Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Uang Quasi Di Indonesia 1995.1 –2000.4
JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 2002
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH
UANG QUASI DI INDONESIA 1995.1 –2000.4
Oleh : Agung Nusantara & Abdul Azis
STIE Stikubank Semarang
ABSTRACT
Demand for quasi money plays a major role in open macroeconomic analysis, especially in selecting appropriate monetary policy actions. Consequently, a steady stream of theoritical and empirical research has been carried out worldwide over the past several decades.
The extensive literature underscores two major points relevan to modelling and estimating the demand for money, especially quasi money: (a) consistency between long-run and short-run, and (b) a stability demand function. The consistency between long-run and short-run use Johansen Cointegration Test, for long-run analyse and Partial Adjustment Model for short-run analyse. And stability demand for quasi money analyse use Cummulative Sum (CUSUM) and Cummulative Sum of Square (CUSUM).
This study analyse demand for quasi money in Indonesia from 1995.Q1 to 2000.Q4 under open economy framework. The results indicate that demand for quasi money, both long-run and short-run models are well specified and are fairly stable. The Cointegration analysis of demand for quasi money shows that there is a long-run demand for quasi money relationship in Indonesia that is in conformity with the theory.
Through the Partial Adjustment Model, sugest that there is a slow adjustment process. That is mean the agent of economy have a slow response to the main variables changes.
Keywords: Quasi Money, Johansen Cointegration Test, Partial Adjustment Model, Structural Stability.
I. PENDAHULUAN
Salah satu studi yang masih menimbulkan kontroversi hingga saat ini, khususnya d bidang moneter, adalah tentang permintaan uang. Kontroversi tersebut berawal dari dua kutub utama dalam permintaan uang, yaitu mashab Keynes dan mashab Moneteris. Kunci utama pemikiran Keynes terletak pada suku bunga sedangkan mashab Moneteris mengacu pada stok uang. Perdebatan kedua mashab tersebut tidak terbatas pada perdebatan teoritis, namun juga merembet pada perdebatan empiris.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, aktifitas ekonomi, perbankan dan lembagaan keuangan menjadi semakin maju. Derajad kepekaan (responsiveness) variabel-variabel moneter, khususnya suku bunga domestik, menjadi semakin tinggi terhadap perubahan variabel moneter internasional. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembatas antara ekonomi domestik dan ekonomi internasional menjadi semakin luntur. Dan dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, membuat para pelaku ekonomi menjadi semakin cerdas dalam mengurai informasi ekonomi yang diterimanya.
Masih terkait dengan kemajuan teknologi, perkembangan analisispun juga terbawa dalam proses kemajuan. Analisis yang berkembang saat ini bukan hanya sekedar menyajikan hubungan dalam jangka panjang yang bersifat statis, namun juga telah mampu menganalisis kondisi jangka pendek dengan menampilkan berbagai metode analisis.
Beberapa studi yang menampilkan analisis jangka panjang dengan pendekatan yang relatif baru, yaitu Johansen Cointegration Test (antara lain: Treichel, 1997; Khamis and Leone, 1999; Egoumé-Bossogo, 2000). Keunggulan dari metode Johansen dibandingkan model kointegrasi yang ditawarkan oleh Engle and Granger (1985) adalah metode Johansen memiliki kemampuan untuk, tidak hanya menghasilkan estimasi yang baik serta uji-ujinya dalam konteks Gaussian, namun juga mampu melakukan investigasi pada berbagai asumsi yang terkait dengan data generating process (Johansen, 1988).
Studi ini akan diarahkan pada beberapa persoalan, yang pertama, menganalisis dalam perspektif jangka pendek maupun dalam jangka panjang tentang permintaan uang kuasi, yang didefinisikan sebagai aset moneter yang memiliki likuiditas tinggi, namun secara langsung tidak dapat berfungsi sebagai medium of exchange. Yang termasuk dalam kategori uang kuasi adalah deposito berjangka, baik dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valuta asing.
Disamping itu, studi ini juga akan mengamati apakah perilaku masyarakat yang memegang uang kuasi, dalam kurun waktu analisis, 1995.1 sampai dengan 2001.4 memiliki sifat yang stabil atau tidak. Mengamati stabilitas permintaan uang kuasi ini sangat penting karena terkait dengan efektif tidaknya kebijakan pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk menggunakan instrumen suku bunga dan valuta asing sebagai instrumen kebijakan, pada dua masa yang memiliki kondisi berbeda, yaitu normal dan kondisi krisis.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang yang beredar (JUB) atau penawaran uang dapat diartikan sebagai berikut :
Pengertian yang paling sempit adalah uang kertas dan uang logam yang ada di tangan masyarakat umum (di luar bank dan kas negara). Uang tunai ini disebut uang kartal (currency). Dalam artian sempit jumlah uang beredar disebut dengan narrow money (M) yang menjadi uang kartal (C) dan uang giral (demand deposit/D).
M1 = C + D
C = Currency (uang kartal)
D = Demand deposit (uang giral) yaitu saldo rekening koran/giro yang dimiliki oleh masyarakat pada bank-bank umum.
Pengertian lain mengenai uang beredar didasarkan atas anggapan bahwa sebenarnya bukan hanya uang tunai dan saldo giro (cek) saja yang bisa digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya (untuk tujuan transaksi, berjaga-jaga, spekulasi). Uang milik masyarakat yang disimpan di bank dalam bentuk deposito berjangka (time deposits) atau tabungan (misalnya Tabanas), juga mempunyai ciri yang mendekati uang tunai . Kedua simpanan ini dapat diubah (tanpa banyak kesulitan ) menjadi uang tunai untuk pembayaran transaksi tersebut. Jadi misalnya, deposito berjangka bisa diuangkan sewaktu-waktu meskipun dengan kehilangan bunga dan sipemilik harus pula datang sendiri ke bank untuk menguangkannya. Demikian pula tabungan bisa sewaktu-waktu diambil dengan cara yang sama.
Deposito berjangka dan tabungan sering disebut dengan istilah quasi money atau near money, yaitu sesuatu yang mendekati ciri dari uang. Menurut pengertian yang kedua ini, uang yang beredar adalah narrow money plus quasi money yaitu :
Ms = C + D + T
Dimana T adalah saldo deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada bank-bank. Konsep uang yang beredar ini disebut uang beredar dalam arti luas dan broad money.
Teori Jumlah Uang Beredar (JUB)
Dibandingkan dengan teori permintaan uang, teori penawaran uang merupakan hal yang baru berkembang dalam teori moneter. Teori-teori lama mengenai bagaimana uang beredar tercipta adalah sangat sederhana yang merupakan gambaran dari sistem uang beredar yang naik atau turun sesuai dengan tersedianya emas di masyarakat. Jumlah uang (emas) bisa turun apabila misalnya emas dikirim ke luar negeri untuk menutup defisit neraca pembayaran, yaitu untuk membayar barang-barang impor pada industri – industri yang menggunakan emas atau dalam proses produksinya menyedot emas yang ada. Sehingga mengurangi jumlah emas yang tersedia untuk alat pembayaran. Jumlah uang beredar bisa naik apabila ada surplus neraca pembayaran atau karena emas meningkat (misalnya ditemukan tambang emas baru) dan sebagainya. Dalam sistem moneter seperti itu uang beredar benar-benar ditentukan oleh proses pasar, sedangkan pemerintah dan bank sentral ataupun perbankan tidak mempunyai pengaruh terhadap besarnya uang beredar.
Dalam perekonomian modern pada umumnya jumlah uang beredar (JUB) bisa ditentukan secara langsung oleh penguasaan moneter. Tanpa mempersoalkan hubungan dengan uang inti yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Perilaku seperti ini berlandaskan pada analisa penentuan JUB secara mekanis, dimana JUB dihubungkan oleh rasio cadangan perbankan dan rasio antara uang kartal dan uang giral.
Dengan menganggap bahwa kedua perbandingan (rasio) tersebut konstan untuk suatu periode itu, maka penguasaan moneter bisa mengendalikan JUB secara langsung dengan menentukan cadangan perbankan. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu, JUB pada suatu periode merupakan hasil perilaku penguasaan moneter yang dalam hal ini adalah bank sentral, bukan bank-bank umum dan masyarakat (termasuk lembaga-lembaga keuangan bukan bank) secara bersama-sama.
Tindakan yang bisa dilakukan oleh bank sentral adalah mempengaruhi besarnya jumlah uang beredar melalui angka pengganda yang merupakan hasil bersih perilaku masyarakat dalam memegang uang kartal dan perilaku perbankan dalam menentukan cadangannya. Akan tetapi masih dipertanyakan apakah dengan kemampuannya mengendalikan uang inti, bank sentral juga mampu melakukan pengendalian terhadap JUB dengan ketentuan yang sama. Hal ini tergantung pada keeratan hubungan antara cadangan perbankan dengan JUB. Jika terdapat kaitan yang erat, maka penguasa moneter dapat merumuskan kebijaksanaannya dan mampu mencapai target JUB yang telah ditetapkan sebaliknya jika antara variabel-variabel tersebut tidak begitu erat, maka penguasa moneter tidak akan mampu mencapai target JUB yang tepat.
Dalam pengaturan kebijaksanaan moneter, bank sentral mengawasi perilaku baik itu tingkat bunga maupun JUB. Tetapi bank sentral tidak dapat secara simultan membuat kebijaksanaan pada JUB atau tingkat bunga, karena JUB ditentukan oleh tingkat bunga pasar dan ketentuan-ketentuan pasar yang lain yang mempengaruhi sistem perbankan. Singkatnya JUB ditentukan secara bersama oleh perilaku penguasa moneter, sistem perbankan dan masyarakat. Dan penentuan ketetapan JUB akan mempengaruhi perekonomian secara umum.
Pengertian Uang Quasi
Uang quasi merupakan jenis uang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam pembayarannya karena keterikatan waktu, yaitu deposito berjangka. Yang perkembangannya berdasarkan laporan Bank Indonesia terdiri dari :
a. Deposito berjangka dan sertifikat deposito dalam rupiah (merupakan uang yang kehilangan untuk sementara fungsinya sebagai alat tukar menukar).
b. Tabungan (yaitu uang yang tidak sepenuhnya likuid).
c. Rekening giro dalam valuta asing (aktiva yang dapat memenuhi fungsinya sebagai alat tukar tetapi diterima hanya di lingkungan terbatas).
d. Deposito berjangka dalam valuta asing (aktiva yang hanya dapat memenuhi fungsi uang sebagai penyimpan daya beli).
e. Tabungan dalam valuta asing (aktiva yang sifat likuidnya lebih rendah dari kartal dan uang giral).
Jadi uang quasi merupakan aktiva milik sektor swasta domestik yang hanya dapat dipakai memenuhi sebagian saja dari fungsi uang. Fungsi uang yang tidak terpenuhi adalah sebagai media pertukaran. Selain itu uang quasi dapat pula merupakan uang yang untuk sementara kehilangan sebagian dari fungsinya atau uang yang tidak seluruhnya likuid.
Permintaan Akan Uang
Teori permintaan uang sebenarnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori tentang alokasi sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas. Pada prinsipnya, dengan sumber ekonomi yang terbatas, manusia haruslah memilih alokasi yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya (prinsip ekonomi). Apabila mereka akan memperbanyak konsumsi misalnya, maka jumlah kekayaan (yang terdiri dari pendapatan dan kekayaan lainnya) akan semakin kecil. Demikian juga apabila mereka ingin memiliki salah satu bentuk kekayaan lebih banyak maka dengan sendirinya pemilihan bentuk kekayaan yang lain akan menjadi lebih sedikit. Mereka akan selalu mencari keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dari pemilikan sesuatu bentuk kekayaan. Kekayaan dapat diujudkan dalam bentuk uang, surar berharga, deposito atau barang. Pertanyaannya : mengapa seseorang mengujudkan kekayaan dalam bentuk uang, yang tidak menghasilkan pendapatan, sedangkan kalau diujudkan surat berharga atau deposito berjangka dapat menghasilkan bunga ? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang kemudian merupakan teori permintaan uang. Jadi, teori permintaan uang pada dasarnya ingin menjawab pertanyaan mengapa (alasan-alasan apa) yang menyebabkan seseorang mengujudkan kekayaan dalam bentuk kas.
Kenyataan bahwa seseorang / masyarakat menyimpan uang kas tentu ada manfaatnya, seperti misalnya dapat dipakai sebagai alat pembayar, sangat likuid serta aman, dalam arti tidak susut nilainya dalam bentuk uang (kalau berbentuk barang, apabila ingin cepat ditukarkan dengan uang seringkali nilai barang itu turun). Hal-hal inilah yang nantinya menjelaskan mengapa seseorang memegang uang kas.
2.4.1. Teori Permintaan Uang Klasik
Teori permintaan uang klasik, tercermin dalam teori kuantitas uang. Pada awal mulanya teori ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa seseorang / masyarakat menyimpan uang kas, tetapi lebih pada peranan daripada uang. Dengan sederhana Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang sebagai berikut :
MV = PT
dimana :
M = Jumlah uang beredar
V = Perputaran uang dari satu tangan ke tangan dalam satu periode
P = Harga barang
T = Volume barang yang diperdagangkan.
Beberapa versi teori ini adalah :
Pertama, dengan mengganti volume barang yang diperdagangkan (T) dengan output riil (O), sehingga formulasi teori kuantitas menjadi :
MV = PO = Y
di mana :
Y = PO = GNP nominal
V = Tingkat perputaran pendapatan (income velocity of money)
Dengan menggunakan anggapan bahwa ekonomi selalu dalam keadaan kesempatan kerja penuh/full employment (atas dasar hukum Say) maka besarnya T (dan juga dengan sendirinya O) tetap tidak berubah. Demikian juga V relatif tetap (V hanya berubah kalau terjadi perubahan kelembagaan, seperti misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi). Konsekuensi dari kedua anggapan ini, maka M hanyalah mempengaruhi T, dan pengaruhnya proporsional. Artinya, kalau M naik dua kali maka T juga akan naik dengan dua kali.
Kedua, versi yang dikemukakan oleh A. Marshaal dari Universitas Cambride dengan formulasi sebagai berikut :
M = kPO = kY
dimana :
k = 1/V
Secara matematis formulasi Marshall ini sama dengan formulasi Irving Fisher, namun implikasinya berbeda. Marshall memandang bahwa individu/masyarakat selalu menginginkan sebagian (proporsi) tertentu dari pendapatannya (Y) diujudkan dalam bentuk uang kas (yang dinyatakan dengan k). Sehingga kY merupakan keinginan individu / masyarakat dapat diformulasikan sebagai :
Md = kPO = kY
Md = adalah permintaan uang kas
Dengan formulasi tersebut teori Marshall merupakan awal dari teori permintaan akan uang. Teori ini masih sangat sederhana, terkandung di dalamnya beberapa kelemahan (yaitu kemudian atas dasar kelemahan-kelemahan ini lalu disempurnakan oleh teori berikutnya). Kelemahan adalah bahwa dalam kenyataannya V tidaklah tetap. Baik di negara maju (Amerika Serikat) maupun negara berkembang, V cenderung tidak konstan.
2.4.2. Teori Permintaan Uang Keynes
Keynes, dalam teorinya tentang permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi, berjaga-jaga serta spekulasi. Jadi dia juga mengakui adanya motif transaksi, hanya saja yang lebih penting (dalam arti pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi) adalah motif spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga.
Individu atau perusahaan memerlukan uang kas untuk membelanjai transaksi karena mereka pikir bahwa pengeluaran ini sering terjadi lebih dahulu dari uang masuk (dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu dari uang masuk (dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu, sehingga sangat diperlukan adanya uang kas di tangan. Meskipun seandainya pengeluaran dan penerimaan itu dapat diperkirakan dengan tepat, namun uang kas di tangan tetap diperlukan. Sebab, penerimaan yang diharapkan mungkin tidak jadi diterima, atau pengeluaran untuk transaksi yang sangat penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang sangat penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang memberikan keuntungan besar sangat menarik untuk dilakukan sebelum penerimaan datang dan sebagainya.
Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan. Makin tinggi akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dari penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan).
Dari sini jelas bahwa Keynes mengikuti jejak Kaum klasik (paling tidak Marshall) bahwa permintaan uang untuk transaksi tergantung dari pendapatan. Namun Keynes berbeda dengan Kaum klasik dalam hal penekanan pada motif spekulasi dan peranan tingkat bunga dalam menentukan permintaan uang untuk spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi.
Keynes juga menyadari bahwa masyarakat menghendaki jumlah uang kas yang melebihi untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan kekayaannya dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang disimpan ini memenuhi fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store-of-value). Dalam istilah yang lebih modern sering disebut : permintaan uang untuk penimbun kekayaan (asset demand for money).
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang kas untuk tujuan/motif spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang kas (opportunity cost of holding money) makin kecil. Sebaliknya semakin rendah tingkat bunga semakin besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua, hipotesis Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang baru-baru terjadi. Tingkat bunga normal artinya suatu tingkat bunga yang diharapkan akan kembali ke tingkat bunga yang diharapkan akan kembali ke tingkat bunga normal ini manakala terjadi perubahan. Jadi, apabila tingkat bunga kenyataannya berada di atas tingkat normal ini, maka masyarakat akan mengharapkan tingkat bunga tidak akan turun/kembali ke tingkat bunga normal tersebut, sehingga harga surat berharga diperkirakan akan naik (kemungkinan adanya "capital losses" lebih kecil daripada "capital gain’). Akibatnya masyarakat menghendaki / ingin membeli surat berharga lebih banyak dan dengan demikian permintaan uang kas makin kecil. Sebaliknya apabila tingkat bunga kenyataannya di bawah normal, masyarakat akan memperkirakan tingkat bunga akan naik kembali pada tingkat bunga normal tersebut. Harga surat berharga diperkirakan turun (sebab tingkat bunga naik) sehingga mereka akan menjual surat berharga dan dengan demikian keinginan memegang uang kas naik.
Pada tingkat bunga yang rendah permintaan akan uang menjadi elastis sempurna (liquidity trap). Liquidity trap menggambarkan bahwa pada tingkat bunga yang begitu rendah (menurut ukuran pengalaman-pengalaman masa lalu), elastisitas permintaan uang kas menjadi tak terhingga besarnya. Masyarakat tidak akan memegang surat berharga pada tingkat bunga ini kerena mereka memperkirakan bahwa keuntungan/pendapatan dari memegang surat berharga pada tingkat lebih rendah daripada kerugian yang timbul karena kenaikan tingkat bunga di masa datang. Masyarakat memperkirakan bahwa di kemudian hari tingkat bunga akan naik sebab tingkat bunga sudah begitu rendah, tidak mungkin turun lagi. Dengan kata lain setiap orang akan mengharap harga surat berharga akan turun dimasa datang seringga tidak ada seorangpun yang mau membeli surat berharga sekarang, semuanya menghendaki uang kas. Pada tingkat bunga tersebut permintaan uang menjadi elastis sempurna. Masyarakat tidak ada yang mau memegang surat berharga pada tingkat bunga tersebut sebab mereka memperkirakan bahwa pendapatan yang diperoleh dai surat berharga akan lebih besar dari kerugian modal (capital losses) sebagai akibat kenaikan tingkat bunga di masa datang. Inilah yang disebut "liquidity/Keynesian trap".
Implikasi dari adanya hipotesis liquidity trap ini adalah bahwa tingkat bunga tersebut tidak bisa turun lagi, padahal mungkin tingkat bunga ini dirasa terlalu tinggi untuk menunjang tingkat kesempatan kerja penuh (full employment). Dalam keadaan demikian output dan kesempatan kerja akan "tetap" berada di bawah kesempatan kerja penuh. Lebih lanjut kebijakan moneter yang berupa penambahan jumlah uang beredar tidak dapat menurunkan tingkat bunga (r1) sehingga dengan demikian investasi tidak bertambah, akibatnya output tetap tidak berubah.
Pengertian Tingkat Suku Bunga
Dalam teori makro Keynes berpendapat tingkat bunga adalah Biaya penggunaan dana yang dinyatakan dalam prosentase persatuan waktu. Dalam teori ini disebutkan bahwa keputusan untuk melakukan Investasi atau tidak melakukan Investasi tergantung perbandingan atau prosentase besarnya keuntungan yang diperoleh. Hal ini sering disebut Marginal Efeciency of Capital (MEC).
Teori Tingkat Bunga Berdasarkan Jangka Waktu
Menurut Budiono, 1992. Teori tingkat suku bunga ada 3 macam yaitu :
a. Liquiditity Preference.
Tingkat suku bunga akan selalu naik, dengan semakin lama kita meminjam atau meminjami. Dalam hal ini seseorang ingin selalu likuid. Hal inilah yang mendorong seseorang atau masyarakat untuk menanamkan sebagian pendapatannya kedalam bentuk tabungan atau deposito berjangka. Teori ini didasari dari J.M. Keyned.
b. The Prefered Of Habitat Market Theory Atau Teori Kebiasaan Pasar.
Bahwa naik turunnya tingkat suku bunga ditentukan oleh kebiasaan Pasar sehingga masing-masing jangka waktu Simpanan mempunyai pasar tersendiri. Atau dengan kata lain tingkat bunga tingkat bunga lebih dipengaruhi oleh Demand dan Supply dari masing-masing jangka waktu. Teori ini didasari oleh Teori JM Keynes.
c. Rational Expectation Atau Berdasarkan Harapan Masa Depan Yang Rasional.
Teori ini di ilhami oleh teori klasik, seseorang harus dapat memprediksikan atau meramalkan arah / keadaan masa depan yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak pasti.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Bunga
Dalam laporan tahunan Bank Indonesia 1996 – 2000 beberapa tahun terakhir terdapat sorotan yang cukup tajam terhadap perkembangan dari tingkat suku bunga dalam negeri cukup tinggi. Hal ini dianggap wajar bila dilihat dari kepentingan pengusaha yang dalam melaksanakan kegiatannya pada umumnya menggunakan dana yang berasal dari kredit perbankan. Namun disisi lain para penabung dan deposan berkepentingan dengan suku bunga simpanan yang cukup menarik. Selain untuk mempertahankan daya beli dari uang yang disimpan, suku bunga menurut kacamata penabung dan deposan harus cukup menarik bila dibandingkan dengan alternatif penanaman dana lainnya.
Dengan demikian, dalam sistem perekonomian di Indonesia sejak bulan juni 1983. Sumber dana yang yang terjadi pada dasarnya merupakan repleksi dari kekuatan permintaan dan penawaran dana dari masyarakat. Selain itu perlu diketamukakan bahwa Indonesia masih mengalami kesenjangan antara ketersediaan tabungan masyarakat dan kebutuhan investasi (Investment Saving Gap) yang bersifat struktural yang tercermin dari perkembangan transaksi berjalan yang umumnya mengalami defisit. Untuk menutup defisit transaksi berjalan tersebut, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir Indonesia harus hutang untuk modal tambahan dana dari luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, dana merupakan komoditas yang cukup langka dan harganya atau suku bunga sebenarnya refleksi dari kelangkaan dana (Scarcity of Capital) tersebut.
Perkembangan dan tingkat suku bunga dalam negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari luar negeri., seperti tingkat suku bunga internasional maupun yang berasal dari dalam negeri, sebagai ekspetasi inflasi, kondisi perbankan, serta langkah dan tindakan otoritas moneter. Bagi otoritas moneter, perkembangan dan tingkat suku bunga juga merupakan salah satu indikator moneter yang sangat penting. Bank Indonesia selalu berupa ya agar suku bunga berada tingkat yang wajar. Disatu sisi perkembangan suku bunga harus merefleksikan faktor-faktor fundamental yang disebutkan terdahulu dan sisi lain suku bunga diupayakan dapat menunjang pencapaian sasaran-sasaran ekonomi makro yang ditetapkan pemerintah.
Pengertian Tingkat Kurs
Kurs adalah harga dalam negeri dari mata uang luar negeri. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa aktivitas perdagangan luar negeri Indonesia menggunakan Dollar Amerika sebagai alat pembayarannya. Penggunaan Dollar Amerika didasarkan atas alasan sebagai berikut :
Saat emas masih merupakan alat pembayaran utama bagi transaksi Internasional, sejalan dengan menanjaknya Amerika Serikat dalam perekonomian dunia setelah perang dunia pertama. Dollar Amerika menjadi alat pembayaran Internasional karena jumlah emas yang tersedia sebagai alat pembayaran tidak bisa lagi mengimbangi pertumbuhan perdagangan Internasional yang sangat pesat. Sejak saat mulai dicari pengganti emas yang mempunyai ciri-ciri yang mendekati emas yaitu :
a. Setiap negara percaya bahwa mata uang tersebut akan diterima oleh negar lain sebagai pembayaran transaksi internasional.
b. Nilai mata uang tersebut sangat stabil.
c. Sebetulnya ada mata uang negara lain yang tergolong hard currencies seperti franc Swiss, gulden belanda, Yen Jepang dan lain-lain yang dapat menjadi mata uang cadangan internasional yang dapat diterima sebagai alat pembayaran Interasional. Namun karena Voleme mata uang ini relatif kecil, maka peranan tidak semenonjol Dollar Amerika (Budiono, 1989).
Sistem Kurs
Sistem kurs valuta asing akan sangat tergantung dari sifat pasar. Dalam pasar bebas , kurs akan berubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran. Tingkat Kurs juga dapat dipengaruhi oleh kebijaksanaan Pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa Sistem Kurs :
a. Sistem Kurs Fleksibel.
Di dalam pasar bebas perubahan kurs dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan dan penawaran valuta asing berasal dari adanya transaksi autonomous debit dan kredit (ekspor dan import)yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : harga, pendapatan dan tingkat bunga. Segala sesuatu mempengaruhi ketiga faktor ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing dan akan mempengaruhi tingkat kurs. Selain ketiga faktor tersebut, ada pula faktor non ekonomis yang mempengaruhi perubahan kurs, yaitu :faktor politis psikologis seperti kepanikan didalam negeri yang mengakibatkan larinya dana ke luar negeri, sehingga kurs valuta asing akan naik.
Nilai positif dari penerapan sistem kurs yang berubah-ubah adalah :
1. Meningkatnya efisiensi alokasi faktor-faktor produksi. Kurs adalah harga yang dalam pasar bebas berperan mengatur alokasi faktor produksi secara efisien.
2. Mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran Internasional. Proses penyeimbangan cukup melalui perubahan kurs, tidak perlu menyediakan dana untuk menyeimbangkan
3. Nilai kurs lebih stabil karena pasar valuta asing adalah sangat kompetitif serta penawaran dan permintaan sangat elastis terhadap harga. Dengan demikian apabila terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, maka hanya diperlukan perubahan kurs yang sangat kecil.
Sedangkan dampak negatif dari diterapkannya sistem kurs yang berubah-ubah adalah :
1. Timbulnya kegiatan spekulasi. Kenaikan nilai suatu mata uang mengakibatkan para spekulan berharap bahwa nilai mata uang tersebut akan terus naik, pembelianpun naik terus. Demikian pula bila terjadi penurunan harga. Kesimpulannya, kegiatan spekulasi menyebabkan ketidakstabilan.
2. Adanya ketidakstabilan didalam lalulintas pembayaran Internasional sehingga dapat mengurangi volume perdagangan. Bagi negara yang sangat tergantung pada perdagangan Luar Negeri, perubahan kurs akan mempengaruhi harga didalam negeri.
b. Sistem Kurs yang Stabil.
Sistem Kurs yang berubah-ubah sering menimbulkan tindakan spekulatif sebagai akibat ketidaktentuan didalam kurs valuta asing. Karenanya banyak negara yang menerapkan kebijaksanaan untuk menstabilkan kurs.
Pada dasarnya kurs yang stabil dapat timbul secara :
1. Aktif yakni Pemerintah menyediakan dana untuk tujuan stabilisasi kurs (Stabilization Fund)
2. Pasif yakni dalam Negara yang menggunakan Standard Emas.
Segi positif dari diberlakukannya sistem kurs yang stabil adalah:
1. Nilai kurs lebih stabil sehingga dapat menjaga kestabilan Lalulintas pembayaran Internasional, sehingga dapat mencegah penurunan volume perdagangan.
2. Dapat mencegah tindakan spekulasi yang dilakukan para pedagang valuta asing.
Sedangkan segi negatif dari penerapan sistem kurs yang stabil yaitu bahwa pemerintah harus menyediakan dana yang sangat besar untuk melakukan stabilisasi kurs, terutama untuk mencegah kenaikan kurs valuta asing. Dalam hal ini biasanya pemerintah menghadapi keterbatasan penyediaan cadangan devisa valuta asing.
2.7. Review Penelitian Sebelumnya
Fan dan Liu (1971) Meneliti Tentang Permintaan Uang di Negara-Negara Berkembang di Asia, Model yang digunakan yaitu "Teori Kuantitas":
Y = bo +b1x1 + b2x2 + Ut
Dimana :
Y = jumlah uang beredar
x1 = tingkat pendapatan nasional
x2 = tingkat suku bunga jangka pendek
b1, b2 = koefisien regresi
bo = konstanta
Ut = variabel pengganggu
Hasil penelitian :
Penelitian dari Fan dan Liu yaitu bahwa permintaan akan uang dipengaruhi oleh pendapatan nasional dan tingkat suku bunga. Motif spekulan tidak berpengaruh terhadap permintaan uang,dan elastisitas pendapatan nasional lebih besar dari elastisitas bunga.
Nopirin (1998), meneliti tentang permintaan uang(tunai) di Indonesia dalam periode tahun 1975 s/d 1996, model yang dipakai:
Md = bo+ b1 Rt + b2 Yt + b3 Cd + Ut
Untuk lebih memperjelas dalam penelitian ini digunakan model " Log Natural" yang diformulasikan dalam persaan sebagai berikut:
Ln Md = b0 + b1 Ln Rt + b2 Ln Yt + b3 Ln Cd + Ut
Dimana :
Ln Md = permintaan uang
b0 = konstanta
b1, b2, b3 = konstanta regresi
Ln Rt = log tingkat suku bunga
Ln Yt = log pendapatan nasional
Ln Cd = log permintaan nilai mata uang
Ut = variabel pengganggu
Hasil penelitian:
Bahwa struktur permintaan mata uang tunai sebelum dan sesudah deregulasi di tahun 1998 mengalami perubahan. Dengan menggunakan tes Chow, permintaan uang di Indonesia tidak stabil.
2.8. Hipotesis
Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Pengaruh perubahan tingkat Pendapatan Riil terhadap perubahan Jumlah Uang Quasi adalah positif, b1 > 0.
2. Pengaruh Tingkat Kurs terhadap perkembangan Jumlah Uang Quasi adalah positif; b2 > 0.
3. Pengaruh Tingkat Suku Bunga internasional terhadap perkembangan Jumlah Uang Quasi adalah negatif; b3 <> 0
III. METODE PENELITIAN
Spesifikasi Variabel
Data yang akan digunakan dalam analisis adalah data Time Series triwulan dimulai pada periode 1995 triwulan I sampai dengan periode 2000 triwulan IV, variabel yang diperlukan dalam analisis adalah :
Uang Quasi Riil (QM): yaitu semua bentuk aset moneter yang likuid diluar kategori uang kartal dan uang giral setelah dibagi dengan inflasi. (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
b. Pendapatan Nasional (INC) : merupakan pendapatan riil (harga konstan, 1993=100) di Indonesia yang dihitung berdasarkan pendekatan output. . (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia)
c. Kurs (EX) : Tingkat Kurs Dollar terhadap Rupiah berdasarkan atas harga pasar pada akhir periode. (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
d. Suku Bunga Riil Internasional (SIBOR): mencerminkan Suku Bunga SIBOR setelah dikurangi dengan inflasi internasional (singapura). (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
e. Suku Bunga Riil Domestik (DEP): merupakan suku bunga deposito 3 bulanan setelah dikurangi dengan inflasi domestik. .(Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
3.2. Model Analisis Data
Fungsi permintaan uang kuasi yang dikembangkan oleh John T. Boorman, (1976: p.321 ) adalah sebagai berikut:
QMt* = f (INCt, EXt ,SIBORt,RDEPt) ............................................. (3.1)
Keterangan:
QM t * : Jumlah Permintaan Uang Quasi yang diharapkan pada periode tertentu
INCt : Tingkat Pendapatan Riil (harga konstan) pada periode tertentu
SIBOR t : suku bunga internasional riil pada periode tertentu
RDEPt : suku bunga domestik riil pada periode tertentu
EXt : nilai tukar Dollar terhadap Rupiah pada periode tertentu
Berdasarkan fungsi di atas, maka Boorman (1976; p. 323) membuat persamaan permintaan uang kuasi sebagai berikut :
QMt* = a (INCt ) b1 (EXt)b2 E exp [b3 (SIBORt) b4(RDEP)] .................. (3.2)
Karena analisis regresi yang akan digunakan dalam analisis ini adalah regresi linier, maka persamaan (3.1) akan diterapkan proses linierisasi melalui transformasi dalam bentuk logaritma natural:
ln QMt* = ln a + b1 ln INCt + b2 ln EXt + b3 SIBORt + b4 RDEPt............... (3.3)
atau dapat disimbolkan sebagai berikut:
LQMt * = a + b1LINCt + b2LEXt + b3SIBORt – b4RDEPt ……………(3.3a)
Persamaan (3.3) menunjukkan bahwa variabel uang kuasi masih dalam bentuk variabel ekspektasi yang tidak dapat diobservasi (unobservable). Maka untuk mengatasinya dibutuhkan asumsi yang diadopsi dari model Koyck dengan menggunakan rasionalisasi Stock Adjusment atau Partial Adjustment Model (Gujarati, 2003: p.673-675).
Rasionalisasi stock adjusment atau Partial Adjustmrnt Model (PAM) didasarkan atas hipotesis sebagai berikut:
Ln Qmt – lnQmt-1 = l (lnQm*t – lnQmt-1) …………………………....... (3.4)
dimana l merupakan koefisien penyesuaian (coefficient of adjustment) dan memiliki besaran 0< l =" 1." 1 =" l" lqmt="la+lb1LINCt+lb2LEXt+lb3SIBORt+lb4DEPt+(1-l)LQMt-1" s="standard" r="k+1" w="recursive" ts="tidak" lqm="f(LINC," wt="å" st="å">
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH
UANG QUASI DI INDONESIA 1995.1 –2000.4
Oleh : Agung Nusantara & Abdul Azis
STIE Stikubank Semarang
ABSTRACT
Demand for quasi money plays a major role in open macroeconomic analysis, especially in selecting appropriate monetary policy actions. Consequently, a steady stream of theoritical and empirical research has been carried out worldwide over the past several decades.
The extensive literature underscores two major points relevan to modelling and estimating the demand for money, especially quasi money: (a) consistency between long-run and short-run, and (b) a stability demand function. The consistency between long-run and short-run use Johansen Cointegration Test, for long-run analyse and Partial Adjustment Model for short-run analyse. And stability demand for quasi money analyse use Cummulative Sum (CUSUM) and Cummulative Sum of Square (CUSUM).
This study analyse demand for quasi money in Indonesia from 1995.Q1 to 2000.Q4 under open economy framework. The results indicate that demand for quasi money, both long-run and short-run models are well specified and are fairly stable. The Cointegration analysis of demand for quasi money shows that there is a long-run demand for quasi money relationship in Indonesia that is in conformity with the theory.
Through the Partial Adjustment Model, sugest that there is a slow adjustment process. That is mean the agent of economy have a slow response to the main variables changes.
Keywords: Quasi Money, Johansen Cointegration Test, Partial Adjustment Model, Structural Stability.
I. PENDAHULUAN
Salah satu studi yang masih menimbulkan kontroversi hingga saat ini, khususnya d bidang moneter, adalah tentang permintaan uang. Kontroversi tersebut berawal dari dua kutub utama dalam permintaan uang, yaitu mashab Keynes dan mashab Moneteris. Kunci utama pemikiran Keynes terletak pada suku bunga sedangkan mashab Moneteris mengacu pada stok uang. Perdebatan kedua mashab tersebut tidak terbatas pada perdebatan teoritis, namun juga merembet pada perdebatan empiris.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, aktifitas ekonomi, perbankan dan lembagaan keuangan menjadi semakin maju. Derajad kepekaan (responsiveness) variabel-variabel moneter, khususnya suku bunga domestik, menjadi semakin tinggi terhadap perubahan variabel moneter internasional. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembatas antara ekonomi domestik dan ekonomi internasional menjadi semakin luntur. Dan dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, membuat para pelaku ekonomi menjadi semakin cerdas dalam mengurai informasi ekonomi yang diterimanya.
Masih terkait dengan kemajuan teknologi, perkembangan analisispun juga terbawa dalam proses kemajuan. Analisis yang berkembang saat ini bukan hanya sekedar menyajikan hubungan dalam jangka panjang yang bersifat statis, namun juga telah mampu menganalisis kondisi jangka pendek dengan menampilkan berbagai metode analisis.
Beberapa studi yang menampilkan analisis jangka panjang dengan pendekatan yang relatif baru, yaitu Johansen Cointegration Test (antara lain: Treichel, 1997; Khamis and Leone, 1999; Egoumé-Bossogo, 2000). Keunggulan dari metode Johansen dibandingkan model kointegrasi yang ditawarkan oleh Engle and Granger (1985) adalah metode Johansen memiliki kemampuan untuk, tidak hanya menghasilkan estimasi yang baik serta uji-ujinya dalam konteks Gaussian, namun juga mampu melakukan investigasi pada berbagai asumsi yang terkait dengan data generating process (Johansen, 1988).
Studi ini akan diarahkan pada beberapa persoalan, yang pertama, menganalisis dalam perspektif jangka pendek maupun dalam jangka panjang tentang permintaan uang kuasi, yang didefinisikan sebagai aset moneter yang memiliki likuiditas tinggi, namun secara langsung tidak dapat berfungsi sebagai medium of exchange. Yang termasuk dalam kategori uang kuasi adalah deposito berjangka, baik dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valuta asing.
Disamping itu, studi ini juga akan mengamati apakah perilaku masyarakat yang memegang uang kuasi, dalam kurun waktu analisis, 1995.1 sampai dengan 2001.4 memiliki sifat yang stabil atau tidak. Mengamati stabilitas permintaan uang kuasi ini sangat penting karena terkait dengan efektif tidaknya kebijakan pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk menggunakan instrumen suku bunga dan valuta asing sebagai instrumen kebijakan, pada dua masa yang memiliki kondisi berbeda, yaitu normal dan kondisi krisis.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang yang beredar (JUB) atau penawaran uang dapat diartikan sebagai berikut :
Pengertian yang paling sempit adalah uang kertas dan uang logam yang ada di tangan masyarakat umum (di luar bank dan kas negara). Uang tunai ini disebut uang kartal (currency). Dalam artian sempit jumlah uang beredar disebut dengan narrow money (M) yang menjadi uang kartal (C) dan uang giral (demand deposit/D).
M1 = C + D
C = Currency (uang kartal)
D = Demand deposit (uang giral) yaitu saldo rekening koran/giro yang dimiliki oleh masyarakat pada bank-bank umum.
Pengertian lain mengenai uang beredar didasarkan atas anggapan bahwa sebenarnya bukan hanya uang tunai dan saldo giro (cek) saja yang bisa digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya (untuk tujuan transaksi, berjaga-jaga, spekulasi). Uang milik masyarakat yang disimpan di bank dalam bentuk deposito berjangka (time deposits) atau tabungan (misalnya Tabanas), juga mempunyai ciri yang mendekati uang tunai . Kedua simpanan ini dapat diubah (tanpa banyak kesulitan ) menjadi uang tunai untuk pembayaran transaksi tersebut. Jadi misalnya, deposito berjangka bisa diuangkan sewaktu-waktu meskipun dengan kehilangan bunga dan sipemilik harus pula datang sendiri ke bank untuk menguangkannya. Demikian pula tabungan bisa sewaktu-waktu diambil dengan cara yang sama.
Deposito berjangka dan tabungan sering disebut dengan istilah quasi money atau near money, yaitu sesuatu yang mendekati ciri dari uang. Menurut pengertian yang kedua ini, uang yang beredar adalah narrow money plus quasi money yaitu :
Ms = C + D + T
Dimana T adalah saldo deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada bank-bank. Konsep uang yang beredar ini disebut uang beredar dalam arti luas dan broad money.
Teori Jumlah Uang Beredar (JUB)
Dibandingkan dengan teori permintaan uang, teori penawaran uang merupakan hal yang baru berkembang dalam teori moneter. Teori-teori lama mengenai bagaimana uang beredar tercipta adalah sangat sederhana yang merupakan gambaran dari sistem uang beredar yang naik atau turun sesuai dengan tersedianya emas di masyarakat. Jumlah uang (emas) bisa turun apabila misalnya emas dikirim ke luar negeri untuk menutup defisit neraca pembayaran, yaitu untuk membayar barang-barang impor pada industri – industri yang menggunakan emas atau dalam proses produksinya menyedot emas yang ada. Sehingga mengurangi jumlah emas yang tersedia untuk alat pembayaran. Jumlah uang beredar bisa naik apabila ada surplus neraca pembayaran atau karena emas meningkat (misalnya ditemukan tambang emas baru) dan sebagainya. Dalam sistem moneter seperti itu uang beredar benar-benar ditentukan oleh proses pasar, sedangkan pemerintah dan bank sentral ataupun perbankan tidak mempunyai pengaruh terhadap besarnya uang beredar.
Dalam perekonomian modern pada umumnya jumlah uang beredar (JUB) bisa ditentukan secara langsung oleh penguasaan moneter. Tanpa mempersoalkan hubungan dengan uang inti yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Perilaku seperti ini berlandaskan pada analisa penentuan JUB secara mekanis, dimana JUB dihubungkan oleh rasio cadangan perbankan dan rasio antara uang kartal dan uang giral.
Dengan menganggap bahwa kedua perbandingan (rasio) tersebut konstan untuk suatu periode itu, maka penguasaan moneter bisa mengendalikan JUB secara langsung dengan menentukan cadangan perbankan. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu, JUB pada suatu periode merupakan hasil perilaku penguasaan moneter yang dalam hal ini adalah bank sentral, bukan bank-bank umum dan masyarakat (termasuk lembaga-lembaga keuangan bukan bank) secara bersama-sama.
Tindakan yang bisa dilakukan oleh bank sentral adalah mempengaruhi besarnya jumlah uang beredar melalui angka pengganda yang merupakan hasil bersih perilaku masyarakat dalam memegang uang kartal dan perilaku perbankan dalam menentukan cadangannya. Akan tetapi masih dipertanyakan apakah dengan kemampuannya mengendalikan uang inti, bank sentral juga mampu melakukan pengendalian terhadap JUB dengan ketentuan yang sama. Hal ini tergantung pada keeratan hubungan antara cadangan perbankan dengan JUB. Jika terdapat kaitan yang erat, maka penguasa moneter dapat merumuskan kebijaksanaannya dan mampu mencapai target JUB yang telah ditetapkan sebaliknya jika antara variabel-variabel tersebut tidak begitu erat, maka penguasa moneter tidak akan mampu mencapai target JUB yang tepat.
Dalam pengaturan kebijaksanaan moneter, bank sentral mengawasi perilaku baik itu tingkat bunga maupun JUB. Tetapi bank sentral tidak dapat secara simultan membuat kebijaksanaan pada JUB atau tingkat bunga, karena JUB ditentukan oleh tingkat bunga pasar dan ketentuan-ketentuan pasar yang lain yang mempengaruhi sistem perbankan. Singkatnya JUB ditentukan secara bersama oleh perilaku penguasa moneter, sistem perbankan dan masyarakat. Dan penentuan ketetapan JUB akan mempengaruhi perekonomian secara umum.
Pengertian Uang Quasi
Uang quasi merupakan jenis uang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam pembayarannya karena keterikatan waktu, yaitu deposito berjangka. Yang perkembangannya berdasarkan laporan Bank Indonesia terdiri dari :
a. Deposito berjangka dan sertifikat deposito dalam rupiah (merupakan uang yang kehilangan untuk sementara fungsinya sebagai alat tukar menukar).
b. Tabungan (yaitu uang yang tidak sepenuhnya likuid).
c. Rekening giro dalam valuta asing (aktiva yang dapat memenuhi fungsinya sebagai alat tukar tetapi diterima hanya di lingkungan terbatas).
d. Deposito berjangka dalam valuta asing (aktiva yang hanya dapat memenuhi fungsi uang sebagai penyimpan daya beli).
e. Tabungan dalam valuta asing (aktiva yang sifat likuidnya lebih rendah dari kartal dan uang giral).
Jadi uang quasi merupakan aktiva milik sektor swasta domestik yang hanya dapat dipakai memenuhi sebagian saja dari fungsi uang. Fungsi uang yang tidak terpenuhi adalah sebagai media pertukaran. Selain itu uang quasi dapat pula merupakan uang yang untuk sementara kehilangan sebagian dari fungsinya atau uang yang tidak seluruhnya likuid.
Permintaan Akan Uang
Teori permintaan uang sebenarnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori tentang alokasi sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas. Pada prinsipnya, dengan sumber ekonomi yang terbatas, manusia haruslah memilih alokasi yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya (prinsip ekonomi). Apabila mereka akan memperbanyak konsumsi misalnya, maka jumlah kekayaan (yang terdiri dari pendapatan dan kekayaan lainnya) akan semakin kecil. Demikian juga apabila mereka ingin memiliki salah satu bentuk kekayaan lebih banyak maka dengan sendirinya pemilihan bentuk kekayaan yang lain akan menjadi lebih sedikit. Mereka akan selalu mencari keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dari pemilikan sesuatu bentuk kekayaan. Kekayaan dapat diujudkan dalam bentuk uang, surar berharga, deposito atau barang. Pertanyaannya : mengapa seseorang mengujudkan kekayaan dalam bentuk uang, yang tidak menghasilkan pendapatan, sedangkan kalau diujudkan surat berharga atau deposito berjangka dapat menghasilkan bunga ? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang kemudian merupakan teori permintaan uang. Jadi, teori permintaan uang pada dasarnya ingin menjawab pertanyaan mengapa (alasan-alasan apa) yang menyebabkan seseorang mengujudkan kekayaan dalam bentuk kas.
Kenyataan bahwa seseorang / masyarakat menyimpan uang kas tentu ada manfaatnya, seperti misalnya dapat dipakai sebagai alat pembayar, sangat likuid serta aman, dalam arti tidak susut nilainya dalam bentuk uang (kalau berbentuk barang, apabila ingin cepat ditukarkan dengan uang seringkali nilai barang itu turun). Hal-hal inilah yang nantinya menjelaskan mengapa seseorang memegang uang kas.
2.4.1. Teori Permintaan Uang Klasik
Teori permintaan uang klasik, tercermin dalam teori kuantitas uang. Pada awal mulanya teori ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa seseorang / masyarakat menyimpan uang kas, tetapi lebih pada peranan daripada uang. Dengan sederhana Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang sebagai berikut :
MV = PT
dimana :
M = Jumlah uang beredar
V = Perputaran uang dari satu tangan ke tangan dalam satu periode
P = Harga barang
T = Volume barang yang diperdagangkan.
Beberapa versi teori ini adalah :
Pertama, dengan mengganti volume barang yang diperdagangkan (T) dengan output riil (O), sehingga formulasi teori kuantitas menjadi :
MV = PO = Y
di mana :
Y = PO = GNP nominal
V = Tingkat perputaran pendapatan (income velocity of money)
Dengan menggunakan anggapan bahwa ekonomi selalu dalam keadaan kesempatan kerja penuh/full employment (atas dasar hukum Say) maka besarnya T (dan juga dengan sendirinya O) tetap tidak berubah. Demikian juga V relatif tetap (V hanya berubah kalau terjadi perubahan kelembagaan, seperti misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi). Konsekuensi dari kedua anggapan ini, maka M hanyalah mempengaruhi T, dan pengaruhnya proporsional. Artinya, kalau M naik dua kali maka T juga akan naik dengan dua kali.
Kedua, versi yang dikemukakan oleh A. Marshaal dari Universitas Cambride dengan formulasi sebagai berikut :
M = kPO = kY
dimana :
k = 1/V
Secara matematis formulasi Marshall ini sama dengan formulasi Irving Fisher, namun implikasinya berbeda. Marshall memandang bahwa individu/masyarakat selalu menginginkan sebagian (proporsi) tertentu dari pendapatannya (Y) diujudkan dalam bentuk uang kas (yang dinyatakan dengan k). Sehingga kY merupakan keinginan individu / masyarakat dapat diformulasikan sebagai :
Md = kPO = kY
Md = adalah permintaan uang kas
Dengan formulasi tersebut teori Marshall merupakan awal dari teori permintaan akan uang. Teori ini masih sangat sederhana, terkandung di dalamnya beberapa kelemahan (yaitu kemudian atas dasar kelemahan-kelemahan ini lalu disempurnakan oleh teori berikutnya). Kelemahan adalah bahwa dalam kenyataannya V tidaklah tetap. Baik di negara maju (Amerika Serikat) maupun negara berkembang, V cenderung tidak konstan.
2.4.2. Teori Permintaan Uang Keynes
Keynes, dalam teorinya tentang permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi, berjaga-jaga serta spekulasi. Jadi dia juga mengakui adanya motif transaksi, hanya saja yang lebih penting (dalam arti pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi) adalah motif spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga.
Individu atau perusahaan memerlukan uang kas untuk membelanjai transaksi karena mereka pikir bahwa pengeluaran ini sering terjadi lebih dahulu dari uang masuk (dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu dari uang masuk (dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu, sehingga sangat diperlukan adanya uang kas di tangan. Meskipun seandainya pengeluaran dan penerimaan itu dapat diperkirakan dengan tepat, namun uang kas di tangan tetap diperlukan. Sebab, penerimaan yang diharapkan mungkin tidak jadi diterima, atau pengeluaran untuk transaksi yang sangat penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang sangat penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang memberikan keuntungan besar sangat menarik untuk dilakukan sebelum penerimaan datang dan sebagainya.
Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan. Makin tinggi akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dari penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan).
Dari sini jelas bahwa Keynes mengikuti jejak Kaum klasik (paling tidak Marshall) bahwa permintaan uang untuk transaksi tergantung dari pendapatan. Namun Keynes berbeda dengan Kaum klasik dalam hal penekanan pada motif spekulasi dan peranan tingkat bunga dalam menentukan permintaan uang untuk spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi.
Keynes juga menyadari bahwa masyarakat menghendaki jumlah uang kas yang melebihi untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan kekayaannya dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang disimpan ini memenuhi fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store-of-value). Dalam istilah yang lebih modern sering disebut : permintaan uang untuk penimbun kekayaan (asset demand for money).
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang kas untuk tujuan/motif spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang kas (opportunity cost of holding money) makin kecil. Sebaliknya semakin rendah tingkat bunga semakin besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua, hipotesis Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang baru-baru terjadi. Tingkat bunga normal artinya suatu tingkat bunga yang diharapkan akan kembali ke tingkat bunga yang diharapkan akan kembali ke tingkat bunga normal ini manakala terjadi perubahan. Jadi, apabila tingkat bunga kenyataannya berada di atas tingkat normal ini, maka masyarakat akan mengharapkan tingkat bunga tidak akan turun/kembali ke tingkat bunga normal tersebut, sehingga harga surat berharga diperkirakan akan naik (kemungkinan adanya "capital losses" lebih kecil daripada "capital gain’). Akibatnya masyarakat menghendaki / ingin membeli surat berharga lebih banyak dan dengan demikian permintaan uang kas makin kecil. Sebaliknya apabila tingkat bunga kenyataannya di bawah normal, masyarakat akan memperkirakan tingkat bunga akan naik kembali pada tingkat bunga normal tersebut. Harga surat berharga diperkirakan turun (sebab tingkat bunga naik) sehingga mereka akan menjual surat berharga dan dengan demikian keinginan memegang uang kas naik.
Pada tingkat bunga yang rendah permintaan akan uang menjadi elastis sempurna (liquidity trap). Liquidity trap menggambarkan bahwa pada tingkat bunga yang begitu rendah (menurut ukuran pengalaman-pengalaman masa lalu), elastisitas permintaan uang kas menjadi tak terhingga besarnya. Masyarakat tidak akan memegang surat berharga pada tingkat bunga ini kerena mereka memperkirakan bahwa keuntungan/pendapatan dari memegang surat berharga pada tingkat lebih rendah daripada kerugian yang timbul karena kenaikan tingkat bunga di masa datang. Masyarakat memperkirakan bahwa di kemudian hari tingkat bunga akan naik sebab tingkat bunga sudah begitu rendah, tidak mungkin turun lagi. Dengan kata lain setiap orang akan mengharap harga surat berharga akan turun dimasa datang seringga tidak ada seorangpun yang mau membeli surat berharga sekarang, semuanya menghendaki uang kas. Pada tingkat bunga tersebut permintaan uang menjadi elastis sempurna. Masyarakat tidak ada yang mau memegang surat berharga pada tingkat bunga tersebut sebab mereka memperkirakan bahwa pendapatan yang diperoleh dai surat berharga akan lebih besar dari kerugian modal (capital losses) sebagai akibat kenaikan tingkat bunga di masa datang. Inilah yang disebut "liquidity/Keynesian trap".
Implikasi dari adanya hipotesis liquidity trap ini adalah bahwa tingkat bunga tersebut tidak bisa turun lagi, padahal mungkin tingkat bunga ini dirasa terlalu tinggi untuk menunjang tingkat kesempatan kerja penuh (full employment). Dalam keadaan demikian output dan kesempatan kerja akan "tetap" berada di bawah kesempatan kerja penuh. Lebih lanjut kebijakan moneter yang berupa penambahan jumlah uang beredar tidak dapat menurunkan tingkat bunga (r1) sehingga dengan demikian investasi tidak bertambah, akibatnya output tetap tidak berubah.
Pengertian Tingkat Suku Bunga
Dalam teori makro Keynes berpendapat tingkat bunga adalah Biaya penggunaan dana yang dinyatakan dalam prosentase persatuan waktu. Dalam teori ini disebutkan bahwa keputusan untuk melakukan Investasi atau tidak melakukan Investasi tergantung perbandingan atau prosentase besarnya keuntungan yang diperoleh. Hal ini sering disebut Marginal Efeciency of Capital (MEC).
Teori Tingkat Bunga Berdasarkan Jangka Waktu
Menurut Budiono, 1992. Teori tingkat suku bunga ada 3 macam yaitu :
a. Liquiditity Preference.
Tingkat suku bunga akan selalu naik, dengan semakin lama kita meminjam atau meminjami. Dalam hal ini seseorang ingin selalu likuid. Hal inilah yang mendorong seseorang atau masyarakat untuk menanamkan sebagian pendapatannya kedalam bentuk tabungan atau deposito berjangka. Teori ini didasari dari J.M. Keyned.
b. The Prefered Of Habitat Market Theory Atau Teori Kebiasaan Pasar.
Bahwa naik turunnya tingkat suku bunga ditentukan oleh kebiasaan Pasar sehingga masing-masing jangka waktu Simpanan mempunyai pasar tersendiri. Atau dengan kata lain tingkat bunga tingkat bunga lebih dipengaruhi oleh Demand dan Supply dari masing-masing jangka waktu. Teori ini didasari oleh Teori JM Keynes.
c. Rational Expectation Atau Berdasarkan Harapan Masa Depan Yang Rasional.
Teori ini di ilhami oleh teori klasik, seseorang harus dapat memprediksikan atau meramalkan arah / keadaan masa depan yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak pasti.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Bunga
Dalam laporan tahunan Bank Indonesia 1996 – 2000 beberapa tahun terakhir terdapat sorotan yang cukup tajam terhadap perkembangan dari tingkat suku bunga dalam negeri cukup tinggi. Hal ini dianggap wajar bila dilihat dari kepentingan pengusaha yang dalam melaksanakan kegiatannya pada umumnya menggunakan dana yang berasal dari kredit perbankan. Namun disisi lain para penabung dan deposan berkepentingan dengan suku bunga simpanan yang cukup menarik. Selain untuk mempertahankan daya beli dari uang yang disimpan, suku bunga menurut kacamata penabung dan deposan harus cukup menarik bila dibandingkan dengan alternatif penanaman dana lainnya.
Dengan demikian, dalam sistem perekonomian di Indonesia sejak bulan juni 1983. Sumber dana yang yang terjadi pada dasarnya merupakan repleksi dari kekuatan permintaan dan penawaran dana dari masyarakat. Selain itu perlu diketamukakan bahwa Indonesia masih mengalami kesenjangan antara ketersediaan tabungan masyarakat dan kebutuhan investasi (Investment Saving Gap) yang bersifat struktural yang tercermin dari perkembangan transaksi berjalan yang umumnya mengalami defisit. Untuk menutup defisit transaksi berjalan tersebut, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir Indonesia harus hutang untuk modal tambahan dana dari luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, dana merupakan komoditas yang cukup langka dan harganya atau suku bunga sebenarnya refleksi dari kelangkaan dana (Scarcity of Capital) tersebut.
Perkembangan dan tingkat suku bunga dalam negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari luar negeri., seperti tingkat suku bunga internasional maupun yang berasal dari dalam negeri, sebagai ekspetasi inflasi, kondisi perbankan, serta langkah dan tindakan otoritas moneter. Bagi otoritas moneter, perkembangan dan tingkat suku bunga juga merupakan salah satu indikator moneter yang sangat penting. Bank Indonesia selalu berupa ya agar suku bunga berada tingkat yang wajar. Disatu sisi perkembangan suku bunga harus merefleksikan faktor-faktor fundamental yang disebutkan terdahulu dan sisi lain suku bunga diupayakan dapat menunjang pencapaian sasaran-sasaran ekonomi makro yang ditetapkan pemerintah.
Pengertian Tingkat Kurs
Kurs adalah harga dalam negeri dari mata uang luar negeri. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa aktivitas perdagangan luar negeri Indonesia menggunakan Dollar Amerika sebagai alat pembayarannya. Penggunaan Dollar Amerika didasarkan atas alasan sebagai berikut :
Saat emas masih merupakan alat pembayaran utama bagi transaksi Internasional, sejalan dengan menanjaknya Amerika Serikat dalam perekonomian dunia setelah perang dunia pertama. Dollar Amerika menjadi alat pembayaran Internasional karena jumlah emas yang tersedia sebagai alat pembayaran tidak bisa lagi mengimbangi pertumbuhan perdagangan Internasional yang sangat pesat. Sejak saat mulai dicari pengganti emas yang mempunyai ciri-ciri yang mendekati emas yaitu :
a. Setiap negara percaya bahwa mata uang tersebut akan diterima oleh negar lain sebagai pembayaran transaksi internasional.
b. Nilai mata uang tersebut sangat stabil.
c. Sebetulnya ada mata uang negara lain yang tergolong hard currencies seperti franc Swiss, gulden belanda, Yen Jepang dan lain-lain yang dapat menjadi mata uang cadangan internasional yang dapat diterima sebagai alat pembayaran Interasional. Namun karena Voleme mata uang ini relatif kecil, maka peranan tidak semenonjol Dollar Amerika (Budiono, 1989).
Sistem Kurs
Sistem kurs valuta asing akan sangat tergantung dari sifat pasar. Dalam pasar bebas , kurs akan berubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran. Tingkat Kurs juga dapat dipengaruhi oleh kebijaksanaan Pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa Sistem Kurs :
a. Sistem Kurs Fleksibel.
Di dalam pasar bebas perubahan kurs dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan dan penawaran valuta asing berasal dari adanya transaksi autonomous debit dan kredit (ekspor dan import)yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : harga, pendapatan dan tingkat bunga. Segala sesuatu mempengaruhi ketiga faktor ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing dan akan mempengaruhi tingkat kurs. Selain ketiga faktor tersebut, ada pula faktor non ekonomis yang mempengaruhi perubahan kurs, yaitu :faktor politis psikologis seperti kepanikan didalam negeri yang mengakibatkan larinya dana ke luar negeri, sehingga kurs valuta asing akan naik.
Nilai positif dari penerapan sistem kurs yang berubah-ubah adalah :
1. Meningkatnya efisiensi alokasi faktor-faktor produksi. Kurs adalah harga yang dalam pasar bebas berperan mengatur alokasi faktor produksi secara efisien.
2. Mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran Internasional. Proses penyeimbangan cukup melalui perubahan kurs, tidak perlu menyediakan dana untuk menyeimbangkan
3. Nilai kurs lebih stabil karena pasar valuta asing adalah sangat kompetitif serta penawaran dan permintaan sangat elastis terhadap harga. Dengan demikian apabila terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, maka hanya diperlukan perubahan kurs yang sangat kecil.
Sedangkan dampak negatif dari diterapkannya sistem kurs yang berubah-ubah adalah :
1. Timbulnya kegiatan spekulasi. Kenaikan nilai suatu mata uang mengakibatkan para spekulan berharap bahwa nilai mata uang tersebut akan terus naik, pembelianpun naik terus. Demikian pula bila terjadi penurunan harga. Kesimpulannya, kegiatan spekulasi menyebabkan ketidakstabilan.
2. Adanya ketidakstabilan didalam lalulintas pembayaran Internasional sehingga dapat mengurangi volume perdagangan. Bagi negara yang sangat tergantung pada perdagangan Luar Negeri, perubahan kurs akan mempengaruhi harga didalam negeri.
b. Sistem Kurs yang Stabil.
Sistem Kurs yang berubah-ubah sering menimbulkan tindakan spekulatif sebagai akibat ketidaktentuan didalam kurs valuta asing. Karenanya banyak negara yang menerapkan kebijaksanaan untuk menstabilkan kurs.
Pada dasarnya kurs yang stabil dapat timbul secara :
1. Aktif yakni Pemerintah menyediakan dana untuk tujuan stabilisasi kurs (Stabilization Fund)
2. Pasif yakni dalam Negara yang menggunakan Standard Emas.
Segi positif dari diberlakukannya sistem kurs yang stabil adalah:
1. Nilai kurs lebih stabil sehingga dapat menjaga kestabilan Lalulintas pembayaran Internasional, sehingga dapat mencegah penurunan volume perdagangan.
2. Dapat mencegah tindakan spekulasi yang dilakukan para pedagang valuta asing.
Sedangkan segi negatif dari penerapan sistem kurs yang stabil yaitu bahwa pemerintah harus menyediakan dana yang sangat besar untuk melakukan stabilisasi kurs, terutama untuk mencegah kenaikan kurs valuta asing. Dalam hal ini biasanya pemerintah menghadapi keterbatasan penyediaan cadangan devisa valuta asing.
2.7. Review Penelitian Sebelumnya
Fan dan Liu (1971) Meneliti Tentang Permintaan Uang di Negara-Negara Berkembang di Asia, Model yang digunakan yaitu "Teori Kuantitas":
Y = bo +b1x1 + b2x2 + Ut
Dimana :
Y = jumlah uang beredar
x1 = tingkat pendapatan nasional
x2 = tingkat suku bunga jangka pendek
b1, b2 = koefisien regresi
bo = konstanta
Ut = variabel pengganggu
Hasil penelitian :
Penelitian dari Fan dan Liu yaitu bahwa permintaan akan uang dipengaruhi oleh pendapatan nasional dan tingkat suku bunga. Motif spekulan tidak berpengaruh terhadap permintaan uang,dan elastisitas pendapatan nasional lebih besar dari elastisitas bunga.
Nopirin (1998), meneliti tentang permintaan uang(tunai) di Indonesia dalam periode tahun 1975 s/d 1996, model yang dipakai:
Md = bo+ b1 Rt + b2 Yt + b3 Cd + Ut
Untuk lebih memperjelas dalam penelitian ini digunakan model " Log Natural" yang diformulasikan dalam persaan sebagai berikut:
Ln Md = b0 + b1 Ln Rt + b2 Ln Yt + b3 Ln Cd + Ut
Dimana :
Ln Md = permintaan uang
b0 = konstanta
b1, b2, b3 = konstanta regresi
Ln Rt = log tingkat suku bunga
Ln Yt = log pendapatan nasional
Ln Cd = log permintaan nilai mata uang
Ut = variabel pengganggu
Hasil penelitian:
Bahwa struktur permintaan mata uang tunai sebelum dan sesudah deregulasi di tahun 1998 mengalami perubahan. Dengan menggunakan tes Chow, permintaan uang di Indonesia tidak stabil.
2.8. Hipotesis
Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Pengaruh perubahan tingkat Pendapatan Riil terhadap perubahan Jumlah Uang Quasi adalah positif, b1 > 0.
2. Pengaruh Tingkat Kurs terhadap perkembangan Jumlah Uang Quasi adalah positif; b2 > 0.
3. Pengaruh Tingkat Suku Bunga internasional terhadap perkembangan Jumlah Uang Quasi adalah negatif; b3 <> 0
III. METODE PENELITIAN
Spesifikasi Variabel
Data yang akan digunakan dalam analisis adalah data Time Series triwulan dimulai pada periode 1995 triwulan I sampai dengan periode 2000 triwulan IV, variabel yang diperlukan dalam analisis adalah :
Uang Quasi Riil (QM): yaitu semua bentuk aset moneter yang likuid diluar kategori uang kartal dan uang giral setelah dibagi dengan inflasi. (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
b. Pendapatan Nasional (INC) : merupakan pendapatan riil (harga konstan, 1993=100) di Indonesia yang dihitung berdasarkan pendekatan output. . (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia)
c. Kurs (EX) : Tingkat Kurs Dollar terhadap Rupiah berdasarkan atas harga pasar pada akhir periode. (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
d. Suku Bunga Riil Internasional (SIBOR): mencerminkan Suku Bunga SIBOR setelah dikurangi dengan inflasi internasional (singapura). (Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
e. Suku Bunga Riil Domestik (DEP): merupakan suku bunga deposito 3 bulanan setelah dikurangi dengan inflasi domestik. .(Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia).
3.2. Model Analisis Data
Fungsi permintaan uang kuasi yang dikembangkan oleh John T. Boorman, (1976: p.321 ) adalah sebagai berikut:
QMt* = f (INCt, EXt ,SIBORt,RDEPt) ............................................. (3.1)
Keterangan:
QM t * : Jumlah Permintaan Uang Quasi yang diharapkan pada periode tertentu
INCt : Tingkat Pendapatan Riil (harga konstan) pada periode tertentu
SIBOR t : suku bunga internasional riil pada periode tertentu
RDEPt : suku bunga domestik riil pada periode tertentu
EXt : nilai tukar Dollar terhadap Rupiah pada periode tertentu
Berdasarkan fungsi di atas, maka Boorman (1976; p. 323) membuat persamaan permintaan uang kuasi sebagai berikut :
QMt* = a (INCt ) b1 (EXt)b2 E exp [b3 (SIBORt) b4(RDEP)] .................. (3.2)
Karena analisis regresi yang akan digunakan dalam analisis ini adalah regresi linier, maka persamaan (3.1) akan diterapkan proses linierisasi melalui transformasi dalam bentuk logaritma natural:
ln QMt* = ln a + b1 ln INCt + b2 ln EXt + b3 SIBORt + b4 RDEPt............... (3.3)
atau dapat disimbolkan sebagai berikut:
LQMt * = a + b1LINCt + b2LEXt + b3SIBORt – b4RDEPt ……………(3.3a)
Persamaan (3.3) menunjukkan bahwa variabel uang kuasi masih dalam bentuk variabel ekspektasi yang tidak dapat diobservasi (unobservable). Maka untuk mengatasinya dibutuhkan asumsi yang diadopsi dari model Koyck dengan menggunakan rasionalisasi Stock Adjusment atau Partial Adjustment Model (Gujarati, 2003: p.673-675).
Rasionalisasi stock adjusment atau Partial Adjustmrnt Model (PAM) didasarkan atas hipotesis sebagai berikut:
Ln Qmt – lnQmt-1 = l (lnQm*t – lnQmt-1) …………………………....... (3.4)
dimana l merupakan koefisien penyesuaian (coefficient of adjustment) dan memiliki besaran 0< l =" 1." 1 =" l" lqmt="la+lb1LINCt+lb2LEXt+lb3SIBORt+lb4DEPt+(1-l)LQMt-1" s="standard" r="k+1" w="recursive" ts="tidak" lqm="f(LINC," wt="å" st="å">
Komentar