Analisis Strategi Kualitas Pelayanan Dan Kinerja Bank – Bank Bpr Di Jawa Tengah

FOKUS EKONOMI, APRIL 2004

ANALISIS STRATEGI KUALITAS PELAYANAN DAN KINERJA BANK – BANK BPR DI JAWA TENGAH

Oleh : Purwanto Waluyo,SE.Msi.

Dosen Tetap STIE Stikubank Semarang

ABSTRACT

This research was done to identity the variables which influence performance of organization and service quality. To improve performance of bank organization done by invention of variables effect to the general operation capability of bank deal with the service quality without neglecting the concern of organization to the market acuity. This model based on the research of Roth and Jackson III (1995). Directly the support of technology leadership variable both to the service quality or performance of organization was based on the previous research which held by Parasuraman Zeithami and Barry (1988) and also Porter's theory (1993).

The data which was gained through fit and proper test of respondents was analyzed by using structuring Equation Modelling with Amos version 3.6 programme to estimate the affect of the general operation of bank to service quality and organization performance.

The result of the research shows that none of the general operation capability of bank and market acquity has asignificant influence to the service quality and organization performace. Only productivity factor could support to change the service quality and also organization performance.

Key words: Operation strategy, CapabUity-based on Competition, Absorptive Capacity,

Resource-based View, Competitive advantage, Service Management

Performance.

I. PENDAHULUAN

Kompetisi adalah suatu kata yang tidak kn pernah hilang dari buku catatan para pengelola bank perkreditan rakyat (BPR). Tingginya tingkat kompetisi yang dihadapi oleh bank BPR dating tidak hanya dari sesama bank perkreditan rakyat, namun banyak pemain-pemain lain yang bersama-sama menggarap lading bank perkreditan rakyat. Mereka adalah Koperasi Pasar ( Koppas ), Koperasi simpan pinjam (Kosipa), bank-bank umum dengan bank unitnya, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga ikut-ikutan menerima tabungan dan menyalurkan kredit (Infobank, Mei 1997 ).Tidak ketinggalan adalah para BUMN yang menyalurkan laba bersihnya 1 % s/d 5 % kepada pengusaha kecil dengan tingkat bunga yang jauh dibawah tingkat bunga yang pasang bank BPR.

Meskipun udara persaingan bank perkreditan rakyat semakin sesak, namun dengan kejelian yang tinggi, bank BPR dapat memanfaatkan celah-celah peluang yang masih bisa diraih. Karena selain tantangan, kompetisi juga akan banyak menciptakan peluang, akan tetapi untuk meraihnya harus lebih cepat dibandingkan dengan pesaing. Untuk meraih peluang tersebut , bank BPR perlu mengarahkan tujuannya bagaimana mengembangkan strategi pelayanan dan kinerja yang unggul terhadap pesaing.

Penentuan strategi pelayanan dan kinerja bank BPR sangat penting diperhatikan. Bilamana pelanggan puas dengan pelayanan dan kinerja yang ditawarkan bank BPR, maka pelanggan akan membalas dengan memberikan profit yang tinggi. Balasan pelanggan juga akan diwujudkan melalui tarnsaksi / pembelian berulang-ulang ( repeated transaction /buying), sehingga omzet bank BPR akan dijadikan referensi dan biaya pemeliharaan pelanggan menurun serta dapat mengurangi exposure persaingan ( Cumby, 1996 )

Dilihat dari sudut pandang pelanggan, situasi persaingan ini sebenarnya akan memberikan suatu keuntungan tersendiri. Dengan tingginya tingkat persaingan bank BPR berarti akan memberikan keleuasaan kepada pelanggan untuk menentukan pilihan, sehingga pihak bank harus bersedia memberikan pelayanan yang paling sesuai dengan keinginan-keinginan pelanggannya. Apalagi dewasa ini tuntutan pelanggan juga semakin beragam, dimana dengan didukung oleh tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan kemudahan memperoleh onformasi, maka tuntutan dan fleksibilitas merekapun semakin tinggi. Kecepatan, keamanan, kemudahan dan keramahan pelayanan semakin dipersyaratkan pelanggan dalam menentukan pilihan layanan perbankan disamping tingkat harga 9 bunga dan biaya jasa ) yang memadai.

Persyaratan pelayanan kepada pelanggan ( customer service ) merupakan awal didalam mendesain keinginan dan kebutuhan pelanggan dan dianggap sebagai bagian perencanaan yang sangat kritis dalam proses pengembangan produk dan jasa ( Modaress, 1994).Persepsi pelanggan tentang pelayanan (service) adalah pelayanan yang memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas adalah senjata persaingan yang ampuh bagi setiap perusahaan(Dilworth,1996). Definisi kualitas dari persepsi pelanggan sebagaimana diadopsi oleh the American Siciety for Quality Control (Johnson,1989) adalah totalitas ciri-ciri dan karakteristik suatu produk atau jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik yang tersiratmaupun tidak tersirat.Menurut Lawson(1996) definisi baru tentang kualitas adalah keseluruhan pengalaman yangbberhubungan dengan bagiamana perusahaan harus menyenangkan pelanggan. Prinsipnya, definisi kualitas memurut pelanggan adalah bagaimana memenuhi atau melampaui harapan pelanggan (Krajewski, 1996). Oleh karena itu ,untuk meraih kinerja yang unggul, bank BPR dituntut melakukan peningkatan kualitas secara berkesinambungan.

Argumentasi diatas telah dibuktikan oleh salah satu bank BPR dengan asset terbesar di Indonesia yaitu BPR Eka Bumi Artha di lampung Tengah (Infobank, Mei 2000 ). Dengan asset sebesar 75 milyar rupiah per Maret 2000, bank BPR yang berdiri sejak tahun 1967 ini telah sukses mempertahankan eksistensinya dari derpaan krisis ekonomi tahun 1998 lalu dan tetap tidak kehilangan nasabahnya yang berjumlah 43.000 nasabah. BPR ini menerapkan strategi jitu, yakni selalu melakukan kompetisi dengan bank umum melalui inovasi secara terus menerus terhadap produk-produk perbankannya.Misalnya, kalau bank umum menurunkan tingkat suku bunga, maka BPR ini akan melakukan juga, begitu sebaliknya. Demikian juga terhadap pengelolaan terhadap sumber daya manusia yang dimiliki, BPR ini menerapkan prinsip keadilan, the right man on the right place. Setiap posisi harus diisi oleh orang yang tepat sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kemampuannya. Prinsip keterbukaan manajemen pada setiap lini juga diterapkan dalam BPR ini, sehingga BPR dapat bekerja secara efisien. Hal ini terbukti dengan jumlah karyawan yang hanya 65 orang, mampu menangani 43.000 nasabah. Keterbukaan manajemen ini pada kenyataannya juga mampu meningkatkan loyalitas karyawan, yang pada akhirnya berdampak kepada kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada para nasabah. Dengan strategi kinerja yang unggul ini ,BPR Eka Bumi Artha pada tahun 1999 berhasil membukukan laba sebesar Rp. 3 Milyar. Sebuah prestasi yang langka bagi bank BPR di era krisis.

Dengan gambaran kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas aspek perangkat lunak dan aspek perangkat keras semakin diperlukan guna menciptakan rancangan operasional yang handal. Keduanya diperlukan dalam porsi yang berimbang secara bersama-sama.Investasi dalam program-program infrastruktur (people) seiring dengan investasi dalam program-program struktural (teknologi) akan menghasilkan rata-rata kinerja yang tinggi (Ward, 1994). Dengan dukungan fasilitas yang handal diharapkan akan mampu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan, sehingga pada akhirnya kinerja perusahaan juga akan meningkat.Menurut Zahra, dkk (1993), ada dua dimensi yang berhubungan langsung secara signifikan terhadap kinerja keuangan, yakni orientasi kepemimpinan dan tingkat investasi pada aktivitas penelitian, pengembangan dan inovasi.Selanjutnya Anderson, dkk (1994), menemukan adanya pengaruh positip antara kualitas terhadap kepuasan pelanggan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat kemampuanlabaan perusahaan.

Sebagai sebuah penelitian replikasi dari Roth and Jackson III (1995) yang telah menggunakan model penelitian ini untuk memenliti perbankan ritail di Amerika Serikat, maka penelitian ini juga dirancang mengikuti alur kerja yang dilakukan oleh meraka.

Roth and Jackson III menduga bahwa perbankan-perbankan yang mampu melayani konsumennya dengan handal adalah mereka yang mampu melaksanakan kegiatan operasional perbankan yang lebih baik dari para kompetitornya, dimana kegiatan operasional perbankan yang dilaksanakan tersebut secara implisit juga telah mengadopsi pemahaman perusahaan terhadap lingkungan persaingannya yang tergambar melalui strategi-strategi yang dipilih.

Menurut mereka, kegiatan operasional perbankan didefinisikan sebagai kemampuan perbankan untuk mendayagunakan operasi-operasi tradisional perbankan yang terdiri dari : faktor produktivitas dan kepemimpinan teknologi, yang diseertai oleh pengetahuan organisasional baik berupa kemampuan manusia maupun prosesnya. Sementara, lingkungan persaingan perbankan diwakili oleh variabel " market conduct " yang merupakan suatu indeks dari tingkat persaingan di dalam pasar, baik pasar persaingan sempurna maupun monopoli.

Oleh karena itu, didalam penelitian ini, hubungan antara faktor eksternal perusahaan yang ditunjukkan oleh tingkat pemahaman perusahaan terhadap lingkungan persaingan dengan faktor internal yakni kegiatan operasional yang dilakukan serta pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan dan kinerja bank BPR akan diuji secara simultan malalui satu model persamaan struktural.

Pemilihan perbankan sebagai obyek penelitian disertai suatu alasan, sebagai,ama dikemukakan oleh Berger (1991), yaitu perbankan merupakan industri yang menawarkan sebuah laboratorium yang superior bagi berbagai tipe penelitian tentang persaingan pasar maupun kinerja. Dari sifat industri perbankan yang dinamis, khususnya bank BPR,seperti nampak dari persaingannya baik dengan sesama bisnis perbankan maupun dengan perusahaan –perusahaan jasa keuangan bukan bank, diharapkan hasil penelitian ini akan mempunyai implikasi langsung bagi khususnya perusahaah-perusahaan jasa keuangan dan perusahaan-perusahaan jasa lain pada umumnya.

Pemilihan bank perkreditan rakyat (BPR) sebagai obyek penelitian dipilih dengan argumentasi bahwa :

  1. Masih langkanya penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap bank-bank BPR di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kinerja kualitas pelayanan yang diberikan oleh bank-bank BPR terhadap nasabahnya.

  2. Sejalan dengan kebijakan ekonomi makro yang berkecenderungan menekankan kepada peningkatan ekonomi kerakyatan, maka peranan bank-bank BPR untuk menunjang program tersebut di masa yang akan datang menjadi semakin penting.

II. PERMASALAHAN

Rawannya kompetisi yang terjadi pada bisnis bank perkreditan rakyat, memaksa banyak bank BPR yang terpaksa harus menhakhiri hidupnya alias mati. Dari 2.422 BPR se Indonesia hanya 954 BPR yang dinyatakan sehat dan sejumlah 122 BPR terpaksa harus menutup bukunya, alias mati (Infobank, Juni 2000) .Selain karena alasan moral hazard dari pengelola, komisaris dan pemilik BPR, maupun karena kondisi makro ekonomi yang tidak kondusif, tidak sedikit akhir hidup BPR disebabkan karena salah urus atau miss management.

Dibandingkan dengan bank umum, maka tingkat kompetisi pada ladang bank BPR jauh lebih rawan. Selain harus bersaing dengan sesama BPR, bank perkreditan rakyat juga harus menghadapi rival-rival yang lain seperti; koperasi pasar, koperasi simpan pinjam, LSM, BUMN-BUMN yang menyalurkan 1% s.d 5 % labanya maupun bank-bank umum yang membuka counter bank unit (Infobank, Mei 1997 ).

Selain itu dari sudut pandang legalitas formal yang tercermin baik melalui undang-undang perbankan nomor 7 tahun 1992 beserta dengan perubahannya yaitu undang-undang nomor 10 tahun 1998, maupun aturan pelaksanaanya baik berupa surat keputusan Menteri Keuangan No.279/KMK/.01/1989 maupun surat edaran Bank Indonesia No.21/16/BPPP/Maret 1989, secara keseluruhan sangat membedakan usaha bank BPR dengan bank umum. Diskriminasi ini sekaligus juga merupakan hambatan tambahan bagi bank BPR untuk dapat lebih leluasa didalam mensikapi rawannya iklim kompetisi yang terjadi. Pembatasan yang digariskan oleh regulasi diatas meliputi baik pembatasan tentang wilayah usaha, yang hanya boleh beroperasi pada wilayah kecamatan dimana bank BPR tersebut berkedudukan maupun pembatasan pengembangan produk simpanan yang hanya diijinkan untuk mengembangkan simpanan jenis tabungan dan deposito.

Kondisi ini tentu saja harus menyadarkan para pengelola bank BPR bahwa satu-satunya cara untuk dapat tetap eksis dalam menghadapi tingginya iklim kompetisi ini adalah dengan mendayagunakan seara optimal kapabilitas operasional bank, yang telah mengadopsi faktor-faktor lingkungan persaingan, agar mampu melahirkan kualitas pelayanan dan kinerja bank yang unggul.

Dengan melihat pengaruh secar simultan sntara kapabilitas operasional perbankan yang telah mengadopsi faktor-faktor lingkungan persaingan terhadap kualitas pelayanan serta kinrja perbankan, diharapkan bank BPR dapat nelahirkan strategi yang jitu dalam rangka memenangkan persaingan. Pengaruh secara simultan antara kapabilitas operasional perbankan yang telah mengadopsi faktor-faktor lingkungan persaingan terhadap kualitas pelayanan serta kinerja perbankan digambarkan dengan model : capabilities – service quality-performance triad, sebagai berikut :

Gambar 1. The Capability-Service-Quality – Performance (C-SQ-P)Triad.

Gambar 1 merupakan model C-SQ-P triad yang menggabungkan empat kapabilitas operasional yang dapat menghasilkan kinerja pelayanan kelas dunia ( World class service performance ).yaitu : kemampuan untuk memanfaatkan inovasi teknologi, mengembangkanasset individu yang berpendidikan, mengintegrasikan proses bisnis dan mendayagunakan faktor produktivitas (Chase and Hayes, 1992; Heskett et al.,1990; Quinn,1992; Roth and van der velde, 1992 )

Dari gambar 1 kiranya cukup jelas terlihat hubungan antara kapabilitas operasional perbankan, kualitas pelayanan dan kinerja serta faktor-faktor lingkungan. Permasalahan yang ada sekarang adalah bagaimana faktor-faktor ltersebut berhubungan dan bagaimana pengaruh antara satu variabel dengan variabel lainnya. Oleh karena itu berdasarkan model tersebut diuji tiga pertanyaan sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaruh kapabilitas operasional bank BPR terhadap kualitas pelayanan ?

  2. Apakah kualitas pelayanan mempengaruhi kinerja bank BPR ?

  3. Bagaimana tingkat kapabilitas bank BPR dalam melihat persaingan mempengaruhi kapabilitas, kualitas pelayanan dan kinerja BPR ?

Ketiga pertanyaan tersebut akan dijawab dengan menggunakan persamaan struktural dengan bantuan komputer program AMOS Version 3.6 yang dikembangkan oleh James L.Arbuckle (1994).

III. TELAAH LITERATUR

Dalam bab ini akan dibahas literature-literatur yang berhubungan dengan penelitian. Pembahasan akan diawali dengan menguraikan konsep-konsep tentang; strategi operasi bank, keunggulan bersaing, kinerja manajemen jasa dan fenomena perbankan Indonesia. Terakhir, berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, peneliti akan dirumuskan hipotesis-hipotesis bagi penelitian ini.

    1. Strategi Operasi bank BPR

Bank BPR sekarang berada dibawah sejumlah tekanan yang berdampak kepada melambatnya tingkat pertumbuhan dan rendahnya profitabilitas dibandingkan dengan sektor industri keuangan lainnya. Melambatnya tingkat pertumbuhan ini biasanya diiringi juga dengan semakin menurunnya bagian pasar ( market share ) industru bank BPR. Jika merosotnya bagian pasar industri bank BPR ini semakin serius, maka hal ini dikawatirkan akan membawa dampak pada munculnya persepsi dari nasabah yang akan memandang eksistensi lembaga perbankan secara keseluruhan, sebagai pemberi jasa keuangan, kurang penting lagi ( Bowen and Hedges, 1993 ).

Identifikasi Bowen dan Hedges (1993) yang relevan digunakan untuk menggambarkan kenyataan eksistensi industri bank BPR yang semakin suram ini, setidak-tidaknya karena industri bank BPR sekarang dihadapkan pada dua tantangan berat berikut ini: yang pertama adalah kenyataan akan melemahnya harapan terhadap pertumbuhan produk-produk tradisional bank BPR, kedua ; adanya serangan secara terus menerus terhadap sumber-sumber tradisional yang menghasilkan profit bagi bisnis bank BPR baik oleh lembaga-lembaga keuangan bank maupun bukan bank.

Untuk dapat menghadapi tantangan tersebut diatas, bank BPR harus menegmbangkan startegi jitu. Hal ini membutuhkan perhatian secara terus menerus dari bank BPR agar dapat tetap mempertahankan nasabahnya melalui suatu strategi penempatan yang berbeda ( distinctive positioning ) di dalam pasar. Salah satu strategi yang efektif untuk mencapai penempatan yang berbeda di dalam pasar adalah dengan menyajikan kualitas pelayanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan nasabahnya. Perhatian serius terhadap peningkatan kualitas pelayanan, dapat menjadi faktor kunci dalam menahan terus merosotnya bagian pasar bank BPR. Oleh karena itu, pencapaian penyajian kualitas pelayanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan nasabah menjadi titik kritis industri bank BPR ditahun -tahun yang akan dating.

Pengelolaan terhadap strategi operasi, yang memusatkan perhatiannya kepada pembuatan rencana dan kebijakan menyeluruh tentang penggunaan sumber-sumber produksi dalam rangka mendukung strategi persaingan jangka panjang perusahaan ( Chase and Aquilano, 1995 ), diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi bank BPR saat ini.

Skinner (1969) menyarankan dimasukkannya empat dasar strategi operasi, seperti; biaya (cost), kualitas (quality), kecepatan penyajian (speed of delivery ) dan kelenturan (flexibility), secara langsung kedalam karakter yang dipergunakan untuk mengukur kinerja perusahaan. Berikut ini adalah perwujudan empat dasar strategi operasi kedalam strategi perusahaan :

1. Dalam setiap industri selalu ada satu segmen pasar yang membeli produk/jasa atas dasar biaya-rendah ( low cost). Agar perusahaan sukses bersaing di segmen pasar ini, maka perusahaan tersebut harus dapat menjadi produsen dengan biaya-rendah. Produk/jasa yang dijual atas dasar biaya-rendah, biasanya berada pada satu kondisi dimana konsumennya tidak mampu membedakan produk/jasa yang dihasilkan oleh satu perusahaan dengan perusahaan laninnya. Oleh karena itu konsumen akan menggunakan biaya sebagai pertimbangan utama dalam membuat keputusan untuk membeli. Segmen pasar ini biasanya juga sangat besar sehingga banyak perusahaan digoda dengan potensi laba yang signifikan. Oleh karena itu, persaingannya yang terjadi dalam segmen ini sangat sengit, sehingga tingkat kegagalannya juga sangat tinggi. Hanya mereka yang mampu menjadi produsen atas dasar biaya rendah saja yang dapat mempertahankan harga penjualannya di segmen pasar ini.

2. Kualitas dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu ; kualitas produk dan kualitas proses. Tingkat kualitas dari satu desain produk akan berbeda-beda disesuaikan dengan segmen pasar yang ingin dicapai, tujuannya adalah untuk memfokuskan pada permintaan konsumen (customer requirements). Sementara kualitas proses tujuannya adalah agar perusahaan dapat menghasilkan produk/jasa yang sempurna (error-free products) melalui penerapan total quality management ( TQM ).

3. Dalam segmen pasar yang lain ada yang mempertimbangkan kecepatan penyajian ( speed of delivery) sebagai dasar terpenting dalam membuat keputusan membeli. Pada segmen pasar ini, perusahaan yang mampu menyajikan produknya secara bebas dan cepat, memungkinkan perusahaan tersebut untuk memungut harga premium bagi produk dan jasanya.

  1. Kelenturan adalah kemampuan perusahaan untuk menawarkan variasi produk yang luas kepada konsumennya. Kelenturan juga merupakan suatu ukuran dari seberapa cepat perusahaan mampu merubah proses produksi yang menghasilkan lini produk baru. Variasi produk/jasa juga sering dirasa oleh konsumen sebagai satu dimensi dari kecepatan penyajian.

Disisi lain, ada juga pernyataan bahwa perusahaan-perusahaan jasa yang mampu menyajikan pelayanan dengan kualitas yang tinggi adalah perusahaan-perusahaan yang melakukan suatu paket startegi berupa strategi operasi yang lebih baik dibandingkan dengan para pesaingnya. Namun, pilihan strategi operasi ini harus dapat melengkapi seluruh strategi pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan ( Fitzsimmons and Fitzsimmons, 1994; Roth and van der Velde, 1991 )

Menurut mereka, ada dua tipe strategi operasi yang akan dapat menentukan kualitas pelayanan bank maupun kinerja organisasinya. Dua tipe strategi operasi tersebut adalah : pertama adalah factor produktivitas dan kepemimpinan teknologi, yang merupakan kelompok kapabilitas operasi tardisional, kedua; adalah kapabilitas karyawan dan proses bisnis yang merupakan kapabilitas operasi berlandaskan pengetahuan (knowledge). Dua tipe strategi operasi ini, yang dipadukan dengan kapabilitas perusahaan didalam melihat pasar persaingannya ( market acuity), akan dapat memainkan suatu peranan yang sangat penting dalam membentuk keunggulan bersaing perusahaan (Roth and Jackson III,1995 ).

    1. Keunggulan Bersaing.

Menurut Porter (1985), Keunggulan bersaing adalah tentang bagaimana sebuah perusahaan benar-benar menerapkan strategi generic kedalam praktek. Strategi generic yang dilakukan perusahaan dalam rangka mencapai keunggulan bersaing adalah: pertama ; strategi biaya rendah sehingga memungkinkan perusahaan bersaing secara lebih ketat, kedua; strategi diferensiasi produk sehingga konsumen mempunyai persepsi yang cukup kuat atas produk yang dihasilkan perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya.

Beberapa pertanyaan mendasar yang diberikan oleh Porter dalam rangka mencapai keunggulan bersaing adalah sebagai berikut : bagaimana sebuah perusahaan memperoleh keunggulan biaya yang dapat dipertahankan ?, bagaimana sebuah perusahaan dapat membedakan dirinya dari para pesaing ? bagaimana sebuah perusahaan memilih sebuah segmen sehingga keunggulan bersaing berkembang ? , kapan dan bagaimana sebuah perusahaan memperoleh keunggulan bersaing dengan strategi yang terkoordinasi dalam industri terkait ?, bagaimana ketidakpastian dimasukkan kedalam pengejaran keunggulan bersaing ?, dan bagaimana perusahaan membela posisi bersaingnya ?.

Sementara Bannett (1988) menegaskan bahwa keunggulan bersaing dapat dicapai oleh perusahaan apabila terdapat keserasian antara distinctive competencies suatu perusahaan dengan faktor-faktor kritis dalam lingkup industri yang dimainkannya dan yang memungkinkan perusahaan tersebut unggul dari pesaing lainnya.

Keunggulan bersaing tidak dapat dipahami dengan memandang perusahaan sebagai suatu keseluruhan. Keunggulan bersaing berasal dari banyak aktivitas berlainan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendesain, memproduksi, memasarkan, menyerahkan dan mendukung produknya (Porter,1985). Masing-masing aktivitas ini dapat mendukung posisi biaya relatif perusahaan dan menciptakan dasar untuk diferensiasi. Tampilan diferensiasi inilah yang oleh Bennett (1988) disebut sebagai distinctive competencies yang akan membedakan perusahaan dengan para pesaingnya.

Sebagai contoh, keunggulan biaya mungkin berasal dari sumber yang berlainan seperti system distribusi fisik berbiaya rendah, proses perakitan yang efisien atau pemanfaatan tenaga penjualan yang unggul.Diferensiasi dapat juga berasal dari beragam faktor yang serupa, termasuk pembelian bahan baku bermutu tinggi, system pemasukan pesanan yang responsive atau desain produk yang unggul. Cara sistematik untuk memeriksa semua aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dan bagaimana semua aktivitas itu berinteraksi, diperlukan untuk menganalisis sumber keunggulan bersaing.

Keunggulan bersaing yang mengarah pada pembentukan kompetensi ( competence building ) merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam lingkungan bisnis dan industri yang semakin kompetitif. Kompetensi sendiri merujuk pada kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan dalam rangka mencapai sustain coordinate deployments of resources perusahaan untuk membantu mencapai tujuan yang telah ditetapkannya ( Heene dan Sanches, 1997 ).

Selain pembentukan kompetensi, sebagai bekal dalam menghadapi perubahan lingkungan yang semakin dinamis, maka perusahaan juga harus mampu mengembangkan competence leveraging. Ketika melaksanakan competence leveraging, perusahaan tidak boleh terjebak dalam suatu kondisi yang disebut sebagai blind spot ( Heene dan Sanches, 1997 ) Kondisi itu menunjukkan bahwa perusahaan terlalu memfokuskan perhatiannya pada penggambaran kompetensi yang terlalu sempit, yang pada akhirnya akan membawa perusahaan hanya terpaku pada pasar tertentu dan melupakan atau kehilangan pasar potensial yang sebenarnya dapat dimasukinya. Perusahaan yang demikian terjebak dalam existing competence yang sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari potential assets dan capabilities yang ada pada dirinya. Perusahaan tersebut mengidap sebuah " penyakit "yang disebut : marketing myopia"( Kotler, 1997), menyusun dan menetapkan strateginya hanya pada jangkauan dan kapabilitas yang relatif pendek. Ia gagal dalam merumuskan apa sebenarnya yang terjadi dan akan terjadi dalam industri, termasuk didalamnya kegagalan merumuskan kebutuhan konsumen yang terus berubah ( dinamis ). Dengan demikian ia kehilangan pula sebuah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dimasa dating, termasuk kehilangan profitabilitas potensial yang mestinya dapat diraih.

Sebagaimana dikemukakan oleh Hamel dan Prahalad (1994), sebuah perusahaan harus melakukan transformasi ke arah apa yang mereka sebut : "a point view about the future or the industry," memandang segala permasalahan untuk jangka waktu jauh ke depan (industry foresaight), tidak hanya terfokus pada apa yang dihadapi saat ini. Industry foresight mensyaratkan perusahaan menelaah secara mendalam pergerakan teknologi, perubahan geografis, peraturan-peraturan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap industri atau gaya hidup yang dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kembali pola industri dan menciptakan sebuah lingkungan persaingan yang baru.

Pendapat lain tentang keunggulan bersaing adalah dari Day and Wensley (1988) yang menyatakan bahwa keunggulan bersaing lebih mengacu kepada dua criteria utama yaitu : skill dan resource. Kemampuan perusahaan untuk memadukan keduanya merupakan upaya dan strategi investasi jangka panjang yang mengacu pada business set-up barriers, sehingga akan memberikan kontribusi yang optimal dalam bentuk minimalisasi peniruan (imitating) dari pesaing.

Pendapat para ahli diatas semakin memperkuat dasar penelitian ini, terlebih apabila hasil penelitian dari Ward,dkk (1994) dijadikan juga sebagai referensi. Penelitian Ward, dkk yang membuktikan terdapat hubungan antara manufacturing proactiveness dengan kinerja perusahaan. Manufacturing proactiveness didefinisikan oleh Ward, dkk sebagai tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses Strategic Business Unit (SBU) dan tingkat komitmennya kepada program-program investasi struktural dan infrastruktural jangka panjang untuk membangun kapabilitas dalam mengantisipasi kebutuhan - kebutuhan perusahaan.Keduanya memainkan peranan penting di dalam membentuk keunggulan kompetisi.Temuan ini berkesimpulan bahwa investasi dalam program structural ( technology) yang diikuti dengan investasi dalam program infrastruktural (people) akan menghasilkan rata-rata kinerja yang tinggi.

Namun didalam mengambil keputusan tentang investasi dalam program struktural (teknologi), khususnya pada bank BPR, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.Sebab investasi dan pengelolaan teknologi bisa membuahkan dilemma yang serius bagi BPR(Infobank, April 1998). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pengelolaan investasi pada teknologi, yakni :

1. Jangan memaksakan teknologi. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan awal tentang, mengapa tidak mengambil praktek manajemen yang sehat terlebih dahulu sebelum melompat kepada suatu pemecahan teknologi yang mahal ?.

2. Hindari perangkap return on invesment (ROI).Ketergantungan yang tinggi terhadap ROI membawa kepada suatu kegemaran terhadap proyek-proyek yang menghemat biaya ketimbang proyek-proyek yang menghasilkan pemasukan uang.

  1. Jangan menganggap teknologi sebagai jawaban. Suatu aplikasi teknologi dapat menjanjikan suatu ROI yang menarik, akan tetapi harus dinyatakan terlebih dahulu apakah hal ini merupakan masalah yang harus dipecahkan oleh teknologi.
  2. Ukur teknologi dengan keuntungan yang diperoleh. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap pekerjaan manusia oleh teknologi baru benar-benar menguntungkan ?, apakah bisbis perusahaan benar-benar mampu mengikutinya dengan baik, sehingga penggunaan teknologi manjadi menguntungkan ?.
  3. Ingat infrastruktur yang dimiliki perusahaan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kerumitan yang terjadi karena penerapan teknologi, sehingga bisa menguntungkan.
  4. Memperkirakan kembali pengeluaran yang akan terjadi. Idealnya, penerapan teknologi dapat membantu perusahaan mengerti tentang pengeluaran biaya dengan tepat dan membantu manajer mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien. Tapi seringkali perusahaan gagal pada kedua hal tersebut.

    1. Kinerja Manajemen Jasa.

Collier (dalam Gaspersz, 1997) mendefinisikan manajemen jasa sebagai suatu studi tentang bagaimana bagian pemasaran dan operasional secara bersama melalui teknologi dan tenaga ahli merencanakan, menciptakan dan menyerahkan suatu paket yang bermanfaat bagi konsumen dalam kaitannya dengan pelayanan pada mereka. Definisi ini mengindikasikan bahwa perhatian utama dari manajemen jasa adalah kepuasan konsumen.

Menurut Collier ada beberapa criteria yang mencirikan jasa sekaligus membe-dakannya dengan barang, yaitu :

1. Jasa merupakan output tak-berbentuk (intangible output).

2. Jasa merupakan output variable, tidak terstandar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi