Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger Dan Sebagai Bank Rekapitalisasi

Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger Dan Sebagai Bank Rekapitalisasi

Oleh:
Agunan P. Samosir[1]

Abstraksi
Kebijakan pemerintah dalam merestrukturisasi BUMN-BUMN yang belum dan tidak sehat menjadi suatu pilihan agar BUMN tersebut dapat bersaing di dalam negeri dan di luar negeri. Salah satu restrukturisasi yang dilakukan adalah melakukan merger empat bank pemerintah menjadi satu bank yaitu Bank Mandiri. Harapan pemerintah dengan adanya merger tersebut adalah Bank Mandiri dapat beroperasi sebagai intermediary financial yang mendukung kegiatan sektor riil di Indonesia.
Hasil studi menunjukkan bahwa pertama, kinerja empat bank pemerintah yaitu Bank Exim, Bank BDN, Bank BBD, dan Bank Bapindo sebelum merger adalah tidak sehat. Kedua, pemerintah tidak memiliki pilihan lain dibandingkan melikuidasi bank-bank tersebut dengan cost yang sangat besar. Disamping itu, pemerintah menginjeksi bank hasil merger dengan obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun. Ketiga, kinerja Bank Mandiri setelah merger selama tiga tahun justru tidak sehat, dimana 73% pendapatan yang diperoleh merupakan hasil bunga obligasi yang diberikan pemerintah. Keempat, dibandingkan dengan bank pemerintah lainnya, efisiensi Bank Mandiri berada diposisi kedua terakhir sebelum Bank BTN.

I. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang melanda di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan seluruh potensi-potensi ekonomi mengalami kemandegan dan diambang kebangkuratan. Salah satu sektor yang sangat mempengaruhi kegiatan sektor riil yaitu sektor jasa keuangan (perbankan) di Indonesia terpaksa ditutup atau dibekukan kegiatannya akibat ketidakmampuan bank tersebut dalam mengelola operasionalnya. Padahal, jumlah perbankan dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah banyak bermunculan dihampir setiap daerah.
Salah satu penyebab dibekukannya kegiatan operasi perbankan oleh pemerintah adalah pinjaman luar negeri yang membengkak lebih dari tiga kali lipat akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar naik secara drastis. Disamping itu, penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank yang ditutup/dibekukan diberikan kepada industri terkait yang memiliki hubungan kepemilikan dengan bank tersebut. Penyaluran kredit yang berindikasi KKN tidak hanya dilakukan oleh perbankan swasta, tetapi bank pemerintah (BUMN) juga ikut melakukannya. Hanya saja, dalam perjalanannya pemerintah lebih cenderung membekukan kegiatan perbankan swasta, sedangkan bank pemerintah dilakukan restrukturisasi dengan cara penggabungan (merger) dan rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi pemerintah untuk menambah modal bank. Pelaksanaan program rekapitalisasi bank merupakan salah satu komitmen pemerintah Indonesia sebagaimana tercantum dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang dinamakan dengan reformasi perbankan.
Dalam kerangka penggabungan tersebut, akhir Februari 1998, pemerintah telah mengumumkan rencana restrukturisasi bank pemerintah dengan cara penggabungan. Adapun bank pemerintah yang akan digabung adalah: (1) Bank Ekspor Impor (Bank Exim), (2) Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), (3) Bank Bumi Daya (BBD), dan (4) Bank Dagang Negara (BDN). Secara resmi tanggal 2 Oktober 1998 penggabungan keempat bank pemerintah telah berganti nama menjadi Bank Mandiri. Sedangkan penggabungan seluruh laporan keuangan efektif dilakukan pada akhir Juli 1999 sekaligus mengurangi jumlah kantor cabang dan sumber daya manusia yang ada di empat bank tersebut.
Dengan penggabungan keempat bank pemerintah tersebut diharapkan Bank Mandiri, pertama, industri perbankan Indonesia akan menjadi lebih kuat dan stabil apabila ditopang oleh bank-bank berskala besar. Kedua, intervensi pemerintah terhadap bank pemerintah semakin berkurang, apabila restrukturisasi perbankan berhasil maka besar kemungkinan Bank Mandiri akan diprivatisasi dengan tujuan memperkuat struktur permodalan, meningkatkan likuiditas dan pengembangan usaha. Ketiga, kinerja keuangan Bank Mandiri diharapkan semakin baik dibandingkan sebelum penggabungan. Keempat, semakin sehatnya Bank Mandiri, maka sektor riil yang membutuhkan jasa keuangan bank tersebut akan semakin baik dan secara makro perekonomian nasional semakin membaik di masa yang akan datang.

II. Permasalahan
Dengan penggabungan keempat bank tersebut, apakah ada jaminan Bank Mandiri akan semakin sehat kinerjanya? Pertanyaan selanjutnya, apakah kebijakan reformasi perbankan akan terus dimodifikasi, diperbaiki, dibatalkan atau dicabut oleh pemerintah?. Dengan kondisi ekonomi yang berfluktuatif (tidak pasti) jelas akan mempengaruhi kegiatan operasional Bank Mandiri dimasa mendatang, pemulihan aktiva dan kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya pada saat jatuh tempo. Disamping itu, rentannya kemampuan perusahaan yang melakukan pinjaman kepada Bank Mandiri mengalami risiko kemacetan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi Bank Mandiri dalam portofolio pinjaman. Seperti yang telah diumumkan pemerintah, bahwa dalam rangka peningkatan struktur modal (rekapitalisasi) Bank Mandiri, pemerintah telah menerbitkan obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun.
Pertanyaan yang mendasar bagi stakeholder dan pemerintah khususnya Departemen Keuangan dan Kementrian BUMN adalah bagaimana kinerja Bank Mandiri sesudah merger, apakah lebih baik atau lebih buruk. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah karena beberapa faktor penghambat yang telah dikemukakan di atas. Pertanyaan lain yang juga sulit dijawab adalah bagaimana dengan pengembalian obligasi pemerintah yang demikian besar, karena bunga atas obligasi tersebut menjadi salah satu pendapatan yang sangat besar bagi Bank Mandiri. Disisi lain, obligasi yang diberikan berbentuk “kertas” merupakan tanggungan pemerintah yang diperoleh dengan utang.

III. Tujuan
Tujuan studi ini adalah untuk membantu memberikan masukan kepada pemerintah mengenai restrukturisasi Bank Mandiri setelah merger. Secara terperinci, langkah-langka yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi Bank Mandiri sebelum dan sesudah merger melalui kinerja keuangannya;
2. Menganalisis efisiensi Bank Mandiri dibandingkan dengan bank BUMN lainnya.

IV. Landasan Teori Merger
4.1 Definisi dan Motif Merger
Merger didefinisikan oleh Pringle dan Harris[2] sebagai berikut: “Merger is a combination of two or more firm in which one company survives under its own name while any others cease to exit as legal entities.” Jadi pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk mengkombinasikan/menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain.
Motif dari merger ini bermacam-macam. Menurut Pringle & Harris (1987), motif merger meliputi sekitar 11 aspek, yakni: (1) cost saving, (2) monopoly power, (3) auditing bankruptcy, (4) tax consideration, (5) retirement planning, (6) diversification, (7) increased debt capacity, (8) undervalued assets, (9) manipulating earning’s per share, (10) management desires, dan (11) replacing inefficient management.
Dengan demikian, motif perusahaan-perusahaan untuk melakukan merger sebenarnya didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan dalam rangka memenangkan persaingan dalam bisnis yang semakin kompetitif. Cost saving dapat dicapai karena dua atau lebih perusahaan yang memiliki kekuatan berbeda melakukan penggabungan, sehingga mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan secara bersama-sama. Sebagai contoh, Smitkline Corporation, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang industri kesehatan, melakukan akuisisi terhadap Backments Instrument, suatu perusahaan di bidang disain, manufaktur pemasaran alat-alat laboratorium, suplier bahan kimia dan komponen-komponen industri. Smitkline Corporation, dengan begitu tidak perlu membuka pabrik baru, atau menambah tenaga ahli untuk mensuplai kebutuhan-kebutuhannya karena membutuh-kan biaya investasi yang lebih besar. Dengan merger (akuisisi), semua kebutuhan dari perusahaan Backments Instrument dapat terpenuhi, dan sebaliknya Backments[3] juga tidak sulit mencari pasar terhadap alat-alat yang dipasarkannya. Cara ini tentu dapat menghemat biaya sehingga menaikkan nilai perusahaan. Proses akuisisi seperti ini yang ditiru oleh Salim Grup, dimana anak perusahaannya yang berkedudukan di Singapura (QAF) setelah melakukan right issue di Bursa Efek Singapura kemudian dananya dipakai untuk mengakuisisi PT. Indofood Sukses Makmur yang berkedudukan di Indonesia.
Motif lain dilakukannya merger adalah monopoli power. Suatu perusahaan besar melakukan merger dengan perusahaan yang level bisnisnya lebih kecil atau setara akan memberikan kesan bahwa perusahaan ter-sebut memiliki kemampuan lebih, baik dalam aset maupun dalam managerial skill-nya. Dengan melakukan merger, maka kemampuan aset semakin besar, dengan begitu ia akan mampu melakukan operasi pada skala yang lebih ekonomis. Konsekuen-sinya, perusahaan hasil merger tersebut dapat menurunkan cost per unitnya, sehingga harga jual barang atau jasa per unit dapat ditekan lebih rendah. Kondisi ini pada gilirannya dapat menambah pangsa pasar (market share) dan menjadi market leader dalam industri dimana perusahaan tersebut berada.
Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari risiko bangkrut, dimana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangkrut. Penyebabnya bisa karena miss management atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan/atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama menciptakan strategi baru untuk menghindari risiko bangkrut.
Merger juga dilakukan dengan maksud untuk memanfaatkan insentif tax yang diberikan karena adanya kebijakan baru di bidang perpajakan yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, ada produk tertentu yang oleh undang-undang perpajakan atau peraturan perpajakan dibebankan dari tax untuk mendorong perkembangan produksi tersebut. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang/jasa tersebut dapat menjadi incaran perusahaan besar untuk merger dengan motif memanfaatkan fasilitas perpajakan tersebut. Motif lain dari merger adalah diversifikasi. Pada dasarnya diversifikasi dimaksudkan untuk meminimalkan risiko. Apabila dua atau lebih perusahaan yang berada dalam satu jalur bisnis yang sama melakukan merger, maka sebuah perusahaan baru hasil merger tersebut akan memiliki aneka ragam produk. Mekanisme diversifikasi ini berarti juga membagi risiko perusahaan untuk dipikul oleh jenis produk yang makin banyak, jadi dapat meminimumkan risiko. Dengan demikian, penghasilan yang diharapkan (expected yield) bisa lebih besar.
Merger juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memperbesar perolehan pinjaman bank (increased debt capacity). Bank ataupun lembaga kredit lainnya biasa memberikan pinjaman kepada suatu perusahaan dengan mempertimbangkan besarnya aset perusahaan. Semakin tinggi aset perusahaan, jumlah pinjaman yang dapat direalisir juga semakin besar, dan sebaliknya. Dengan demikian melalui merger, perusahaan hasil merger dapat memperluas usahanya melalui peningkatan nilai pinjaman bank.
Merger juga sering diarahkan untuk memanipulasi pendapatan per lembar saham (earning per share/EPS). Umumnya perusa-haan hasil merger akan memiliki kemampuan untuk menciptakan laba yang jauh lebih besar dibanding dengan yang dicapai sebelumnya secara individu. Sementara jumlah lembar saham yang dimiliki shareholders tidak mengalami perubahan yang drastis. Kondisi ini akan menaikkan earning after tax (EAT) dan tentunya EPS. Kondisi EPS yang semakin baik menggambarkan bahwa perusahaan tersebut mengalami kenaikan nilai sehingga banyak investor akan berminat untuk melakukan investasi langsung ke perusahaan hasil merger tersebut (lihat ilustrasi pada Tabel 1 dan 2).
Tabel 1
Sebuah Ilustrasi Perhitungan EPS Proyeksi Pendapatan Setelah Pajak dari Franklin Inc. dan Stove Enterprises Sebelum merger,
1986-1989 (dalam juta dollar)

Tahun
Franklin FAT
Stove Entreprises
1986
1987
1988
1989
20
26
33.8
43.9
10
12
14.4
17.28
Sumber : Tyran M.R, 1994.

Perhitungan Estimasi EPS dari Franklin Inc. Sebelum Merger, 1986-1989

Tahun
Pendapatan Setelah Pajak (juta dolar)
Jumlah saham beredar (juta)
Jumlah saham beredar (juta)
(1)
(2)
(3)
(4) = (2)/(3)
1986
1987
1988
1989
20
26
33.8
43.9
10
10
10
10
$2.00
$2.00
$3.38
$4.39
Sumber : Tyran, 1994.

Perhitungan Estimasi EPS dari Stove PAT Sebelum Merger

Tahun
Pendapatan Sebelum Pajak
Jumlah saham beredar (juta)
EPS
1986
1987
1988
1989
10
12
14.4
17.28
4
4
4
5
0.14
0.11
0.06
(0.02)
Sumber: Tyran, 1994

Estimasi EPS dari Franklin Inc. Setelah Merger (1986-1989)

Tahun
PAT+FAT
(Juta dolar)
Jumlah saham beredar (jutalembar)
EPS
1986
1987
1988
1989
30
38
48.2
61.18
14
14
14
14
$2.14
$2.71
$3.44
$4.37
Sumber: Tyran, 1994.
Perbandingan Estimasi EPS antara Franklin Inc.
Dengan dan Tanpa Merger, 1986-1989

Tahun
EPS sebelum merger
EPS setelah merger
1986
1987
1988
1989
$2.00
$2.60
$3.38
$4.39
$2.14
$2.71
$3.44
$4.37
Sumber: Tyran, 1994.

Tabel 2
Ilustrasi Neraca Dengan Metode “Pooling of Interest dan Purchase”
(Kasus = Tabel 1)


Panel A: Neraca Sebelum Merger










Franklin Inc.


Current Assets
80

Debt
10


Fixed Assets
120

Equity
190


Total Assets
200

Total Debt & Equity
200









Stove Enterprises


Current Assets
40

Debt
-


Fixed Assets
60

Equity
100


Total Assets
100

Total Debt & Equity
100


Panel B: Neraca Setelah Merger










Pooling of Interest Method


Current Assets
120

Debt
10


Fixed Assets
180

Equity
290


Total Assets
300

Total Debt & Equity
300









Purchase Method


Current Assets
120

Debt
10


Fixed Assets
180

Equity
310


Goodwil
20





Total Assets
300

Total Debt & Equity
320

Asumsi : Franklin membayar $120 dan melakukan akuisisi aset.
Merger juga dimaksudkan untuk mengarahkan perusahaan beroperasi secara efisien. Bahkan motif ini sering dijadikan indikator utama (major indicator) dari sebuah kebijaksanaan merger. Beberapa praktisi bisnis berpendapat bahwa kebijaksanaan merger dapat dikatakan berhasil apabila merger tersebut dapat paling sedikit menghasilkan apa yang disebut sinergitik (sinergy) baru, dalam arti penggabungan dua perusahaan atau lebih tersebut, bukan hanya menghasilkan penjumlahan seperti pada merger konglomerasi melainkan akan menghasilkan suatu matematika baru,[4] dimana laba yang dicapai akan jauh lebih besar dibanding laba yang dicapai secara sendiri-sendiri ketika sebelum melakukan merger. Kondisi ini tentu akan menaikkan tingkat efisiensi, karena pada dasarnya operating sinergy dapat meningkatkan economy of scale, sehingga berbagai sumber daya yang ada dapat saling melengkapi, dan koordinasi yang lebih baik antarberbagai tahap produksi.
Motif-motif merger yang diuraikan di atas sebenarnya telah menjadi motif umum merger yang dilakukan beberapa negara di dunia. Secara teoritis (lihat beberapa literatur manajemen keuangan), merger perlu dilakukan karena terjadi positive NPV (Net Present Value) yang dapat meningkatkan nilai pasar (Muliaman D. Hadad).[5] Pada dasarnya kesejahteraan para pengurus perusahaan sangat ditentukan oleh skala perusahaan mereka. Jadi apabila skala perusahaan diperbesar, maka para pengurus perusahaan akan mendapat nilai kesejahteraan yang lebih tinggi. Hipotesis ini dikenal dengan “Manager utility maximazation hypothesis.”
Selain itu, merger juga dilakukan karena adanya informasi yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan mengalami undervalue sehingga mendorong perusahaan lain untuk mengakuisisinya. Hipotesis merger seperti ini disebut “information hypothesis.” Tetapi ada juga motif yang disebut market power hypothesis, yakni keinginan untuk memiliki kekuatan pasar yang makin besar. Sama halnya dengan pendapat Pringle & Harris yang telah diuraikan di atas, motif merger juga antara lain diarahkan pada sinergy hypothesis, tax hypothesis, diversification hypothesis, dan inefficient management hypothesis. Semua hipotesis merger di atas pada dasarnya memiliki alasan yang sama, yakni positif NPV yang akan dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dan daya saing dengan cara peningkatan skala usaha (size of business) melalui merger.
Bagi bank-bank besar di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya, selain aspek makro ekonomi dan mikro ekonomi yang dipertimbangkan dalam suatu keputusan merger, pihak pemerintah sering sekali memperhatikan aspek-aspek yang bersifat struktural, yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek kesehatan dan keamanan. Artinya perusahaan baru hasil merger tersebut harus menjadi perusahaan yang sehat dan aman. Apabila perusahaan lama ada yang tidak sehat, maka harus bisa diupayakan agar penyakit lama tersebut tidak boleh menular ke perusahaan hasil merger; Kedua, aspek kompetisi dan konsentrasi. Penggabungan perusahaan tidak boleh berakibat pada semakin terkonsentrasinya bisnis dalam industri karena tidak bisa mendorong efisiensi di dalam bisnis tersebut; dan Ketiga, aspek pelayanan kepada masyarakat. Penggabungan usaha tidak harus mengurangi kualitas pelayanan bank kepada masyarakat luas.

4.2 Pertimbangan Merger
Tujuan umum perusahaan melakukan merger dengan perusahaan lain antara lain untuk meningkatkan pangsa pasar dan nilai tambah melalui upaya penciptaan efisiensi yang lebih baik, meningkatkan sinergi operasional, sinergi keuangan, strategic realignment, dan bagi bank publik adalah adanya alasan q-ratio. Q-ratio adalah perbandingan kapitalisasi saham perusahaan dengan nilai perolehan (replacement cost) aktiva perusahaan. Perusahaan dengan q-ratio di atas satu menunjukkan bahwa manajemen perusahaan tersebut superior. Perusahaan hanya akan mengambil alih perusahaan lain, jika marginal q-ratio di atas satu. Artinya, nilai kapitalisasi saham perusahaan setelah digabung akan lebih tinggi dari pada biaya perolehannya. Dengan demikian, merger tidak akan terjadi jika angka q-ratio setelah merger lebih rendah dari pada angka sebelum merger. Nilai tambah dalam proses merger sering dituliskan dengan simbol 1 + 1 = 3.[6]
Berdasarkan tujuan merger di atas, jelas bahwa merger tidak hanya dibutuhkan oleh bank yang tidak sehat, namun justru sesama bank sehatpun perlu mempertimbangkan merger. Jika kita mengevaluasi keputusan pemerintah dalam melakukan merger terhadap empat bank BUMN tersebut, jelas tersirat bahwa pertimbangan merger bukan didorong oleh tujuan murni merger sebagaimana diuraikan di atas. Ada tiga pertimbangan penting di dalam merger keempat bank tersebut, yaitu:
1. Menghindari sanksi penutupan oleh BI karena diperkirakan bank tersebut kesulitan mencapai capital adequacy ratio (CAR) 8% di akhir tahun 2001.
2. Menghindari pengeluaran negara yang cukup besar untuk membayar para deposan apabila bank-bank tersebut ditutup oleh BI.
3. Mencegah terjadinya domino effect, bertambahnya jumlah pengangguran, dan aspek negatif lainnya apabila bank tersebut harus ditutup.
4.3 Merger Bagi Bank Sehat
Dalam kondisi intern perbankan maupun makro ekonomi, baik domestik maupun internasional, yang masih lesu seperti saat ini, langkah merger di tanah air tampaknya akan banyak terjadi pada bank yang kurang baik. Ketentuan CAR minimal 8% dari Bank for International Settlement (BIS) yang harus diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia pada akhir tahun 2001 menjadi pemicu utama bank-bank yang tidak dapat memenuhi ketetentuan CAR untuk segera merger.
Menurut seorang ekonom dari Australia National University (ANU) Ross McLeod, antara tujuan pemenuhan CAR dengan tujuan melakukan merger merupakan hal yang tidak saling berkaitan. Bank yang tidak dapat memenuhi CAR minimum seyogyanya tidak perlu dimerger. Apabila pemilik bank tidak sanggup lagi menyuntikkan modal, maka bank tersebut harus segera dijual, kalau perlu dengan negative bid. Dalam kondisi seperti itu, tujuan penjualan bank bukan lagi mencari keuntungan, namun lebih fokus untuk menekan kerugian pemerintah seminimal mungkin.
Bagi pembeli bank, kepada yang bersangkutan harus diberikan dua opsi, pertama, apakah pembelian bank tersebut bertujuan untuk meneruskan bisnis bank (going concern), atau untuk dilikuidasi (liquidiation value). Apabila pembelian bank tersebut untuk tujuan going concern, maka pembeli tersebut dalam waktu singkat (misalnya maksimum tiga bulan) wajib menyetorkan modal untuk memenuhi CAR minimum. Ditengah maraknya rencana merger terhadap bank yang tidak sehat, kita tampaknya perlu bank mengkaji peluang merger bagi bank yang sehat untuk mengantisipasi berbagai faktor di masa depan. Pada kurun waktu lima tahun mendatang, berbagai faktor global akan menyebabkan terjadinya pembentukan kembali industri perbankan nasional.
Menurut Booz Allen dan Hamilton, faktor global yang menjadi penyebab pembentukan kembali industri perbankan sedikitnya ada lima (five global will shape the future evolution of Indonesia’s Banking System). Pertama, globalisasi, ditandai oleh adanya peningkatan jumlah bank asing yang beroperasi baik langsung atau tidak langsung di Indonesia. Kedua, konsolidasi akan adanya dorongan untuk merger bagi bank di dalam negeri untuk memperoleh skala usaha yang hemat dan berbiaya rendah. Ketiga, semakin dirasakan adanya proses dis-intermediasi perbenkan karena perusahaan-perusahaan besar akan dapat secara langsung berhubungan dengan para kreditur tanpa harus melalui bank. Keempat, perubahan struktur pendapatan bank, bergeser dari dominasi pendapatan dari jasa bank (fee based income). Kelima, pengawasan perbankan yang lebih ketat karena adanya berbagai peraturan/regulasi tambahan seperti New Based Capital Accord (2005), Lembaga Asuransi Deposito (2004), Lembaga Baru Pengawas Perbankan dan sebagainya.

V. Kinerja Keuangan Bank Mandiri Sebelum Merger
5.1. Kinerja Keuangan Bank BBD dan Bank BDN
Untuk mengetahui kinerja keuangan empat bank BUMN sebelum merger dapat diketahui dari beberapa rasio yang dijelaskan pada tabel 3 dan tabel 4. Indikator-indikator yang digunakan antara lain Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), dan Debt to Total Assets Ratio (DTAR). Tabel 3 menunjukkan bahwa kinerja BBD dan BDN sangat memprihatinkan. Bank-bank ini tampaknya beroperasi tanpa modal, sebab utang perbankan baik utang jangka pendek maupun jangka panjang sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali lipat dibandingkan modalnya.

Tabel 3
Rasio Keuangan BBD & BDN Sebelum Merger
Tahun 1993 – 1998






No
BUMN
ROA
ROE
DER
DTAR
1
BBD





1993
0.37%
10.27%
2703.13%
96.43%

1994
0.24%
4.56%
1766.70%
94.64%

1995
0.24%
4.58%
1841.32%
94.85%

1996
0.27%
4.22%
1471.97%
93.64%

1997
0.48%
5.00%
938.34%
90.37%

1998
-39.57%
-127.81%
-422.96%
130.96%






2
BDN





1993
0.62%
15.24%
2367.57%
95.95%

1994
0.59%
12.34%
1991.50%
95.22%

1995
0.58%
11.92%
1942.02%
95.10%

1996
0.72%
11.72%
1525.79%
93.85%

1997
0.75%
17.31%
2212.07%
95.67%

1998
-79.30%
-106.59%
-234.41%
174.40%
Ket:





ROA = Return on Assets
ROE = Return on Equity

DER = Debt to Equity Ratio
DTAR = Debt to Total Assets Ratio

Demikian pula dengan utang bank BBD & BDN, nilai utangnya pada tahun 1993 s.d. 1997 sudah mendekati nilai aktivanya (assets) dan pada pada puncaknya tahun 1998 saat krisis berlangsung nilai utang melebihi nilai aktivanya. Kondisi ini menggambarkan Bank BBD & Bank BDN merupakan bank yang tidak sehat. Walaupun Bank BDN masih lebih baik dibandingkan Bank BBD.

5.2 Kinerja Keuangan Bank Exim dan Bank Bapindo
Apabila kita lihat pada tabel 4, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh Bank Exim dan Bank Bapindo tidak jauh berbeda dengan Bank BBD dan Bank BDN yaitu bank yang memiliki kinerja yang buruk (tidak sehat). Bank Bapindo merupakan bank yang paling tidak sehat dibandingkan dengan ketiga bank BUMN. Hal ini dapat dilihat dari ROA dan ROE Bank Bapindo sejak tahun 1993 – 1996. Walaupun pada tahun 1997 terjadi peningkatan yang cukup besar pada ROE menjadi sebesar 14.64%.

Tabel 4
Rasio Keuangan Bank Exim & Bapindo Sebelum Merger
Tahun 1993 – 1998






No
BUMN
ROA
ROE
DER
DTAR
3
Bank Exim





1993
0.73%
13.74%
1786.22%
94.70%

1994
0.48%
7.50%
1456.83%
93.58%

1995
0.64%
10.97%
1607.94%
94.14%

1996
0.77%
13.06%
1588.55%
94.08%

1997
-12.62%
-150.26%
-1290.36%
108.40%

1998
-144.91%
-158.91%
-209.66%
191.19%






4
Bapindo





1993
0.02%
0.55%
2172.69%
95.60%

1994
0.03%
0.43%
1209.29%
92.36%

1995
0.04%
0.29%
727.55%
87.92%

1996
0.04%
0.33%
777.63%
88.61%

1997
0.62%
14.64%
2248.53%
95.74%

1998
-30.44%
-106.76%
-450.75%
128.51%
Ket:





ROA = Return on Assets



ROE = Return on Equity



DER = Debt to Equity Ratio



DTAR = Debt to Total Assets Ratio



Diantara keempat bank tersebut di atas yang dilihat dari kinerja keuangan ROA dan ROE, Bank Exim merupakan bank yang lebih baik kinerjanya dibandingkan ketiga bank lainnya sejak tahun 1993 – 1997. Sedangkan DER dan DTAR keempat bank tersebut hampir sama setiap tahunnya.
Secara umum, bank-bank BUMN ini tidak efisien dalam mengoperasikan kegiatan perbankan. Hal ini berlanjut saat memasuki krisis ekonomi tahun 1997, keempat empat tersebut menunjukkan bahwa dari keempat rasio tidak satupun menunjukkan perbaikan, malah utang yang demikian besar melebihi modal dan aktiva merupakan bank yang tidak layak beroperasi. Puncaknya pada tahun 1998, kondisi keuangan di empat bank tersebut mengalami kebangkrutan. Secara rinci, kinerja keuangan masing-masing bank BUMN yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat tabel 6 dan tabel 7.
Dengan simulasi merger sebelum resmi diumumkan pemerintah sejak tahun 1993 – 1998, rasio keuangan penggabungan dapat dilihat pada tabel 5. Tidak jauh berbeda dengan analisis sebelumnya bahwa dari hasil penggabungan keempat bank BUMN ini merupakan bank yang tidak sehat. Oleh karena itu, penggabungan bank pemerintah yang tidak sehat itu sangat dipertanyakan publik sampai saat ini.

Tabel 5
Rasio Keuangan Penggabungan BBD, BDN, Bank Exim & Bapindo
Tahun 1993 – 1998






No
BUMN
ROA
ROE
DER
DTAR
1.
Bank Mandiri





1993
0.46%
10.81%
2272.56%
95.79%

1994
0.38%
6.50%
1623.54%
94.20%

1995
0.42%
6.46%
1456.43%
93.58%

1996
0.51%
7.26%
1329.07%
93.00%

1997
-2.87%
-246.10%
8475.58%
98.83%

1998
-123.49%
-121.78%
-198.62%
201.40%

Tabel 6
Laporan Keuangan Singkat BBD, BDN, Bank Exim dan Bapindo Sebelum Merger
(dalam jutaan rupiah)
No
BUMN
Pendapatan
Laba/Rugi
Pajak
Laba
Total
Hutang
Hutang
Total
Modal
Dividen
Tenaga
Tingkat
Sebelum
Setelah
Aktiva
Jangka
Jangka
Hutang
Kerja
Kese-
Pajak
Pajak

Pendek
Panjang


hatan
1
BBD













1993
2,437,495
148,302
55,235
93,067
25,390,118
-
-
24,484,341
905,777
20,260
7,878
S

1994
2,375,266
74,274
24,636
49,638
20,339,849
-
-
19,250,235
1,089,614
13,676
7,756
S

1995
2,798,879
91,209
38,771
52,438
22,245,744
-
-
21,099,833
1,145,911
37,719
7,835
S

1996
2,797,516
102,629
36,811
65,818
24,520,662
-
-
22,960,790
1,559,872
-
7,585
S

1997
3,562,269
236,578
74,240
162,338
33,704,686
24,442,392
6,016,290
30,458,682
3,246,004
64,928
8,353
TS

1998
8,613,239
(15,654,000)
-
(15,654,000)
39,557,120
44,145,989
7,659,269
51,805,258
(12,248,138)

















2
BDN













1993
2,543,974
227,253
72,321
154,932
25,083,330
-
-
24,066,811
1,016,519
12,660
8,738
S

1994
2,562,485
227,930
76,671
151,259
25,634,759
-
-
24,409,095
1,225,664
13,904
5,708
S

1995
2,721,651
236,106
74,960
161,146
27,606,882
-
-
26,254,945
1,351,937
50,000
8,860
S

1996
3,205,674
305,000
86,995
218,005
30,229,088
-
-
28,369,742
1,859,346
53,689
9,051
S

1997
4,395,727
444,430
139,840
304,590
40,677,721
28,873,018
10,045,336
38,918,354
1,759,367
72,351
9,113
S

1998
8,530,849
(30,042,544)
137,196
(30,179,740)
38,058,957
53,241,599
13,132,182
66,373,781
(28,314,824)
23,712
8,923
KS








Tabel 7
Laporan Keuangan Singkat Bank Exim dan Bapindo Sebelum Merger
(dalam jutaan rupiah)
No
BUMN
Pendapatan
Laba/Rugi
Pajak
Laba
Total
Hutang
Hutang
Total
Modal
Dividen
Tenaga
Tingkat
Sebelum
Setelah
Aktiva
Jangka
Jangka
Hutang
Kerja
Kese-
Pajak
Pajak

Pendek
Panjang


hatan
3
Bank Exim













1993
1,678,883
184,657
65,223
119,434
16,390,307
-
-
15,521,355
868,952
21,700
5,795
S

1994
1,804,231
186,217
101,975
84,242
17,481,295
-
-
16,358,417
1,122,878
30,243
5,916
S

1995
2,255,194
212,838
74,433
138,405
21,542,604
-
-
20,281,282
1,261,322
33,125
6,100
S

1996
3,360,415
290,390
94,422
195,968
25,335,121
-
-
23,834,711
1,500,410
-
6,050
S

1997
3,621,670
(4,116,305)
-
(4,116,305)
32,609,501
28,347,588
7,001,377
35,348,965
(2,739,464)
78,500
6,637
TS

1998
4,824,300
(44,548,957)
-
(44,548,957)
30,743,557
46,223,293
12,554,816
58,778,109
(28,034,552)
-
6,541
TS














4
Bapindo













1993
1,644,072
20,986
17,468
3,518
14,555,372
-
-
13,914,925
640,447
-
2,328
S

1994
1,289,589
17,302
12,973
4,329
13,268,126
-
-
12,254,746
1,013,380
-
2,357
S

1995
1,200,759
10,410
5,210
5,200
14,630,845
-
-
12,862,868
1,767,977
-
2,577
S

1996
1,199,205
11,794
5,897
5,897
15,564,407
-
-
13,790,941
1,773,466
-
2,796
S

1997
1,217,590
199,437
95,002
104,435
16,751,880
9,000,768
7,037,821
16,038,589
713,291
41,774
3,160
TS

1998
2,480,223
(6,880,490)
-
(6,880,490)
22,605,332
22,942,149
6,108,066
29,050,215
(6,444,883)
-
3,143
TS
















VI. Analisis Merger Bank Mandiri
6.1. Analisis Kinerja dan Rasio Keuangan
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa pemerintah telah mengumumkan rencana merger empat bank pemerintah pada bulan Februari 1998. Namun pelaksanaannya secara hukum baru terjadi pada bulan Oktober 1998 dengan nama Bank Mandiri. Proses konsolidasi seluruh aspek seperti keuangan, jumlah kantor cabang yang dibutuhkan dan jumlah sumber daya manusia yang akan digunakan secara efektif selesai akhir Juli 1999. Dalam rangka penggabungan tersebut, oleh pemerintah Bank Mandiri mendapat suntikan dana untuk memperkuat struktur permodalan dan memenuhi rasio kecukupan modal (CAR) dalam bentuk obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun. Setelah rekapitalisasi, Bank Mandiri dapat memenuhi posisi ekuitas dalam laporan keuangannya. Bulan Juli tahun 2000, Bank Mandiri telah mengembalikan sebesar Rp2,657 trilyun atas kelebihan jumlah rekapitalisasi (obligasi pemerintah) kepada pemerintah. Total obligasi pemerintah yang berada di Bank Mandiri pada tahun 2000 menjadi Rp175,343 trilyun.
Dalam perjalanannya, jumlah obligasi pemerintah tersebut telah berkurang menjadi Rp153,493 trilyun pada akhir Desember 2001. Penurunan tersebut disebabkan oleh penjualan obligasi rekapitalisasi pemerintah sebesar Rp15,787 trilyun untuk meningkatkan likuiditas dan penyesuaian harga pasar terhadap obligasi tersebut sebesar Rp37,686 trilyun yang direklasifikasikan ke portofolio tersedia untuk dijual. Sedangkan rugi yang belum direalisasi atas penyesuaian harga pasar dari obligasi tersedia untuk dijual sebesar Rp5,016 trilyun.
Untuk melihat kinerja keuangan Bank Mandiri sejak 1998 – 2001 secara rinci dapat dilihat pada lampiran 1-3, sedangkan laporan keuangan secara singkat dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8
Laporan Keuangan Singkat Bank Mandiri
Tahun 1998 – 2001
(dalam milyar rupiah, kecuali disebutkan lain)
Tahun
Pendapat-an
Laba Setelah Pajak
Total Aktiva
Total Hutang
Modal
Dividen
SDM (orang)
1998
19,852
(124,143)
100,532
202,468
(101,443)
212
26,597
1999
17,572
(67,796)
225,945
217,059
8,875
211
19,606
2000
30,885
1,181
253,355
239,099
14,262
1,011
18,016
2001
32,952
2,746
262,291
251,511
10,777
-
17,204
Sumber: Laporan Tahunan Bank Mandiri, 1999-2001, diolah.

Tabel 8 menunjukkan pada tahun 1999, modal dan aktiva yang dimiliki Bank Mandiri mengalami peningkatan menjadi positif sebesar Rp8,875 trilyun dan Rp225,945 trilyun, setelah pemerintah menginjeksi dengan obligasi pemerintah. Namun, laba setelah pajak yang diperoleh masih mengalami defisit sebesar Rp67,796 trilyun. Disamping itu, kewajiban (utang) Bank Mandiri meningkat sebesar Rp14,591 trilyun dibandingkan sebelum merger. Biaya operasional lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri sangat besar yaitu Rp12,296 trilyun yang sebagian besar disebabkan adanya pengurangan pegawai dari 26.597 orang menjadi 19.606 orang yang membutuhkan biaya sekitar Rp8 trilyun. Tahun 2000, kinerja keuangan Bank Mandiri semakin membaik dengan berbagai peningkatan seperti modal dan laba setelah pajak. Disamping itu, Bank Mandiri dapat memberikan dividen sebesar Rp1,011 trilyun kepada pemerintah melalui bagian laba BUMN (APBN). Kinerja keuangan Bank Mandiri pada tahun 2001 juga mengalami peningkatan pada laba dan pendapatan. Namun, modal yang dimiliki justru berkurang sebesar Rp3,845 trilyun. Hal ini disebabkan adanya kerugian yang belum direalisasi atas surat berharga dan obligasi pemerintah yang tersedia untuk dijual dan tambahan modal disetor yang berkurang dibandingkan tahun sebelumnya.

Tabel 9
Pendapatan Bank Mandiri
Tahun 1998 - 2001
(dalam milyar rupiah)


1998
1999
%
2000
%
2001
%
Pendapatan Bunga








Obligasi Pemerintah
-
4,439
31%
20,286
75%
23,137
73%

Kredit yang diberikan
12,996
8,022
57%
5,143
19%
5,787
18%

Surat-surat berharga
1,835
-
0%
746
3%
1,710
5%

Penempatan pada bank lain
2,318
858
6%
304
1%
364
1%

Provisi dan komisi
-
-
0%
227
1%
297
1%

Lain-lain
1,126
799
6%
236
1%
201
1%
Jumlah Pendapatan Bunga
18,275
14,117
100%
26,942
100%
31,496
100%
Pend. Operasional Lainnya








Laba selisih kurs bersih
-
2,357
68%
3,118
79%
260
18%

Provisi dan komisi lainnya
574
369
11%
306
8%
475
33%

Lain-lain
590
729
21%
518
13%
720
49%
Jumlah Pend. Operasional
1,164
3,455
100%
3,943
100%
1,456
100%
Total Pendapatan
19,439
17,572

30,885

32,952

Sumber: Laporan Tahunan Bank Mandiri, 1999-2001, diolah.

Peningkatan kinerja keuangan Bank Mandiri tahun 2000 dan 2001 pada tabel 9 dapat dikatakan “semu”, sebab peningkatan tersebut diperoleh dari hasil bunga obligasi pemerintah yang mencapai 75% dan 73% dari total pendapatan bunganya. Sedangkan pendapatan yang diperoleh atas kredit yang diberikan kepada nasabah hanya sebesar 19% tahun 2000 dan 18% tahun 2001. Dengan kondisi demikian, Bank Mandiri beroperasi bersandar pada pendapatan bunga obligasi pemerintah.

Tabel 10
Beban Subsidi Bank Mandiri Dengan Obligasi Rekapitalisasi
Tahun 1998 - 2001
(dalam milyar rupiah)
No.
Uraian
1998
1999
2000
2001
1
Obligasi Rekapitalisasi
-
163,353
176,895
153,493
2
Bunga Obligasi atau Subsidi Pemerintah
-
4,439
20,286
23,137
3
Pendapatan Bunga atas Kredit yang Diberikan
12,996
8,022
5,143
5,787
4
Pendapatan bunga lainnya
5,279
1,656
1,513
2,572
5
Biaya Bunga
(44,451)
(35,860)
(20,538)
(24,387)
6
Pendapatan Operasional Lainnya
1,164
3,455
3,943
1,456
7
Biaya Penyisihan Penghapusan
(85,919)
(36,747)
(459)
(2,448)
8
Biaya Operasional Lainnya
(13,663)
(12,297)
(8,204)
(4,472)
9
Penghasilan/Beban Bukan Operasional
(530)
(449)
339
2,205
10
Laba Rugi Karena Subsidi Pemerintah
-
(67,781)
2,023
3,850
11
Laba Rugi Tanpa Subsidi Pemerintah
(125,125)
(72,220)
(18,263)
(19,287)

Pada tabel 10, menunjukkan bahwa keuntungan yang dimiliki merupakan pemberian subsidi dari pemerintah hasil bunga obligasi yang diberikan. Apabila pendapatan yang berasal dari bunga obligasi dikeluarkan, maka Bank Mandiri mengalami kerugian yang sangat besar sejak dilakukannya merger. Sedangkan laba rugi yang diperoleh karena subsidi pemerintah sangat kecil dibandingkan aset yang dimilikinya. Jika hal ini terus terjadi di masa yang akan datang, maka Bank Mandiri adalah bank yang memiliki kinerja tidak sehat.
Tabel 11, berdasarkan rasio keuangan Bank Mandiri menunjukkan ROA tahun 2000 dan 2001 masih terlihat rendah (< title="" style="" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4208170435553508357#_ftnref1" name="_ftn1">[1] Peneliti pada PSPK, BAF, Departemen Keuangan RI.
[2] Pringle, J.J., and Harris, R.S, 1987, Esentials of Managerial Finance, second edition, Illinois-London, page: 778.
[3] Lihat: Pringle and Harris, 1987, Ibid halaman 781.
[4] Maksudnya: dua ditambah dua tidak sama dengan empat, mungkin lima atau enam. Lihat artikel Marzuki Usman, 1997, “Merger Sebagai Salah Satu Langkah Manajemen Perbankan Dalam Mengantisipasi Persaingan Global,” Majalah Usahawan, April No. 4/1997, halaman 21.
[5] Peneliti senior Bank Indonesia, lihat artikelnya “Merger Bank: Antara Peningkatan Efisiensi dan Strukturisasi,” Majalah Usahawan, No. 64 Maret-April 1997, halaman 34-35.
[6] Fred, Weston J. “Takeovers, Restructuring & Corporate Governance, Prentice Hall, 2001.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi