Arsitektur Perbankan Indonesiasebagai Upaya Memperkokoh Fundamental Perbankan Nasional

FOKUS EKONOMI, APRIL 2004

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIASEBAGAI UPAYA

MEMPERKOKOH FUNDAMENTAL PERBANKAN NASIONAL

Oleh : Mulyo Budi Setiawan

Dosen STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK

Krisis Ekonomi tahun 1997 menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh yanag didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya. Oleh karena itu sudah mendesak untuk dilakukan pembenahan pada fundamental perbankan nasional.

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 2004 ini Bank Indonesia telah selesai menyusun API (Arsitektur Perbankan Indonesia) dan mulai diimplementasikan. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arahan, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.

API juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program restrukturisasi perbankan nasional maupun white paper penyehatan perbankan pasca IMF. Di dalam API arah kebijakan pengembangan industri perbankan dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Untuk mencapai visi tersebut diperlukan kerja keras dan berbagai program dan kegiatan pendukung. Oleh sebab itu tahap-tahap pencapaiannya harus dilakukan secara bertahap dan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Program kegiatan untuk mencapai visi dimaksud dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh, terdiri dari 19 inisiatif kegiatan yang kemudian dikelompokkan menjadi enam pilar API. Keenam pilar API tersebut sekaligus ditetapkan sebagai sasaran yang ingin dicapai , yaitu:

1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.

3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.

4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.

5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.

6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.

II. PEMBAHASAN

Dari 6 pilar yang terdapat dalam API, kemudian disusun program dan inisiatif-inisiatif kegiatan yang akan dilakukan beserta periode pelaksanaannya sebagai berikut:

    1. Program Penguatan Struktur Perbankan Nasional.

Struktur perbankan yang sehat merupakan sasaran utama bagi industri perbankan di Negara mana saja termasuk di Indonesia sehingga masalah struktur tersebut menjadi PIlar pertama dalam API. Dengan adanya struktur perbankan yang sehat, diharapkan kita dapat memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat.

Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bankmengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap.

Upaya peningkatan modal bank-bank tersebut dapat dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. . Untuk mencapai sasaran ini, inisiatif-inisiatif kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

2.1.1. Memperkuat permodalan Bank

Kegiatan (Pilar I) Periode Pelaksanaan

a. Meningkatkan persyaratan modal 2004-2010

minimum bagi bank umum (termasuk

BPD) menjadi Rp100 miliar

b. Mempertahankan pesyaratan modal Rp3 2004-2010

triliun untuk pendirian bank baru

sampai dengan 1 Januari 2011

Modal minimum Rp100 miliar tersebut merupakan kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal dibawah Rp100 miliar sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan kredit yang tinggi karena modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala usaha maupun skill level yang dimiliki serta mengcover risko-risiko yang dihadapi. Modal bank merupakan "engine" dari pada kegiatan bank, kalau kapasitas mesinnya terbatas maka sulit bagi bank tersebut untuk meningkatkan kapasitas kegiatan usahanya khususnya dalam penyaluran kredit. Diharapkan pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi telah memiliki modal minimum sebesar Rp100 miliar.

2.1.2. Memperkuat daya saing BPR.

Disamping dengan memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan meningkatkan peran serta bank perkreditan rakyat (BPR) dalam peta perbankan nasional. Struktur perbankan kita perlu didukung oleh BPR yang kuat dan kokoh sehingga BPR tersebut mampu melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Untuk itu daya saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan seperti BRI Unit Desa. Selain itu, untuk memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR dengan melakukan kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersama-sama diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan overhead cost-nya.

Inisiatif kegiatan dan periode waktu pelaksanaannya sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar I) Periode Pelaksanaan

Memperkuat daya saing BPR

a. Meningkatkan linkage program antara 2004

bank umum dengan BPR

b. Mempermudah pembukaan kantor 2004

cabang BPR

c. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa 2004-2005

bersama untuk BPR

2.1.3. Meningkatkan akses kredit.

a. Memfasilitasi pembentukan skim 2004-2006

penjaminan kredit

b. Mendorong penyaluran kredit untuk 2004-2006

sektor usaha tertentu

Ada beberapa cara pencapaian yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan struktur perbankan nasional, diantaranya melalui:

a. Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru;

b. Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru;

c. Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal;

d. Penerbitan subordinated loan

Dengan demikian dalam waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya:

  • 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan Kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun;
  • 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun;

  • 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing Bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun;

  • Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.

Secara keseluruhan, struktur perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan diharapkan akan terbentuk sebagaimana digambarkan sebagai berikut:

Permodalan Rp. Triliun

Bank dengan focus

Bank Nasional

Bank Internasional

Bank dengan

Kegiatan usaha terbatas

BPR

lainnya

Korporasi

Ritel

BPD

0,1

10

50

Sumber: Bank Indonesia, Arsitektur Perbankan Indonesia, 2004

    1. Program Peningkatan Kualitas pengaturan perbankan.

Struktur perbankan yang sehat sulit untuk diwujudkan apabila tidak disertai dengan sistem pengaturan yang efektif yang diakomodir sebagai Pilar Kedua di dalam API. Guna membangun industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada system pengaturan perbankan yang telah ada. Untuk itu Bank Indonesia akan memperbaiki proses penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu memperhatikan kemampuan stakeholders.

Inisiatif kegiatan dan periode pelaksanaan sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar II) Periode Pelaksanaan

2.2.1. Memformalkan proses sindikasi dalam

membuat kebijakan perbankan

a. Melibatkan pihak III dalam setiap 2004

pembuatan kebijakan perbankan

b. Membentuk panel ahli perbankan 2004

c. Memfasilitasi pembentukan lembaga riset 2004-2005

perbankan di daerah maupun pusat

2.2.2. Implementasi secara bertahap 25 Basel 2004-2013

Core Principles for Effective Banking

Supervision

Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah memiliki standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional akan semakin meningkat.

    1. Program Peningkatan Fungsi Pengawasan.

Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan pengawasan bank yang independen dan efektif seperti yang tertuang di dalam Pilar Ketiga API. Pengawasan yang independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka panjang sebagai jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya seperti misalnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan reksadana sehingga sehingga diperlukan pengawasan yang lebih komleks. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Pembenahan ke dalam yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia dalam bentuk reorganisasi struktur pengawasan bank diperlukan untuk memenuhi tuntutan adanya dedicated team yang akan melaksanakan fungsi pengawasan yang berbasis risiko. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah

dibuat oleh Bank Indonesia.

Inisiatif kegiatan dan periode pelaksanaan sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar III) Periode Pelaksanaan

2.3.1. Meningkatkan koordinasi antar

Lembaga Pengawas

a. Melakukan koordinasi dan kerjasama secara 2004

reguler

2.3.2. Melakukan konsolidasi sektor perbankan

Bank Indonesia

a. Mengkonsolidasi fungsi pengawasan dan 2004-2005

pemeriksaan

b. Mereorganisasi sektor perbankan Bank 2004-2005

Indonesia

c. Membentuk tim enforcement 2004-2005

d. Membentuk tim khusus pemeriksa spesialis 2004-2005

2.3.3. Meningkatkan kompetensi pemeriksa bank

a. Melakukan sertifikasi pemeriksa bank 2004-2005

b. Melakukan attachment pemeriksa di 2004-2005

lembaga pengawas internasional

2.3.4. Mengembangkan sistem pengawasan berbasis

risiko.

a. Mendisain risk-based model untuk 2004-2005

pengawasan

2.3.5. Meningkatkan efektivitas enforcement

a. Menyempurnakan proses investigasi

kejahatan perbankan 2004-2005

b. Meningkatkan transparansi pengawasan

dan enforcement 2004-2005

c. Membentuk internal ombudsman untuk

permasalahan pengawasan 2004-2005

d. Meningkatkan perlindungan hukum bagi

pengawas bank 2004

    1. Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Operasional Perbankan.

Terciptanya industri perbankan yang kuat merupakan cita-cita kita semua dan untuk mewujudkannya diperlukan peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan. Masalah tersebut terkait sekali dengan Pilar Keempat API yang menyangkut berbagai program untuk menciptakan industri perbankan yang kuat. Peningkatan kualitas manajemen bank diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance dari manajemen bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) dapat diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya peningkatan kualitas manajemen bank juga diperlukan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya operational risk yang pada akhir-akhir ini terjadi pada kasus fraud di Bank BNI dan BRI. Risiko operasional sangat mudah terjadi pada sistem, prosedur maupun sumber daya manusia apabila manajemen bank tidak memiliki kualitas manajemen yang baik. Untuk itu, API merekomendasikan risk manager yang ada pada bank-bank untuk disertifikasi sehingga semua risk manager memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola risiko bank.

Disamping perlunya kualitas manajemen yang baik, fundamental perbankan kita juga perlu didukung dengan adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut mampu meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara bersama-sama (shared facilities) seperti misalnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-bank dapat mencapai economies of scales.

Inisiatif kegiatan dan periode pelaksanaan sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar IV) Periode Pelaksanaan

2.4.1. Meningkatkan Good Corporate Governance

a. Menetapkan standar minimum untuk GCG 2004-2005

b. Mendorong bank-bank untuk go public 2004-2005

2.4.2. Meningkatkan kualitas manajemen risiko

perbankan

a. Mempersyaratkan sertifikasi manajer risiko 2005

2.4.3. Meningkatkan kemampuan operasional bank.

a. Mendorong bank-bank untuk melakukan

sharing penggunaan fasilitas operasional

guna menekan biaya 2004-2005

b. Memfasilitasi kebutuhan pendidikan dalam

rangka peningkatan operasional bank 2004-2005

    1. Program Pengembangan Infrastruktur Perbankan.

Kehadiran infrastruktur pendukung perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat. Pentingnya infrastruktur pendukung bagi perbankan telah diakomodasi di dalam Pilar Kelima API. Dari sekian banyak infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh perbankan, yang merupakan prioritas adalah tersedianya credit bureau yang sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses pemberian kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini adalah tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga dengan adanya credit bureau tersebut bank memiliki kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut memungkinkan terjadi clearing informasi diantara semua lembaga keuangan bank termasuk BPR maupun bukan lembaga keuangan bukan serta perusahaan-perusahaan ritel sehingga seseorang yang pernah memiliki kredit macet di perusahaan leasing akan sulit memperoleh kredit dari suatu bank. Konsep credit bureau yang telah dimiliki oleh negara-negara maju bahkan telah memasukkan tunggakan rekening listrik dan rekening telpon ke dalam sistem informasi credit bureau, sehingga seseorang yang pernah menunggak pembayaran listrik akan mengalami kesulitan membuka rekening di bank kecuali yang bersangkutan harus melunasi utangnya terlebih dahulu.

Inisiatif kegiatan dan periode pelaksanaan sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar V) Periode Pelaksanaan

2.5.1. Mengembangkan Credit Bureau

a. Melakukan inisiatif pembentukan credit

bureau

2004-2005

2.5.2. Mengoptimalkan penggunaan credit rating

agencies.

a. Mempersyaratkan rating bagi obligasi yang

diterbitkan oleh bank 2004-2005

    1. Program Peningkatan Perlindungan Nasabah.

Perlindungan konsumen perbankan merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional. Untuk itulah masalah perlindungan dan pemberdayaan konsumen tersebut mendapatkan perhatian khusus di dalam Pilar Keenam API. Dengan mengangkat masalah perlindungan konsumen tersebut ke dalam API, hal ini menunjukkan besarnya komitmen Bank Indonesia dan perbankan untuk menempatkan konsumen jasa perbankan memiliki posisi yang sejajar dengan bank-bank. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi informasi produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas. Dari beberapa program tersebut, pendirian ombudsman untk konsumen perbankan merupakan suatu hal baru bagi kita karena saat ini dirasakan belum ada lembaga khusus yang menangani perselisihan antara bank dengan konsumen bank seperti halnya di beberapa negara lain

Inisiatif kegiatan dan periode pelaksanaan sebagai berikut:

Kegiatan (Pilar VI) Periode Pelaksanaan

2.6.1. Menyusun standar mekanisme pengaduan

nasabah

  • Menetapkan persyaratan minimum

mekanisme pengaduan konsumen 2004-2005

2.6.2. Membentuk lembaga mediasi independen

  • Memfasilitasi pendirian lembaga mediasi

perbankan 2004-2005

2.6.3. Menyusun transparansi informasi produk

  • Memfasilitasi penyusunan standar

minimum transparansi informasi produk bank 2004-2005

2.6.4. Mempromosikan edukasi untuk konsumen

  • Mendorong bank-bank untuk melakukan

edukasi kepada konsumen mengenai produk-

produk finansial. 2004

III. KAJIAN PETA PERBANKAN NASIONAL

Salah satu dari enam pilar dalam API yang teramat penting adalah pilar pertama tentang penguatan struktur perbankan nasional. Disinilah, bank-bank akan dikotak-kotakkan berdasarkan modalnya. Jadi, dalam jangka pendek, bank-bank hanya akan menimang-nimang dengan pilihannya (dalam mengelola bank). Apakah akan menjadi bank kelas internasional, bank kelas nasional, bank dengan pasar khusus ataupun bank dengan kegiatan usaha terbatas. Para pemilik bank diberi kesempatan selama tujuh tahun untuk mencukupi modal banknya, sesuai dengan arah pengembangan banknya.

Dari 138 bank, ternyata tidak ada satupun yang masuk kelas internasional (modal di atas 50 triliun rupiah). Untuk kelas nasional saja (Rp 10 triliun – Rp 50 triliun) hanya ada dua bank, yaitu Bank Mandiri dan Bank Central Asia (BCA). Kebanyakan bank kita berstatus bank dengan kegiatan usaha terfokus pada segmen tertentu (bank spesialis), yaitu mereka yang bermodal Rp 100 miliar sampai Rp 10 triliun. Jumlahnya mencapai 84 bank. Sedangkan, sisanya, 52 bank bersama 9.095 BPR, harus berjuang keras bila tak mau terdegradasi ke zona bank dengan kegiatan terbatas.

Dengan adanya API, bank-bank akan melakukan konsolidasi: apakah dengan mempertimbangkan penambahan modal lewat pemegang saham baru maupun investor, atau merger dengan beberapa bank.. Juga, penerbitan saham baru atau penerbitan subordinasi loan. Untuk itu, dalam 10 tahun sampai dengan 15 tahun ke depan akan terdapat dua sampai 3 bank yang mengarah kekelas internasional. Sedangkan, jumlah bank dengan kelas nasional tiga hingga lima bank dengan kekuatan modal di atas Rp 10 trilun sampai RP 50 triliun.

Sementara, BI memperkirakan, dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun akan tersisa 30 sampai dengan 50 bank yang masuk kelompok bank spesialis dengan modal Rp 100 miliar sampai dengan Rp 10 triliun. Artinya, hanya akan ada sekitar 35 hingga 58 bank yang bergerak di pasar bank umum. Sisanya, 80 bank, akan terlempar ke kelas bank yang dibatasi bisnisnya.

  • Struktur Perbankan Indonesia

  1. BANK INTERNASIONAL -
  2. BANK NASIONAL 2
  3. BANK DENGAN KEGIATAN USAHA TERFOKUS 84

PADA SEGMEN USAHA TERTENTU

  1. BANK DENGAN KEGIATAN USAHA TERBATAS

    1. BANK UMUM 52

    2. BPR 9.095

TOTAL 9.233

Keterangan:

  • Jumlah bank per September 2003, kecuali BPR per Juni 2003

Sumber : Bank Indonesia

IV. KAJIAN KOMPARASI KEBIJAKAN PERBANKAN

Digulirkannya API pada tahun 2004 ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat fundamental perbankan Indonesia, yang mana dengan adanya krisis ekonomi yang turut menghantam sektor perbankan berpengaruh terhadap tatanan perbankan. Tatanan perbankan yang telah dibangun dengan berbagai kebijakan di sektor moneter perbankan dirasa perlu untuk dibenahi kembali oleh otoritas moneter. Dengan melongok ke belakang pada beberapa kebijakan perbankan, kita coba untuk melakukan komparasi dengan digulirkannya Arsitektur Perbankan Indonesia ini.

  1. Paket 27 Oktober 1988

Menyangkut deregulasi di bidang keuangan, moneter dan perbankan. Berisikan ketentuan-ketentuan mengenai:

    1. Perpanjangan masa swap hutang luar negeri dari 6 bulan menjadi 3 tahun.

    2. Penyederhanaan perijinan untuk mendirikan bank, membuka kantor dan sebagainya.

    3. Menentukan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang berlaku secara umum bagi bank maupun LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank).

  • Komparasi dengan API:

Dengan adanya API, maka point 2 dari Pakto ’88 di atas mengalami perbedaan, khususnya dalam hal perijinan dan struktur permodalan (Bank Internasional, Bank Nasional, Bank dengan Fokus, BPR dan Bank Kegiatan Terbatas), serta wilayah operasional bank. API juga mengatur kembali ketentuan BMPK yang terdapat dalam Pakto ’88, karena belajar dari pengalaman banyaknya kredit macet yang memperburuk sektor perbankan selama ini, maka API lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dan dilakukannya pengawasan yang lebih ketat dalam penyaluran kredit perbankan.

b. Paket 20 Desember 1988.

Pakdes ’88 merupakan kelanjutan dari kemudahan-kemudahan di bidang perbankan yang diberikan dalam Pakto ’88. Paktes ’88 memberikan kemudahan untuk mengembangkan pasar modal, untuk menciptakan sumber pembiayaan alternatif di luar perbankan dan untuk mengembangkan perasuransian.

Pakto dan Pakdes ’88 ditujukan untuk meningkatkan efisiensi di sektor finansial melalui penggalakan persaingan antar bank dan pengembangan penyediaan pembiayaan jangka panjang melalui pengembangan pasar modal. Tindakan-tindakan:

1. Dibukanya kesempatan mendirikan bank-bank swasta baru, termasuk bank patungan dengan bank asing.

2. Bank domestik diperbolehkan membuka cabang di seluruh Indonesia dan LKBB serta bank asing bisa membuka kantor di 7 kota besar.

3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) baru bisa membuka kantornya di kecamatan-kecamatan di luar ibukota, daerah tingkat I dan II.

4. Melonggarkan persyaratan untuk menjadi bank devisa.

5. Penentuan minimum kebutuhan modal bagi bank dan LKBB dan nisbah solvensi untuk perusahaan asuransi.

  • Komparasi dengan API

Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam API dapat dikatakan memperketat atau membatasi beberapa item kebijakan yang telah diatur dalam Pakdes ’88 di atas, khususnya dalam pendirian bank, wilayah operasional, kegiatan usaha bank dan permodalan bank. Sehingga arah pembenahan struktur perbankan nasional akan menghasilkan jumlah bank yang lebih sedikit , namun diharapkan fundamentalnya kuat, khususnya dari sisi permodalan.

V. TANTANGAN KE DEPAN

Untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang lebih kokoh, perbaikan harus dilakukan di berbagai bidang, terutama untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi perbankan dalam beberapa tahun belakangan ini. Tantangan-tantangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas pertumbuhan kredit perbankan yang masih rendah

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam waktu lima tahun ke depan, diperlukan pertumbuhan kredit perbankan yang cukup besar. Sementara itu, kemampuan permodalan perbankan Indonesia saat ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kredit yang cukup tinggi tersebut sulit dicapai jika perbankan nasional tidak memperbaiki kondisi permodalannya. Selain hambatan dalam hal permodalan bank, penyaluran kredit dalam banyak hal juga terhambat oleh keengganan sebagian bank untuk menyalurkan kredit karena kemampuan manajemen risiko dan core banking skills yang relatif belum baik, dan biaya operasional yang relatif tinggi.

2. Struktur perbankan yang belum optimal.

Belum optimalnya struktur perbankan di Indonesia ditandai oleh terkonsentrasinya struktur perbankan hanya pada 11 bank besar (yang menguasai 75% aset perbankan Indonesia). Namun demikian bank-bank kecil dalam hal ini perlu mendapat perhatian karena selain jumlahnya relatif banyak, bank-bank kecil tersebut juga memiliki cakupan usaha yang relatif sama dengan bank-bank besar namun dengan kemampuan operasional, manajemen risiko, dan corporate governance yang relatif lebih terbatas. Demikian pula, dibandingkan dengan negara-negara lain, kepemilikan pemerintah Indonesia dalam perbankan nampak cukup tinggi, bahkan tertinggi di kawasan Asia. Hal ini juga merupakan persoalan tersendiri terhadap struktur perbankan karena dapat menimbulkan konflik kepentingan yang akan mengganggu efisiensi pasar.

3. Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan perbankan yang dinilai oleh masyarakat masih kurang.

Kurangnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pelayanan perbankan ditandai dengan seringnya terdengar keluhan dari masyarakat mengenai kurangnya akses terhadap kredit dan tingginya suku bunga kredit serta masih banyaknya praktek penyediaan jasa keuangan informal. Pandangan masyarakat semacam ini cukup beralasan, karena walaupun kredit korporasi dan UKM sudah mulai tumbuh, tingkat penetrasi kredit masih relatif rendah. Selain itu, meningkatnya kompleksitas jasa dan produk keuangan sebagai akibat dari globalisasi sektor keuangan juga memerlukan respons yang memadai dari berbagai pihak yang terkait. Hal ini semakin penting mengingat masyarakat pengguna jasa keuangan khususnya perbankan semakin menuntut kualitas pelayanan dan akses perbankan yang semakin tinggi.

4. Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan.

Pengawasan bank juga merupakan bidang yang memerlukan peningkatan dan penyempurnaan. Hal ini disebabkan karena masih terdapatnya beberapa prinsip-prinsip prudensial yang masih belum diterapkan secara baik, koordinasi pengawasan yang masih perlu ditingkatkan, kemampuan SDM pengawasan yang belum optimal, dan pelaksanaan law-enforcement pengawasan yang belum efektif.

Secara keseluruhan, upaya peningkatan kapabilitas pengawasan ini sejalan dengan usaha Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision, termasuk meningkatkan sarana teknologi pengawasan. Mengingat pengawasan bank merupakan bidang yang sangat dinamis dan luas cakupannya, maka peningkatan kualitas pengawasan merupakan upaya yang patut dilaksanakan secara terus menerus oleh Bank Indonesia maupun oleh lembaga lainnya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saatnya nanti.

5. Kapabilitas perbankan yang masih lemah.

Lemahnya kapabilitas perbankan ditandai dengan kurangnya corporate governance dan core banking skills pada sebagian besar perbankan sehingga diperlukan perbaikan yang cukup mendasar pada dua hal tersebut. Meskipun kapabilitas beberapa bank besar sudah cukup kuat, namun kapabilitas perbankan secara umum masih di bawah international best practices. Demikian pula kemampuan bank dalam me-respon meningkatnya risiko operasional masih perlu terus diperbaiki, terutama penekanannya pada pentingnya internal control dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip prudensial.

6. Profitabilitas dan efisiensi operasional bank yang tidak sustainable.

Tingkat profitabilitas dan efisiensi operasional yang dicapai oleh perbankan pada umumnya bukan merupakan profitabilitas dan efisiensi yang sustainable. Hal ini disebabkan oleh lemahnya struktur aktiva produktif bank-bank. Margin yang diperoleh bank-bank semakin mengecil karena adanya kecenderungan suku bunga yang menurun. Faktor lain dari tidak sustainable-nya profitibilitas dan efisiensi adalah karena sebagian pendapatan perbankan berasal dari aktivitas trading yang fluktuatif serta rendahnya rasio asset per nasabah yang membuat biaya operasional perbankan Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain.

7. Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan.

Perlindungan terhadap nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat kita. Oleh karena itu, menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia serta masyarakat luas untuk secara bersama-sama menciptakan standar-standar yang jelas dalam membentuk mekanisme pengaduan nasabah dan transparansi informasi produk perbankan. Di samping itu, edukasi pada masyarakat mengenai jasa dan produk yang ditawarkan oleh perbankan perlu segera diupayakan sehingga masyarakat luas dapat lebih memahami risiko dan keuntungan yang akan dihadapi dalam menggunakan jasa dan produk perbankan.

8. Perkembangan Teknologi Informasi.

Kemajuan teknologi informasi ikut menambah tantangan yang dihadapi oleh perbankan. Perkembangan teknologi informasi (TI) menyebabkan makin pesatnya perkembangan jenis dan kompleksitas produk dan jasa bank sehingga risiko-risiko yang muncul menjadi lebih besar dan bervariasi. Disamping itu, persaingan industri perbankan yang cenderung bersifat global juga menyebabkan persaingan antar bank menjadi semakin ketat sehingga bank-bank nasional harus mampu beroperasi secara lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Selain itu, ada sejumlah factor penghambat pelaksanaan API. Satu, kemampuan pemilik bank untuk mengatur modalnya. Dua, SDM di tingkat pengawas perbankan. Itu memang cerita lama. SDM BI sendiri sebagai supervisi perbankan selalu ketinggalan mengikuti perkembangan kompleksitas perbankan nasional dan global. Jadi, mampu tidak pengawas bank menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini. Tiga, masalah SDM perbankan atau bankirnya. Nantinya, bank diperkirakan akan berkembang pesat. Memang, sekarang, masih normal. Ke depan, kita akan menghadapi masalah. Kita akan kekurangan bankir yang bermutu dan bermoral serta beretika. Banyak bankir yang bermutu, tapi tidak beretika. Itulah yang akan menjadi masalah besar.

VI. KESIMPULAN

Harus dihargai bahwa API ini tidak akan membunuh bank secara paksa. Dan, tetap membiarkan bank hidup sesuai dengan kotak-kotaknya. API akan membiarkan bank-bank tumbuh sesuai dengan mekanisme pasar.

Yang menjadi pertanyaan adalah soal pembatasan kegiatan usaha dan akan dimasukkannya bank-bank yang bermasalah dengan modalnya ke dalam kelompok BPR, padahal BPR tidak boleh membuka lagi rekening giro buat nasabah. Hal ini bisa dianggap akan membunuh Bank Umum yang berubah status menjadi BPR.

Sayangnya, konsep API tidak menyangkut pembatasan kepemilikan bank. Sebab, jika mengacu pada sejarah hancurnya bank, selain pengawasan bank yang lemah, kepemilikan bank berada pada satu tangan pengendali. Kenyataan inilah yang membuat bank-bank remuk. Masalaah kredit grup menjadi biang dari segala runtuhnya perbankan yang diakibatkan oleh pemilik yang tidak bisa menahan diri.

Pembatasan pemilik akan lebih awal menjadi kontrol bagi perilaku bankir yang menyimpang. Tapi, lain lagi jika kepemilikan itu juga diakali yang kenyataannya mudah menjadikan pemilikpajangan maupun direksi pajangan. Apapun yang terjadi, API telah menjadi penerang bagi perbankan ke depan. Pemilik bank pun merasa lega karena tidak akan terjadi pembunuhan bank secara paksa.. Semua diserahkan ke pasar.

DAFTAR PUSTAKA :

………., 2004, Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia: Jakarta

Dr. Agus Sugiarto, 2004, Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat, Bank Indonesia: Jakarta

Tumpak Silalahi, SE, AK, MBA, 2004, Mengapa Perlu Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia: Jakarta

Info Bank, no. 298, Februari 2004

Rimsky K. Jusisuseno, 2002, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Prathama Raharja, 1997, Uang dan Perbankan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KATALIS K3-xHxPW12O40 PADA KATALISIS SELEKTIF SINTESIS METILAMINA DARI METANOL DAN AMONIAK

GENERAL LEAST SQUARE

Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi