Analisis Potensi Daerah Untuk Mengembangkan Wilayah Di Eks - Karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat Pertumbuhan

FOKUS EKONOMI, DESEMBER 2002

ANALISIS POTENSI DAERAH UNTUK MENGEMBANGKAN WILAYAH DI Eks - KARESIDENAN SURAKARTA MENGGUNAKAN TEORI PUSAT PERTUMBUHAN

Fakultas Ekonomi Univ.Muh. Surakarta

ABSTRACT

The economic development process in Indonesia has caused many distortions between central and region. They are happened because it was too centered-development strategy. The greater autonomy of region is a means for reducing these distortions. The development process one region and the others have not been same because they have endownments differently.

This paper discusses the regional development strategy in Surakarta region using the growth poles theory and location quotient analysis. This paper recommends that Surakarta and Sukoharjo region is a growth central development. It is indicated with gravity index highly. By using LQ analysis showed the several sectors had been economic prospect competitively. They are electric, water and gas sector, finance sector and services sector.

Key word : growth pole theory, location quotient, Surakarta region

I. PENDAHULUAN

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga era reformasi ini masalah pembagian tugas dan pembagian sumber daya ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia selalu menjadi issue pokok yang belum terselesaikan. Pada umumnya issue-issue yang dipertentangkan sehingga terjadi tarik menarik antara pusat dan daerah ini mencakup tiga hal pokok yaitu (1) wewenang dan tugas daerah. (2) wewenang daerah untuk memungut pajak dan (3) sistem transfer antar pemerintah. Ketiga hal tersebut sebagai masalah-masalah yang krusial dalam sistem pemerintahan bertingkat sebagai hasil interaksi antara pusat dan daerah.

Sehubungan dengan diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan 25 tahun 1999, daerah harus mampu memberdayakan potensi yang dimilikinya agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Menurut Sihotang (1991) potensi sumberdaya yang dimiliki antara daerah satu dengan daerah lainnya tidak merata dan tidak seragam, oleh karena itu pertumbuhannyapun berbeda. Untuk dapat tumbuh secara cepat, suatu negara perlu memilih satu atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang memiliki potensi paling kuat. Apabila region ini kuat maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region lemah. Pertumbuhan ini berdampak positip (trickle down effect) yaitu adanya pertumbuhan di region yang kuat akan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah atau mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk region yang kuat.

Dalam rangka pengembangan suatu wilayah, pusat kota dianggap sebagai tempat sentral bagi pertumbuhan ini di daerah dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian terjadi interdependensi antara pusat-pusat kota dengan daerah-daerah di sekitarnya. Berdasarkan hubungan pusat-daerah ini maka kota Surakarta (sebagai pusat pertumbuhan) dan daerah-daerah sekitarnya yaitu kabupaten Sukoharjo, kabupaten Karanganyar, kabupaten Sragen, kabupaten Wonogiri, kabupaten Boyolali dan kabupaten Klaten dapat melakukan aglomerasi ekonomi baik internal maupun eksternal.

Mengembangkan wilayah di eks-karesidenan Surakarta dengan menekankan pusat pertumbuhan wilayah utama dengan maksud agar pertumbuhan tersebut dapat menimbulkan dampak pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitarnya. Disamping itu dapat pula dikaji hubungan timbal balik antara kota Surakarta dengan daerah-daerah dati II di sekitarnya. Diharapkan pertumbuhan yang pesat di kota Surakarta dapat menetes ke bawah (trickle down effect) dan menyebar ke daerah-daerah sekitarnya.

Pengembangan wilayah di eks-karesidenan Surakarta dengan pendekatan pusat pertumbuhan tepat digunakan untuk mengurangi ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan antara wilayah karena sumberdaya yang tidak merata di masing-masing daerah. Untuk dapat tumbuh secara cepat maka wilayah Surakarta perlu menentukan hubungan pusat-daerah yang memiliki potensi yang paling kuat sehingga diharapkan dapat memicu pertumbuhan di daerah-daerah lain yang lemah. Untuk itu perlu dianalisis wilayah mana di eks-karesidenan Surakarta yang berpotensi kuat dalam pengembangannya dan potensi apa yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Dasar pemikiran pewilayahan sebenarnya merupakan suatu hal yang nyata yaitu pembangunan yang terjadi di suatu daerah akan mempengaruhi daerah lain demikian pula sebaliknya. Dalam perkembangan regional selanjutnya, pendekatan ini digunakan untuk membahas interaksi pertumbuhan daerah perkotaan dengan pedesaan.

Pemerataan pembangunan wilayah perlu memperhatikan masalah potensi yang ada di wilayah tersebut mengingat potensi sumberdaya yang ada di masing-masing daerah tidak sama. Oleh karena itu agar perkembangan wilayah surakarta dapat tumbuh secara cepat maka perlu dikaji daerah/ kabupaten mana yang berpotensi kuat dalam pertumbuhannya di wilayah se eks-karesidenan Surakarta dan potensi apa yang dimiliki oleh masing-masing daerah/kabupaten di wilayah Surakarta ?

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dasar pemikiran teori pengembangan wilayah adalah setiap kegiatan pasti terjadi dan mempunyai efek dalam sebuah ruang dan bukan dalam suatu titik yang statis (Budiono, 1994). Misal sebidang tananh yang diusahakan untuk lahan maka kegiatan produksi padi tidak terbatas pada lahan itus aja tetaapi berdasarkan pemikiran bahwa tata ruang kegiatan produksi padi berkaitand engan jarak tempat tinggal petani dengan lahan, jarak petani mendapatkan bibit dan obat-obatan, jarak petani menjual hasil produknya dan jarak dengan tempat dimanan petanai tersebut membelanjakan pendapatannya. Dengan demikian dalam pendekatan tata ruang pembangunan yang terjadi di suatu daerah akan mempengaruhi daerah lain demikian pula sebaliknya. Dalam pendekatan tata ruang ini digunakan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan daerah perkotaan dengan pedesaan. Hubungan atau kontak yang terjadi antara daerah perkotaan dengan pedesaan berserta hasil hubungannya disebut interaksi (Bintarto, 1991).

Interaksi antara desa-kota merupakan suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya maupun proses politik yang terjadi karena berbagai faktor dan unsur yang ada dalam kota, dalam desa, dan diantara kota dan desa (hubungan timbal balik antara desa dan kota).

Kota tidak dapat tumbuh untuk `dirinya` sendiri tetapi juga tumbuh untuk desa-desa di sekitarnya. Dalam pandangan ekonomi regional, pembangunan perkotaan tanpa mengakaitkannya dengan pembangunan pedesaan adalah tidak mungkin terjadi demikian pula sebaliknya. Pembangunan desa-kota (pembangunan regional) dalam perencanaannya menggunakan konsep region (wilayah). Cara yang paling banyak dikenal dalam mendefinisikan suatu regiaon adalah : (Syafrizal, 1993)

  1. Wilayah yang homogin. Adalah sebuah daerah yang memiliki sifat-sifat yang sama yaitu perbedaan-perbedaan yang terdapat pada sebuah region dipandang tidak penting. Misal : region aliran sungai, region lahan kritis dan sebagainya.

  1. Wilayah yang memusat (polarized region). Adalah sebuah wilayah yang didasari oleh adanya aliran barang secara internal, kontak dan saling tergantungnya daerah-daerah tertentu dengan suatu pusat kegiatan yang dominan (biasanya pusat kota).

  1. Wilayah perencanaan (planning region). Adalah wilayah yang keseragamannya didasari oleh kesamaan daerah administratif atau politis. Karena ketersediaan sarana administratifnya maka wilayah ini digunakan sebagai wilayah perencanaan pembangunan.

Pemikiran konsep region diatas dalam hubungannya dengan ukuran region dan interaksi di dalammnya terakait denganm teori lokasi. Teori lokasi yang pertama dikenal dengan tempat sentral yang mengemukakan bahwa pusat kota ada karena berbagai jasa penting yang disediakan oleh lingkungan sekitarnya. Secara ideal kota merupakan pusat daerah yang produktif dengan demikian disebut tempat sentral (Sukanto dan Karseno, 1997)

Teori lokasi kedua adalah growth poles (teori pertumbuhan). Teori ini menyatakan bahwa kumpulan industri cenderung memilih lokasi yang memusat di kota-kota besar (aglomerasi ekonomi) dan didukung oleh sebuah daerah belakang (hinterland) yang kuat. (Alfonso, 1999). Pendekatan dengan teori pusat pertumbuhan menekankan pentingnya pusat-pusat wilayah utama untuk pertumbuhan dengan maksud agar pertumbuhannya dapat menimbulkan efek pertumbuhan bagi daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya pendekatan ini dapat digunakan untuk mengkaji hubunngan timbal balik desa-kota. Dengan mengembangkan kota diharapkan agar perkembangan ini dapat menetes ke desa-desa melalui arus barang, bahan pangan, urbanisasi dan bahkan modal.

Menurut Myrdal (1999) potensi sumber daya yang dimiliki antara daerah satu dengan daerah lainnya tidak merata oleh karena itu pertumbuhannyapun berbeda. Untuk dapat tumbuh secara cepat, suatu negara perlu meilih satu atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang emiliki potensi paling kuat. Apabila region ini kuat maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region lemah. Pertumbuhan ini berdampak positip (trickle down effect) yaitu adanya pertumbuhan di region yang kuat akan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah atau mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk region yang kuat.

Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka pusat kota dianggap sebagai tempat sentral bagi pertumbuhan inti di daerah dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi secar keseluruhan . dengan demikian terjadi interdependensi antara pusat-pusat kota dengan daerah-daerah sekitarnya.

III. METODE PENELITIAN.

Penelitian ini mengambil obyek penelitian daerah-daerah tingkat II se eks-karesidenan Surakarta untuk menentukan interaksi yang paling kuat anatar pusat kota (kota Surakarta) dengan daerah-daerah sekitarnya yaitu kabupaten Klaten, kabupaten Boyolali, kabupaten Karanganyar, kabupaten Sragen, kabupaten Wonogiri dan kabupaten Sukoharjo

Data yang digunakan adalah data sekunder dengan periode pengamatan tahun 1997 - 1999. Data yang diperlukan adalah data PDRB (berdasarkan harga konstan), PDRB per kapita, jumlah penduduk, dan jarak antar wilayah. Data ini diperoleh dari kantor Biro Pusat Statistik daerah tingkat I Jawa tengah, Bappeda tingkat II di masing-masing daerah dan instansi-instansi yang terkait dengan penelitian.

Analisis data yang digunakan adalah:

  1. Analisis gravitasi dan model interaksi ruang.

Analisis ini digunakan untuk mencari wilayah mana di eks-karesidenan Surakarta yang berpotensi kuat dalam pertumbuhannya. Adanya interaksi antara desa-kota menunjukkan eratnya hubungan antara wilayah 1 dengan wilayah 2 sebagai konsekwensi interaksi kota-desa dalam teori pusat pertumbuhan.

Adapun rumus untuk menghitung interaksi dalam hubungan desa-kota adalah (Suwarjoko,1994)

I1,2 = a (W1P1) (W2P2) / Jb12

Keterangan :

I1,2 : Interaksi dalam wilayah 1 dan 2

W1 : pendapatan perkapita wilayah 1

W2 : pendapatan perkapita wilayah 2

P1 : Jumlah penduduk wilayah 1

P2 : Jumlah penduduk wilayah 2

J1,2 : jarak antara wilayah 1 dan 2 (dalam meter)

A : konstanta yang nilainya 1

B : konstanta yang nilainya 2.

  1. Analisis Location Quotient (LQ)

Pendekatan LQ merupakan suatu teknik analisis yang dimaksudkan untuk menentukan potensi spesialisasi suatu daerah terhadap aktifitas ekonomi utama atau untuk menentukan sektor unggulan yaitu sektor yang dapat memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan daerah lain. Formulasi dari LQ adalah :

LQ = vi/vt : Vi/Vt

Keterangan :

Vi = pendapatan sector tertentu pada suatud aerah.

Vt = Total pendapatan daerah tersebut.

Vi = pendapatan sector sejenis secara regional atau nasional

Vt = total pendapatan regional atau nasional.

Berdasarkan formulasi di atas maka apabila

LQ >1 berarti daerah mempunyai basis pada sektor tersebut dan ada kelebihan hasil yang dapat dipasarkan ke daerah lain.

LQ = 1 berarti hasil sektor tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah yang bersangkutan.

LQ <1>

IV. HASIL ANALISIS DATA

Hakekat pembangunan regional adalah memandang pusat kota sebagai tempat sentral bagi titik pertumbuhan inti dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi keseluruhan daerah. Dengan demikian terjadi interdependensi antara pusat kota dengan daerah-daerah di sekitarnya. Wilayah eks-karesidenan Surakarta dengan 6 kabupaten dan 1 (satu) pusat kota yaitu kota Surakarta akan memandang kota Surakarta sebagai pusat kota – titik pertumbuhan initi dengan kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo, karanganyar, Wonogiri dan Sragen sebagai daerah pedesaan.

Untuk mencari wilayah yang berpotensi kuat dalam pengemabngannya digunakan model gravitasi dan interaksi ruang. Diharapkan dengan memilih pusat pertumbuhan yang potensinya paling kuat dapat terjadi perembetan pertumbuhan bagi wilayah-wilayah yang lemah. Hasil analisis gravitasi dan model interaksi ruang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini .

Tabel 1

Indeks gravitasi dan model interaksi Ruang Wilayah Kodya Surakarta

Tahun 1997-1999

DAERAH

1997

1998

1999

Surakarta-Boyolali

1.898,20

1.478,51

1.517,58

Surakarta-Sukoharjo

14.158,85

10.818,12

11.111,76

Surakarta-Sragen

1.322,15

1.003,25

1.070,13

Surakarta-Karanganyar

10.644,50

8.127,27

8.448,83

Surakarta-Wonogiri

1.611,63

1.364,37

2.426,16

Surakarta-Klaten

1.431,56

1.092,25

1.113,39

Dari hasil perhitungan diatas terlihat interaksi antara kota Surakarta dengan kabupaten Sukoharjo memiliki indeks grafitasi tertinggi. Dengan demikian daerah (desa) yang berpotensi paling kuat untuk dikembangkan adalah kota Surakarta sebagai pusat dengan kabupaten Sukoharjo sebagai desa. Tentu saja interaksi ini tidak boleh mengabaikan potensi-potensi yang ada di daerah-daerah yang lain. Paling tidak dari analisis ini dapat memberikan gambaran bahwa agar pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten-kabupaten di eks-karesidenan Surakarta dapat tumbuh secara cepat maka aglomerasi ekonomi dari kota Surakarta dengan kabupaten Sukoharjo harus dilakukan secara konsekwen. Aglomerasi ini diharapkan nantinya dapat merembet ke daerah-daerah yang lain.

Untuk melihat potensi-potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah-daerah di wilayah eks-karesidenan Surakarta dapat dilakukan denan analisis Location Quotient (LQ). Perhitungan dalam LQ adalah dengan membandingkan produk domestik regional bruto (PDRB) suatu wilayah (daerah tingkat II) dengan sumbangan sektor tersebut secara keseluruhan terhadap pembentukan PDRB dari wilayah yang lebih luas (daerah tingkat I). Apabila nilai LQ lebih besar dari 1 maka sektor di wialayah tersebut berpotensi untuk dikembangkan. Dan bila ada beberapa sektor yang memiliki nilai LQ diatas 1 maka sektor yang paling berpotensi untuk dikembangkan adalah sektor yang memiliki LQ tertinggi. Hasil analisis LQ dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2

Nilai Rata-rata LQ Wilayah Kodya Surakarta

Tahun 1997-1999

LAP.USAHA

BYLL

KLT

SKH

KR.ANY

SRG

WNG

SKA

Pertanian

1.543

1.080

1.171

0.926

1.918

2.418

0.072

Pertambangan

0.466

0.310

1.018

0.834

1.762

0.841

0.043

Industri

0.648

0.703

0.884

1.260

0.576

0.137

0.566

Listrik,gas,air

0.600

0.741

1.008

1.462

0.952

0.660

1.815

Bangunan

0.562

1.879

0.886

0.580

1.308

0.853

3.107

Perdagangan

1.173

1.169

0.964

0.755

0.656

0.546

0.987

Angk./kom.

1.013

0.802

0.752

0.624

0.995

1.961

2.861

Keuangan

1.175

1.211

1.023

0.783

1.046

1.199

1.446

Jasa-jasa

0.845

1.141

1.229

1.311

1.006

1.368

1.303

Berdasarkan hasil analisis LQ diatas maka dapat ditentukan beberapa sektor yang berpotensi untuk dikembangkan di wilayah-wilayah tersebut. Adapun secara rinci sektor-sektor yang merupakan sektor basis (sektor dengan nilai LQ > 1) adalah sebagai berikut :

  • Kota Surakarta : sektor listrik , gas, dan air, bangunan dan konstruksi, angkutan dan komunikasi, keuangan dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Sukoharjo : sektor pertanian, pertambangan, listraik, gas dan air, keuangan dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Klaten : sektor pertanian, bangunan dan konstruksi, perdagangan, keuangan dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Boyolali : sektor pertanian, pertambangan, listrik, gas dan air, keuangan dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Karanganyar : sektor industri, listrik, gas, dan air dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Sragen.: sektor pertanian, pertambangan, bangunan dan konstruksi, keuangan dan sektor jasa-jasa.

  • Kabupaten Wonogiri : sektor listrik, gas dan air, bangunan dan konstruksi, angkutan dan komunikasi, keuangan dan sektor jasa-jasa.

Dari potensi-potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah-daerah tingkat II di wilayah eks-karesidenan Surakarta maka prioritas utama adalah dengan melakukan aglomerasi ekonomi antara pusat kota yaitu kota Surakarta dengan kabupaten Sukoharjo . Aglomerasi ini menitikberatkan pada sektor listrik, air dan gas, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa..

V. SIMPULAN

Pemerataan pembangunan wilayah perlu memperhatikan masalah dan potensi yang ada di masing-masing wilayah sehingga diharapkan terjadi spesialisasi dalam proses pembangunan. Demikian pula dengan mengembangkan wilayah melalui pembangunan daerah antara pusat pemerintahan dan daerah-daerah di sekitarnya perlu memperhatikan daya dukung wilayah dan potensi yang dimiliki daerah-daerah tsebagai hinterland Mengembangkan wilayah eks-karesidenan Surakarta dapat menggunakan model tempat sentral, teori pertumbuhan wilayah dan pengamatan terhadap koefisien lokasi (LQ)

Berdasarkan perhitungan dengan indeks gravitasi dan model interaksi ruang maka interaksi kota-desa yang paling erat adalah kota Surakarta dengan kabupaten Sukoharjo. Dengan demikian aglomerasi ekonomi pusat-desa tersebut diharapkan dapat merembet ke daerah-daerah lain di wilayah kodya Surakarta. Sedangkan sektor-sektor yang perlu dikembangkan di pusat-desa tersebut adalah pada sektor listrik, air dan gas, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa.

KETERBATASAN KAJIAN

Penelitian ini akan memberikan hasil yang lebih akurat bila data yang dianalisis mencakup periode pengamatan yang cukup panjang misal 10 sampai dengan 20 tahun. Analisis LQ yang digunakan untuk mengetahui potensi-potensi ekonomi dari suatu wilayah akan lebih baik bila dilengkapi dengan analisis pendukung misal analisis proportionally shiftshare component dan differential shift component. Selain itu sector yang menjadi sector basis wilayah tersebut perlu dianalisis lebih dalam dengan melakukan penelitian yang bersifat kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Alfonso W. (1999). Ketidakseimbangan Kota dan Daerah, Ekonomi Keuangan Indonesia Vol. XXVII. No.3.Jakarta, September.

Badrudin Rudi (1999). Pengembangan Wilayah Propinsi DIY (Pendekatan teoritis), Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.4.No.2 Yogyakarta.

Bintarto.R. (1996). Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Biro Pusat Statistik (2000), Jawa Tengah Dalam Angka tahun 1999, Semarang, Jawa Tengah.

Handoko, Budiono (1995) Interaksi antara Desa dan Kota , PPE FE UGM dan deptan RI Yogyakarta.

Kadariah (1989) Ekonomi Perencanaan, LP FE UI, Jakarta.

Sihotang, Paul (1991), Dasar-Dasar Ilmu Regional, LPFE-UI, Jakarta.

Sukanto R dan Karseno (1997) Ekonomi Perkotaan. BPFE UGM Yogyakarta.

Syafrizal (1993). Ekonomi Regional : Suatu Perkembangan dalam Ilmu Ekonomi. Ekonomi Keuangan Indonesia. Vol.XXXI.No.2, Jakarta, Juni.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi