FOKUS EKONOMI, AGUSTUS 2004

epemimpinan Transformasional dan Perilaku Kerja BAWAHAN: Sebuah Agenda Penelitian

Oleh : Fahrudin Js Pareke

Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan (review) terhadap konseptualisasi kepemimpinan transformasional dan mencoba membangun model yang tepat (fit) atas hubungan antara berbagai bentuk perilaku kerja, yaitu perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, organizational citizenship behavior (OCB) dan keinginan berpindah. Penelitian-penelitian empiris terdahulu di bidang ini menghasilkan kesimpulan bahwa suatu bentuk perilaku kerja merupakan hasil atau konsekuensi dan sekaligus juga akan mempengaruhi perilaku kerja lainnya. Namun penelitian-penelitian empiris di lapangan cenderung menggunakan konseptualisasi yang berbeda-beda dan belum terdapat penelitian yang secara komprehenship mengintegrasikan bentuk-bentuk perilaku kerja tersebut ke dalam satu model yang fit. Penelitian-penelitian yang ada cenderung memberikan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda atas hubungan-hubungan antara berbagai konstruk perilaku kerja tersebut. Tulisan ini akan mencoba menutupi kesenjangan konseptual di bidang ini, dengan menawarkan beberapa konsepsi dimensi perilaku pemimpin transformasional dan proposisi-proposisi yang siap diuji ke dalam sebuah investigasi empiris.

PENDAHULUAN

Kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan meningkatkan kinerja organisasi. Koseptualisasi teori-teori kepemimpinan, telah menarik perhatian dan diskusi panjang para peneliti dan para praktisi. Menurut Pawar dan Eastman (1997), penelitian tentang kepemimpinan lebih ditekankan pada kepemimpinan transformasional. Penelitian di bidang ini telah dilakukan baik dalam rangka mencari konsepsi yang tepat terhadap gaya kepemimpinan yang paling efektif (di antaranya: Bycio, et al., 1995; Kirkpatrict dan Locke, 1996; Bass dan Avolio, 1993; Podsakoff, et al., 1996; Sosik dan Godshalk, 2000; Connelly, et al., 2000; Gofee dan Jones, 2000), maupun prasyarat-prasyarat kontekstual yang harus diciptakan agar proses kepemimpinan tersebut efektif (di antaranya: Schneider, et al., 1996; Judge dan Joyce, 2000; Pawar dan Eastman, 1997).

Fokus Ekonomi – Vol.3 – No.2 – Agustus 2004

Namun demikian, penelitian-penelitian di bidang ini belum mampu merumuskan dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional yang dapat diterima dan dipergunakan secara luas di kalangan para peneliti lainnya. Sebagai contoh, Egri dan Herman (2000) menggunakan 9 faktor perilaku pemimpin transformasional; Podsakoff et al. (1996) menggunakan 6 faktor; Judge dan Bono (2000), dan Sosik dan Godshalk (2000) menggunakan 4 faktor; sedangkan Kirkpatrik dan Locke (1996), Bycio et al. (1995), dan Howell dan Avolio (1993) hanya menggunakan 3 faktor. Lebih jauh, konseptualisasi dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional masih bercampur dengan konstruk kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership). Egri dan Herman (2000), memasukkan dimensi kharisma sebagai salah satu bentuk perilaku pemimpin tranformasional, sedangkan Judge dan Bono (2000); Sosik dan Godshalk (2000); dan Podsakoff et al. (1996), berpendapat bahwa dimensi kharisma bukan merupakan salah satu dimensi kepemimpinan transformasional.

Kompleksitas dinamika kehidupan organisasi menghasilkan berbagai bentuk perilaku yang diperankan oleh para anggotanya. Perilaku-perilaku kerja karyawan telah menjadi subjek penelitian yang menarik minat para peneliti dan akademisi. Penelitian-penelitian di bidang ini dilakukan terutama untuk membangun konsepsi-konsepsi yang berguna sebagai masukan-masukan dalam menetapkan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan dalam bidang manajemen sumberdaya manusia (MSDM), maupun dalam rangka mengembangkan pokok-pokok pengetahuan. Perilaku kerja karyawan telah dikonseptualisasikan ke dalam berbagai konstruk dalam penelitian. Konstruk-konstruk perilaku kerja yang banyak mendapat perhatian para peneliti di antaranya adalah motivasi kerja (Leonard et al., 1999; Sullivan, 1989); kepuasan kerja (antara lain: Pareke et al., 2003; Clugston, 2000; Igalens dan Roussel, 1999; Begley dan Czajka, 1993; Vanderbeg dan Lance, 1992), komitmen organisasional (di antaranya: Pareke, 2003; Bozeman dan Parrewe, 2001; Meyer et al., 1998; Ko et al., 1997; Hackett et al., 1994; Dunham et al., 1994; Meyer et al., 1993; Shore dan Wayne, 1993; Meyer et al., 1990), organizational citizenship behavior (di antaranya: Bettencourt et al., 2001; Rioux dan Penner, 2001; Bachrach et al., 2001; Tepper et al., 2001; Podsakoff et al., 2000; Van Dyne et al., 1994; Konovsky dan Pugh, 1994), dan keinginan berpindah (di antaranya: McElroy et al., 2001; Lyness dan Judiesch, 2001; Lum et al., 1998; Good et al., 1996; Haveman, 1995).

Penelitian-penelitian tentang kepemimpinan transformasional telah menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional mampu membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja bawahannya. Baik motivasi kerja maupun kepuasan kerja karyawan sangat penting artinya bagi organisasi. Karenanya bidang ini sangat menarik perhatian para akademisi maupun para praktisi. Pemimpin tranformasional juga diyakini mampu membangun komitmen organisasional karyawan melalui upaya-upaya untuk memberdayakan dan mentransformasi para bawahannya. Demikian juga, penelitian-penelitian tentang kepemimpinan transformasional membuktikan (Podsakoff et al., 1996) bahwa perilaku pemimpin transformasional dapat mendorong para bawahannya untuk memerankan organizational citizenship behavior (OCB). OCB merupakan salah satu bentuk perilaku di luar peran kerja resmi karyawan yang sangat bermanfaat bagi keefektifan organisasi dalam jangka panjang.

Konstruk perilaku kerja karyawan lainnya yang juga dihubungkan dengan perilaku pemimpin transformasional adalah keinginan berpindah. Keinginan berpindah merupakan keinginan (intention) seseorang untuk secara aktual berpindah (turnover) dari organisasi tempat ia bergabung saat ini (Good et al., 1996). Motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan OCB merupakan penyebab-penyebab yang dapat mempertinggi atau menurunkan tingkat keinginan berpindah karyawan.

Namun hingga saat ini, penelitian-penelitian tentang kepemimpinan dan perilaku kerja karyawan masih belum mampu merumuskan hubungan-hubungan yang lebih komprehensip antara berbagai dimensi perilaku pemimpin transformasional dengan berbagai bentuk perilaku kerja bawahan, seperti yang disebutkan di muka. Kesenjangan lainnya yang belum terjembatani adalah penggunanaan data masih cenderung berfokus pada sektor tertentu, seperti tenaga penjualan dan kelompok manajemen. Kesimpulan-kesimpulan dan temuan-temuan yang dihasilkan tersebut, tidak bisa digeneralisasi secara langsung pada kelompok lainnya. Karenanya, pengembangan pokok-pokok pengetahuan memerlukan replikasi-replikasi pada sektor yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian di bidang ini memerlukan investigasi lebih lanjut, pertama, untuk melakukan konseptualisasi terhadap dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional, dan kedua, untuk mendapatkan model yang fit atas hubungan antara perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, OCB dan keinginan berpindah.

Konseptualisasi perlu dilakukan untuk mendapatkan ukuran-ukuran yang tepat terhadap konstruk perilaku-perilaku pemimpin transformasional. Penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda terhadap dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional. Konseptualisasi diharapkan mampu menyediakan instrumen yang valid dan reliabel, yang dapat dipergunakan pada penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.

Selanjutnya, juga diperlukan pemodelan dan pengujian lebih lanjut atas hubungan perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, OCB, dan keinginan berpindah. Mengingat hingga saat ini, sepanjang pengetahuan penulis, belum terdapat kajian konseptual yang mencoba model tentang peran-peran mediasi (mediating effects) dalam hubungan perilaku pemimpin transformasional dengan keinginan berpindah bawahannya. Penelitian-penelitian empiris di bidang ini juga masih belum berusaha untuk mendapatkan model yang tepat (fit) yang menghubungkan konstruk-konstruk tersebut.

KOSEPTUALISASI PERILAKU KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Para peneliti menggunakan konseptualisasi yang berbeda-beda terhadap konstruk perilaku pemimpin transformasional. Konsep kepemimpinan transformasional cenderung tumpang-tindih (over lapping) dengan konsep kepemimpinan kharismatik. Seperti yang diperlihatkan tabel 1, sebagian peneliti (Egri dan Herman, 2000; Kirkpatrik dan Locke, 1996; Bycio et al., 1995; dan Howell dan Avolio, 1993) berpendapat bahwa dimensi kharisma merupakan salah satu bentuk perilaku pemimpin tansformasional. Sedangkan beberapa peneliti lainnya (Judge dan Bono, 2000; Sosik dan Godshalk, 2000; dan Podsakoff et al., 1996) memandang bahwa kharisma terpisah dari ciri-ciri pemimpin transformasional.

Tabel 1, Konseptualisasi dimensi kepemimpinan transformasional dalam penelitian-penelitian terdahulu

No.

Penelitian

Dimensi Kepemimpinan Transformasional

1.

Judge dan Bono (2000)

  • Motivasi Inspirasional
  • Stimulasi Intelektual
  • Perhatian Individual
  • Pengaruh Ideal

2.

Sosik dan Godshalk (2000)

  • Motivasi Inspirasional
  • Stimulasi Intelektual
  • Perhatian Individual
  • Pengaruh Ideal

3.

Egri dan Herman (2000)

  • Inspirasi
  • Orientasi Pada Perubahan
  • Stimulasi Intelektual
  • Perhatian Individual
  • Membangun Kepercayaan
  • Kolaborasi
  • Pemberdayaan
  • Kharisma
  • Komunikasi Dua-arah

4.

Kirkpatrick dan Locke (1996)

  • Inspirasi
  • Stimulasi Intelektual
  • Kharisma

5.

Podsakoff, et al. (1996)

  • Mengartikulasikan Visi
  • Ekspektasi Kinerja yang Tinggi
  • Stimulasi Intelektual
  • Dukungan Individual
  • Memberikan Model yang tepat
  • Penerimaan Tujuan Kelompok

6.

Bycio, et al. (1995)

  • Stimulasi Intelektual
  • Perhatian Individual
  • Kharisma

7.

Howell dan Avolio (1993)

  • Stimulasi Intelektual
  • Perhatian Individual
  • Kharisma

Konseptualisasi yang cenderung kabur dan tumpang-tindih ini, disebabkan karena sebagian peneliti menggunakan instrument Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1995), sebagian lainnya menggunakan Transformasional Leadership Behavior Inventory (TLI) yang dikembangkan Podsakoff et al. (1990), dan beberapa peneliti lainnya menggunakan Eight Leadership Roles yang dikembangkan oleh Quinn (1988). Karena itu, untuk membangun konsepsi yang lebih baik, diperlukan upaya-upaya untuk mengintegrasikan, atau setidaknya melakukan kompilasi terhadap item-item pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengukur dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional.

PEMODELAN HUBUNGAN PERILAKU PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL

DENGAN PERILAKU KERJA BAWAHAN

Kepemimpinan Transformasional

Teori kepemimpinan transformasional, pertama kali dikemukakan oleh Bernard M. Bass, yang dibangun di atas gagasan-gagasan yang lebih awal yang dikemukakan oleh Burns (Yulk, 1994; Pawar dan Eastman, 1997). Burns (dalam Pawar dan Eastman, 1997), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses untuk mencapai tujuan kolektif, melalui penyatuan motif-motif yang saling menguntungkan yang dimiliki pemimpin dan bawahan dalam rangka mencapai perubahan yang diinginkan. Sementara Greenberg dan Baron (2000), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai suatu perilaku kepemimpinan yang dengannya seorang pemimpin menggunakan kharismanya untuk mentransformasi dan merevitalisasi organisasi.

Menurut Yulk (1994), formasi asli teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bernard M. Bass mencakup tiga komponen utama, yaitu kharisma, stimulasi intelektual, dan perhatian yang berorientasi individu. Kharisma didefinisikan sebagai suatu proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan cara membangkitkan emosi-emosi dan identifikasi yang kuat terhadap pemimpinnya. Simulasi intelektual merupakan proses di mana peran utama seorang pemimpin adalah untuk meningkatkan kesadaran para pengikutnya terhadap masalah-masalah yang ada di sekeliling mereka, dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah tersebut dari sudut pandang yang baru. Perhatian yang berorientasi individual, termasuk memberi dukungan, membesarkan hati, dan berbagi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada para pengikutnya. Jadi, teori kepemimpinan transformasional dicirikan dengan suatu kondisi di mana para pemimpin memotivasi para pengikutnya melalui: 1) membuat mereka sadar akan pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan; 2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau kelompok (tim) di atas kepentingan pribadi; dan 3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka pada tingkatan yang lebih tinggi.

Motivasi Kerja

Motivasi kerja didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perilaku kerja seseorang diberi energi (energized), diarahkan, dan dipertahankan di dalam kehidupan kerja dan organisasi (Steer dan Proter, dalam Leonard et al. [1999]). Penelitian-penelitian empiris di bidang ini lebih banyak berfokus pada sumber-sumber motivasi kerja (Leonard et al., 1999). Motivasi kerja seseorang dapat bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi internal), maupun karena faktor-faktor yang berasal dari luar (motivasi eksternal). Mujiasih dan Hadi (2003) menemukan bahwa perilaku pemimpin transformasional dapat mempertinggi motivasi seseorang untuk mengeluarkan usaha ekstra (extra-effort) untuk mencapai kinerja yang direncanakan. Hasil ini sejalan dengan konsepsi tentang kepemimpinan transformasional, yang berasumsi bahwa pemimpin transformasional berusaha untuk membangkitkan kebutuhan para bawahannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Judge dan Bono (2000) menemukan bahwa individu-individu yang mempersepsikan bahwa pemimpinnya memerankan perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional cenderung memiliki tingkat motivasi kerja yang lebih tinggi.

Proposisi 1: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi motivasi kerja bawahan.

Kepuasan Kerja

Penelitian-penelitian terdahulu tentang kepemimpinan transformational menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku pemimpin secara signifikan berhubungan dengan perilaku dan tanggapan para pengikut, seperti kepuasan karyawan, usaha-usaha untuk pelaporan diri, kinerja pelaksanaan tugas, dan kejelasan peran (Podsakoff et al., 1996). Judge dan Bono (2000) menemukan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional mempengaruhi kepuasan kerja dan kepuasan bawahan terhadap pemimpinnya. Individu-individu yang mempersepsikan bahwa pemimpinnya memerankan perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Judge dan Bono (2000) mengajukan penjelasan bahwa adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan perilaku-perilaku pemimpin transformasional ini disebabkan karena salah satu aspek kepuasan kerja adalah pengawasan (supervision). Pengawasan yang disediakan pemimpin melalui perhatian individual, dan motivasi inspirasional akan memampukan para bawahan untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.

Proposisi 2: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi kepuasan kerja bawahan.

Komitmen Organisasional

Konstruk kepemimpinan transformasional juga berpengaruh secara langsung terhadap kinerja organisasi melalui pengaruhnya pada anggota-anggota organisasi dalam rangka mendapatkan penerimaan, dukungan, komitmen dan keterlibatan mereka dalam perubahan organisasional melalui perilaku-perilaku kharisma, pengartikulasian visi dan penekanan perhatian secara individual. Senada dengan hasil penelitian empiris yang dilakukan Podsakoff et al. (1996), yang menyimpulkan bahwa untuk menumbuhkan komitmen para anggota organisasi terhadap perubahan, dapat dilakukan dengan menerapkan kepemimpinan transformasional, khususnya dengan perilaku-perilaku mengartikulasikan visi, menyediakan suatu model yang tepat, memupuk penerimaan tujuan-tujuan kelompok, dan perhatian individual. Keempat jenis perilaku pemimpin transformasional ini ditemukan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen karyawan. Demikian pula penelitian Judge dan Bono (2000) dan Bycio et al. (1995), menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku-perilaku pemimpin transformasional dengan komitmen organisasional.

Proposisi 3a: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi komitmen organisasional karyawan.

Kepuasan kerja yang dirasakan seseorang cenderung mempengaruhi tingkat komitmennya pada organisasi tempat ia bekerja. Namun demikian, masih terdapat perbedaan kesimpulan yang dihasilkan para peneliti tentang pengaruh kepuasan kerja terhadap komponen-komponen komitmen organisasional yang dikemukan Allen dan Meyer (1990). Clugtons (2000) menemukan bahwa kepuasan kerja secara positif mempengaruhi komitmen afektif, kontinuan, dan normatif. Akan tetapi Hackett et al, (1994) menemukan bahwa kepuasan kerja karyawan secara negatif mempengaruhi komitmen kontinuan, dan berhubungan secara positif dengan komitmen afektif dan normatif.

Proposisi 3b: Kepuasan kerja secara positif mempengaruhi komitmen organisasional karyawan.

Organizational Citizenship Behavior

Penelitian Podsakoff et al. (1996), menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku pemimpin transformasional secara signifikan berhubungan dengan perilaku dan tanggapan para pengikut untuk memerankan perilaku-perilaku OCB. Konseptualisasi yang dilakukan Van Dyne et al. (1994), menghasilkan tiga dimensi konstruk OCB, yaitu loyalitas, kepatuhan dan partisipasi. Secara konseptual, perilaku-perilaku pemimpin transformasional berhubungan erat dengan tingkat loyalitas, kepatuhan dan partisipasi bawahannya. Sebagai contoh, pemimpin yang memberikan perhatian pribadi kepada para pengikut untuk memajukan pengembangan dan prestasi mereka akan cenderung mendorong para bawahan untuk terlibat secara aktif dan bertanggung-jawab dalam proses-proses organisasional. Pemimpin yang memampukan para pengikut agar memikirkan permasalahan-permasalahan lama dengan cara-cara yang baru, akan mendapatkan loyalitas dan kepatuhan bawahan. Demikian pula, pemimpin yang memperagakan model perilaku-perilaku peran bagi para pengikut melalui contoh prestasi-prestasi, karakter, dan/atau perilaku pribadi, akan mendorong karyawan untuk patuh dan loyal kepadanya.

Proposisi 4a: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan.

Menurut Podsakoff et al. (2000), kepuasan kerja karyawan merupakan determinan penting yang mendorong seseorang memperlihatkan perilaku OCB, di samping komitmen organisasional. Kepuasan kerja adalah segala sesuatu yang menyenangkan atau sisi hasil emosional positif bawahan terhadap penilaian pekerjaan atau pengalaman kerjanya (Locke, dalam Vanderberg dan Lance [1992]). Kepuasan kerja seseorang ditentukan oleh perbedaan antara semua yang diharapkan dengan semua yang dirasakan dari pekerjaannya atau semua yang diterimanya secara aktual. Individu-individu yang mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya, akan cenderung memaknai pekerjaan dan tugas-tugas yang ia laksanakan dengan penuh tanggung-jawab dan dedikasi. Sehingga hampir tidak ada perdebatan yang runcing di kalangan para peneliti tentang pengaruh kepuasan kerja terhadap OCB.

Proposisi 4b: Kepuasan Kerja secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan.

Bukti-bukti empiris tentang pengaruh komitmen organisasional terhadap OCB telah banyak disajikan oleh para peneliti (di antaranya Shore dan Wayne, 1993; O’Reilly dan Chatman, 1986; MacKenzie et al., 1998; Bolon, 1997). Namun demikian, konseptualisasi komitmen organisasional yang digunakan umumnya masih bersifat unidimensional, yang memandang bahwa komitmen seseorang kepada organisasi tempat ia bekerja sebagai satu dimensi saja. Instrumen yang digunakan adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang dikembangkan oleh Porter et al. (dalam Bozeman dan Perrewe, 2001). Padahal, sebagai mana yang ditegaskan Dunham et al. (1994) dan Bozeman dan Perrewe (2001), penggunaan konstruk komitmen oragnisasional yang multi dimensional diperlukan untuk membangun definisi komitmen organisional yang bersifat integratif.

Proposisi 4c: Komitmen Organisasional secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan.

Keinginan Berpindah

Bycio et al. (1995) menemukan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional berhubungan secara negatif dengan keinginan karyawan untuk meninggalkan profesi dan pekerjaannya saat ini. Kepemimpinan transformasional juga berhubungan secara negatif dengan keinginan berpindah karyawan melalui perilaku pengaruh yang ideal. Pemimpin yang memperagakan model perilaku-perilaku peran bagi para pengikut melalui contoh prestasi-prestasi, karakter, dan/atau perilaku pribadi, akan cenderung menurunkan tingkat keinginan berpindah karyawan.

Proposisi 5a: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan.

Seorang karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan cenderung memiliki keinginan berpindah yang relatif rendah. Hal ini disebabkan karena motivasi yang diperlihatkan mengisyaratkan bahwa seorang karyawan berusaha untuk mencapai kinerja yang lebih baik, karir yang lebih tinggi, penghargaan dan pengakuan atas hasil-hasil kerjanya. Pada saat yang sama, individu tersebut mengharapkan kinerja, karir maupun penghargaan dan pengakuan yang ia dapatkan dari organisasi menjadikannya betah dan merasa puas dengan pekerjaan dan kehidupan organisasinya.

Proposisi 5b: Motivasi kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan

.

Penelitian tentang hubungan kepuasan kerja dan keinginan berpindah di kalangan karyawan juga cenderung menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Clugston (2000) dan Hackett et al. (1994) menyimpulkan bahwa kepuasan kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah. Namun Good et al. (1996) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Sedangkan Lum et al. (1998) menemukan bahwa kepuasan kerja secara positif berhubungan dengan keinginan karyawan untuk berpindah dari organisasinya saat ini.

Proposisi 5c: Kepuasan Kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan.

Penelitian-penelitian empiris yang menghubungkan komitmen organisasional dan keinginan berpindah juga cenderung memberikan kesimpulan yang berbeda-beda. Meyer et al. (1993) menemukan bahwa komitmen afektif dan normatif mempengaruhi keinginan berpindah, namun mereka tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara komitmen kontinuan dan keinginan berpindah. Sedangkan Hackett et al. (1994) menyimpulkan bahwa ketiga komponen komitmen organisasional, baik komitmen afektif, kontinuan dan normatif, secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah.

Proposisi 5d: Komitmen organisasional secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan.

OCB merupakan salah satu bentuk perilaku extra role (Morrison dan Phielps, 1999), perilaku yang tidak termasuk sebagai salah satu peran kerja resmi seseorang. Karenanya OCB merupakan peran yang dilakukan secara sukarela. Individu-individu yang memperlihatkan perilaku OCB cenderung memiliki tingkat keinginan berpindah yang lebih rendah dibandingkan individu-individu yang tidak memperlihatkan perilaku OCB. Individu-individu yang menunjukkan tingkat partisipasi, loyalitas dan kepatuhan dalam proses-proses organisasional akan merasakan adanya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi tempat ia bekerja, dan karenanya, akan memperlihatkan tingkat keinginan berpindah yang relatif rendah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi