ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL PADA ERA OTONOMI DAERAH

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL PADA ERA OTONOMI DAERAH

(Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Kota Surakarta)

Oleh:

Ir. Brahmantio Isdijoso, MS dan Ir. Tri Wibowo, MM[1]

Abstraksi

Di Indonesia pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam bentuk pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999. Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal perlu digaris bawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur mengenai pembagian tugas penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya, dibidang pendidikan dan kesehatan), sehingga dapat dikatakan bahwa uang yang dialokasikan ke daerah oleh pemerintah pusat mengikuti pelimpahan kewenangan. Jadi penerapan prinsip ‘uang mengikuti pendelegasian tugas’ (money follow function) sebagaimana umumnya dijalankan dalam desentralisasi tidak nampak dengan jelas.

Hasil studi lapang pada lokus penelitian diperoleh gambaran bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2001 yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk membiayai belanja rutin, terutama belanja pegawai akibat adanya pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah, sehingga pengeluaran rutin untuk belanja pegawai dan belanja non pegawai menjadi membengkak. Hal ini membawa dampak pada bergesernya alokasi anggaran pembangunan, tidak terkecuali anggaran sektor pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan belanja rutin.

I. Pendahuluan

Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana Otonomi Daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali lima bidang; Politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter, Fiskal dan Agama[2].

Hal ini menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar, khususnya pada bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan penduduk. Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas, mengingat peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD daerah kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) serta kemampuan manajemen sektor pendidikan di tingkat daerah masih sangat terbatas.

Pergeseran kewenangan dan penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan tersebut menempatkan Pemda (Pemda kota dan kabupaten sebagai ujung tombak implementasi Otonomi) pada posisi yang sulit. Selain keterbatasan kemampuan keuangan dan SDM, Pemda juga dihadapkan pada lingkungan usaha yang semakin dinamis sebagai akibat gelombang globalisasi ekonomi. Arus globalisasi ini nyaris tidak terbendung, menjalar ke berbagai pelosok daerah melalui wahana travel, transport and telecomunication, yang semakin murah dan nyaman bagi penggunanya. Proses globalisasi tersebut telah membuka peluang dan kesempatan bagi para pelaku ekonomi untuk mengembangkan usahanya, baik yang telah berjalan selama ini maupun jenis usaha baru. Akibatnya pihak Pemda juga dihadapkan pada tuntutan dunia pendidikan agar memberikan respon kebijakan secara memadai terhadap rezim informasi yang semakin terbuka dan dilakukannya pergeseran pendekatan dalam pembangunan sektor pendidikan di daerah.

Salah satu kunci utama penentu keberhasilan Pemda dalam menjawab berbagai tantangan diatas adalah respon Pemda terhadap desentralisasi fiskal yang merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah. Dua sisi ekstrim dari respon dimaksud adalah (a) apakah Pemda memusatkan perhatiannya untuk memperbesar peranan PAD dalam struktur penerimaan daerah guna meningkatkan kemandirian keuangannya ataukah (b) Pemda mementingkan peningkatan efektivitas pengeluaran nya (expenditure policy) di bidang pendidikan.

Dua bentuk respon diatas dapat merupakan pilihan yang masing - masing berdiri sendiri (mutualy exclusive) sehingga memilih salah satu berarti tidak memilih yang lain. Namun, juga sangat mungkin untuk dipilih bersama, yaitu bila setiap tindakan peningkatan penerimaan jelas tujuan penggunaan dananya.

Hingga saat ini kecenderungan yang nampak adalah terjadinya pilihan, dan pilihan lebih banyak jatuh pada bentuk respon mengupayakan peningkatan PAD. Dengan kata lain, perhatian pada aspek peningkatan efektivitas sisi pengeluaran APBD untuk bidang pendidikan relatif lebih rendah. Kondisi ini nampaknya banyak dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:

1) Keterlambatan pemerintah pusat dalam mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah. Peraturan pemerintah (PP) yang berkaitan dengan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah baru ditetapkan pada bulan November 2000, atau hanya selang dua bulan sebelum jadwal pelaksanaan otonomi daerah (Januari 2001). Akibatnya adalah keterlambatan pihak Pemda untuk mempersiapkan diri menghadapi otonomi daerah. Hingga saat ini, sebagian besar Pemda kota/kabupaten masih disibukkan dengan upaya penataan ulang struktur organisasi.

2) Peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom tidak mengatur kewenangan dan tugas daerah kota dan kabupaten secara langsung, sehingga menimbulkan keraguan atas kesungguhan implementasi otonomi daerah.

3) Hingga saat ini ketidakpastian kecukupan dana alokasi umum (DAU) masih cukup tinggi, sebagai akibat pelimpahan pegawai pusat ke daerah, kenaikan gaji pegawai yang berlaku surut dan isue pengalihan bentuk DAU dari uang menjadi kertas obligasi.

1.1 Masalah

Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat[3]. Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Bagi sebagian besar propinsi, masalah diatas merupakan agenda pokok yang perlu segera ditangani, karena (i) jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan selama krisis ekonomi, dan (ii) keberadaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas (terdidik dan terlatih) di masa depan merupakan kebutuhan tak terhindarkan dalam menghadapi persaingan global. Diperkirakan jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 13.8 juta jiwa atau meningkat sekitar 40 persen selama periode 1996 - 1999[4].

Mengingat kepentingan di atas, maka patut dipertanyakan hingga sejauh mana pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menimbulkan implikasi buruk terhadap aktivitas penyelenggaraan pendidikan di daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia.

1.2 Tujuan

Pelaksanaan studi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan dan mendokumentasikan (a) respon daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten terhadap rancangan desentralisasi fiskal yang diimplementasikan pada awal 2001 dan (b) implikasi respon daerah terhadap desentralisasi fiskal pada bidang pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

II. Kerangka Analisis

Gelombang tuntutan terhadap otonomi daerah yang sangat besar pada masa reformasi berakar pada dua hal, yaitu: (i) fakta historis menunjukkan adanya kebhinekaan sosial-politik-geografi antardaerah yang tinggi, dan (ii) adanya pengaruh dari globalisasi ekonomi dunia yang ditandai oleh semakin mudahnya mobilitas tenaga kerja, kapital, dana dan informasi melintasi jarak dan waktu. Aspek pertama menumbuhkan kebutuhan akan pentingnya pengakuan terhadap keberagaman cara masyarakat mengatur dirinya melalui suatu lembaga yang disebut dengan pemerintah, terkait pula di dalamnya tentang penyelenggaraan pendidikan. Aspek kedua secara riil telah membuka kesempatan bagi daerah untuk berhubungan dengan atau mengunjungi bagian belahan bumi manapun secara cepat. Kemudahan inilah yang menggerakkan segenap komponen daerah menyuarakan keinginan mereka untuk mengatur sendiri daerahnya sejalan dengan perkembangan di bagian lain dunia yang sempat dilihat, didengar ataupun dikunjungi.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh wahana globalisasi (travel, transport dan telecomunication) maka intuisi bisnis yang muncul pertama adalah keinginan untuk melakukan pertukaran/perdagangan dengan berbagai pihak. Sejarah perkembangan peradaban manusia membuktikan bahwa aktivitas perdagangan senantiasa memberikan manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Meskipun sangat mungkin besaran manfaat yang diterima keduanya tidak sama atau bahkan mungkin sangat timpang, namun perolehan tambahan keuntungan/penghasilan sebagai dampak langsung dari perluasan perdagangan merupakan kepentingan utama dari para pelakunya. Oleh karena itu, gelombang globalisasi selalu diikuti oleh tuntutan untuk mengurangi berbagai hambatan perdagangan (liberalisasi perdagangan).

Aspek kedua yang dipicu oleh globalisasi adalah semakin cepat usangnya sistem pemerintahan dan penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat yang sentralistis. Faktor utama penyebabnya adalah informasi tidak lagi dapat dimonopoli oleh pemerintah pusat. Ketimpangan informasi antara pusat dan daerah semakin sempit, sehingga penghormatan pada pusat tidak lagi dilandasi oleh kekuasaan (yang bersumber dari adanya monopoli informasi), namun lebih karena protokoler kenegaraan saja. Tahap awal dari pengaruh menyempitnya kesenjangan informasi tercermin dari semakin rendahnya peranan dan efektifitas negara/pemerintah sebagai komando dalam pembangunan sektor pendidikan dan bidang ekonomi pada umumnya. Wahana globalisasi telah memungkinkan sektor swasta melakukan relokasi dan realokasi sumberdaya secara cepat dan efisien mengikuti signal pasar. Pada giliran selanjutnya pengaruh tersebut akan menampakkan diri dalam struktur dan fungsi pemerintahan, dimana pemerintah dituntut lebih banyak mengurus penyediaan public good dan mengurangi secara significant perannya sebagai pelaku/pelaksana pembangunan ekonomi, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Gambar 1 memperlihatkan hubungan antara tiga isu pokok yang di telaah dalam studi ini, yakni; Desentralisasi Fiskal – Penyelenggaraan Pendidikan - Iklim Usaha. Di Indonesia desentralisasi fiskal (DF) merupakan komponen utama dari program Otonomi Daerah yang dijalankan sejak awal th 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah dapat dipandang sebagai proses reformasi di bidang politik, kelembagaan dan sistem ekonomi. Di Indonesia hal ini diwujudkan dalam bentuk pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999.


Gambar 1. Implikasi Desentralisasi Fiskal Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Iklim Usaha di Daerah




1) Meliputi : (i) Keamanan, (ii) Infrastruktur Fisik, (iii) Perijinan: prosedur dan proses penyusunannya, (iv) Informasi, dan (v) kredit


Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal perlu digarisbawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur mengenai pembagian tugas penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya, di bidang kesehatan dan pendidikan), sehingga dapat dikatakan bahwa uang yang dialokasikan kedaerah oleh pemerintah pusat mengikuti pelimpahan kewenangan. Jadi penerapan prinsip ‘uang mengikuti pendelegasian tugas’ (money follow function) sebagaimana umumnya dijalankan dalam desentralisasi tidak nampak dengan jelas. Ketiadaan prinsip ini dalam UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 telah menempatkan pihak eksekutif daerah (Pemda) dan pihak legislatif daerah (DPRD) sebagai lembaga yang sangat menentukan efektivitas desentralisasi fiskal bagi perekonomian daerah.

Iklim usaha merupakan terminologi untuk menggambarkan situasi lingkungan dimana kegiatan bisnis berlangsung. Lingkungan dimaksud setidaknya terdiri dari tiga komponen/unsur yaitu; (a) sosial, (b) ekonomi dan (c) kondisi alam. Aspek penting dari unsur sosial yang menentukan iklim usaha adalah ‘nilai’ masyarakat setempat terhadap profesi pengusaha/pedagang dan penghargaan terhadap ‘kerja’. Faktor tingkat pendidikan masyarakat punya pengaruh besar terhadap ‘nilai’ dimaksud. Aspek ekonomi mencakup akses terhadap (i) keamanan, (ii) infrastruktur, (iii) perijinan, (iv) informasi, dan (v) kredit. Disamping akses, juga masalah hambatan dibidang perdagangan dan investasi. Hal ini menjadi isu penting mengingat kedua aktivitas ekonomi tersebut merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Kondisi alam berkaitan dengan kondisi topografi, jarak dan lain-lain.

Interaksi ketiga unsur tersebut menentukan besarnya biaya transaksi (transaction cost), yang merupakan barometer utama untuk menilai kondusifitas iklim usaha di suatu daerah. Semakin rendah biaya transaksi berarti iklim usaha semakin kondusif dan sebaliknya bila biaya transaksi meningkat/semakin tinggi.

Melalui uraian diatas dapat ditarik hubungan antara desentralisasi fiskal dengan iklim usaha dan pendidikan sebagai berikut:

1) Bila desentralisasi fiskal diimplementasikan dalam bentuk penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah tanpa ada peningkatan efektivitas pengeluaran sehingga mengakibatkan kenaikan biaya transaksi, maka iklim usaha akan memburuk atau semakin tidak kondusif. Akibatnya kemampuan masyarakat untuk membiayai dan menyelenggarakan pendidikan semakin rendah. Ketergantungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah akan semakin tinggi.

2) Jika desentralisasi fiskal lebih ditekankan dalam bentuk peningkatan efektivitas pengeluaran (dana dialokasikan berdasarkan prioritas kebutuhan daerah) daripada penambahan jenis pajak dan retribusi sehingga biaya transaksi menurun, maka iklim usaha membaik atau semakin kondusif. Dalam kondisi seperti ini kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan dan penyelenggaraannya semakin besar.

Iklim usaha yang semakin kondusif akan memberi pengaruh positif terhadap perekonomian daerah, dalam bentuk (a) percepatan pertumbuhan ekonomi daerah, (b) penurunan tingkat pengangguran, (c) peningkatan upah tenaga kerja, (d) pengentasan kemiskinan, dan (e) peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hal semacam ini dimungkinkan karena kegiatan bisnis semakin semarak sejalan dengan penurunan biaya transaksi. Dalam konteks globalisasi hal ini mengandung arti bahwa pengusaha daerah semakin mampu meraih peluang usaha yang terus berkembang sebagai akibat dari kemajuan dibidang teknologi.

Dari uraian diatas nampak bahwa globalisasi mendorong perubahan struktur pemerintahan, terutama dari sentralistik menuju desentralisasi. Disisi lain globalisasi juga memperbesar dan memperluas pasar bagi produk daerah. Di era otonomi kesempatan dan kemungkinan bagi pengusaha daerah untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan pasar dunia, banyak dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintahan Daerah dalam merespon desentralisasi fiskal. Terhadap respon dimaksud perlu dikenali hingga sejauhmana desentralisasi fiskal mengakibatkan perubahan biaya transaksi dalam perekonomian daerah dan kemampuan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Kondisi yang mungkin adalah:

1) Respon pemerintah daerah mengakibatkan kenaikan biaya transaksi/iklim usaha semakin tidak kondusif sehingga banyak pengusaha daerah kehilangan kesempatan untuk meraih manfaat dari globalisasi perdagangan dan investasi. Pada situasi ini masyarakat akan semakin lemah kemampuannya dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

2) Respon Pemerintahan daerah menghasilkan penurunan biaya transaksi/iklim usaha menjadi semakin kondusif, maka dapat diharapkan semakin banyaknya pengusaha daerah yang berpeluang/mendapat kesempatan meraih manfaat dari globalisasi perdagangan dan investasi. Hal ini akan memberikan implikasi positif terhadap kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk membiayai pengembangan sektor pendidikan.

2.1 Desentralisasi Fiskal

Secara harfiah istilah ini memberikan pengertian adanya pemisahan yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran; penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam Tax Policy. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan Pasal 82 UU No. 27 tahun 1999 dan juga tercermin dari upaya untuk merubah UU No. 18 Tahun 1997 agar tidak bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam UU Pemerintahan Daerah dan juga UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yakni adanya keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk menggali potensi penerimaan melalui pajak ataupun retribusi.

Di sisi pengeluaran, daerah akan mendapat kewenangan penuh dalam penggunaan dana perimbangan (dari bagi hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU). Pada prinsipnya penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut ditentukan oleh daerah sendiri. Jadi tidak lagi ditetapkan penggunaannya oleh pemerintah pusat seperti yang terjadi pada dana SDO (Subsidi Daerah Otonom) dan Inpres di masa lalu.

Keleluasaan daerah yang semakin besar dalam memungut pajak dan menentukan arah penggunaan dana perimbangan dapat menimbulkan implikasi negatif dan positif terhadap iklim usaha di daerah. Pengaruh negatif akan muncul bila ternyata respon daerah mengarah pada:

1) Semakin banyaknya jenis pajak/retribusi baru yang harus dibayar masyarakat daerah,

2) Pengeluaran Pemda semakin tidak terarah untuk kepentingan publik, seperti: (a) pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana transportasi (jalan, jembatan, dan lain-lain), (b) penyederhanaan prosedur perijinan usaha, dan (c) peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pengaruh positif akan timbul bila respon daerah menuju pada upaya:

1) Intensifikasi pajak dan retribusi daerah yang telah ada. Membatasi penambahan jenis pajak/retribusi baru. Peningkatan PAD melalui penerimaan nontax, seperti perbaikan kinerja BUMD dan optimalisasi aset-aset Pemda,

2) Pengeluaran Pemda secara efektif dikelola untuk meningkatkan infrastruktur daerah, mengembangkan sistem dan prosedur perijinan yang efisien dan keamanan/ketertiban masyarakat.

3.1.2 Kondusifitas Iklim Usaha di Daerah

Salah satu ukuran/indikator yang dapat digunakan untuk menilai kondusifitas iklim usaha adalah biaya transaksi yang mencakup; (i) biaya untuk memulai/mengembangkan sebuah sistem, (ii) biaya yang terukur dalam nilai yang dipertukarkan, (iii) biaya perlindungan hukum, dan (iv) biaya penyelenggaraan perjanjian. Paling tidak terdapat enam aktivitas yang berkaitan dengan biaya transaksi:

1) Upaya mencari informasi tentang harga dan kualitas barang, termasuk upaya mendapatkan pembeli dan penjual serta informasi yang relevan,

2) Proses tawar menawar,

3) Pembuatan kontrak,

4) Monitoring terhadap pelaksanaan kontrak kerjasama,

5) Kemungkinan bahaya yang timbul bila pasangan usaha gagal melakukan yang tercantum dalam kontrak,

6) Perlindungan terhadap hak kepemilikan dari pelanggaran pihak ketiga.

Dari keenam komponen penyusun biaya transaksi tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu biaya transaksi yang terjadi sebelum pertukaran (ex ante transaction cost) atau setelahnya (ex post transaction cost). Dalam praktek kegiatan bisnis sehari-hari fenomena ex ante juga direfleksikan oleh kondisi akses pengusaha terhadap peluang berusaha, yang setidaknya mencakup lima hal: (i) keamanan, (ii) infrastruktur fisik, (iii) perijinan; prosedur dan proses perijinannya, (iv) informasi, dan (v) kredit. Jika kondisi yang ada menunjukkan bahwa akses pengusaha terhadap lima hal tersebut relatif rendah, maka dapat dikatakan bahwa BT untuk memulai usaha relatif tinggi yang sekaligus menunjukkan tingginya hambatan untuk masuk ke pasar.

Selain direfleksikan oleh kondisi akses, kondusifitas iklim usaha juga dicerminkan oleh intensitas hambatan perdagangan dan investasi saat transaksi berlangsung. Hambatan perdagangan dapat berupa aturan tataniaga, ijin yang perlu dimiliki saat memasuki/melewati suatu wilayah dan berbagai pungutan yang ada di sepanjang arus pergerakan barang. Hambatan investasi berkaitan erat dengan kondisi infrastruktur pendukung (seperti kapasitas jalan, listrik dan jaringan telekomunikasi) dan kepastian dalam prosedur pengurusan ijin mendapatkan legalitas usaha.

2.3 Metode Penelitian

2.3.1Metode pengumpulan data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur yang terkait dengan APBD, Penjabaran Penerimaan, Penjabaran Belanja Rutin, Penjabaran Belanja Pembangunan, Nota Keuangan, realisasi APBD, serta literatur lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam mengenai kendala dan permasalahan anggaran baik sebelum dan pada saat otonomi daerah dilaksanakan dengan berbagai instansi terkait seperti, bagian Keuangan, Bappeda dan Dinas Pendidikan, DPRD, dan tokoh masyarakat.

2.3.2 Ruang lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah kebijakan penerimaan dan pengeluaran APBD, sebagai perwujudan nyata pemerintah daerah dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat. Penelitian dilanjutkan untuk mengetahui sejauhmana keberpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara proposive sampling. Pemerintah daerah yang terpilih sebagai sampel penelitian adalah Kota Surakarta, dengan pertimbangan ketersediaan data sebelum otonomi daerah dilaksanakan.

2.3.3 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif dan komparatif. Metode ini dimaksudkan untuk melihat gambaran sektor pendidikan dari sisi alokasi dan pelaksanaan anggaran serta membandingkan kondisi tersebut antara sebelum dan pada saat otonomi daerah dilaksanakan. Alat analisis yang dipakai adalah prosentase, ranking, tabulasi, dan grafis.

III. Hasil Studi Lapang

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimulai sejak 1 Januari 2001, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Daerah sangat bergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat berupa bagi hasil pajak, bagai hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek pembangunan menjadi sangat berkurang. Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil yang berlaku surut terhitung mulai 1 Januari 2001, telah menyebabkan kota Surakarta mengalami defisit. Untuk pembiayaan defisit tersebut kota Surakarta menerima dana kontinjensi dari pusat.

Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak, juga menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama dana alokasi umum. Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari PAD. Pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat meningkatkan PAD, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya PAD.

3.1 Kebijakan Penerimaan

3.1.1 Sebelum otonomi daerah

Secara keseluruhan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surakarta pada tahun anggaran 1999/2000 sebesar Rp.17.575.606.000 atau memberikan kontribusi sebesar 16,11 persen dari total penerimaan yang besarnya Rp.108.712.883.000. Dari penerimaan asli daerah tersebut, retribusi daerah memberikan kontribusi sebesar 48,17 persen dari total PAD, sebagian besar (38 persen) penerimaan retribusi daerah, berasal dari retribusi pasar. Pajak daerah menempati urutan kedua dengan kontribusi sebesar 45,84 persen dari total PAD, 58 persen penerimaan pajak daerah diperoleh dari pajak penerangan jalan, dan 30 persen dari pajak hotel dan restoran.

3.1.2Otonomi daerah dilaksanakan

Pada tahun anggaran 2001, PAD ditetapkan sebesar Rp. 30.057.549.000, atau mengalami kenaikan sebesar 171 persen apabila dibandingkan dengan tahun anggaran 1999/2000. Kenaikan PAD tersebut belum menunjukkan kenaikan yang signifikan apabila dilihat dari kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD. Dilihat dari kontribusi terhadap total penerimaan APBD, PAD tahun anggaran 2001 memberikan kontribusi sebesar 11,67 persen dari total penerimaan yang besarnya Rp.257.489.894.000. Sehingga apabila dibandingkan dengan kontribusi PAD terhadap total penerimaan pada tahun anggaran 1999/2000 mengalami penurunan sebesar 4,44 persen.

Apabila dilihat dari komposisi PAD, pajak daerah tahun 2001 diprioritaskan sebagai penerimaan utama, hal ini terlihat dari kontribusi pajak daerah pada tahun anggaran 1999/2000 sebesar 45,48 persen, naik menjadi 48,40 persen pada tahun anggaran 2001. Kontribusi retribusi daerah pada tahun anggaran 1999/2000 sebesar 48,17 persen, pada tahun anggaran 2001 turun menjadi 46,62 persen.

Tabel 1

Komposisi Penerimaan Asli Daerah

(Rp. 000)

No.

Penerimaan Asli Daerah

T.A. 1999/2000

T.A. 2001

APBD

Prosentase

APBD

Prosentase

1

Pajak Daerah

8,056,000

45.84%

14,548,667

48.40%

2

Retribusi Daerah

8,465,580

48.17%

14,012,379

46.62%

3

Laba BUMD

356,322

2.03%

384,282

1.28%

4

Penerimaan Dinas

0

0.00%

0

0.00%

5

Lain-lain PAD yang sah

697,704

3.97%

1,112,221

3.70%

Total PAD

17,575,606

100.00%

30,057,549

100.00%

Total Penerimaan APBD

108,712,883

257,489,894

Sumber: APBD Kota Surakarta, T.A. 1999/2000, T.A 2001

Dilihat dari realisasinya, pada tahun anggaran 1999/2000 penerimaan pajak daerah mencapai 168,1 persen dari target yang ditetapkan, dan retribusi daerah mencapai 162,9 persen dari target yang ditetapkan dalam APBD. Realisasi semester I pada tahun anggaran 2001, retribusi daerah telah mencapai 56,4 persen dari target, sedangkan pajak daerah mencapai 49,6 persen dari target yang ditetapkan.

Tabel 2.

Realisasi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah SMT I

No.

Jenis Penerimaan

T.A. 1999/2000

T.A. 2001

Realisasi Smt I

Realisasi Smt II

Realisasi Smt I

1

Pajak Daerah

54.4 %

168,1 %

49,6 %

2

Retribusi Daerah

50.0 %

162,9 %

56,4 %

Sumber: Realisasi APBD Kota Surakarta, T.A. 1999/2000, T.A 2001

Obyek pajak dan retribusi daerah Kota Surakarta antara sebelum otonomi daerah dan pada saat otonomi daerah dilaksanakan, tidak terjadi perubahan yang mendasar. Obyek retribusi daerah yang mengalami perubahan adalah retribusi penumpang (peron), pada tahun 2001 peron tidak diberlakukan lagi, dan diganti dengan istilah “retribusi ruang tunggu”.

3.2 Kebijakan Pengeluaran

3.2.1Penyusunan anggaran

Kebijakan penyusunan anggaran merupakan tahap awal proses berjalannya anggaran pemerintah daerah. Perencanaan anggaran sebelum otoda berjalan yang lebih bersifat top down, dimana perencanaan anggaran dilakukan oleh pemerintah pusat dan dana disalurkan melalui bantuan pembangunan/Inpres secara spesific grant, dalam pelaksanaan di lapangan sering tidak sesuai dengan kebutuhan riil yang ada dimasyarakat.

Diawal pelaksanaan otonomi daerah, dimana dana disalurkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara block grant, Kota Surakarta telah melakukan penyusunan anggaran melalui pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan partisipatif ini melibatkan masyarakat pada tingkat paling bawah, sehingga pembangunan yang diprioritaskan adalah kebutuhan masyarakat yang benar-benar dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah yang diidentifikasi bersama dengan potensi lokal yang dimiliki.[5]

Perbedaan siklus dan mekanisme perencanaan anggaran pembangunan sebelum dan sesudah otonomi daerah dilaksanakan disajikan pada Tabel 3, dan Tabel 4 berikut:

Tabel 3.

Siklus dan Mekanisme Penyusnan APBD Sebelum Otonomi Daerah

Uraian

Siklus

Mekanisme

Musyawarah tingkat kelurahan

Mei – Juni

Musyawarah ditingkat kelurahan, ditetapkan program/kegiatan beserta nilainya. Sudah ditentukan plafon Rp. 50 juta/kelurahan.

Musyawarah tingkat kecamatan

Juni – Juli

Musyawarah tingkat camat, untuk menginventarisir program/kegiatan yang belum dibiayai serta aspirasi masyarakat

Rakorbangda II

Agustus – September

Sinkronisasi musy. tingkat camat dengan dinas-dinas terkait tentang program/ kegiatan yang akan dilaksanakan

Rakorbangda I

September – Oktober

Sinkronisasi kebijakan program/kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai prioritas dan ketersediaan anggaran

Penyusunan RAPBD

Nopember – Desember

Masing-masing dinas teknis menyusun RAPBD

Pembahasan RAPBD

Januari – Maret

Pembahasan RAPBD dengan DPRD

Pengesahan APBD

Maret

Pengesahan APBD

Sumber: hasil wawancara

Tabel 4

Siklus dan Mekanisme Penyusunan APBD Otonomi Daerah Dilaksanakan

No.

Uraian

Siklus

Mekanisme

1.

Musyawarah kelurahan membangun (Muskelbang)

Maret – Juli

Masyarakat, RT, RW, LKMD, kelurahan menginventarisir dan menampung permasalahan (belum muncul nilai program/kegiatan)

2.

Musyawarah kecamatan membangun (Muscambang)

Juli – Agustus

Perwakilan kelurahan yang ditunjuk, fasilitator (LSM, tokoh masyarakat, anggota DPRD wakil kecamatan), camat, , dinas terkait, mencari solusi pemecahan masalah dan kebutuhan pembangunan. Sinkronisasi program/kegiatan yang dapat didanai APBD dan inventarisir program/kegiatan baik disertai nilainya maupun tidak.

3.

Musyawarah kota membangun (Muskotbang)

September Oktober

Wakil kelurahan (lurah, LKMD), fasilitator, Camat, dinas-dinas, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, menentukan skala prioritas program/kegiatan per sektor disesuaikan dengan ketersediaan anggaran

4.

Penyusunan RAPBD

Oktober – Nopember

Masing-masing dinas teknis menyusun RAPBD

5.

Pembahasan RAPBD

Nopember – Desember

Pembahasan RAPBD dengan DPRD

6.

Pengesahan APBD

Desember

Pengesahan APBD

Sumber: hasil wawancara

Penyusunan APBD sebelum otoda tidak melibatkan masyarakat secara langsung terhadap program/kegiatan yang akan dilaksanakan, sehingga aspirasi masyarakat kurang mendapat perhatian. Penyusunan anggaran lebih memperhatikan petunjuk-petunjuk dari pusat yang lebih bersifat sektoral. Pada era otoda Penyusunan APBD telah melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan program/kegiatan.

Penyusunan APBD di era otoda yang lebih mengutamakan nuansa demokrasi, menjadi tidak berjalan seperti apa yang direncakan disebabkan oleh: pertama, alokasi anggaran program/kegiatan dalam APBD, jauh dari yang diusulkan masyarakat karena terbatasnya anggaran. Kedua, tidak tertampungnya aspirasi masyarakat dapat menyebabkan masyarakat menjadi skeptis atau melalukan demo-demo yang dapat menghambat kinerja pemerintah daerah. Ketiga, alokasi dana yang berbeda antara satu kelurahan dengan keluarahan lainnya yang disesuaikan dengan program/kegiatan yang dilaksanakan, mempunyai potensi konflik yang tinggi dibandingkan apabila tiap kelurahan diberikan plafon anggaran tertentu.

Dalam awal penyusunan APBD di tingkat kelurahan (Muskelbang), setelah otoda dijalankan terjadi perubahan dalam kelembagaan, terutama pada saat diselenggarakan rapat. Sebelum otoda dilaksanakan, rapat selalu dipimpin oleh Lurah. Hal ini sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dihasilkan rapat tersebut, karena dominasi lurah sebagai pemimpin rapat. Pada pelaksanaan otoda, rapat-rapat tidak lagi dipimpin oleh lurah, tetapi diserahkan pada tokoh masyarakat yang dipilih oleh peserta rapat. Nuansa ini membuat rapat menjadi lebih bergairah, dan partisipasi aktif masyarakat lebih terlihat.

3.3 Alokasi anggaran

Porsi alokasi dana APBD untuk belanja rutin dan pembangunan sebelum otoda dan pada saat pelaksanaan otoda terjadi perubahan yang mendasar. Pada saat pelaksanaan otoda, porsi belanja pembangunan tersebot untuk kebutuhan belanja rutin. Tahun anggaran 1999/2000 belanja rutin dialokasikan 59,48 persen dari total APBD, pada tahun anggaran 2001 meningkat sebesar 16,98 persen menjadi 76,46 persen. Belanja pembangunan yang pada tahun anggaran 1999/2000 dialokasikan sebesar 40,52 persen dari total APBD, pada tahun anggaran 2001 hanya dialokasikan sebesar 23,54 persen.

Pergeseran porsi belanja pembangunan ke belanja rutin tersebut diakibatkan oleh adanya pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah, sehingga pengeluaran rutin untuk belanja pegawai dan belanja non pegawai menjadi membengkak.

Tabel 5.

Alokasi Pengeluaran APBD Kota Surakarta

(Rp. 000)

Uraian

T.A. 1999/2000

T.A. 2001

APBD

Prosentase

APBD

Prosentase

Belanja Rutin

64,593,593

59.48%

196,875,210

76.46%

Belanja Pembangunan

44,005,159

40.52%

60,614,686

23.54%

Total

108,598,752

100.00%

257,489,896

100.00%

Sumber : APBD Kota Surakarta T.A 1999/2000 dan 2001

Tabel 6

Skala Prioritas Pengeluaran Pembangunan Kota Surakarta

No.

Belanja Pembangunan (per sektor)

T.A. 1999/2000

T.A 2001

Skala Prioritas

Prosentase

Ranking

Prosentase

Ranking

1

Industri

1.02%

9

0.16%

17

Turun

2

Pertanian dan Kehutanan

0.30%

11

0.34%

15

Turun

3

Sumberdaya air Irigasi

0.00%

19.5

0.00%

19

-

4

Tenaga kerja

0.36%

10

0.63%

10

Tetap

5

Perdagangan

35.91%

1

20.23%

2

Turun

6

Transportasi

27.44%

2

2.75%

7

Turun

7

Pertambangan dan Energi

0.00%

19.5

0.00%

19

-

8

Pariwisata dan Telekomunikasi

0.26%

12

3.17%

6

Naik

9

Pembangunan Daerah

1.91%

7

18.81%

3

Naik


Lanjutan Tabel 6

Skala Prioritas Pengeluaran Pembangunan Kota Surakarta

No.

Belanja Pembangunan (per sektor)

T.A. 1999/2000

T.A 2001

Skala Prioritas

Prosentase

Ranking

Prosentase

Ranking

10

Lingk. Hidup dan Tata Ruang

4.03%

4

3.34%

5

Turun

11

Pendidikan dan Kebudayaan

3.37%

5

2.30%

8

Turun

12

Kependudukan dan KB

0.01%

18

0.35%

14

Naik

13

Kesehatan dan Kesej. Sosial

1.06%

8

0.70%

9

Turun

14

Perumahan dan Pemukiman

20.72%

3

13.07%

4

Turun

15

Agama

0.23%

14.5

0.24%

16

Turun

16

IPTEK

0.20%

16

0.41%

13

Naik

17

Hukum

0.25%

13

0.42%

12

Naik

18

Aparatur Pemerintahan dan Pengawasan

2.60%

6

32.61%

1

Naik

19

Politik, Penerangan dan Komunikasi

0.23%

14.5

0.48%

11

Naik

20

Keamanan dan Ketertiban

0.09%

17

0.00%

19

Turun

Total

100.00%

100.00%

Sumber: APBD Kota Surakarta T.A 1999/2000, T.A. 2001

Prioritas utama anggaran pembangunan tahun anggaran 1999/2000 adalah untuk sektor perdagangan, yang menyerap 35,91 persen dari seluruh alokasi anggaran pembangunan tahun anggaran 1999/2000. Besarnya alokasi ini digunakan untuk pembangunan kembali pasar induk yang terbakar pada tahun 1998. Pada tahun anggaran 2001, prioritas utama anggaran pembangunan diperuntukkan pada sektor aparatur pemerintah dan pengawasan. Sektor ini menyerap 32,61 persen dari total anggaran pembangunan tahun anggaran 2001. Alokasi ini digunakan untuk revitalisasi gedung Balai Kota yang dibakar massa.

3.2.3 Realisasi penyerapan anggaran

Realisasi penyerapan anggaran yang tersedia dalam APBD kota Surakarta tahun anggaran 1999/2000, pada semester I sebesar 33,68 persen, dan semester II sebesar 50,46 persen, sehingga total penyerapan pada tahun anggaran 1999/2000 sebesar 84,14 persen. Dari penyerapan APBD tersebut, belanja rutin mampu menyerap 98,85 persen total anggaran belanja rutin yang disediakan, sedangkan belanja pembangunan hanya mampu menyerap 62,54 persen dari total anggaran belanja pembangunan yang disediakan.

Rendahnya realisasi belanja pembangunan tahun anggaran 1999/2000 yang diakibatkan antara lain oleh pertama, akibat proses tender ulang karena adanya revisi DIPDA ber BLN, akibat perubahan porsi pendanaan dari 20 % (Rupiah Murni/pendamping) : 80 % (BLN), menjadi 100 % BLN, mengakibatkan pekerjaan yang bersifat kontruksi menjadi tertunda. Kedua, revisi anggaran baru dapat mendapat persetujuan pada bulan September, sehingga secara fisik kegiatan tersebut tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan karena keterbatasan waktu. Ketiga, perencanaan kegiatan fisik masih terfokus di Dinas PU, sedangkan SDM Dinas PU terbatas dan tak mampu melayani semua kegiatan yang ada di dinas-dinas lain. Keterlambatan dalam perencanaan akhirnya menghambat pelaksanaan proyek.


Tabel 7

Realisasi APBD Kota Surakarta

(Rp. 000)

Belanja

T.A. 1999/2000

T.A. 2001

SMT I

SMT II

Total

SMT I

Belanja Rutin

30,272,822

33,579,966

63,852,788

74,993,280

Belanja Pembangunan

6,308,035

21,214,175

27,522,210

1,166,125

Total

36,580,857

54,794,141

91,374,998

76,159,405

Sumber: Realisasi APBD Kota Surakarta, T.A 1999/2000, 2001

Tabel 8

Penyerapan APBD Kota Surakarta

Belanja

T.A. 1999/2000

T.A. 2001

SMT I

SMT II

Total

SMT I

Belanja Rutin

46.87%

51.99%

98.85%

38.09%

Belanja Pembangunan

14.33%

48.21%

62.54%

1.92%

APBD

33.68%

50.46%

84.14%

29.58%

Sumber: Tabel 6, Tabel 7, diolah

Penyerapan APBD tahun anggaran 2001 pada semester I, mencapai 29,58 persen dari total APBD. Nilai ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan penyerapan semester I tahun anggaran 1999/2000 yang besarnya mencapai 33,68 persen. Dari penyerapan APBD pada semester I tersebut, belanja rutin menyerap 38,09 persen total anggaran belanja rutin yang disediakan, sedangkan belanja pembangunan baru mampu menyerap sebesar 1,92 persen dari total anggaran belanja pembangunan yang disediakan.

Rendahnya penyerapan anggaran, terutama anggaran pembangunan yang pada semester I baru mencapai 1,92 persen, diakibatkan oleh: pertama, adanya kenaikan gaji dan rapel PNS yang berlaku surut terhitung mulai Januari 2001. Kondisi ini mengakibatkan pemda menghentikan proyek-proyek yang belum berjalan dan mengalokasikan anggaran tersebut untuk pembayaran gaji PNS. Kedua, proses pengalihan P3D yang belum selesai mengakibatkan pemda memprioritaskan anggaran pada belanja pegawai dan non pegawai (anggaran rutin ) dan menunda proyek-proyek yang tidak sangat mendesak.

3.3 Anggaran Sektor Pendidikan Sebelum dan Sesudah Otonomi

3.3.1 Gambaran Umum Sektor Pendidikan di Kota Surakarta

Kota Surakarta terdiri dari 5 kecamatan dan 51 kelurahan, dengan jumlah penduduk pada tahun 1998 sebesar 542.832 jiwa. Dari jumlah tersebut 11 persen masih berada dalam usia pra sekolah. Dilihat dari prosentase penduduk berdasarkan tingkat tamatan sekolah, penduduk Kota Surakarta 4 persen terdiri dari tamatan akademi/PT, 15 persen tamatan dari SLTA, 19 persen tamatan SLTP, dan 21 persen tamatan SD.

Tabel 9

Perkembangan Penduduk Menurut Pendidikan

(jiwa)

Tahun

PT

SLTA

SLTP

SD

Lainnya

1994

17,707

77,165

96,664

116,449

141,599

1995

27,169

79,428

99,148

114,544

141,052

1996

22,285

84,551

100,359

114,997

137,526

1997

23,754

83,789

99,900

113,652

141,091

1998

23,748

82,256

98,607

112,193

154,952

Sumber: Kota Surakarta dalam angka 1999


Gambar 2

Perkembangan Penduduk Menurut Pendidikan

Dilihat dari kapasitas daya tampung siswa per kelas yang ditunjukkan dari nilai ratio murid-kelas, untuk tiap kelas SD rata-rata menampung 30 siswa, SLTP rata-rata menampung 41 siswa, SLTA rata-rata menampung 36 siswa, dan SMK rata-rata menampung 34 siswa. Jika dilihat dari jumlah murid yang ditangani oleh seorang guru yang ditunjukkan oleh nilai ratio murid guru, tingkat SD seorang guru menangani 20 siswa, tingkat SLTP seorang guru menangani 15 siswa, tingkat SLTA seorang guru menangani 13 siswa, dan tingkat SMK seorang guru menangani 16 siswa.

Tabel 10

Ratio Murid-Kelas dan Murid-Guru

Sekolah

Sekolah

Kelas

Murid

Guru

Murid/kelas

Murid/Guru

SD

316

1.987

60.542

3.045

30

20

SLTP

85

872

35.806

2.323

41

15

SLTA

47

599

21.713

1.618

36

13

SMK

40

441

14.950

911

34

16

Sumber: Kota Surakarta dalam angka 1999

3.3.2 Anggaran Sektor Pendidikan

Anggaran sektor pendidikan dalam APBD tahun anggaran 1999/2000, semula sebesar Rp. 1.484.224.000. Anggaran setelah perubahan APBD menjadi Rp. 2.076.624.000, atau naik sebesar 40 persen. Anggaran tersebut dialokasikan untuk program/kegiatan : pertama, program pendidikan dasar, dengan kegiatan berupa pembangunan dan revitalisasi SD dan MI, pengadaan mebelair, test calon kepala sekolah SD, Kejar Paket A, dan Kejar Paket B. Kedua, bantuan guru wiyata bhakti, bantuan penyelenggaran SLTP terbuka, bantuan biaya pendidikan SD dan SMP, penataran guru SD. Ketiga, pembinaan kesenian meliputi kegiatan pembinaan kesenian daerah, apresiasi wayang terhadap guru dan murid. Dalam realisasinya, penyerapan anggaran pada semester I mencapai Rp. 74.571.000 (5,02 persen), dan semester II mencapai Rp. 1.620.245.000 (109,16 persen).

Pada tahun anggaran 2001, anggaran sektor pendidikan dalam APBD dialokasikan Rp.1.393.500.000, atau turun sebesar 6 persen apabila dibandingkan dengan alokasi APBD untuk sektor pendidikan pada tahun anggaran 1999/2000. Alokasi anggaran tersebut dipergunakan untuk program/kegiatan Program Pendidikan Dasar, revitalisasi SD dan MI, dana penyelenggaraan pendidikan SDN, bantuan Guru wiyatabhakti TK dan SD, bantuan Porseni SD. Realisasi pada semester I, penyerapan anggaran mencapai Rp. 31.000.000, atau sebesar 2,22 persen dari total anggaran yang disediakan pada sektor pendidikan. Prosentase penyerapan anggaran ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan penyerapan anggaran pada semester I tahun anggaran 1999/2000 yang besarnya mencapai Rp.74.571.000 (5,02 persen). Rendahnya penyerapan diakibatkan pemerintah daerah menunda pelaksanaan proyek-proyek yang tidak sangat mendesak.

Dalam penyusunan anggaran, angka-angka yang mendasari usulan dalam penyusunan APBD pada sektor pendidikan diperoleh berdasarkan perhitungan kebutuhan riil di lapangan. Perhitungan angka tersebut melibatkan masyarakat terutama wali murid, guru, serta BP3. Dari sisi ketersediaan anggaran di sektor pendidikan, alokasi anggaran yang ada pada APBD dirasakan belum memadai untuk mencukupi kebutuhan yang sebenarnya, hal ini tercermin dari kondisi sekolah terutama SD dan MI banyak sarana dan prasarana belajar yang perlu mendapat perhatian, kurangnya sarana ibadah, dan minimnya buku-buku perpustakaan sekolah. Keterlibatan masyarakat terutama orang tua murid terhadap kondisi ini dirasakan masih kurang. Orang tua murid berpandangan bahwa sarana dan prasarana sekolah seperti ruang kelas, meja, kursi, papan tulis, dan lainnya, menjadi tanggungjawab sekolah, tidak harus dibebankan pada siswa.

Keberpihakan pemerintah daerah Kota Surakarta terhadap sektor pendidikan, apabila dilihat dari prioritas dalam alokasi anggaran terhadap total anggaran yang disediakan, pada pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan penurunan. Skala prioritas anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan pada tahun anggaran 2001 menempati urutan ke 8, atau mengalami penurunan tiga peringkat apabila dibandingkan dengan skala prioritas tahun anggaran 1999/2000 yang menempati urutan ke 5 (lihat tabel 6.).

Faktor penyebab penurunan skala prioritas anggaran pembangunan sektor pendidikan pada tahun anggaran 2001, adalah perhatian pemerintah daerah terfokus pada pengalihan P3D (Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen) sehingga alokasi anggaran pembangunan untuk kegiatan yang belum mendesak ditunda pelaksanaannya, tidak terkecuali sektor pendidikan. Penerimaan dari dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp. 111,6 miliar, belum mencukupi untuk memenuhi kewajiban utama pemerintah daerah berupa belanja pegawai yang bersarnya mencapai Rp. 121,5 miliar.

Dari 9 instansi vertikal yang dilimpahkan, besarnya belanja pegawai mencapai Rp. 62,4 miliar. Dari nilai tersebut, sebesar Rp. 49,5 miliar (79 persen) merupakan limpahan dari Departemen Pendidikan Nasional (termasuk SLTPN, SMUN, SMKN, SLBN) . Belanja pegawai limpahan dari Depdiknas tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan SDO (dana rutin daerah) tahun anggaran 1999/2000 yang nilainya sebesar Rp. 42,2 miliar.

Tingginya porsi belanja rutin sektor pendidikan tersebut membawa konsekuensi pada penurunan anggaran pembangunan sektor pendidikan, sehingga skala prioritas turun dari urutan ke 5 menjadi urutan ke 8. Pertimbangan pemerintah daerah menurunkan prioritas anggaran pembangunan sektor pendidikan tersebut adalah ; pertama, penyelenggaraan pendidikan Kota Surakarta sudah relatif maju, dan secara fisik kondisi sekolah masih memungkinkan terselenggaranya proses belajar-mengajar, sehingga proyek-proyek untuk pembangunan/rehabilitasi sekolah dapat ditunda. Kedua, Pemerintah daerah memerlukan dana yang cukup besar untuk pembangunan kembali sarana dan prasarana infrastruktur kota yang rusak akibat adanya gejolak politik (beberapa pasar, sarana umum, bahkan Balai Kota Surakarta dibakar masa). Ketiga, Krisis ekonomi mengakibatkan turunya tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan program pembangunan yang terkait dengan masyarakat langsung. Keempat, Prioritas utama sektor pendidikan adalah terpenuhinya belanja pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru.

Implikasi langsung dari turunnya skala prioritas anggaran pembangunan sektor pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan, dalam jangka pendek tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Walaupun secara peringkat prioritas sektor pendidikan turun tiga peringkat, tetapi secara nominal anggaran pembangunan tersebut masih dapat mencukupi untuk kegiatan yang benar-benar mendesak. Sektor pendidikan yang diprioritaskan pada terpenuhinya belanja pegawai dan operasional untuk berjalannya pendidikan, menjadikan proses belajar-mengajar di Kota Surakarta tidak terhambat dengan adanya isu pemogokan guru, karena guru mendapat kepastian pembayaran kenaikan gaji dan rapel. Sistem pembayaran rapel guru dipenuhi dalam dua tahap. Tahap pertama dibayar 4 bulan, dan telah dilaksanakan pada bulan September 2001, sedangkan sisanya akan dibayarkan sebelum hari raya Idul Fitri (Desember 2001). Untuk menutup kekurangan kenaikan gaji dan rapel PNS, Kota Surakarta mendapatkan dana kontinjensi sekitar Rp. 29 Miliar.

IV. Simpulan dan Saran

4.1 Simpulan

Berdasarkan dari bahasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Awal pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberikan keleluasaan yang lebih besar untuk menggali potensi penerimaan asli daerah (PAD) melalui pajak ataupun retribusi daerah, belum menunjukkan peningkatan penerimaan yang signifikan. Daerah lebih mengutamakan kondusifitas iklim usaha, mengingat kondisi perekonomian yang belum pulih dari krisis. Pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat meningkatkan PAD, namun dikhawatiran dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian.

2. Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk membiayai belanja rutin, terutama belanja pegawai akibat adanya pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah, sehingga pengeluaran rutin untuk belanja pegawai dan belanja non pegawai menjadi membengkak, Hal ini membawa konsekuensi pada ditundanya proyek-proyek pembangunan. Kondisi ini menjadi semakin berat dengan adanya Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil yang berlaku surut terhitung mulai 1 Januari 2001.

3. Di awal pelaksanaan otonomi daerah, dimana dana disalurkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara block grant, memberikan keleluasan bagi daerah untuk melakukan penyusunan anggaran melalui pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif dengan melibatkan masyarakat pada tataran paling bawah. Prioritas pembangunan dapat diarahkan pada kebutuhan masyarakat yang sebenarnya yang diidentifikasi bersama, dengan potensi lokal yang dimiliki. Kendala utama penyusunan anggaran adalah kemampuan anggaran pemerintah daerah. Tidak tertampungnya aspirasi masyarakat dapat karena keterbatan anggaran, dapat menyebabkan masyarakat menjadi skeptis atau melalukan demo-demo yang dapat menghambat kinerja pemerintah daerah.

4. Keberpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan. Prioritas utama Sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya belanja pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru.

4.2 Saran

1. Walaupun dana alokasi umum (DAU) disalurkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara block grant, perlu adanya rambu-rambu atau koridor bagi daerah dan meningkatkan komunikasi pusat daerah, agar daerah tidak terjebak dalam eforia otonomi dalam mengalokasikan anggarannya. Daerah dalam era otonomi seharusnya tidak terfokus pada besarnya nilai DAU yang diterima, tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan perencanaan daerah. Pemerintah pusat perlu membentuk suatu organisasi jabatan fungsional perencana yang mempunyai wewenang dan membina sumberdaya perencana daerah. Hal ini mengingat kesulitan daerah penyusunan dan pengelolaan APBD.

2. Walaupun dalam jangka pendek penurunan prioritas untuk sektor pendidikan tidak membawa implikasi langsung yang nyata, pemerintah daerah untuk kedepan perlu lebih meningkatkan keberpihakkannya terhadap sektor pendidikan mengingat sektor pendidikan merupakan sektor prioritas dalam peningkatan sumberdaya manusia.


V. Daftar Pustaka

----------, Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kota Surakarata Tahun Anggaran 1999/2000 dan Tahun Anggaran 2001.

------------, Fiscal Decentralization – Benchmarking The Policies of Fiscal Design (1999). Working document, prepared for the FDI Meeting 9 th March 1999. Paris. Directorate for Financial, Fiscal and Interprise Affairs, Fiscal Affairs. OECD.

------------, Kota Surakarta Dalam Angka 1999, BPS, Surakarta

--------------, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 Tentang Dana Perimbangan.

------------, Sistem Pemantauan Beberapa Indikator Dini: Tingkat Kemiskinan Kabupaten (Penjelasan Ringkas), BPS, Jakarta

---------------, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

---------------, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.



[1] Kedua Penulis adalah Peneliti pada Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, BAF, Departemen Keuangan.

[2] Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional.

[3] Fiscal Decentralization – Benchmarking The Policies of Fiscal Design (1999). Working document, prepared for the FDI Meeting 9 th March 1999. Paris. Directorate for Financial, Fiscal and Interprise Affairs, Fiscal Affairs. OECD.

[4] BPS (2000), Sistem Pemantauan Beberapa Indikator Dini: Tingkat Kemiskinan Kabupaten (Penjelasan Ringkas)

[5] Peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang hal ini belum ada, masih dalam proses untuk penyempurnan lebih lanjut. Perencanaan pembangunan disebut dengan Musyawarah Kota Membangun (Muskotbang). Muskotbang ini dijadikan landasan perencanaan pembangunan kota Surakarta untuk tahun anggaran 2002.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi