidak mungkin perlu digunakan operasionalisasi variabel yang berbeda. Tegasnya, perlu dikembangkan ukuran variabel yang lebih teliti, mengingat ukuran yang digunakan Arndt masih sangat sederhana. Hal demikian diperlukan agar bisa didapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Dengan perkataan lain, hal demikian berkaitan dengan masalah validitas dan reliabilitas.

Kedua, sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak begitu banyak. Demikian pula ada beberapa karakteristik responden yang perlu diperhatikan, antara lain sebagian besar keluarga berpendapat sedang-sedang saja, dan usia perkawinan yang masih belum lama. Untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan (setidaknya mendukung temuan Arndt) perlu dicoba penggunaan sampel yang lebih luas (sebagaimana yang digunakan Arndt), yang terdiri dari berbagai tingkat pendapatan dan usia perkawinan.

Juga hsil penelitian ini menyarankan perlunya diberikan porsi yang besar terhadap penelitian yang berkaitan dengan pembelian impulsif. Apakah hasil penelitian ini memang menyiratkan fenomena yang ada pada kebanyakan konsumen di Yogyakarta? Atau lebih luas lagi di Indonesia? Para pemasar dan produsen perlu kiranya memperhatikan hal ini, karena apabila hasil penelitian ini memang demikian yang terjadi pada kebanyakan konsumen di Yogyakarta atau di Indonesia, maka strategi pemasaran perlu benar mempertimbangkan fenomena tersebut.

REFERENSI

Ancok, Djamaludin. (1989). Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Edisi kelima. Yogya-

karta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM

Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi re-

visi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Arndt, Johan (1974). "New Product Diffusion: The Interplay of Innovativeness, Opi-

on Leadership, Learning, Perceived Risk, and Product Attributes". Models of

Buyer Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New York: Harper & Row Publishers

Assael, Henry (1995). Consumer Behavior & Marketing Action. 5th edition. Cincin-

ati, Ohio: South Western College Publishing

Cooper, Donald R. & C. William Emory. (1995). Business Research Methods. 5th

Edition. Chicago: Irwin

Dharmmesta, Basu Swastha (1999). "Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual

Sebagai Panduan Bagi Peneliti". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 14. (3)

Hadi, Sutrisno. (1995). Metodologi Research. Jilid 1. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset

---. (1994). Statistik 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset

Hair et al. (1995). Multivariate Data Analysis, with Readings. 4th edition. New York:

Prentice-Hall International Inc.

Howard, John A. (1974). "Confidence As a Validated Construct". Models of Buyer

Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New York: Harper & Row Publishers

---. (1989). Consumer Behavior in Marketing Strategy. Englewood Cliffs: Prentice-

Hall Inc.

Kotler, Philip. (2000). Marketing Management, The Millenium Edition. New Jersey:

Prentice-Hall, Inc.

---. (1988). Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation,

and Control. 6th edition. Englewood Cliffs: Prentice-Hall International Inc.

Mahajan, Vijay. Muller, Eitan. & Bass, Frank M. (1990). "New Product Diffusion

Models in Marketing: A Review and Directions for Research". Journal of Mar-

keting. 54. January

Mahajan, Vijay & Muller, Eitan. (1979). "Innovation Diffusion and New Product

Growth Models in Marketing". Journal of Marketing. 43. Fall

Mahajan, Vijay. Muller, Eitan & Srivastava, Rajendra K. (1990). "Determination of

Adopter Categories by Using Innovation Diffusion Models". Journal of Market-

ing Research. XXVII. February

Mahajan, Vijay. & Peterson, Robert A. (1978). "Innovation Diffusion in Dynamic

Potential Adopter Population". Management Science. 24. (15). November

Robertson, Thomas S. (1974). "Acritical Examination of ‘Adoption Process’ Models

of Consumer Behavior". Models of Buyer Behavior. Editor Jagdish N Sheth. New

York: Harper & Row Publishers

Sekaran, Uma. (1992). Research Methods for Business, A Skill Building Approach. 2nd

Edition. New York: John Wiley & Sons Inc.

Sultan, Fareena. Farley, John U. & Lehmann, Donald R. (1990). "A Meta Analysis

of Application of Diffusion Models". Journal of Marketing Research". XXVII.

February

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi