Analisis Perbedaan Kinerja Saham Jangka Pendek dan Jangka Panjang pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Pasar Modal Indonesi

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI,MARET 2004

Analisis Perbedaan Kinerja Saham Jangka Pendek dan Jangka Panjang

pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO)
di Pasar Modal Indonesia

MG Kentris Indarti

Yohanes

Andi Kartika

Abstrak

The objective of this study is to find empirical evidence about presupposition that underpricing and underperformance phenomenons occurs on companies issued Initial Public Offering (IPO) in Indonesia. There are 36 companies that issued IPO during 1998-2000. After choosing them with purposive sampling method, there are 33 companies to be analyzed in this study. Results from one sample t-test show that in the short run, there are large positive mean excess return. This result is consistent with prior studies in numerous countries. In the long run, the performance is underperformed. Result from paired sample t-test show that there is a significant defference between short and long run stock performance in companies issued IPO.

Key words: Initial Public Offering, Performance, Underpricing, , Underperfomed

PENDAHULUAN
Initial Public Offering (IPO) merupakan penawaran saham perusahaan untuk pertama kalinya dan dilaksanakan di pasar primer (primary market). Selanjutnya saham-saham tersebut akan diperjualbelikan di pasar bursa efek atau disebut pasar sekunder (secundary market).

Harga saham pada penawaran perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter (penjamin emisi efek). Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga perdana yang tinggi. Sebaliknya, underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya. Dalam tipe penjaminan full commitment, pihak underwriter akan membeli saham yang tidak terjual di pasar perdana. Keadaan ini membuat underwriter tidak berkeinginan untuk membeli saham yang tidak laku dijual. Upaya yang dilakukan adalah dengan bernegosiasi dengan emiten agar saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi harganya, bahkan cenderung underpriced.

Sebagai penjamin emisi, underwriter lebih sering berhubungan pasar daripada emiten sehingga pihak underwriter dimungkinkan mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan emiten. Emiten adalah pendatang baru yang belum mengetahui seperti apa keadaan pasar yang sebenarnya. Kondisi asimetri informasi inilah yang menyebabkan terjadinya underpricing, di mana underwriter merupakan pihak yang memiliki kelebihan informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil risiko (Husnan, 1991).

Underpricing adalah penentuan harga saham di pasar perdana lebih rendah daripada harga di pasar sekunder untuk saham yang sama. Harga perdana yang underpriced akan memberikan initial return yang positip bagi investor segera saham tersebut mulai diperdagangkan di pasar bursa. Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena dialami oleh sebagian besar pasar modal di dunia. Beberapa penelitian membuktikan fenomena ini, antara lain di New York Stock Exchange (Miller dan Keilley, 1987), di UK (Herbert, 1981), di Hongkong (Dawson, 1985), di Korea (Kim, et al., 1993; Guness, 1988), di Kanada (Clarkson dan Simunic, 1992), di Australia (Philip, et al., 1995) dalam Trisnawati (1999). Di Indonesia, fenomena serupa ditemukan oleh Husnan (1996), dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced.

Penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal, et al. (1993) menyatakan bahwa kinerja IPO dalam jangka pendek menunjukkan terjadinya underpricing, tetapi dalam jangka panjang terjadi return yang negatif. Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti tentang kinerja surat berharga setelah IPO di Indonesia pada periode 1994-1997. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja IPO jangka pendek (tiga bulan) adalah positip (39,67%0 dan kinerja jangka panjang (24 bulan) adalah negatip (-238,83%). Bukti ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang telah terjadi penurunan kinerja (underperformance).

Jain dan Kini (1994) menyatakan bahwa terdapat penurunan kinerja operasi perusahaan setelah IPO. Penurunan kinerja tersebut merupakan indikasi telah terjadinya menajemen laba menjelang IPO. Manajemen laba didefinisi sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh beberapa keuntungan pribadi (Schipper, 1989) dalam Saiful (2002).

Friedlan (1994) melakukan penelitian terhadap manajemen laba dengan menghitung rata-rata discreationary accrual. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata discreationary accrual lebih tinggi menjelang IPO. Hal yang sama juga ditemukan oleh Teoh, et al.(1998) yang menyatakan bahwa discreationary accrual di seputar IPO lebih tinggi untuk perusahaan yang sedang melakukan IPO daripada perusahaan yang tidak sedang melakukan IPO (non issuer).

Telaah terhadap manajemen laba pada saat perusahaan akan melakukan IPO adalah penting. Teoh, et al. (1989) membuktikan bahwa investor tidak dapat mendeteksi laba hasil rekayasa pada saat IPO. Konsekuensi dari kegagalan investor menentukan nilai perusahaan dengan tepat pada saat IPO adalah terjadinya kesalahan alokasi dana dari perusahaan yang benar-benar prospektif ke perusahaan yang tidak prospektif.

Kesenjangan informasi antara perusahaan dengan calon investor pada saat IPO mempertinggi probabilitas bagi perusahaan untuk melakukan manajemen laba dan tidak terdeteksi oleh pasar. Penelitian Richardson (1998) membuktikan bahwa semakin tinggi informasi asimetri, maka semakin tinggi manajemen laba. Aharoney et al. (1993) membuktikan bahwa tingkat manajemen laba saat IPO pada perusahaan kecil relatif lebih tinggi daripada perusahaan besar. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan informasi yang tersedia pada perusahaan kecil yang melakukan IPO daripada perusahaan besar karena perusahaan besar sebelum IPO pun telah dikenal oleh masyarakat luas.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang dugaan bahwa fenomena underpricing terjadi pada perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO dan terjadi manajemen laba di seputar IPO yang ditandai dengan menurunnya kinerja saham pada jangka panjang. Setelah latar belakang, artikel ini akan mendeskripsikan kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis. Bagian ketiga adalah metode penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian dan pembahasan, serta diakhiri dengan kesimpulan, keterbatasan, dan implikasi hasil penelitian.

A. Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO)

Perusahaan yang belum go public, awalnya saham-saham perusahaan tersebut dimiliki oleh manajer-manajernya, pegawai-pegawai kunci, dan hanya sebagian kecil yang dimiliki investor. Sebagaimana biasanya, jika perusahaan berkembang, kebutuhan modal tambahan sangat dirasakan. Pada saat ini perusahaan harus menentukan untuk menambah modal dengan cara utang atau menambah jumlah dari pemilikan dengan menerbitkan saham baru. Jika saham akan dijual untuk menambah modal, saham baru dapat dijual dengan berbagai macam cara antara lain dengan menawarkan kepada publik (going public).

Keputusan untuk going public atau tetap menjadi perusahaan privat merupakan keputusan yang harus dipikirkan masak-masak. Jika perusahaan memutuskan untuk going public dan melemparkan sahamnya ke publik (initial public offering), isu utama yang muncul adalah tipe saham apa yang akan dilempar, berapa harga yang harus ditetapkan untuk selembar sahamnya, dan kapan waktunya yang paling tepat. Umumnya perusahaan menyerahkan permasalahan yang berhubungan dengan IPO ke banker investasi yang mempunyai keahlian dalam penjualan sekuritas. Penjualan saham baru perusahaan yang melibatkan banker investasi ini dijual di pasar primer (primary market).

Banker investasi merupakan perantara antara perusahaan yang menjual saham dengan investor. Sebagai perantara, banker investasi selain berfungsi sebagai pemberi saran (advisory function), juga berfungsi sebagai pembeli saham (underwriting function), dan berfungsi sebagai pemasar saham ke investor (marketing function).

Proses pembelian sekuritas oleh banker investasi yang nantinya akan dijual kembali ke publik disebut dengan underwriting. Banker investasi yang melakukan underwriting ini disebut underwriter. Underwriter merupakan anggota pasar modal, yang di Bursa Efek Jakarta (BEJ) disebut securities house. Banker investasi membeli sekuritas dengan harga yang sudah disetujui dan menanggung risiko kegagalan atau kerugian menjualnya kembali ke publik. Banker investasi mengambil keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual saham yang disebut spread (Hartono, 2003).

B. Manajemen Laba di Seputar IPO

Schipper (1989) dalam Saiful (2002) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh keuntungan pribadi. Healy dan Wahlen (1998) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada laba akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus (Scott, 2000)

Tujuan yang akan dicapai oleh manajemen melalui manajemen laba meliputi mendapatkan bonus dan kompensasi lainnya, mempengaruhi keputusan pelaku pasar modal, menghindari pelanggaran perjanjian utang, dan menghindari biaya politik (Watt dan Zimmerman, 1986).Healy dan Wehlen (1998) dalam Saiful (2002) membagi motivasi yang mendorong manajemen laba ke dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan return saham. Penelitian Teoh, et al. (1998) dan Rangan (1998) memberikan bukti bahwa ketika melakukan penawaran saham ke publik, baik IPO maupun SEO (penawaran saham tambahan), manajemen cenderung melaporkan laba lebih tinggi (overstate). Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak utang (Sweeney, 1994) dan kontrak kompensasi manajemen (Holthausen, Larcker, dan Sloan, 1995). Ketiga, motivasi regulatory seperti yang dikemukakan oleh Na’im dan Hartono (1996) dan Key (1997).

Informasi asimetri antara manajemen dan investor potensial untuk perusahaan yang belum pernah melakukan IPO sangat mungkin terjadi. Hal ini disebabkan informasi mengenai perusahaan yang belum go public relatif sulit diperoleh oleh investor potensial tersebut.Ketika dilakukan IPO, investor hanya mengandalkan informasi yang terdapat dalam prospektus. Kondisi ini akan mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba dengan harapan harga saham akan tinggi pada penawaran perdana sehingga meningkatkan kemakmurannya.

Kesenjangan informasi antara perusahaan dengan calon investor pada saat IPO akan mempertinggi probabilitas bagi perusahaan untuk menaikkan laba dan tidak terdeteksi oleh pasar. Penelitian Richardson (1998) membuktikan bahwa semakin tinggi informasi asimetri, maka semakin tinggi manajemen laba.

Penelitian mengenai manajemen laba saat IPO di Bursa Efek Jakarta pernah dilakukan oleh Gumanti (2001). Hasil penelitian terhadap 39 perusahaan yang go public pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1997, menunjukkan bahwa perusahaan menaikkan laba pada dua tahun sebelum IPO. Setiawati (2002) menemukan bahwa ada tingkat akrual yang descreationary pada laporan keuangan satu periode sebelum dan setelah IPO. Hasil ini membuktikan bahwa perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO melakukan manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Saiful (2002) terhadap 44 perusahaan yang IPO di Bursa Efek Jakarta tahun 1991-1994 menunjukkan bahwa manajemen laba dilakukan pada periode dua tahun sebelum IPO. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Gumanti (2001).

C. Kinerja Jangka Pendek versus Kinerja Jangka Panjang

Banyak peneliti menunjukkan bahwa umumnya penawaran perdana saham adalah underpricing. Para peneliti menunjukkan mean initial return adalah 4,3547% (Widjaja, 1999), 12,4891% (Rizka, 1995), dan 39,07% (Prastiwi dan Kusuma, 2001). Return saham akan tetap positif dalam jangka pendek dan akan negatif dalam jangka panjang.

Dawson (1987) dalam Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti kinerja IPO untuk tiga Negara yaitu Hongkong, Malaysia, dan Singapura untuk periode 1978 sampai dengan 1983. sampel yang digunakan untuk Hongkong dan Malaysia sebanyak 21 perusahaan sedangkan Singapura 39 perusahaan. Hasil yang ditemukan di Hongkong dan di Singapura konsisten dengan pola di Negara lain, tetapi di Malaysia menunjukkan kinerja jangka panjang yang masih positip. Kinerja jangka pendek untuk Hongkong, Singapura, dan Malaysia adalah 13,80% , 39,40%, dan 166,67% , sedangkan kinerja setahun kemudian adalah – 9,3%, -2,7% dan 18,2%.

Levis dalam Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti IPO di Inggris dengan mengunakan sampel sebanyak 632 perusahaan pada periode 1980 sampai dengan 1988. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja IPO jangka pendek adalah 14,08% sedangkan kinerja tiga tahun kemudian adalah – 31%.

Aggarwal et al ( 1993 ) meneliti kinerja IPO untuk 3 negara yaitu Brasilia, Chili dan Meksiko. Sampel yang digunakan di Brasilia sebanyak 62 perusahaan, di Chili 19 perusahaan dan di Meksiko 44 perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kinerja IPO jangka pendek untuk Brasilia 9,4%, Chili 4,4%, dan Meksiko 4%, sedangkan kinerja setahun kemudian adalah –47%, -23,7%, dan –19,6%.

Teoh, et al. (1998) menemukan discreationary curret accrual di sekitar IPO lebih tinggi untuk perusahaan yang melakukan IPO daripada perusahaan yang tidak melakukan IPO (non issuer). Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang sedang melakukan IPO melakukan manajemen laba. Jain dan Kini (1994) menyatakan terjadi penurunan kinerja operasi perusahaan setelah IPO. Penurunan kinerja ini merupakan indikasi adanya manajemen laba yang dilakukan dengan cara menggeser laba perioda yang akan datang ke perioda sekarang atau menggeser biaya sekarang ke perioda yang akan datang.

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Kiswara (1999), Sutanto (2000), dan Gumanti (2001) memberikan bukti bahwa di Indonesia juga terjadi manajemen laba untuk perusahaan publik. Prastiwi dan Kusuma (2001) yang meneliti kinerja IPO perusahaan di Indonesia pada perioda 1994 sampai demgan 1997 menemukan bukti bahwa kinerja IPO pada jangka pendek adalah positip dan pada jangka panjang adalah negatif.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek terdapat fenomena underpricing dan dalam jangka panjang terdapat penurunan kinerja (underperformance). Penentuan baik tidaknya kinerja saham, baik jangka pendek maupun jangka panjang dilihat dari besarnya return abnormal. Apabila return abnormal > 0, menunjukkan kinerja yang outperformed (baik), sebaliknya apabila return abnormal <>underperformed (buruk).

Suatu penjelasan mengenai fenomena underpricing adalah adanya hipotesis asimetri informasi informasi (Senbert dan Guiness, 1992) dalam Rosyati dan Sabeni (2002),. Informasi asimetri terjadi antara perusahaan emiten dengan underwriter (model Baron) atau antara informed investor dan uninformed investor (model Rock). Pada model Baron (1982), penjamin emisi dianggap memiliki informasi yang lebih tinggi mengenai permintaan saham perusahaan emiten daripada perusahaan emiten meskipun perusahaan emiten mungkin melakukan manajemen laba sebelum IPO untuk meningkatkan harga sahamnya (Friedlan, 1994). Penjamin emisi akan memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk memperoleh kesepakatan optimal dengan emiten untuk menjual saham yang underpriced. Underwriter melakukan penjualan saham perdana yang underpriced brtujuan untuk memperkecil risiko kemungkinan saham tidak laku dijual serta keharusan membeli saham yang tidak terjual itu (full commitment).

Model ini mengimplikasikan bahwa ketidakpastian yang besar dari perusahaan emiten tentang harga saham, maka permintaan terhadap jasa penjamin semakin besar. Kompensasi atas informasi yang diberikan kepada penjamin antara lain dengan mengijinkan penjamin menawarkan saham pada harga di bawah harga ekuilibrium. Oleh karena itu semakin tinggi tingkat ketidakpastian, semakin banyak masalah dalam penentuan harga dan semakin tinggi tingkat underpriced.

Pada model Rock (1986), informasi asimetri terjadi pada kelompok informed investor dan uninformed investor. Informed investor yang mengetahui informasi lebih banyak mengenai prospek perusahaan emiten akan membeli saham IPO jika after market price yang diharapkan melebihi harga perdana atau dengan kata lain kelompok ini hanya membeli saham IPO yang underpriced saja.

Sementara kelompok uninformed investor karena kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten akan melakukan penawaran secara sembarangan, baik pada saham IPO yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya, kelompok uninformed investor memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham IPO yang overpriced daripada kelompok informed investor. Menyadari bahwa mereka menerima saham IPO yang tidak proporsional, kelompok uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi pada pasar perdana dan memungkinkan memperoleh return saham yang wajar serta dapat menutupi kerugian akibat membeli saham yang overpriced, maka saham IPO harus cukup underpriced (Krinsky, 1994 ; Guiness, 1992).

Penelitian mengenai kinerja IPO menunjukkan bahwa pada jangka panjang terjadi return yang negatif (Aggarwal, et al., 1993). Lebih lanjut beberapa peneliti (Allen dan Faulhaber, 1989; Grinblatt dan Hwang, 1989; Welsch, 1989) dalam Rosyati dan Sabeni (2002) menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan underpricing sebagai suatu mekanisme untuk menandai kualitas perusahaan.

Menurut Ritter (1991), faktor yang bisa menjelaskan terjadinya underperformance adalah kesalahan dalam pengukuran risiko, bad luck dan terlalu optimisnya investor terhadap prospek perusahaan. Friedlan (1994) membuktikan bahwa ada kecenderungan perusahaan emiten melakukan manipulasi dengan meningkatkan laba (earning management) sebelum melakukan IPO. Apabila perusahaan melakukan manajemen laba akan berdampak pada kinerja jangka panjangnya yang diukur dengan besarnya return yang diterima investor. Aggarwal et al (1993) meneliti kinerja IPO di negara-negara Amerika Latin (Brasil, Chilil, Meksiko) untuk periode 1980 sampai 1990. Hasil yang ditemukan di tiga negara ini konsisten dengan pola yang ditemukan di negara lain, termasuk Indonesia (Prastiwi dan Kusuma, 2001) yaitu kinerja jangka pendek positif namun kinerja jangka panjang menurun setelah itu.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan nampak bahwa kinerja saham dalam jangka pendek outperformed (positif) dan dalam jangka panjang akan mengalami penurunan bahkan menjadi negatif. Berdasarkan hasil peneliltian tersebut, maka diturunkan hipotesis penelitian sebagai berikut :

H1 : Dalam jangka panjang kinerja kinerja saham di pasar modal Indonesia mengalami underperformance

H2 : Terdapat perbedaan signifikan antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka

panjang pada perusahaan yang IPO di Indonesia.

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan IPO pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2001. Tahun terakhir pengamatan adalah 2001 karena untuk keperluan penelitian ini dibutuhkan laporan keuangan dua tahun sebelum dan dua tahun setelah IPO. Jika tahun pengamatan adalah 2001 maka data laporan keuangan yang dibutuhkan adalah tahun 1999, 2000, 2002, dan 2003.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pemilihan sampel secara tidak acak yang disesuaikan dengan tujuan atau target tertentu. Adapun kriteria sampel yang dipilih adalah sebagai berikut: 1) memiliki laporan keuangan dua tahun sebelum dan sesudah IPO, 2) harga saham pada saat penawaran perdana diketahui

  1. data harga saham bulanan dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada saat penutupan diketahui.

B. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini abnormal return digunakan sebagai alat ukur kinerja saham, baik periode jangka pendek (3 bulan) maupun jangka panjang (24 bulan) berdasarkan harga perdana. Persamaan yang dipakai adalah persamaan yang dikembangkan oleh Aggarwal et al (1993). Langkat-langkahnya sebagai berikut :

a. Menghitung Return Saham setiap periode dengan rumus :

Pit

Rit = ¾¾¾ - 1

Pio

Keterangan:

Rit = Return Saham

Pit = Harga saham pada saat t

Pi0 = Harga saham saat penawaran

b. Menghitung Return Pasar setiap periode dengan rumus :

Pmt

Rmt = ¾¾¾ - 1

Pm0

Keterangan:

Rmt = Return indeks pasar

Pmt = Nilai indeks pasar pada saat t

Pm0 = Nilai indeks pasar saat penawaran

c. Menghitung Market-Adjusted Abnormal Return untuk perusahaan yang IPO pada hari ke-t, dengan rumus :

(1 + Rit)

ARit = ¾¾¾¾¾ - 1 x 100%

(1 + Rmt)

d. Kriteria kinerja saham :

- Return abnormal > 0, menunjukkan kinerja yang outperformed

- Return abnormal <>underperformed

Untuk menginterpretasikan total return secara kelompok (grup) setiap periode, dihitung wealth relative (WR) sebagai pengukur kinerja. Rumus yang digunakan adalah :

image\ebx_872748598.gif

Kriteria pengukuran yang digunakan adalah :

- WR > 1, menunjukkan kinerja yang outperformed

- WR <>underperformed

C. Teknik Analisis Data

Pengujian dengan menggunakan one-sample t-test dan paired sample t-test memerlukan asumsi bahwa distribusi probabilitas dari gangguan u t memiliki rata-rata yang diharapkan sama dengan 0 ( nol ), tidak berkorelasi dan mempunyai varian konstan. Dengan asumsi ini maka estimator memenuhi sifat statistik yang diinginkan seperti unbiased dan varian minimum. Data yang memenuhi asumsi ini adalah data yang terdistribusi normal.

Pengujian normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal. Dalam penelitian ini, pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan kolmogorov-smirnov. Data terdistribusi normal apabila nilai kolmogorov-smirnov hitung < kolmogorov-smirnov tabel (0,237) dan nilai signifikansi > 0,05

Hipotesis pertama dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan one-sample t-test. Pengujian ini digunakan untuk membuktikan dugaan bahwa dalam jangka panjang telah terjadi underperformed pada perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia. Hipotesis 2 akan diuji dengan menggunakan paired sample t-test. Teknik ini digunakan untuk menguji apakah dua sampel yang berpasangan mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda. Sampel berpasangan (paired sample) adalah sebuah sampel dengan subyek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda.

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Statistik Deskriptif

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di pasar modal Indonesia pada tahun 1998 s/d 2000. Perusahaan yang melakukan IPO pada periode tersebut sebanyak 36 perusahaan. Berdasarkan teknik pengambilan sample dengan metode purposive sampling, diperoleh sample sebanyak 33 perusahaan.

Statistik deskriptif untuk 33 perusahaan yang melakukan IPO tersebut disajikan pada table 1. Tabel 1. menyajikan nilai rata-rata (mean), deviasi standar, nilai maksimum, dan nilai minimum dari kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang yang diukur dengan besarnya abnormal return.

Tabel 1

Mean, Deviasi Standar, Std. Error, Nilai Maksimum,

dan Nilai Minimum Abnormal Return

Periode (bulan)

N

Mean

Std. Deviasi

Std. Error

Nilai

Maksimum

Nilai

Minimum

1

33

51,0378

68,2345

11,8781

180,98

-57,79

2

33

56,3579

101,3160

17,6369

393,80

-61,10

3

33

53,8846

100,4605

17,4879

414,30

-67,01

6

33

47,1388

142,5213

24,8098

581,67

-78,14

12

33

34,5036

142,0694

24,7311

656,02

-82,23

24

33

-8,6878

86,0796

14,9845

190,67

-92,61

Sumber : Data sekunder yang diolah

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui besarnya nilai rata-rata, standar deviasi standar error, nilai maksimum, dan nilai minimum dari abnormal return pada setiap periode (bulan). Nilai mean pada periode 1 bulan sebesar 51,04 menunjukkan bahwa apabila investor membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan, maka ia akan mendapatkan rata-rata abnormal return sebesar 51,04 persen.

Standar deviasi pada periode 1 bulan menunjukkan besarnya risiko yang harus ditanggung oleh investor apabila ia membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan, yaitu sebesar 68,23 %. Standar error menunjukkan nilai penyimpangan abnormal return dari rata-ratanya, semakin besar nilai standar error maka semakin besar penyimpangan abnormal return dari rata-ratanya.

Nilai maksimum pada periode 1 bulan menunjukkan angka 180,98, berarti bahwa abnormal return tertinggi yang dapat dicapai oleh investor yang membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama 1 bulan adalah 180,98%. Nilai minimum pada periode 1 bulan sebesar –57,79 menunjukkan bahwa kerugian terbesar yang mungkin ditanggung oleh investor yang membeli saham pada penawaran perdana dan menyimpannya selama satu bulan adalah 57,79%.

B. Uji Normalitas Data

Syarat penggunaan one sample t.test dan paired sample t.test yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah data terdistribusi normal. Uji normalitas data digunakan untuk membuktikan bahwa data dalam penelitian ini berasal dari distribusi normal. Pengujian normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kolmogorov-smirnov. Teknik ini digunakan karena sampel dalam penelitian ini jumlahnya relatif kecil dan cenderung tidak normal. Tabel 2 berikut ini adalah hasil uji kolmogorov-smirnov dari 33 sampel untuk periode 1-24 bulan.

Tabel `2

Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov

Periode

N

K-S hitung

Sig

Periode

N

K-S hitung

Sig

1

33

0,090

0,950

13

33

0,141

0,527

2

33

0,145

0,493

14

33

0,164

0,334

3

33

0,114

0,781

15

33

0,170

0,293

4

33

0,150

0,452

16

33

0,220

0,082

5

33

0,190

0,186

17

33

0,189

0,191

6

33

0,228

0,065

18

33

0,207

0,117

7

33

0,202

0,135

19

33

0,207

0,117

8

33

0,204

0,127

20

33

0,215

0,095

9

33

0,238

0,048

21

33

0,220

0,082

10

33

0,211

0,105

22

33

0,214

0,098

11

33

0,226

0,069

23

33

0,203

0,130

12

33

0,206

0,123

24

33

0,214

0,098

Sumber : Data sekunder yang diolah

Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa distribusi data abnormal return dari 33 sampel pada periode 1-24 bulan adalah normal, karena nilai kolmogorov-smirnov hitung <> 0,05. Jadi data tersebut telah memenuhi syarat normalitas, sehingga dapat dilakukan uji statistik one-sample t-test dan paired sample t.test

C. Kinerja Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah dalam jangka panjang kinerja saham di pasar modal Indonesia mengalami underperformed (terdapat penurunan kinerja yang diukur dengan abnormal return). Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan uji statistik one-sample t-test. Uji ini digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan rata-rata dari suatu sampel. Hasil pengujian dengan one sample t.test disajikan pada tabel 3.

Tabel 3

Kinerja Saham (Jangka Pendek dan Panjang) Setelah IPO

Periode (bulan)

N

Mean

Std. Deviasi

T-hitung

WR

Sig.

1

33

51,0378

68,2345

4,122

1,5051

0,000

2

33

56,3579

101,3160

2,474

1,5336

0,019

3

33

53,8846

100,4605

2,637

1,4970

0,013

6

33

47,1388

142,5213

2,131

1,4299

0,041

12

33

34,5036

142,0694

2,648

1,3227

0,012

24

33

-8,6878

86,0796

-7,253

0,9379

0,000

Sumber : Data sekunder yang diolah

Dari tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata abnormal return dari 33 perusahaan dalam jangka pendek (1, 2, dan 3 bulan) adalah positif, sedangkan jangka panjang (24 bulan) adalah negatif. Dalam jangka pendek, pada bulan pertama rata-rata abnormal return mencapai 51,04 persen dan mengalami kenaikan menjadi 56,36 persen pada bulan kedua. Akan tetapi pada bulan ketiga mengalami penurunan hingga mencapai 53,88 persen. Pada bulan keenam rata-ratanya kembali turun mencapai 47,14%. Pada periode jangka panjang, rata-rata abnormal return menjadi negatif sebesar –8,6878 persen.

Nilai wealth relative (WR) menunjukkan besarnya rata-rata return abnormal secara kelompok dari 33 perusahaan yang melakukan IPO. Dari perhitungan wealth relative untuk periode 24 bulan menunjukkan angka 0,9379 yang berarti bahwa kinerja saham jangka panjang (24 bulan) underperformed (buruk), karena nilai wealth relative <>

Berdasarkan uji t diperoleh hasil bahwa kinerja jangka panjang underperformed. Hal ini dapat dilihat pada nilai t hitung (-7,253) lebih kecil daripada t tabel (-1,645) dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa kinerja saham jangka panjang mengalami underperformed didukung oleh fakta empiris.

Penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi dan Kusuma (2001). Ia meneliti kinerja IPO di Indonesia untuk periode 1994 sampai 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja jangka pendek outperformed dengan rata-rata return abnormal 39,07 persen. Sebaliknya pada jangka panjang kinerja IPO mengalami underperformed (penurunan) dengan nilai rata-rata abnormal return –238,83 persen. Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan hasil uji t, dimana nilai t hitung (- 3,40) < - t tabel (-1,645).

Hasil penelitian ini juga konsisten dengan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa negara, diantaranya Amerika Serikat (Reilly, 1977), Inggris (Levis, 1993), Australia (Finn dan Higham, 1988), serta Brasilia, Chili dan Meksiko (Aggarwal et al, 1993). Semua penelitian tersebut menghasilkan pola yang sama, yaitu kinerja IPO jangka pendek outperformed (positif) sedangkan kinerja IPO jangka panjang underperformed (negatif

Kinerja saham jangka panjang yang underperformed itu disebabkan karena sebagian besar perusahaan yang melakukan IPO pada periode 1998 sampai 2000 memang memiliki kinerja yang buruk. Hal itu terbukti pada nilai abnormal return masing-masing perusahaan yang negatif.

Hasil ini membuktikan bahwa ada kemungkinan perusahaan-perusahaan yang memilliki kinerja buruk melakukan manajemen laba (earning management) sebelum mereka melakukan IPO. Hal ini sesuai dengan temuan Gumanti (2001), Setiawati (2002) dan Saiful (2002) yang menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta melakukan manajemen laba. Penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan Friedlan (1994), yaitu ada kecenderungan perusahaan-perusahaan melakukan manajemen laba sebelum mereka melakukan IPO.

D.Perbedaan Kinerja Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan signifikan antara kinerja saham jangka pendek dan jangka panjang pada perusahaan yang IPO di Indonesia. Untuk membuktikan hipotesis kedua tersebut digunakan uji statistik paired sample t-test. Uji tersebut digunakan untuk menguji perbedaan antara rata-rata abnormal return jangka pendek (3 bulan) dan rata-rata abnormal return jangka panjang (24 bulan). Hasil pengujian hipotesis dengan paired sample t-test terhadap 33 perusahaan disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4

Perbedaan Kinerja

Jangka Pendek dan Jangka Panjang

3 bulan

24 bulan

T-hitung

Sig.

Mean (%)

53,8846

- 8,6878

2,827

0,008

Std. Deviasi

100,4605

86,0796

N

33

33

Sumber : Data sekunder yang diolah

Berdasarkan tabel 4.4 tersebut dapat diketahui perbedaan rata-rata dan standar deviasi antara kinerja jangka pendek (3 bulan) dan kinerja jangka panjang (24 bulan). Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai signifikansi adalah 0,008. Ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja jangka pendek (3 bulan) dan kinerja jangka panjang (24 bulan).

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang pada surat berharga yang dibeli pada harga perdana. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang pada perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia diterima.

Hasil penelitian mengenai perbedaan kinerja jangka pendek dan jangka panjang ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi dan Kusuma (2001). Penelitian yang dilakukan Prastiwi dan Kusuma (2001) menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kinerja jangka pendek (3 bulan) dan kinerja jangka panjang (24 bulan) pada perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan hasil paired sample t-test, dimana nilai t hitung (-4,000) < - t tabel (-1,960).

Hasil ini juga konsisten dengan beberapa temuan penelitian serupa di luar negeri. Levis dalam Prastiwi dan Kusuma (2001) meneliti IPO di Inggris dengan mengunakan sampel sebanyak 632 perusahaan pada periode 1980 sampai dengan 1988. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja IPO jangka pendek adalah 14,08% sedangkan kinerja tiga tahun kemudian adalah – 31%.

Aggarwal et al ( 1993 ) meneliti kinerja IPO untuk 3 negara yaitu Brasilia, Chili dan Meksiko. Sampel yang digunakan di Brasilia sebanyak 62 perusahaan, di Chili 19 perusahaan dan di Meksiko 44 perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kinerja IPO jangka pendek untuk Brasilia 9,4%, Chili 4,4%, dan Meksiko 4%, sedangkan kinerja setahun kemudian adalah –47%, -23,7%, dan –19,6%.

Terjadinya perbedaan yang signifikan antara kinerja jangka pendek (3 bulan) dan jangka panjang (24 bulan) disebabkan karena dalam jangka pendek terdapat fenomena underpricing, dimana harga saham perdana mengalami underpriced. Setelah saham tersebut tercatat di pasar bursa, harga saham tersebut meningkat sehingga diperoleh abnormal return yang positif.

Dalam jangka panjang, sebagian besar saham mengalami penurunan harga yang sangat drastis hingga mencapai angka di bawah harga perdana, sehingga rata-rata abnormal return dalam jangka panjang mengalami penurunan yang tajam. Penelitian ini dilakukan pada periode krisis dan setelah krisis moneter, sehingga dimungkinkan krisis tersebut berdampak pada pasar modal Indonesia dalam jangka panjang, karena saat krisis moneter terjadi, tingkat inflasi di Indonesia mengalami kenaikan.

SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI PENELITIAN

Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis data yang dilakukan terhadap kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang yang diukur dengan abnormal return dari perusahaan yang melakukan IPO pada periode 1998 sampai dengan 2000, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut :

    1. Jumlah perusahaan yang melakukan IPO pada periode 1998 sampai dengan 2000 sebanyak 36 perusahaan. Setelah dilakukan pemilihan sampel dengan teknik purposive sampling, diperoleh sampel sebanyak 33 perusahaan yang dianalisis dalam pebnelitian ini.

    2. Hasil analisis dengan metode one-sample t-test terhadap kinerja saham jangka panjang menunjukkan bahwa kinerja saham jangka panjang mengalami underperformed. Hal itu terbukti dari nilai t hitung lebih kecil dari – t tabel (-7,253 < -1,645) dan signifikansi (0,00) <>Dengan demikian hipotesis pertama dalam penelitian ini didukung oleh fakta empiris.

    3. Hasil analisis dengan metode paired sample t-test terhadap kinerja jangka pendek (3 bulan) dan jangka panjang (24 bulan) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kinerja saham jangka pendek dan jangka panjang pada perusahaan yang IPO di Indonesia. Hal itu terbukti dari nilai t hitung (2,827) > t tabel (1,960) serta nilai signifikansi <>

    4. Kinerja jangka panjang yang underperformed (mengalami penurunan) disebabkan karena sebagian besar perusahaan memang memiliki kinerja buruk yang tercermin pada nilai return abnormal yang negatif. Hasil ini memperkuat dugaan bahwa perusahaan yang melakukan IPO di Pasar Modal Indonesia melakukan manajemen laba.

    5. Perbedaan signifikan antara kinerja jangka pendek dan jangka panjang disebabkan karena fenomena underpricing dalam jangka pendek dan penurunan kinerja sebagian besar perusahaan dalam jangka panjang serta krisis moneter yang dialami Indonesia dimana tingkat inflasi mengalami kenaikan.

Keterbatasan

Peneliti menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang ada dalam penelitian ini yaitu:

        1. Periode pengamatan yang relatif pendek (3 tahun), yaitu periode 1998 sampai dengan 2000 sehingga diperoleh sampel dalam jumlah yang relatif kecil.

        2. Dalam peneliltian ini digunakan data harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) bulanan saat penutupan (closing price), sehingga tidak mencerminkan nilai abnormal return yang sebenarnya.

        3. Jangka waktu pengamatan atas kinerja saham terbatas sampai 24 bulan mengingat keterbatasan waktu, data yang tersedia, serta aktivitas perdagangan saham yang belum terjadi.

        4. Penelitian ini tidak membuktikan lebih jauh tentang adanya dugaan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang akan melakukan IPO di Pasar Modal Indonesia.

C. Implikasi

Meskipun memiliki beberapa kelemahan, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para investor sebagai bahan pertimbangan sebelum membuat keputusan investasi, sehingga investor tidak keliru dalam mengalokasi dananya. Berdasarkan pada kelemahan-kelemahan tersebut di atas, ada beberapa implikasi untuk peneliti berikutnya yang berminat dalam bidang ini untuk melanjutkan atau mengembangkan penelitian ini, yaitu

1. Sebaiknya periode pengamatan diperpanjang sehingga jumlah sampel yang ada lebih banyak sehingga memungkinkan dapat diambil kesimpulan yang lebih baik

    1. 2. Sebaiknya peneliti yang akan datang menggunakan data harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) harian sesuai dengan tanggal IPO dan dicari periode pengamatan yang tingkat inflasinya tidak terlalu tinggi untuk menghindari dampak negatif yang mungkin ada dari hasil penelitian ini

    2. 3. Jangka waktu pengamatan atas kinerja saham dapat lebih diperpanjang lagi

    3. 4. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga membuktikan kemungkinan adanya kecenderungan perusahaan melakukan manajemen laba (earning management) sebelum melakukan IPO yang berdampak pada kinerja jangka panjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi